Sabtu, 20 September 2014

TNI AU bangun radar pemantau perbatasan di Nunukan

Dokumentasi pesawat tempur Sukhoi Su-30MKI Flanker Skuadron Udara 11 TNI AU menggiring pendaratan pesawat asing Boeing B-737 pada Latihan Sriti Gesit di Pangkalan Udara Utama TNI AU Sultan Hasanuddin, Makassar, Sulsel, Rabu (2/4). Latihan itu untuk meningkatkan kemampuan TNI AU dalam memantau pergerakan pesawat asing yang melanggar wilayah udara Indonesia tanpa izin. (ANTARA FOTO/Sahrul Tikupadang)
Dokumentasi pesawat tempur Sukhoi Su-30MKI Flanker Skuadron Udara 11 TNI AU menggiring pendaratan pesawat asing Boeing B-737 pada Latihan Sriti Gesit di Pangkalan Udara Utama TNI AU Sultan Hasanuddin, Makassar, Sulsel, Rabu (2/4). Latihan itu untuk meningkatkan kemampuan TNI AU dalam memantau pergerakan pesawat asing yang melanggar wilayah udara Indonesia tanpa izin. (ANTARA FOTO/Sahrul Tikupadang)

Sebentar lagi “mata dan telinga” militer Indonesia akan bertambah tajam sejalan pembangunan instalasi radar bergerak di Pulau Nunukan, Kalimantan Utara.
Arah hadap instalasi radar itu sengaja ditujukan ke perbatasan Indonesia dengan negara bagian Sabah, Malaysia Timur itu, untuk mencegah pelanggaran kedaulatan ruang udara nasional.
Asisten Operasi Kepala Staf TNI AU, Marsekal Madya TNI Sudipo Handoyo, kepada wartawan, setiba di Bandara Nunukan, Senin, menyatakan, “Radar itu diupayakan beroperasi pada November 2014.”
Untuk menempatkan instalasi strategis itu, diperlukan lahan 10 Hektare walau radarnya adalah radar bergerak (mobile radar), yang juga berarti dia bisa bersifat mobil yang dapat dipasang dimana saja.
Selain instalasi radar –umumnya setingkat detasemen (Satuan Radar TNI AU) yang dipimpin seorang mayor senior atau letnan kolonel– instalasi itu juga dilengkapi dua satuan setingkat kompi Korps Pasukan Khas TNI AU dan Artileri Pertahanan Udara.
Selama ini TNI memiliki Komando Pertahanan Udara Nasional yang dipimpin seorang marsekal muda TNI dan penggunanya adalah presiden Indonesia melalui panglima TNI.
Dalam organisasinya, komando yang berkewajiban dan berkewenangan mengintersepsi dan memaksa plus melumpuhkan pelanggar kedaulatan wilayah udara nasional itu dibagi ke dalam empat Komando Sektor Pertahanan Udara Nasional yang dipimpin seorang marsekal pertama TNI. (www.antaranews.com)

===============================================================================================

Nunukan rawan pelanggaran batas udara


Nunukan rawan pelanggaran batas udara
Dokumentasi sejumlah prajurit TNI AU melakukan pemeriksaan terhadap pesawat tempur F-16 di Lanud Soewondo Medan, Sumut, Jumat (11/4). TNI AU terus menyiagakan kesiapan armada udara untuk menegakkan hukum dan menjaga keamanan kedaulatan negara dalam mengantisipasi bagi pihak asing menyusup ke wilayah Indonesia tanpa izin. (ANTARA FOTO/Septianda Perdana)

Nunukan, Kalimantan Utara – Markas Besar TNI AU mengakui wilayah batas udara Indonesia-Malaysia di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, rawan pelanggaran batas udara.
Asisten Operasi Kepala Staf TNI AU, Marsekal Muda TNI Sudipo Handoyo , kepada wartawan di Nunukan, Senin, mengungkapkan, “Selama ini TNI AU seringkali mendapat laporan pelanggaran batas wilayah udara oleh pesawat-pesawat Malaysia.”
Untuk mencegah dan menindak pelanggaran wilayah udara nasional di Nunukan itu, TNI AU langsung menindaklanjuti dengan membangun instalasi radar bergerak (mobile radar) di sana.
Bukan cuma radar dan piranti pendukung, karena satu satuan setingkat kompi dari Korps Pasukan Khas TNI AU dan Artileri Pertahanan Udara juga ditempatkan. Satuan-satuan itu masih diperkuat satuan peluru kendali permukaan-udara. Ia menegaskan, apabila suatu saat radar TNI AU itu mendeteksi pelanggaran batas udara oleh pesawat terbang Malaysia, maka pasti ditindak tegas.
Hasil pantauan instalasi radar yang akan dibangun pada lahan seluas 10 Hektare di Kelurahan Mansapa, Kecamatan Nunukan Selatan, itu dapat dicetak untuk membuktikan pelanggaran.
“Bisa dicetak, apabila menyangkal melanggar,” kata dia. (www.antaranews.com)

Senin, 15 September 2014

Pindad dan CMI Garap Turet Tank Nasional


Perbandingan turret Cockerill 90 mm
Perbandingan turret Cockerill 90 mm
Bandung – PT Pindad (Persero) mengambil langkah strategis jangka panjang untuk pengembangan sistem persenjataan kendaraan tempur dan tanknya. Senin (15/9/2014) Pindad resmi menggandeng perusahaan asal Belgia, Cockerill Maintenance & Ingenierie SA Defense (CMI), untuk pengembangan sistem meriam atau turret. Untuk tahap awal, produsen amunisi senapan dan kendaraan tempur asal Bandung itu akan memproduksi turret kaliber 90 mm dan 105 mm untuk dipasang di kendaraan tempur produksi Pindad.
Penandatangan nota kesepahaman antara kedua perusahaan diresmian di hanggar produksi panser Anoa milik Pindad, di Kiara Condong, Bandung. Direktur Utama Pindad Sudirman Said mengungkapkan, kesepakatan ini membawa dampak positif bagi pengembangan Pindad  sebagai perakit sistem persenjataan. Selain itu, kerjasama sekaligus bertujuan meningkatkan kemampuan teknologi perusahaan dan membawa Pindad masuk dalam global supply chain industri pertahanan bersama CMI.
Pindad dan CMI akan membentuk komite untuk menyusun proses alih teknologi dan pelatihan teknis untuk mendukung tujuan memproduksi turret kaliber besar. “Pindad juga memperoleh kesempatan untuk mengirimkan beberapa putra-putri terbaik kita untuk belajar masalah sistem persenjataan di CMI,” kata Sudirman.
Cockerill CT-CV 105HP Turret
Cockerill CT-CV 105HP Turret

Kesempatan ini sangat sesuai dengan tujuan manajemen untuk membangun kapasitas perusahaan  agar bisa maksimal dalam menjalankan amanah UU Nomor 16/2012 tentang Industri Pertahanan.
Sementara itu, Executive Vice President CMI James Caudle menyatakan, CMI sebenarnya sudah lama hadir dan dikenal oleh Tentara Nasional Indonesia sebagai pengguna sistem persenjataan, meski hanya berupa nama. “Brand ‘Cockerill’ sudah akrab dikenal dan telah lama melengkapi sistem persenjataan TNI Angkatan Darat,” katanya. “Ini akan menguntungkan bukan saja kami tetapi juga Pindad dan Indonesia”.
CMI percaya kerjasama ini akan meningkatkan potensi besar industri pertahanan lokal dan mendukung sistem pertahanan nasional Indonesia lewat pembangunan kapasitas sumber daya manusia dan transfer of technology. “Kami senang bisa meneken kerjasama dengan Pindad sebagai langkah awal jangka panjang dalam bidang perakitan dan teknologi sistem persenjataan,” ujar Caudle.
Setelah meneken nota kesepahaman, Pindad dan CMI akan duduk bersama merampungkan detail kerjasama yang memuat secara rinci kesepakatan dan komitmen yang telah dijalin dalam bentuk skema kerjasama yang memuat hak dan kewajiban kedua belah pihak. Kerjasama dengan CMI ini adalah kali kedua Pindad meneken kerjasama dengan industri pertahanan dunia. Bulan lalu, Pindad meneken kerjasama dengan Rheinmetall Denel Munition (RDM) untuk pengembangan amunisi kaliber besar.
Pindad memang sedang tencar mendorong tenaga ahlinya membangun sendiri kekuatan alat utama sistem persenjataan di dalam negeri. Untuk kendaraan tempur misalnya, sudah lahir kendaraan lapis baja Anoa dan kendaraan taktis Komodo.
Pindad juga sudah mengantongi kepercayaan TNI Angkatan Darat untuk melakukan retrofit tank AMX 13. Di tangan para insinyur Pindad, tank tua ini telah mengalami perubahan total mesin, sistem transmisi, elektronik hingga sistem senjata lewat pemasangan meriam kaliber 105 mm. (Amal Ihsan Hadian) / (Kompas.com). JKGR.

Mayor Inf Warto, Perwira Dengan Segudang Prestasi



Mayor Inf Warto, Perwira Dengan Segudang Prestasi

“ Selama berkarir dalam dunia militer, Mayor Inf Warto telah banyak mengukir prestasi yang cukup membanggakan serta mengangkat nama baik TNI Angkatan Darat dalam berbagai event. Perwira Menengah ini merupakan sosok dibalik Sukses Petembak TNI di Kancah Internasional.”
Pada tanggal 16 Desember 1962 di sebuah desa pinggiran kota Solo Jawa Tengah, tepatnya daerah Karanganyar, lahir seorang bayi mungil berjenis kelamin laki-laki yang diberi nama Warto. Dia merupakan anak ke 4 dari 7 bersaudara dari pasangan ayah bernama Warjo (Alm) dan ibu bernama Surip (Almh), yang berprofesi sebagai buruh tani dengan kondisi yang serba kekurangan.
Masa kecil Warto dihabiskan untuk membantu orang tua demi untuk membantu memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari. Saat ia menempuh pendidikan mulai dari SD hingga SLTA berbagai kendala harus dilaluinya. Biaya sekolah yang utamanya harus dipenuhi tetapi faktanya kerap kali tersendat. Bahkan pernah ia mengalami putus sekolah karena ketiadaan biaya. Akhirnya semua itu meski tertatih-tatih dapat diatasinya sendiri dengan cara menggadaikan diri sebagai buruh tani pada sebuah lahan cocok tanam milik tetangganya.
Pada tahun 1982 setamat SLTA, Warto mendaftarkan diri di Rindam V/Jayakarta sebagai calon Tamtama TNI AD. Setelah lulus Secata Warto yang menyandang pangkat Prajurit Dua dipercaya untuk mengemban tugas di jajaran Kostrad, tepatnya di Batalyon Infanteri 328/Kostrad Cilodong. Selama bertugas di Yonif Linud 328/ Kostrad, barbagai kegiatan dijalaninya dengan penuh rasa tanggungjawab. Aktivitas yang rutin dilakukan diantaranya adalah tugas operasi karya mengikuti pemusatan latihan, mulai dari latihan atletik, oramil, beladiri, menembak, dan terjun bebas. Di bidang atletik, Warto tergabung dalam pelari jarak menengah dan estafet. Di bidang oramil, seluruh materi oramil dikuasainya. Di bidang beladiri karate, ia merupakan penyandang Dan-II (Black Belt) dan pernah meraih medali perunggu pada even turnamen antar angkatan di bidang kumite kelas bebas. Di bidang menembak, sejak tahun 1985 hingga sekarang ia bersama tim TNI AD berhasil menorehkan tinta emas prestasi. Di bidang terjun payung, ia tergabung dalam tim Persatuan Terjun Payung TNI AD (PTPAD).
Riwayat berkarier di militer, Warto menyandang predikat Tamtama selama 5 tahun. Karena keberhasilannya saat mengemban tugas operasi di Timor-Timur pada tahun 1988. Warto memperoleh kepercayaan untuk mengikuti pendidikan Secaba tanpa tes. Setelah selama 5 tahun pangkat Bintara disandangnya, kemudian karena prestasinya ia memperoleh kepercayaan dari pimpinan TNI AD untuk mengikuti pendidikan Secapa. Dari 1.350 siswa Secapa, ia berhasil menduduki peringkat 5 besar.
Selama berkarier di militer, beberapa kursus yang pernah diikuti yakni ; Hirbak, Bakduk, Freefall, Batih Muda. Padas sus Batih Muda ia berhasil menjadi lulusan terbaik. Pada tahun 1991 ia dipercaya untuk memperdalam materi terjun bebas di Pert Australia. Sejak tahun 2005 Warto dipercaya pimpinan untuk menyiapkan tim petembak TNI maupun TNI AD.
Kepercayaan yang diberikan pimpinan kepada Warto ternyata tidak salah. Hal itu terbukti pada pelaksanaan lomba tembak BISAM di Brunei Darussalam, sejak tahun 2005 sampai dengan sekarang TNI berhasil menyandang predikat sebagai juara umum. Selain itu untuk lomba tembak AASAM di Australia yang diselenggarakan sejak tahun 2008 hingga sekarang, kontingen TNI AD masih bertahan sebagai peraih predikat juara umum.
Berbekal kemauan yang keras untuk maju Warto tidak saja menjadikan dirinya berprestasi, akan tetapi potensi yang ada padanya sanggup ditularkan kepada para prajurit lainnya sehingga mampu berbicara di kancah nasional bahkan internasional. Negara-negara maju yang kita kenal sebagai kekuatan adidaya seperti Amerika, Inggris, Perancis, Australia, Jepang Singapura dan negara kawasan Asia Pacifik lainnya, ternyata tidak sanggup menundukkan kemampuan yang dimiliki oleh putra terbaik bangsa. Kepada redaksi Palagan Warto mengungkap kunci keberhasilannya sebagai pelatih, yakni ; harus mau berkeringat, menguasai materi, menguasai kondisi psikologi para petembak, berani mengambil keputusan, berani menegakkan disiplin petembak, berani membina fisik dan mental petembak, menguasai senjata, menguasai karakteristik munisi, program latihan harus tepat, dan harus memiliki semangat yang tinggi.
Dalam kurun waktu 32 tahun Warto berdinas, waktunya banyak dihabiskan di lapangan. Selama 26 tahun dihabiskan di Batalyon Infanteri 328/Kostrad, selebihnya ia pernah bertugas di Pussenif/Pusdikif, Kodam Jaya, Kodam XVII/Cenerawasih, Dispenad dan saat ini bertugas di sebagai Kepala Staf Kodim 0508/Depok.
Mengenai kehidupan keluarga, Warto beruntung memiliki pendamping setia asal kota Bogor bernama Ipa Suarsih kelahiran 1966 yang juga berprestasi dalam rumah tangga. Terbukti dari tiga orang putra didikannya, anak pertama bernama Guntur Bayu Bima Pratama (23) telah berhasil menjadi Dokter. Putra ke dua, Guruh Amba Sadewo (19) kini menjadi catar Akmil, dan si bungsu bernama M. Gandhi Dewantoro kini baru menapak di bangku SLA. Namun si bungsu, adalah penyandang Dan-I dan memiliki prestasi sebagai penyandang juara nasional karate.
Mayor Infanteri Warto di usianya yang sudah diatas setengah abad, meski jarang berada ditengah keluarga, namun dengan dukungan penuh dari keluarga, tetap gigih menorehkan prestasi bagi kejayaan TNI maupun TNI AD. Dengan situasi demikian sang istrilah yang sepenuhnya membina ketiga putranya. Mereka berdua selalu menjalankan amanah dengan penuh ikhlas dan berserah diri kepada Allah SWT.
Maju terus Mayor Inf Warto. Kepakkan terus sayapmu hingga mencapai langit tertinggi !!!!!!
Sumber : www.tniad.mil.id

Minggu, 14 September 2014

Perkuatan TNI AU melalui Hibah 24 F-16 Program Excess Defence Article dan Program KFX/IFX Akan Meningkatkan Daya Kepruk

tiga pswt f-16 hibah
Tiga Pesawat F-16 C/D TNI AU asal Hibah AS (foto: indomiliter.com)

Mungkin masih banyak yang bertanya-tanya mengapa pemerintah AS berbaik hati mau memberikan (hibah) 24 buah pesawat tempur canggih F-16 C/D Block-25 kepada Indonesia untuk memperkuat armada tempur TNI AU. Ada pendapat yang meremehkkan bahwa F-16 itu adalah pesawat bekas pakai US Coast Guard yang di modifikasi. Tetapi sedikit sekali yang mengetahui bagaimana pemerintah Indonesia khususnya Kementerian Pertahanan berhasil melakukan lobi untuk mendapatkan 24 pesawat tempur canggih dengan kondisi yang murah dan menguntungkan.
Pemerintah Indonesia telah memilih untuk meningkatkan kemampuan pertahanan udara melalui upgrade dan regenerasi dari program EDA (Excess Defence Article)  yang  berada dibawah Departemen Pertahanan AS (Department of Defense). Yang bertanggung jawab dan mengatur program EDA adalah The Defense Security Cooperation Agency (DSCA). Pesawat-pesawat F-16 yang dihibahkan kepada pemerintah RI adalah alutsista yang tidak lagi dipakai oleh US Coast Guard dan dinyatakan kelebihan dari Angkatan Bersenjata Amerika.
US Coast Guard memiliki misi penegakan hukum maritim (dengan yurisdiksi di  perairan domestik dan internasional) dan juga mempunyai misi sebagai  badan pengawas federal. Badan ini beroperasi di bawah US Department of Homeland Security selama masa damai, dan dapat dialihkan penugasannya dibawah  Departemen Angkatan Laut oleh Presiden AS setiap saat, atau oleh Kongres AS dalam masa perang.
Menurut ketentuannya, kelebihan alutsista ini dapat dikurangi atau  ditawarkan dengan tanpa biaya kepada pihak penerima (negara) asing yang berhak dengan dasar “as is, where is”  untuk mendukung tujuan-tujuan keamanan nasional  dan kebijakan luar negeri. Menurut UU Bantuan Luar Negeri AS, dinyatakan bahwa transfer EDA tidak akan menimbulkan dampak negatif bagi  teknologi nasional AS serta basis industrinya, disamping  tidak akan  mengurangi peluang industri AS untuk menjual peralatan baru kepada pihak yang diusulkan menerima program EDA.
Pada saat proses awal dalam program EDA, pemerintah Indonesia telah memilih untuk meningkatkan kemampuan pertahanan udaranya melalui upgrade dan regenerasi dari kelebihan pesawat AB Amerika Serikat, yaitu pesawat tempur F-16 Block 25. Pemerintah AS pada bulan Agustus 2011 menyetujui memberikan  pesawat dalam proses hibah.  Saat persetujuan itu, Indonesia sudah memiliki  10 pesawat tempur  F-16 A / B Block 15.  Akuisisi dan regenerasi hibah 24 buah  F-16 C / D melalui proses EDA memungkinkan pemerintah Indonesia untuk secara signifikan meningkatkan kapasitas pertahanan udara tanpa mengorbankan anggaran pertahanan dan prioritas nasional lainnya.
Pada awalnya  Indonesia meminta secara  total 30 pesawat F-16, dengan dengan perincian 24 F-16 Block 25  untuk regenerasi, empat F-16 Block 25 dan dua F-16 Block 15 untuk digunakan sebagai suku cadang. Termasuk juga dalam rangkaian hibah adalah  28 buah engine Pratt dan Whitney. Indonesia telah mengalokasikan dana untuk regenerasi 24 pesawat F-16 dan perbaikan dari 28 engine.
Setelah penandatanganan proses  hibah pada bulan Januari 2012, pemerintah Indonesia membayar  sekitar US$ 670 juta, untuk proses administrasi penghapusan 24 pesawat tempur F-16  dari tempat penyimpanan, biaya  perbaikan, upgrade dan refurbish (regeneration) keseluruhan pesawat.  The Ogden Air Logistics Complex, atau ALC, akan merombak sayap, landing gear, dan komponen lain pada setiap pesawat disebut Falcon Star atau Falcon Structural Augmentation Roadmap . Program ini terkait dengan penguatan struktur pesawat sehingga masa usia pakai pesawat bisa digunakan secara maksimal hingga mencapai 10.800 EFH.
Dilakukan Avionic Upgrade,  yang mencakup penggantian semua sistem avionik F-16 Block 25 menjadi setara Block 52. Penggantian yang paling menonjol dan mampu meningkatkan kemampuan dalam hal air superiority secara signifikan adalah digunakannya Radar APG-68 yang memiliki cakupan hingga 184 nm (296 km) dan software persenjataan yang mampu menembakkan rudal AMRAAM (Advanced Medium Range Air To Air Missile). Hal lain yang cukup penting adalah penggunaan Modular Mission Computer (MMC) sebagai sistem komputer yang mampu mengintegrasikan semua jenis senjata mutakhir pada F-16.
Selain itu, sesuai perjanjian,  minimal tiga puluh penerbang tempur TNI AU  akan mengikuti latihan terbang di Amerika Serikat, disamping  para instruktur pilot  mobile dari Amerika Serikat akan melatih penerbang dan mekanik  dari TNI AU.
Menurut siaran pers  dari Gedung Putih pada November 2011,  kesepakatan itu merupakan transfer atau hibah  terbesar dari kelebihan alutsista pertahanan AS dalam sejarah kerjasama  bilateral antara  AS-Indonesia, dan akan memungkinkan pemerintah Indonesia untuk secara signifikan meningkatkan kapasitas pertahanan udara tanpa mengorbankan anggaran pertahanan serta prioritas nasional lainnya.
Sebagai realisasi proses  hibah, pada tanggal Jumat (25/7/2014) pada  pukul 11.25 WIB, tiga pesawat bagian hibah dari 24 pesawat F-16 C/D 52ID  dari pemerintah AS telah tiba di fighter home base, Lanud Iswahyudi   Madiun. Ketiga pesawat diterbangkan dari  Anderson AFB (Air Force Base) Guam ke IWY  dalam waktu 5 jam 16 menit dengan melaksanakan empat kali air refueling  oleh pesawat Tanker KC-10 yang berasal dari pangkalan AU Amerika, Yokota AFB Jepang. Flight F-16 (Viper Flight)  ini terbang pada ketinggian 26.000 kaki dan terus di kawal pesawat tanker hingga memasuki wilayah udara Indonesia. Setelah diterimanya tiga unit pertama, F-16C/D berikutnya akan diterbangkan ke Indonesia secara bertahap hingga selesai pada akhir 2015.
Sesuai rencana maka mulai awal bulan Agustus 2014 enam orang instruktur penerbang F-16 A/B-15OCU TNI AU (versi lama yang sudah dimiliki TNI AU) akan mulai melanjutkan latihan terbang konversi “differential flying training” F-16 C/D-52ID di Skadron Udara 3 Lanud Iswahyudi Madiun dibawah supervisi tiga instruktur penerbang dari US Air Force Mobile Training Team. Apabila ke 24 pesawat tempur F-16 hibah tersebut sudah lengkap, Ke-24  F-16 C/D 52ID TNI Angkatan Udara ini selanjutnya akan menjadi kekuatan satu skadron 16 di Lanud Rusmin Nuryadin Pekanbaru (16 pesawat) dan sisanya melengkapi F-16 yang sudah ada di Skadron Udara 3 Lanud Iswahjudi Madiun.
Dengan demikian maka wilayah perbatasan Barat akan terdapat penggelaran F-16 serta Hawk 100/200, wilayah Tengah dipertahankan oleh gabungan F-16, F-5E serta wilayah Timur oleh pesawat pempur Sukhoi 27/30. Dari beberapa latihan gelar kekuatan, maka kombinasi pertahanan udara akan cepat terisi dengan penggeseran skadron tempur seperti yang selama ini dilakukan. Beberapa pangkalan udara TNI telah mampu menerima kedatangan pesawat tempur.
Dengan kondisi riil dan penuh kepastian maka pada tahun 2015, TNI AU akan sudah memiliki beberapa skadron tempur unggulan lengkap dengan persenjataannya yang canggih. Seluruh wilayah akan dapat dipertahankan dengan dukungan coverage radar Kohanudnas.
Disamping kekuatan yang sudah ada, berita baik lainnya bagi TNI AU dan Kohanudnas adalah dilanjutkannya proyek kerjasama pembuatan pesawat tempur  KFX/IFX. TNI AU  akan memiliki pesawat tempur yang setidaknya cukup untuk persediaan 20 tahun ke depan. Itu berarti TNI AU telah memiliki cukup Sukhoi untuk saat ini dan Indonesia juga menanamkan investasi dalam program KFX/IFX bersama Korea Selatan, yang nantinya akan menghasilkan jet fighter yang ditujukan untuk menggantikan pesawat seperti F-5 dan F-16.
Indonesia  akan membeli jet tempur fighter KFX/IFX sebanyak 3 skadron, masing-masing 16 pesawat. Itu akan memenuhi program jangka panjang, demikian ditegaskan oleh Sekjen Kemenhan saat itu (Marsdya Eris Heryanto).  Program KFX/IFX dihentikan sementara oleh pemimpin baru Korea Park Geun-Hye pada akhir 2012 setelah meninjau kondisi finasial di negaranya. Proyek prestisius ini digarap sejak awal 2011, tak lama setelah Presiden Lee Myung-bak dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengukuhkan kerjasama bilateral di bidang pertahanan di Jakarta. Dari Fase Technology Development yang telah dituntaskan, tim ilmuwan telah menyelesaikan sejumlah desain yang kemudian mengerucut menjadi dua.
Kedua desain itu adalah model jet tempur siluman peraih keunggulan udara bermesin ganda dengan horizontal-tails di belakang, dan satunya lagi dengan canards di depan. Konfirmasi tentang kelanjutan program pembuatan front-liner jet fighter Korea-Indonesia diterima Kementerian Pertahanan RI pada 3 Januari 2014. Pemberitahuan ini selanjutnya diumumkan Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro kepada wartawan, Rabu, 8 Januari 2014, di sela-sela Rapim Kemenhan di Jakarta. Penjelasan disampaikan terkait paparan rencana pengadaan alut sista dalam Renstra II, 2015-2019.
Pemerintah Indonesia berharap proyek pembuatan jet tempur generasi 4,5 itu bisa terlaksana karena bakal jadi rujukan program alih teknologi untuk melepas ketergantungan dari negara lain. Program ini ditargetkan menelurkan jet tempur dengan performa yang sepadan atau lebih unggul dari jet tempur lawan yang di antaranya adalah Sukhoi Su-35, ini adalah keinginan dari Pemerintah Korea Selatan yang mengukurnya dari alutsista Korea Utara.
Apabila proyek KFX/IFX tetap berjalan dengan normal sesuai rencana, maka pada tahun 2020 Indonesia akan mempunyai kekuatan udara yang sangat kuat, dimana paling tidak tujuh skadron udaranya akan diisi oleh jenis pesawat tempur canggih, dengan tulang punggung F-16, Sukhoi 27/30 dan Boramae (KFX/IFX). Dengan demikian maka daya kepruk TNI AU akan meningkat paling tidak tiga kali lipat.
Pada saat itu  maka Indonesia akan menjadi negara penyeimbang dalam hal kekuatan udara apabila kawasan di Laut China Selatan bergolak. Paling tidak pesawat-pesawat tempur TNI AU bisa unjuk gigi dalam mempertahankan kedaulatan negara di udara. Dalam hal ini jelas Amerika sudah berhitung tentang kemungkinan memanasnya wilayah Laut China Selatan di masa mendatang, dan negara-negara di kawasan Asia Tenggara memang harus siap dalam menghadapi setiap kemungkinan terburuk. Oleh karena itu maka program EDA kepada Indonesia disetujui.
Apakah China akan melakukan ekspansinya dalam penguasaan kawasan? Kita semua tidak ada yang tahu, yang terlihat kini, China mulai mencari wilayah yang memiliki potensi sumber energi dan wilayah itu ada di kawasan kepulauan Spratley dan Paracel. Beberapa langkah militer telah dilakukan oleh China, termasuk penetapan ADIZ dan pengerahan kekuatan serta kapal induknya. Bahkan, bukan  tidak mungkin kawasan Natuna juga akan menjadi incaran selanjutnya. Oleh karena itu, memang pemerintah Indonesia harus menyadari bahwa kita membutuhkan peralatan tempur yang mampu mempertahankan wilayah tanah air.
Bila kita tidak berfikir secara geopolitik dan geostrategi serta dengan dasar intelijen strategis, maka suatu saat kita akan terkejut, menghadapi betapa dalam sebuah persaingan hidup di dunia ini, intervensi akan dilakukan oleh siapapun yang merasa  dirinya kuat. Mungkin begitu.
Penulis : Marsda TNI (Pur) Prayitno Ramelan, pengamat intelijen www.ramalanintelijen.net

Under Licensed Country : Makelar Teknologi = Transfer Teknologi 2 (Final)

Ilustrasi

Makelar Teknologi
Mari kita sadari selama 69 tahun sejak merdeka, bahwa kita sudah membangun sistem ‘Makelar Teknologi’ raksasa yang mengusai hampir seluruh tatanan departemen dalam pemerintah pusat hingga daerah, serta swasta. Perpanjangan tangan pemerintah hingga swasta asing banyak sekali di Indonesia dan mereka seolah ikut membangun negeri ini. Peneliti Indonesia mendapat posisi dilemma, dimana bila mereka membuat produk baru menggunakan material dalam negeri dan berharga murah akan menjadi pesaing bagi produk asing, sehingga agen-agen dalam pemerintah dan swasta merasa tersaingi, sehingga produk-produk perundanganpun kurang mendukung untuk kegiatan penelitian produk dalam negeri yang dapat membangkitkan semangat para peneliti kita. Tarik ulur profit antara mengembangkan dan memproduksi sendiri dengan hanya mendapatkan komisi sebagai makelar teknologi asing, masih sangat kental di Indonesia. Saatini kita masih lebih menguntungkan menjadi makelar teknologi dengan mendapatkan komisi dari penjualan produk asing. Sehingga harga barang lebih mahal, karena kita harus menyisipkan komisi bagi banyak pihak, yaitu makelar, orang dalam, perantara dll, bahkan marked up harga merupakan kebiasaan tepatnya budaya bisnis Indonesia dalam pengadaan barang. Sehingga pada saat kita membeli produk asing tersebut dengan harga mahal dapat berarti kita membeli terlalu mahal ‘kebodohan’ kita. Hal lucu bila kita menanamkan modal (invest) terus untuk mempertahankan kebodohan kita selama ini, khususnya sejak kemerdekaan. Kalau kita perhatikan, komisi tersebut tidaklah terlalu besar dibandingkan devisa yang mengalir ke luar negeri. Apakah kita cukup bangga sebagai pemakai, perantara dan makelar teknologi atau produk asing ?    
Komisi sebagai perantara memang dapat menghidupi sebagian besar agen-agen atau makelar teknologi di Indonesia. Tetapi mengalirnya devisa karena kita membeli produk asing, kita dapat menghidupi lebih banyak orang di luar negeri. Apakah tidak terpikir selama ini untuk membangun basis-basis teknologi yang dapat mendukung produk-produk yang dibutuhkan oleh orang Indonesia ? Jumlah penduduk 250 juta orang merupakan power atau kekuatan sangat besar sekali yang dapat menggerakkan Indonesia dan dunia. Bahkan kita bisa menguasai dunia ini hingga planet lain dengan memanfaatkan material yang ada di Indonesia sebelum disedot habis ke negara lain untuk membuat produklain yang akhirnya dijual kembali ke Indonesia dengan harga lebih mahal.
Kita membangun banyak universitas dan lembaga pendidikan selama ini, kita mendidik ratusan juta anak-anak kita dengan memberikan berbagai macam ilmu. Tetapi kalau kita kupas lebih dalam, isi ilmu pengetahuan dan teknologi yang kita sampaikan kepada mereka, ternyata adalah hasil pemikiran orang asing, baik ilmu eksakta, budaya hingga agama hampir semua ‘under licensed’ negara asing. Banyak yang bangga setelah menguasainya, bahkan menganggap ini semua yang terbaik untuk kita, tapi kita telah melakukan kesalahan besar di sini dengan tidak memberikan ruang pemikiran untuk pengembangan berdasarkan cara pikir dan alam Indonesia ! Kajian ilmu sosialpun banyak kita dapatkan menggunakan metoda pendekatan pemikiran orang asing. Walau cara pemikiran orang asing semua tidaklah buruk, tetapi mengapa kita tidak memikirkan sendiri dengan alur pikiran, budaya, etika, tata krama dll yang telah kita miliki selama ini ? Teknologi dan ilmu pengetahuan yang paling cocok, adalah teknologi dan ilmu pengetahuan yang lahir dari manusia dan alam Indonesia. Mari kita lebih banyak berdiskusi dan berkreasi untuk membangun teknologi dan ilmu pengetahuan Indonesia berdasarkan pemikiran dan material yang bersumberkan SDA dan SDM Indonesia untuk melahirkan teknologi dan ilmu pengetahuan yang cocok dan nyaman dipakai oleh orang Indonesia. Niscaya suatu saat makelar teknologi kita selama ini dapat membantu kita, tidak hanya menjajakan produk kita di dalam negeri, tetapi bahkan ke luar negeri bersamaan memperkenalkan budaya, etika, tata krama dan kepercayaan asli Indonesia. Semua akan happy atau senang dapat meningkatkan pendapatan atau devisa negara, sehingga kegiatan penelitian dan pendidikanpun dapat terus meningkat !
Grom TNI AD (Ilustrasi)

Operator Teknologi
Saya pribadi, sejak kecil selalu berusaha berpikir, membuat hingga mengoperasikannya sendiri segala sesuatu. Saat kecil tinggal di dalam Pangkalan Udara TNI-AU yaitu Lanud Sulaiman – Bandung dan Lanud Adisumarmo – Solo, dimana sering membuat mainan sendiri, baik mainan ringan hingga membuat pistol dan bom sendiri. Radio, amplifier, radio amateur, gerobak, terowongan, teropong kapal selam, pesawat aeromodelling dll. Percobaan juga sering dilakukan sendiri atau bersama adik (Frans) dan teman-teman anak kolong sekitar(Tutut dll). Kecelakaan percobaan sering terjadi, termasuk jari telunjuk tangan kananpun hampir putus karena terkena ledakan mesiu pistol di telapak tangan. Banyak hal yang sering membuat repot Ibu dan Bapak saya, bahkan para tetangga, sehingga sering disebut ‘anak aneh’ di dalam komplek dan kampung sekitar.
Setelah menjadi peneliti BPPT, TNI-AD hingga Chiba University & ISAS-JAXA, saya pribadi sering keluar masuk instansi pendidikan dan penelitian dunia, termasuk Indonesia. Nilai kebanggaan peneliti di masing-masing negarapun berbeda terhadap hasil pekerjaan dan produk mereka. Bila berkunjung ke Indonesia, banyak kita temukan peneliti kita yang kebingungan mendapatkan alat ukur ini itu. Sehingga saya sering membantu mereka untuk mendapatkan dan meminjamkan alat ukur, material penelitian, bantuan konsultasi dll. Kurangnya dukungan alat bantu penelitian juga sangatmenghambat proses penelitian sendiri. Sehingga saat saya diangkat menjadi Associate Professor di Chiba University, maka pertama kali yang saya bangun adalah perlengkapan penelitian microwave, khususnya radar, pesawat tanpa awak (UAV) dan satelit sendiri. Syukur saat ini sudah lengkap, bahkan terlengkap di Jepang, sehingga saya tidak perlu pinjam ke instansi lain, sebaliknya banyak peneliti Jepang dan asingpun sering pinjam ke laboratorium saya. Ini semua impian saya saat di Indonesia, khususnya saat menjadi peneliti pada tahun 1989-1999, sayang sekali saat ini malah didukung di luar negeri.
Prof. Josh menunjukan salah satu tempat di Center for Environmental Remote Sensing (CEReS) atau Laboratory miliknya

Saya kira banyak peneliti di Indonesia yang mempunyai perasaan dan cita-cita seperti saya, tetapi perhatian dari masyarakat & pemerintah kurang. Kita sadar masyarakat dan pemerintah juga mempunyai pemikiran dan prioritas tersendiri untuk membangun negeri, tetapi kita sudah 69 tahun merdeka, terlalu lama untuk pikun atau melupakan kondisi peneliti kita. Bagaikan badan kita, peneliti adalah otak dalam tubuh kita, bila otak tidak pernah diasah, maka kita akan menjadi pengemis ‘teknologi dan ilmu pengetahuan’asing terus. Bila kita akumulasikan dana yang mengalir keluar negeri untuk membayar produk-produk yang seharusnya dapat dibuat di Indonesia sebagai hasil penelitian kita, maka seharusnya kita sudah menjadi negara besar di dunia sejak puluhan tahun yll. Jadi sudah saatnya memberikan kesempatan kepada peneliti Indonesia untuk membangun pondasi kehidupan berbangsa dan bernegara dengan teknologi danilmu pengetahuan yang lahir dari pemikiran dan usaha manusia dan alam asli Indonesia.
Bila kita perhatikan nilai kebocoran uang negara lewat kejadian-kejadian korupsi selama ini, kita sebenarnya dapat mengembangkan pusat penelitian sangat besar dan disegani dunia, bila menggunakan dana yang dapat mengalir ke para koruptor. Tetapi mengapa bisa terjadi uang negara mengalir ke ‘makelarproyek’ dan ‘makelar administrasi’, pada saat para peneliti kita gigit jari kekurangan dana untuk menghasilkan sesuatu dan memberikan nilai tambah ke SDA dan SDM Indonesia ? Para peneliti bukan bermaksud mengemis untuk mendapatkan fasilitas untuk membuat sesuatu bagi negara dan dunia, tetapi ada banyak hal yang tidak dapat dilakukan tanpa campur tangan dan bantuan pemerintah dan masyarakat. Kegiatan penelitian bukanlah hal yang patut disayangkan atau buang-buang uang, karena keberhasilan dan kegagalanpun pasti mempunyai banyak nilai berharga. Bahkan banyak hasil dari kegagalan penelitian dapat melahirkan banyak penemuan baru yang bermanfaat bagi masyarakat nantinya.
Pada saat berkunjung ke instansi penelitian, pendidikan hingga pertahanan Indonesia. Saya sering temukan banyak peneliti hingga tentara yang bangga mengoperasikan produk asing, seakan mereka menemukan sesuatu yang ‘hilang’ dari negeri ini. Tapi mereka tidak sadar sebenarnya mereka hanyalah ‘operator teknologi’ asing. Sehingga pada saat saya tanyakan sistem kerja, olahan data dan control di dalamnya, data mentah dll, mereka tidak tahu. Mereka hanya tahu cara menjalankan dan outputnya saja. Bila terjadi sesuatu, mereka tidak bisa memperbaiki sendiri. Mereka berusaha lewat makelar teknologi, tetapi makelar teknologi juga tidak menhandlingnya, karena mereka hanya perantara dan mengambil komisi saja. Bila minta diperbaiki ke negara produsen, maka biayanya mahal. Sehingga kita banyak dapatkan alat-alat berteknologi tinggi yang mahal saat membelinya, tetapi saat rusak, kita tidak bisa memperbaiki sendiri, dan akhirnya banyak perangkat mahal yang tidak bisa dioperasikan di Indonesia. Bila kita beri angket, milyaran bahkan puluhan triyulan rupiah terbuang karena kita tidak bisa memperbaiki sendiri peralatan tsb dan dalam kondisi mangkrak sekarang. Demikian juga banyak bangunan dan fasilitas yang dibangun dengan bantuan asing dan sekarang tidak terawat karena tidak ada dana untuk memelihara, yang tidak terpikirkan sebelumnya. Jangan bangun kalau tidak bisa memelihara !
Bila kita perhatikan pula para lulusan akademi dan Universitas kita, hampir setiap tahun jutaan pengangguran diproduksi. Kita berlomba-lomba membangun sekolah dan universitas untuk mengejar keuntungan dari bisnis pendidikan, tetapi tanpa mempertimbangkan outputnya. Departemen atau program studipun tidak mempunyai tanggung jawab untuk mendapatkan pekerjaan bagi para lulusannya. Kita didik dan luluskan mahasiswa,kemudian kita biarkan mereka mencari sendiri pekerjaan, dan lembaga pendidikan lepas tangan terhadap mantan anak didik mereka. Mereka hanya welcome terhadap alumni yang berhasil untuk dimintai sumbangan ini itu. Pertanyaan besar mengapa kita membangun sistem pendidikan yang tidak bertanggung jawab terhadap nasib peserta didik ? Peserta didik dan keluarga yang mendukung sistem pendidikan pasti mempunyai harapan besar akan proses dan hasil pendidikan, termasuk tanggungjawab mendapatkan pekerjaan bagi lulusannya.
Selama ini kita perhatikan banyak lulusan lembaga pendidikan baik bidang ilmu alam hingga sosial yang akhirnya hanya mengoperasikan produk, sistem dan peralatan asing, sehingga mereka hanya menjadi ‘operator teknologi’ asing. Apakah ini cita-cita kita dan kita cukup bangga dan cocok menggunakan teknologi-teknologi asing ? Sehingga bila ada produk asing, kita sibuk mempromosikan dan memakai teknologi mereka ? Kita cukup puas dengan menghasilkan alumni yang menjadi operator teknologi asing, jual beli hingga management pemasaran produk asing ? Bahkan para tentara kita sendiri banyak yang bangga dengan produk persenjataan asing tanpa mengetahui isi ‘jeroan’nya. Sehingga kalang kabut bila terjadi kerusakan, bahkan peralatan kita bisa mati sebelum dioperasikan untuk perang. Semua adalah hasil dari penelitian asing yang pasti produk yang kita beli dan peroleh sudah ‘modified’ specification and low technology.
(Ilutrasi)

Kita juga terkadang temukan perangkat penelitian titipan asing di instansi penelitian kita, termasuk radar tanpa kita tahu bagaimana cara membuat dan mengoperasikannya, karena sebagian dioperasikan secara remote dari instansi asal di luar negeri. Sehingga data mentah langsung mereka akses, dan para peneliti kita cukup puas dengan hasil tampilan akhir saja, itupun sebagian dari proyek besar asing. Hal ini berbeda bila kita yang pikirkan, buat dan operasikan sendiri, sehingga kita bisa memfilter setiap data yang akan diberikan ke pihak asing. Informasi cuaca, misalnya, kita sendiri yang harus buat perangkatnya, operasikan dan olah data darimentah hingga tampilannya yang cocok untuk masyarakat dan instansi negara. Segala informasi di dalam negeri ini, harus kita kumpulkan dan olah menggunakan perangkat yang kita buat dan operasikan sendiri, setinggi apapun teknologinya,harus kita buat. Kita harus membangun teknologi yang tertinggi di Indonesia yang dapat menjadi branded product di dunia.
Lembaga pendidikan kita selama ini seharusnya juga berfungsi sebagai lembaga penelitian yang dapat mendukung instansi produksi atau industri, baik negeri maupun swasta yang dapat menambah lapangan pekerjaan baru yang terus berkesinambungan. Kita harus membangun lingkaran sirkulasi positif antara lembaga pendidikan dan industry, dimana lingkaran-lingkaran ini harus kita bangun dalam satu paket-paket tersendiri. Sehingga syarat pembangunan lembaga pendidikan baru harus diikuti dengan jaringan kerjasama dengan perusahaan atau instansi usaha yang memungkinkan untuk menampung para lulusannya nanti. Lembaga pendidikan demikian niscaya akan menjadi favorit bagi calon peserta didik, dan industripun akan tenang dan merasa terjamin atas generasi pegawai barunya yang dapat mendukung kegiatan industrinya. Sehingga kita perlu ubah dari sistem pendidikan yang memproduksi ‘operator teknologi’ menjadi produsen ‘technology maker’ !
Silakan disharing kepada anak, saudara dan kolega Anda ! Terimakasih untuk ikut membangun negeri kita, Indonesia !
Mari kita bangun kepercayaan atas orang dan negeri sendiri, rumah kita bersama, Indonesia !
Salam hangat selalu,
Josaphat TetukoSri Sumantyo

Under Licensed Country : Makelar Teknologi = Transfer Teknologi

Apakah kita cukup bangga sebagai pemakai, perantara dan makelar teknologi atau produk asing ?


Visited Prof Guey Shin Chang, Director of Taiwan National Space Organization (NSPO) to collaborate to develop SAR onboard Solar UAV and GPS-RO microsatellite, 3 September 2014, Taiwan.

Under Licensed Country dan Karoseri Teknologi Asing
Selama menjadi peneliti BPPT dan TNI-AD di Indonesia pada tahun 1989-1999 dan peneliti di Chiba University & ISAS JAXA 2002-sekarang, setiap tahun lebih dari enam kali saya berkunjung ke instansi penelitian dan pendidikan Indonesia, selain untuk mengunjungi mantan mahasiswa saya yang telah banyak kembali ke instansi pemerintah dan swasta di Indonesia. Biasanya juga untuk melakukan ground survey penelitian saya mengenai perubahan lingkungan Indonesia dan pengamatan menggunakan satelit dan peta-peta kuno saya, serta mengumpulkan naskah-naskah lama Indonesia. Setiap terbang dalam negeri Indonesia, saya selalu atur jauh hari untuk mendapatkan posisi kursi dalam pesawat agar mempermudahkan saya melakukan survey perubahaan lingkungan dari dalam pesawat di setiap jalur penerbangan yang sering saya lewati,misalnya jalur pantura Jakarta – Solo, Yogyakarta, Surabaya, Bali, Makassar dll.
Syukur hingga beberapa tahun yang lalu saya selalu menggunakan dana sendiri untuk kunjungan ke Indonesia, walau akhir-akhir ini mulai banyak instansi yang mau membantu untuk akomodasi agar mempermudah saya berkunjung ke Indonesia, terimakasih atas bantuannya ! Saya juga sering mengajak peneliti dan professor Jepang, Amerika, Taiwan, Korea, Malaysia dll yang saya danai mereka agar bisa ikut berkontribusi untuk memajukan pendidikan dan penelitian Indonesia. Walau sering saya menemukan pengalaman lucu, dimana rekan-rekan Indonesia mengira saya yang dibayari oleh orang asing, sehingga mereka terpusat menjamu orang asing dan melupakan saya, maklum juga itu adalah salah satu etika buruk orang Indonesia, bahkan orang terdidikpun selama ini. Saya perhatikan banyak rekan Indonesia secara psikologi keilmuan merasa di bawah orang asing, sehingga memberikan penghormatan yang berlebihan dan sebaliknya tidak dapat menghargai kemampuan sendiri dan orang Indonesia lainnya.
Pada saat berada di instansi penelitian, pertahanan dan keamanan dll saya perhatikan adanya kebanggaan akan produk asing. Sehingga pada saat saya tanyakan apa produk atau usaha Anda untuk meningkatkan mutu, efisiensi, keakuratan pekerjaan Anda ? Semua hampir tidak bisa menjawab. Bila kita tidak bisa menjawab, lalu selama ini apa yang bisa kita kontribusikan kepada masyarakat dari hasil pekerjaan kita sehari-hari ? Sebenarnya kita, orang Indonesia berangkat setiap pagi dan pulang sore untuk bekerja bukan hanya untuk meningkatkan pendapatan yang bisa mencukupi kehidupan sehari-hari diri sendiri dan keluarga, tetapi kita bekerja keras untuk masyarakat, negara dan dunia. Pada saat kita bekerja agar kita dapat memberikan yang terbaik untuk dunia, maka kita perlu perlengkapan yang baik, bermutu, berefisien tinggi, harga murah, akurat hingga ‘cantik’ atau cocok dan mudah dipakai sehari-hari, dari hanya pensil, ballpoint hingga pesawat tempur.
Alat-alat tersebut adalah barang-barang sehari-hari yang ada di sekitar kita hingga perlengkapan tercanggih untuk pertahanan dan keamanan negara. Kita masih sering temukan perlengkapan kecil hingga besar yang berlabelkan made in (buatan) negara asing yang mutunya tidaklah sebagus yang kita harapkan. Seakan negara kita ini adalah laboratorium atau kelinci percobaan bagi negara-negara asing untuk menguji produk-produk mereka. Negara asing sangat beruntung mendapat income besar dari hasil penjualan produk teknologi rendah (low technology) mereka, berupa barang-barang bermutu rendah dan terkadang membahayakan kita. Hasil keuntungan tersebut menjadi pemasukan mereka untuk mengembangkan teknologi yang lebih bagus, dan kita menjadi pasar mereka lagi untuk mendapatkan produk yang lebih mahal. Hasil pemasukan mereka dari penjualan produk di Indonesia dapat menghidupi peneliti-peneliti asing, pada saat peneliti-peneliti kita kekurangan dana dan pendapatan, sehingga sudah menjadi rahasia umum mereka banyak mempunyai pekerjaan kedua ketiga dsb berupa mengajar di beberapa universitas, wiraswasta, jual-beli saham dll. Bila kita beri angket kepada seluruh peneliti kita akan pekerjaan kedua, ketiga dst (side business), bisa kita petakan kondisi sebenarnya kwalitas peneliti kita dan proyeksikan terhadap hasil penelitian selama ini, berikut kontribusinya pada kemajuan negara dan dunia. Walau tidak disalahkan seorang peneliti juga mengajar di universitas lain untuk mendapatkan tambahan pendapatan, tetapi bila seorang peneliti juga merangkap menjadi dosen dibeberapa Universitas, sebenarnya dia telah mengambil lapangan pekerjaan untuk orang lain pula, sehingga lapangan pekerjaan berkurang. Bahkan banyak peneliti lembaga penelitian yang mempunyai jabatan sebagai ketua jurusan atau dekan dll, sehingga pekerjaan yang seharusnya sebagai peneliti tertinggalkan untuk pekerjaan ‘administrasi’. Akhirnya yang terkorbankan adalah masyarakat dan negara, karena seharusnya mereka dipekerjakan untuk meneliti, tetapi merangkap pekerjaan yang menjauhkan dari kegiatan penelitian sendiri.
Profesi peneliti memerlukan konsentrasi tersendiri yang berlanjut untuk dapat menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi sang peneliti sendiri, instansi, masyarakat dan dunia. Profesi peneliti di negara mana saja hampir saya dalam artian berkorban waktu, dana, perasaan dll untuk menghasilkan suatu produk dan pengetahuan yang cocok, bermanfaat, efisien, murah dll sesuai manusia dan lingkungan negaranya, bahkan untuk dunia. Masih banyaknya masyarakat yang silau dan terkagum-kagum akan produk hasil teknologi dan ilmu pengetahuan negara asing, dapat diartikan sebagai masih rendahnya hasil para peneliti dan dukungan serta kepercayaan pemerintah dan masyarakat untuk membuat produk yang cocok untuk kita sendiri.
(Ilustrasi)

Seringnya kunjungan ke Indonesia dalam puluhan tahun terakhir, saya sering perhatikan di bungkusan produk-produk di pasar tradisional, super market, toko swalayan, warung dll yang tertuliskan ‘under license …’. Hampir separuh lebih produk yang dikonsumsi masyarakat kita tertera kalimat ini. Sejak merdeka, sudah 69 tahun masihkan kita harus tergantung pada negara lain untuk produk yang dikonsumsi oleh masyarakat kita, terutama obat-obatan, makanan kaleng, bungkus kering, sepedamotor, mobil, bahkan pesawat terbang. Walau ada perusahaan mobil, pesawat, kapal dll di Indonesia, kalau kita cermati baik-baik, ternyata mesin, sistem elektronik dll di dalamnya juga under license negara lain, walau saat launching mereka menggembor-gemborkan sebagai produk anak bangsa. Sepertinya ada kesalahan persepsi terhadap ‘produk anak bangsa’, karena kita sering melihat dari tampilan produk saja, tanpa teliti melihat jeroan produk tsb. Kita menginginkan negara mandiri teknologi dan ilmu pengetahuan, bukan negara pembungkus teknologi asing dengan hanya merakit dan membungkus dengan bodinya saja, kemudian mempromosikan sebagai ‘produk anak bangsa’. Kita bukan ‘karoseri teknologi asing’. Jangan salah artikan capaian teknologi bisa dicapai hanya dengan merakit dan membangun bodi mobil, pesawat, kapal dll, dimana didalamnya ternyata komponen produk asing.

Salam hangat selalu,
Josaphat TetukoSri Sumantyo

Indonesia Tertarik dengan Wiesel 2

marder-920-11.jpg
IFV Marder

Manager program Rheinmetall Jerman, Michael Kerwin, mengaku tidak yakin apakah penjualan alutsista di masa depan ke Indonesia akan mendapatkan persetujuan ekspor dari Pemerintah Jerman, tetapi ia berharap dapat menjual lebih banyak IFV Marder ke Indonesia.
Pernyataan ini diunngkapkan oleh Aviationweek dalam Tulisan Nicholas Fiorenza, 15 September 2014, yang berjudul: Indonesia Muscles Up Its Military.
Dari ucapannya itu bisa ditafsirkan Indonesia ingin membeli IFV Marder lebih banyak dan jika melihat persyaratan pembelian alutsista, maka harus ada transfer technology untuk pembelian itu. Apakah Indonesia membidik IFV Marder sebagai basis pengembangan IFV atau tank Nasional. Masih tanda tanya.
Rencana pembelian Tank Leopard dan IFV Marder, memang sempat mendapatkan penentangan dari partial kecil di Jerman. Namun pembelian itu, akhirnya berjalan lancer.
Yang menjadi pertanyaaan, mengapa manager produksi Rheinmetall sempat menyangsikan penjualan tambahan IFV Marder ke Indonesia. Di mana persoalannya ?.
Pembelian IFV Marder dilakukan sebelum Indonesia disetujui untuk membeli helikopter Apache oleh AS. Jika AS saja sudah mengijinkan pembelian Apache Guardian, tentu bukanlah barang mewah bagi Jerman untuk menyetujui penjualan IFV Marder lebih banyak. Apalagi IFV Marder mulai dipensiunkan oleh Jerman, untuk diganti dengan IFV Puma.
Wiesel 2
Wiesel 2

Ada pernyataan lain dari Michael Kerwin bahwasannya Indonesia dan Jerman (Rheinmetall) sempat sepakat untuk memproduksi kendaraan lapis baja Wiesel 2 di Indonesia. Namun upaya itu terganjal lisensi ekspor yang keluar terlambat.
“The company plans to bring the Wiesel 2 armored vehicle to the Indodefense trade show in Jakarta this November after a deal to produce it in Indonesia fell through because the export license arrived late”, ujar Michael Kerwin.
Rheinmetall berencana membawa kendaraan lapis baja Wiesel 2 pada pameran Indodefense di Jakarta November ini, setelah kesepakatan untuk memproduksinya di Indonesia gagal karena lisensi ekspor muncul terlambat. Tampaknya Rheinmetall ingin mencoba lagi keberuntungan mereka.
Wiesel 2
Wiesel 2

Wiesel 2 (musang) merupakan kendaraan lapis baja yang bersifat airportable, dan pengembangan lebih lanjut dari Wiesel 1. Wiesel 2 memiliki ukuran yang lebih panjang dan mesin yang lebih kuat dan kini digunakan oleh militer Jerman.
Wiesel 2 strategis bagi pasukan airborne, karena bersifat multi-purpose, untuk digunakan dalam berbagai misi, termasuk pengintaian, komando dan kontrol, pengawasan medan perang, anti-tank dan anti-pesawat tempur.
Kendaraan memberikan perlindungan yang lebih baik untuk kru dan juga dilengkapi dengan sistem proteksi NBC.
Wiesel 2
Wiesel 2

Sebuah varian APC Wiesel 2 dapat membawa 4 tentara lengkap dengan atap yang dipasang kubah senjata 7,62 mm serta senapan mesin terpasang di luar. Pasukan masuk dan meninggalkan kendaraan melalui dua pintu di bagian belakang.
Kendaraan ini didukung oleh mesin diesel Audi TDI, dengan power 109 tenaga kuda. Wiesel 2 dapat dengan mudah dibedakan dari varian sebelumnya dengan melihat roda jalan tambahan dari kedua sisi lambung kendaraan. (Aviationweek).