Makelar Teknologi
Mari kita sadari selama 69 tahun sejak merdeka, bahwa kita sudah
membangun sistem ‘Makelar Teknologi’ raksasa yang mengusai hampir
seluruh tatanan departemen dalam pemerintah pusat hingga daerah, serta
swasta. Perpanjangan tangan pemerintah hingga swasta asing banyak sekali
di Indonesia dan mereka seolah ikut membangun negeri ini. Peneliti
Indonesia mendapat posisi dilemma, dimana bila mereka membuat produk
baru menggunakan material dalam negeri dan berharga murah akan menjadi
pesaing bagi produk asing, sehingga agen-agen dalam pemerintah dan
swasta merasa tersaingi, sehingga produk-produk perundanganpun kurang
mendukung untuk kegiatan penelitian produk dalam negeri yang dapat
membangkitkan semangat para peneliti kita. Tarik ulur profit antara
mengembangkan dan memproduksi sendiri dengan hanya mendapatkan komisi
sebagai makelar teknologi asing, masih sangat kental di Indonesia.
Saatini kita masih lebih menguntungkan menjadi makelar teknologi dengan
mendapatkan komisi dari penjualan produk asing. Sehingga harga barang
lebih mahal, karena kita harus menyisipkan komisi bagi banyak pihak,
yaitu makelar, orang dalam, perantara dll, bahkan marked up harga
merupakan kebiasaan tepatnya budaya bisnis Indonesia dalam pengadaan
barang. Sehingga pada saat kita membeli produk asing tersebut dengan
harga mahal dapat berarti kita membeli terlalu mahal ‘kebodohan’ kita.
Hal lucu bila kita menanamkan modal (invest) terus untuk mempertahankan
kebodohan kita selama ini, khususnya sejak kemerdekaan. Kalau kita
perhatikan, komisi tersebut tidaklah terlalu besar dibandingkan devisa
yang mengalir ke luar negeri. Apakah kita cukup bangga sebagai pemakai, perantara dan makelar teknologi atau produk asing ?
Komisi sebagai perantara memang dapat menghidupi sebagian besar
agen-agen atau makelar teknologi di Indonesia. Tetapi mengalirnya devisa
karena kita membeli produk asing, kita dapat menghidupi lebih banyak
orang di luar negeri. Apakah tidak terpikir selama ini untuk membangun
basis-basis teknologi yang dapat mendukung produk-produk yang dibutuhkan
oleh orang Indonesia ? Jumlah penduduk 250 juta orang merupakan power
atau kekuatan sangat besar sekali yang dapat menggerakkan Indonesia dan
dunia. Bahkan kita bisa menguasai dunia ini hingga planet lain dengan
memanfaatkan material yang ada di Indonesia sebelum disedot habis ke
negara lain untuk membuat produklain yang akhirnya dijual kembali ke
Indonesia dengan harga lebih mahal.
Kita membangun banyak universitas dan lembaga pendidikan selama ini,
kita mendidik ratusan juta anak-anak kita dengan memberikan berbagai
macam ilmu. Tetapi kalau kita kupas lebih dalam, isi ilmu pengetahuan
dan teknologi yang kita sampaikan kepada mereka, ternyata adalah hasil
pemikiran orang asing, baik ilmu eksakta, budaya hingga agama hampir
semua ‘under licensed’ negara asing. Banyak yang bangga setelah
menguasainya, bahkan menganggap ini semua yang terbaik untuk kita, tapi
kita telah melakukan kesalahan besar di sini dengan tidak memberikan
ruang pemikiran untuk pengembangan berdasarkan cara pikir dan alam
Indonesia ! Kajian ilmu sosialpun banyak kita dapatkan menggunakan
metoda pendekatan pemikiran orang asing. Walau cara pemikiran orang
asing semua tidaklah buruk, tetapi mengapa kita tidak memikirkan sendiri
dengan alur pikiran, budaya, etika, tata krama dll yang telah kita
miliki selama ini ? Teknologi dan ilmu pengetahuan yang paling cocok,
adalah teknologi dan ilmu pengetahuan yang lahir dari manusia dan alam
Indonesia. Mari kita lebih banyak berdiskusi dan berkreasi untuk
membangun teknologi dan ilmu pengetahuan Indonesia berdasarkan pemikiran
dan material yang bersumberkan SDA dan SDM Indonesia untuk melahirkan
teknologi dan ilmu pengetahuan yang cocok dan nyaman dipakai oleh orang
Indonesia. Niscaya suatu saat makelar teknologi kita selama ini dapat
membantu kita, tidak hanya menjajakan produk kita di dalam negeri,
tetapi bahkan ke luar negeri bersamaan memperkenalkan budaya, etika,
tata krama dan kepercayaan asli Indonesia. Semua akan happy atau senang
dapat meningkatkan pendapatan atau devisa negara, sehingga kegiatan
penelitian dan pendidikanpun dapat terus meningkat !
Operator Teknologi
Saya pribadi, sejak kecil selalu berusaha berpikir, membuat hingga
mengoperasikannya sendiri segala sesuatu. Saat kecil tinggal di dalam
Pangkalan Udara TNI-AU yaitu Lanud Sulaiman – Bandung dan Lanud
Adisumarmo – Solo, dimana sering membuat mainan sendiri, baik mainan
ringan hingga membuat pistol dan bom sendiri. Radio, amplifier, radio
amateur, gerobak, terowongan, teropong kapal selam, pesawat
aeromodelling dll. Percobaan juga sering dilakukan sendiri atau bersama
adik (Frans) dan teman-teman anak kolong sekitar(Tutut dll). Kecelakaan
percobaan sering terjadi, termasuk jari telunjuk tangan kananpun hampir
putus karena terkena ledakan mesiu pistol di telapak tangan. Banyak hal
yang sering membuat repot Ibu dan Bapak saya, bahkan para tetangga,
sehingga sering disebut ‘anak aneh’ di dalam komplek dan kampung
sekitar.
Setelah menjadi peneliti BPPT, TNI-AD hingga Chiba University &
ISAS-JAXA, saya pribadi sering keluar masuk instansi pendidikan dan
penelitian dunia, termasuk Indonesia. Nilai kebanggaan peneliti di
masing-masing negarapun berbeda terhadap hasil pekerjaan dan produk
mereka. Bila berkunjung ke Indonesia, banyak kita temukan peneliti kita
yang kebingungan mendapatkan alat ukur ini itu. Sehingga saya sering
membantu mereka untuk mendapatkan dan meminjamkan alat ukur, material
penelitian, bantuan konsultasi dll. Kurangnya dukungan alat bantu
penelitian juga sangatmenghambat proses penelitian sendiri. Sehingga
saat saya diangkat menjadi Associate Professor di Chiba University, maka
pertama kali yang saya bangun adalah perlengkapan penelitian microwave,
khususnya radar, pesawat tanpa awak (UAV) dan satelit sendiri. Syukur
saat ini sudah lengkap, bahkan terlengkap di Jepang, sehingga saya tidak
perlu pinjam ke instansi lain, sebaliknya banyak peneliti Jepang dan
asingpun sering pinjam ke laboratorium saya. Ini semua impian saya saat
di Indonesia, khususnya saat menjadi peneliti pada tahun 1989-1999,
sayang sekali saat ini malah didukung di luar negeri.
Saya kira banyak peneliti di Indonesia yang mempunyai perasaan dan
cita-cita seperti saya, tetapi perhatian dari masyarakat &
pemerintah kurang. Kita sadar masyarakat dan pemerintah juga mempunyai
pemikiran dan prioritas tersendiri untuk membangun negeri, tetapi kita
sudah 69 tahun merdeka, terlalu lama untuk pikun atau melupakan kondisi
peneliti kita. Bagaikan badan kita, peneliti adalah otak dalam tubuh
kita, bila otak tidak pernah diasah, maka kita akan menjadi pengemis
‘teknologi dan ilmu pengetahuan’asing terus. Bila kita akumulasikan dana
yang mengalir keluar negeri untuk membayar produk-produk yang
seharusnya dapat dibuat di Indonesia sebagai hasil penelitian kita, maka
seharusnya kita sudah menjadi negara besar di dunia sejak puluhan tahun
yll. Jadi sudah saatnya memberikan kesempatan kepada peneliti Indonesia
untuk membangun pondasi kehidupan berbangsa dan bernegara dengan
teknologi danilmu pengetahuan yang lahir dari pemikiran dan usaha
manusia dan alam asli Indonesia.
Bila kita perhatikan nilai kebocoran uang negara lewat
kejadian-kejadian korupsi selama ini, kita sebenarnya dapat
mengembangkan pusat penelitian sangat besar dan disegani dunia, bila
menggunakan dana yang dapat mengalir ke para koruptor. Tetapi mengapa
bisa terjadi uang negara mengalir ke ‘makelarproyek’ dan ‘makelar
administrasi’, pada saat para peneliti kita gigit jari kekurangan dana
untuk menghasilkan sesuatu dan memberikan nilai tambah ke SDA dan SDM
Indonesia ? Para peneliti bukan bermaksud mengemis untuk mendapatkan
fasilitas untuk membuat sesuatu bagi negara dan dunia, tetapi ada banyak
hal yang tidak dapat dilakukan tanpa campur tangan dan bantuan
pemerintah dan masyarakat. Kegiatan penelitian bukanlah hal yang patut
disayangkan atau buang-buang uang, karena keberhasilan dan kegagalanpun
pasti mempunyai banyak nilai berharga. Bahkan banyak hasil dari
kegagalan penelitian dapat melahirkan banyak penemuan baru yang
bermanfaat bagi masyarakat nantinya.
Pada saat berkunjung ke instansi penelitian, pendidikan hingga
pertahanan Indonesia. Saya sering temukan banyak peneliti hingga tentara
yang bangga mengoperasikan produk asing, seakan mereka menemukan
sesuatu yang ‘hilang’ dari negeri ini. Tapi mereka tidak sadar
sebenarnya mereka hanyalah ‘operator teknologi’ asing. Sehingga pada
saat saya tanyakan sistem kerja, olahan data dan control di dalamnya,
data mentah dll, mereka tidak tahu. Mereka hanya tahu cara menjalankan
dan outputnya saja. Bila terjadi sesuatu, mereka tidak bisa memperbaiki
sendiri. Mereka berusaha lewat makelar teknologi, tetapi makelar
teknologi juga tidak menhandlingnya, karena mereka hanya perantara dan
mengambil komisi saja. Bila minta diperbaiki ke negara produsen, maka
biayanya mahal. Sehingga kita banyak dapatkan alat-alat berteknologi
tinggi yang mahal saat membelinya, tetapi saat rusak, kita tidak bisa
memperbaiki sendiri, dan akhirnya banyak perangkat mahal yang tidak bisa
dioperasikan di Indonesia. Bila kita beri angket, milyaran bahkan
puluhan triyulan rupiah terbuang karena kita tidak bisa memperbaiki
sendiri peralatan tsb dan dalam kondisi mangkrak sekarang. Demikian juga
banyak bangunan dan fasilitas yang dibangun dengan bantuan asing dan
sekarang tidak terawat karena tidak ada dana untuk memelihara, yang
tidak terpikirkan sebelumnya. Jangan bangun kalau tidak bisa memelihara !
Bila kita perhatikan pula para lulusan akademi dan Universitas kita, hampir setiap tahun jutaan pengangguran diproduksi. Kita
berlomba-lomba membangun sekolah dan universitas untuk mengejar
keuntungan dari bisnis pendidikan, tetapi tanpa mempertimbangkan
outputnya. Departemen atau program studipun tidak mempunyai
tanggung jawab untuk mendapatkan pekerjaan bagi para lulusannya. Kita
didik dan luluskan mahasiswa,kemudian kita biarkan mereka mencari
sendiri pekerjaan, dan lembaga pendidikan lepas tangan terhadap mantan
anak didik mereka. Mereka hanya welcome terhadap alumni yang berhasil
untuk dimintai sumbangan ini itu. Pertanyaan besar mengapa kita
membangun sistem pendidikan yang tidak bertanggung jawab terhadap nasib
peserta didik ? Peserta didik dan keluarga yang mendukung sistem
pendidikan pasti mempunyai harapan besar akan proses dan hasil
pendidikan, termasuk tanggungjawab mendapatkan pekerjaan bagi
lulusannya.
Selama ini kita perhatikan banyak lulusan lembaga pendidikan baik
bidang ilmu alam hingga sosial yang akhirnya hanya mengoperasikan
produk, sistem dan peralatan asing, sehingga mereka hanya menjadi
‘operator teknologi’ asing. Apakah ini cita-cita kita dan kita cukup
bangga dan cocok menggunakan teknologi-teknologi asing ? Sehingga bila
ada produk asing, kita sibuk mempromosikan dan memakai teknologi mereka ?
Kita cukup puas dengan menghasilkan alumni yang menjadi operator
teknologi asing, jual beli hingga management pemasaran produk asing ?
Bahkan para tentara kita sendiri banyak yang bangga dengan produk
persenjataan asing tanpa mengetahui isi ‘jeroan’nya. Sehingga kalang
kabut bila terjadi kerusakan, bahkan peralatan kita bisa mati sebelum
dioperasikan untuk perang. Semua adalah hasil dari penelitian asing yang
pasti produk yang kita beli dan peroleh sudah ‘modified’ specification
and low technology.
Kita juga terkadang temukan perangkat penelitian titipan asing di
instansi penelitian kita, termasuk radar tanpa kita tahu bagaimana cara
membuat dan mengoperasikannya, karena sebagian dioperasikan secara
remote dari instansi asal di luar negeri. Sehingga data mentah langsung
mereka akses, dan para peneliti kita cukup puas dengan hasil tampilan
akhir saja, itupun sebagian dari proyek besar asing. Hal ini berbeda
bila kita yang pikirkan, buat dan operasikan sendiri, sehingga kita bisa
memfilter setiap data yang akan diberikan ke pihak asing. Informasi
cuaca, misalnya, kita sendiri yang harus buat perangkatnya, operasikan
dan olah data darimentah hingga tampilannya yang cocok untuk masyarakat
dan instansi negara. Segala informasi di dalam negeri ini, harus kita
kumpulkan dan olah menggunakan perangkat yang kita buat dan operasikan
sendiri, setinggi apapun teknologinya,harus kita buat. Kita harus
membangun teknologi yang tertinggi di Indonesia yang dapat menjadi
branded product di dunia.
Lembaga pendidikan kita selama ini seharusnya juga berfungsi sebagai
lembaga penelitian yang dapat mendukung instansi produksi atau industri,
baik negeri maupun swasta yang dapat menambah lapangan pekerjaan baru
yang terus berkesinambungan. Kita harus membangun lingkaran sirkulasi
positif antara lembaga pendidikan dan industry, dimana
lingkaran-lingkaran ini harus kita bangun dalam satu paket-paket
tersendiri. Sehingga syarat pembangunan lembaga pendidikan baru harus
diikuti dengan jaringan kerjasama dengan perusahaan atau instansi usaha
yang memungkinkan untuk menampung para lulusannya nanti. Lembaga
pendidikan demikian niscaya akan menjadi favorit bagi calon peserta
didik, dan industripun akan tenang dan merasa terjamin atas generasi
pegawai barunya yang dapat mendukung kegiatan industrinya. Sehingga kita
perlu ubah dari sistem pendidikan yang memproduksi ‘operator teknologi’
menjadi produsen ‘technology maker’ !
Silakan disharing kepada anak, saudara dan kolega Anda ! Terimakasih untuk ikut membangun negeri kita, Indonesia !
Mari kita bangun kepercayaan atas orang dan negeri sendiri, rumah kita bersama, Indonesia !
Salam hangat selalu,
Josaphat TetukoSri Sumantyo