Daerah Yang Dikuasai ISIS di Irak Makin Meluas (Sumber : foxct.com)
Pada hari Selasa, 19 Agustus 2014 Negara
Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang kini merubah namanya menjadi Negara
Islam (Islamic State) merilis sebuah video pemenggalan kepala terhadap
wartawan Amerika Serikat, James Foley, di YouTube. Dalam video terlihat
Foley sedang berlutut di samping seorang pria berpakaian hitam. Ia
membaca pesan yang mungkin ditulis pada penculiknya bahwa “pembunuh
sesungguhnya” adalah Amerika. Tak lama setelah itu, kepala Foley
dipenggal dengan sebilah pisau.
James Foley ditangkap ISIS pada 22
November 2012 saat bertugas untuk GlobalPost di Suriah bagian barat
laut, dekat perbatasan dengan Turki. Video itu juga menunjukkan sosok
jurnalis lain asal AS yang diyakini sebagai Steven Sotloff, kontributor
Time yang diculik pada 2013 di Suriah. ISIS juga mengeluarkan ancaman
AS bahwa nyawa Steven Sotloff, berada di bawah “keputusan Obama”. Jika
Obama tidak menarik pasukannya dari Irak, Steven akan bernasib sama
dengan Foley.
Menanggapi kasus pemenggalan Foley,
Presiden AS Barack Obama menanggapi di Convention Center Charlotte di
Charlotte, NC, Selasa, 26 Agustus, 2014. "Pesan kami kepada siapa saja
yang merugikan orang-orang, Amerika tidak lupa, jangkauan kita panjang,
kita sabar, keadilan akan dilakukan. Kita akan melakukan apa yang
diperlukan untuk menangkap orang-orang yang menyakiti orang Amerika, dan
kami akan terus mengambil tindakan langsung di mana diperlukan untuk
melindungi rakyat kami dan untuk mempertahankan tanah air kita.,"
tegasnya. Obama berjanji akan menegakkan keadilan atas pembunuhan Foley.
Ia menyebut tindakan kekerasan ini “mengejutkan nurani seluruh dunia”.
Apakah dengan tindakan pelaku dari
anggota Islamic State (IS) itu lantas Amerika akan mengerahkan kekuatan
pasukan ke Irak dan Suriah? Nampaknya tidak juga. Nampaknya Presiden
Obama telah banyak belajar dari pengalaman keterlibatan langsung AS di
luar negeri tentang pengerahan kekuatan yang dinilainya lebih banyak
mudaratnya dibandingkan manfaatnya.
Kebijakan pemerintahan Obama terlihat
lebih realistis, mengurangi pengiriman pasukan sejak Juni 2011.
Kebijakan pemerintahan sebelumnya dari Presiden George Bush adalah
mengejar dan meniadakan ancaman terorisme dari Al-Qaeda terhadap
keamanan nasional serta melumpuhkan negara pendukung terorisme. Dimana
sumber terorisme dilenyapkan dari Afghanistan, Irak dan Libya, serta
peniadaan tokoh teror dengan operasi intelijen kontra terorisme
dibeberapa negara seperti di Yaman dan Pakistan.
Perubahan kebijakan pemerintah AS
terlihat sejak tanggal 22 Juni 2011, dimana Presiden Obama mengeluarkan
penyataan bahwa negara yang menjadi basis serangan ke daratan AS pada
peristiwa 11 September 2001, kini sudah bukan merupakan ancaman teror
terhadap AS. "Gelombang perang telah surut, dan kini sudah saatnya AS
membangun negara," tegas Obama. Pejabat berwenang AS mengatakan bahwa
penggantian operasi tempur akan digantikan dan lebih difokuskan pada
operasi kontraterorisme rahasia, seperti yang dilakukan saat melakukan
penyergapan terhadap pimpinan Al-Qaeda, Osama bin Laden. Kasus tersebut
dijadikan sebagai sebuah bukti utama Presiden Obama untuk kebijakan
pengurangan substansial pasukan Amerika tersebut.
Kebijakan AS telah bergeser, menilai
bahwa ancaman lain yang jauh lebih berbahaya dan merugikan akan berasal
dari ulah China. Amerika akan fokus melakukan pengamanan ke kawasan
jalur laut China Selatan yang merupakan salah satu urat nadi jalur
ekonominya. China dinilainya mulai berulah, nah jawabannya adalah geser
pasukan dengan pertimbangan anggaran yang tersedia dan potensi
ancaman. Presiden Obama menegaskan, "Ketika terancam, kita harus
merespon dengan kekuatan," katanya. “But when that force can be targeted, we need not deploy large armies overseas,” jelasnya.
Islamic State Dalam Pandangan Amerika Serikat
ISIS atau Islamic State dibawah
kepemimpinan Abu Bakr al-Baghdadi kini merupakan sebuah kekuatan
penempur bersenjata yang sangat diperhitungkan baik oleh negara-negara
di kawasan Timur Tengah maupun negara-negara lainnya. Kemunculan
kekuatan ini dengan berdera hitamnya telah menimbulkan rasa takut jauh
melebihi psywar yang dilakukan oleh Al-Qaeda. Tujuan dari Osama Bin
Laden juga untuk menciptakan negara Islam, tapi ia sering mengatakan
bahwa itu akan tercapai dalam beberapa tahun lagi dan hanya dapat
dicapai di bawah kondisi yang tepat. ISIS terlihat lebih percaya diri,
dan mengeluarkan pernyataan dengan merubah nama ISIS (Islamic Ctate for
Iraq and Suriah) menjadi Islamic State dan menegaskan bahwa
kekhalifahan telah tiba.
Dalam melihat kelompok bersenjata
Islamic State, sulit untuk dibayangkan hanya dari satu sisi. Melihat
sebuah gerakan yang mendadak demikian populer, kuat dan berpengaruh,
kita jangan terjebak dalam penilaian satu sisi belaka. Ini sebuah
gerakan politik bersenjata yang dibangun dengan sebuah perencanaan
matang dengan memperhitungkan kondisi yang berlaku. ISIS yang pada
awalnya adalah gerakan sempalan dari Al-Qaeda kemudian lepas dan berdiri
sendiri dengan teori kekhalifahannya.
Dipermukaan yang nampak adalah gerakan
bersenjata IS mampu memporak porandakan dan menggiriskan kekuatan
penguasa penganut Islam Syiah di Irak. Pasukan Irak di kota Mosul
dikabarkan tunggang langgang ketika para pejuang IS menyerbu. Kemudian
pasukan al-Baghdadi ini berusaha melebarkan sayap ke Suriah, dengan
berani berbenturan dengan Jabhat al-Nusra yang merupakan perwakilan
resmi Al-Qaeda. Sementara dilain sisi dari informasi pembocoran mantan
pegawai NSA (Edward Snowden), menyatakan bahwa ISIS adalah bentukan CIA,
MI6 dan Mossad dalam rangka destabilisasi kawasan Timur Tengah dan
dalam rangka memancing bersatunya jaringan terorisme seluruh dunia.
Yang terjadi kini adalah benturan
kepentingan AS dalam menangani IS, dimana dari pengalaman masa lalu saat
konflik di Afghanistan antara pejuang Mujahidin (Taliban dan Al-Qaeda)
yang dibantu AS, kemudian sejarah mencatat Al-Qaeda menjadi musuh
utamanya yang mampu meruntuhkan simbol kebanggaan AS dalam peristiwa
tragedi 911. Kemudian pimpinan Al-Qaeda (Osama bin-Laden dikejar selama
10 tahun hingga tewas).
Dalam menanggapi ISIS (IS), Presiden
Obama lebih menekankan bahwa AS akan menangkap pembunuh James Foley demi
keadilan. Dalam menanggapi kemungkinan AS untuk memperluas perang
melawan ISIS ke Suriah, Obama memperingatkan bahwa "Sejarah mengajarkan
kita tentang bahayanya tindakan yang melampaui batas dan penyebaran
kekuatan, kemudian mencoba untuk pergi sendiri tanpa dukungan
internasional, atau bergegas ke petualangan militer tanpa memikirkan
konsekuensinya."
Obama juga mengatakan bahwa serangan
terhadap ISIS telah dibatasi untuk melindungi pasukan AS dan diplomat di
Irak, dia menegaskan kembali bahwa pasukan AS tidak akan dikirim
kembali selain dalam kapasitasnya sebagai penasihat. "Saya katakan
lagi, pasukan tempur Amerika tidak akan kembali untuk berperang di Irak.
Kami tidak akan mengizinkan Amerika Serikat untuk diseret kembali ke
perang darat lain di Irak karena, pada akhirnya, terserah kepada rakyat
Irak untuk menjembatani perbedaan mereka dan mengamankan diri mereka
sendiri," tegas Presiden Obama.
Beberapa pejabat dan analis mengeluarkan
pernyataan terkait dengan perkiraan ancaman masa datang dari ISIS (IS),
seperti Menteri Pertahanan AS, Chuck Hagel menyebut Negara Islam di
Irak dan Suriah itu merupakan "ancaman." Dilain sisi sekretaris pers
Pentagon, Rear Adm. John Kirby mengatakan bahwa penilaian dari
Departemen Pertahanan AS tidak mempercayai bahwa ISIS memiliki
"kemampuan saat ini untuk melakukan serangan besar terhadap tanah air
AS." Ditegaskan Kirby, "Kami percaya bahwa mereka memiliki aspirasi
untuk menyerang sasaran Barat," katanya.
Dilain kesempatan, Ketua Kepala Staf
Gabungan, Jenderal Martin Dempsey E, mengatakan bahwa ambisi kelompok
ISIS (IS) adalah untuk merubah wilayah Timur Tengah termasuk Israel,
Yordania, Kuwait dan Suriah menjadi bagian kekhalifahannya. "Kalau untuk
mencapai visi itu, secara fundamental akan mengubah wajah Timur Tengah
dan menciptakan lingkungan keamanan yang pasti akan mengancam kita dalam
banyak hal," kata Dempsey.
"Saya khawatir tentang Turki, aku
khawatir tentang Jordan, aku khawatir tentang destabilisasi regional,"
kata Jarret Brachman, penasihat pemerintah AS khusus masalah ISIS dan Al
Qaeda."Kami prihatin tentang ancaman yang ditimbulkan oleh ISIS, tapi
dari penilaian, seperti yang dinyatakan oleh Ketua Gabungan Kepala Staf,
dan oleh komunitas intelijen, bahwa ada saat ini tidak plot aktif di
bawah cara untuk menyerang tanah air AS, Sekretaris Pers Gedung Putih
Josh Earnest mengatakan kepada wartawan.
Menteri Luar Negeri AS, John Kerry
menyampaikan pernyataan keras menegaskan bahwa ISIS berwajah "Jelek,
biadab, tak dapat dijelaskan, nihilistik, dan kejahatan tidak
bernilai. ISIS dan kefasikan itu harus dihancurkan, dan mereka harus
bertanggung jawab keji, kekejaman setan ini harus bertanggung jawab,"
katanya.
Dari beberapa pernyataan pejabat AS dan
analis intelijen, nampaknya mereka menilai bahwa pada saat ini ISIS (IS)
bukanlah merupakan ancaman nasional Amerika Serikat, itulah intinya. IS
kini tidak mampu mencapai mainland-nya. Amerika Serikat merasa tidak
terancam, sehingga tidak perlu merespon dengan kekuatan. Pendapat
Presiden Obama mendapat dukungan dari beberapa pejabatnya. Hanya Menhan
Chuck Hagel menyatakan ISIS tetap merupakan ancaman dan John Kirby
mempercayai banhwa IS mempunyai aspirasi menyerang sasaran Barat.
Perkiraan Ancaman Islamic State Di Masa Datang
Beberapa negara-negara Barat kini mulai
mengkhawatirkan bahwa keterlibatan warganya pada saat kembali ke
negaranya akan menimbulkan ancaman tersendiri. mereka bisa saja
melakukan tindakan seperti yang diarahkan oleh pimpinan IS, seperti
melakukan serangan bersenjata, bom bunuh diri dan mengembangkan faham
Islamic State versi al-Baghdadi yang keras, dan kejam.
Inggris memperkirakan bahwa lebih 500
orang warganya telah pergi ke Suriah sejak pemberontakan dimulai.
Juru bicara Kedutaan Besar Inggris di Washington, Jessica
Jennings mengatakan, "Jelas, itu sangat sulit untuk memberikan angka
yang tepat tentang hal ini," katanya.
Sementara Kementerian Dalam Negeri
Perancis memperkirakan sekitar 900 warga Prancis saat ini melakukan
jihad di Suriah, Irak dan Libya.
Badan intelijen Jerman menyatakan bahwa tecatat sekitar 300 warga negara Jerman telah melakukan perjalanan ke Suriah.
Sekretaris Pers Gedung Putih Josh
Earnest menyatakan, "Salah satu masalah adalah bahwa kita ingin
memastikan bahwa kita menghadapi ancaman ini sebelum semakin parah,
sebelum mereka mampu membangun tempat yang aman di mana mereka bisa
membangun jaringan internasional yang lebih besar dan memahami
konspirasi yang lebih luas yang akan memungkinkan mereka untuk
melaksanakan serangan bencana yang lebih luas dan keras, "katanya.
Mantan Direktur CIA Michael Morell
Deputi, yang kini menjadi analis keamanan nasional CBS News, mengatakan
bahwa ancaman dari ISIS adalah "masalah terorisme paling kompleks yang
pernah saya lihat. Hal lain yang perlu kita lakukan adalah mengambil
kepemimpinan dari medan perang. Kita perlu mengidentifikasi mereka
melalui intelijen dan kemudian menangkap atau membunuh mereka," katanya.
Morell mengatakan ancaman jangka pendek dari ISIS potensi bahwa mereka
akan menginspirasi seseorang untuk menyerang AS, dan mungkin salah satu
orang Amerika, Kanada atau Eropa Barat yang telah bertempur bersama
dengan mereka. Ancaman dalam jangka panjangnya, dalam waktu dua setengah
sampai tiga tahun mendatang, "Kita perlu khawatir tentang kemungkinan
serangan mirip dengan serangan 911."
Kesimpulan
Islamic State yang dipimpin oleh Abu
Bakr al-Baghdadi kini dinilai merupakan ancaman nyata di Irak dan
Suriah, dimana mereka mampu memobilisir tidak hanya warga Arab, tetapi
diperkirakan terdapat sekitar warga dari 50 negara berjumlah sekitar
12.000 orang yang telah ikut berperang dengan gaya, aturan dan
kekejaman dan kebrutalan ISIS (IS).
Amerika Serikat pada masa kini tidak
menyimpulkan Islamic State menjadi ancaman langsung keamanan
nasionalnya, dimana kemelut IS dipandangnya harus diselesaikan oleh
pemerintahan Irak sendiri. Walau harus menmghadapi pasukan Irak, Pasukan
Kurdi (Peshmerga) dan serangan udara terbatas dari Angkatan Udara AS,
pasukan Islamic State masih mampu melebarkan sayapnya, dan bahkan kini
mampu mendekati ibukota Irak Baghdad.
Pada umumnya negara-negara Barat
khawatir apabila warganya yang kini bergabung dengan Islamic State di
Irak dan Suriah pada saatnya nanti kembali kenegaranya, mereka akan
menyebarkan fahamnya dan menimbulkan teror dimasing-masing negaranya.
Ancaman IS bukan masa kini, tetapi
dimasa mendatang, dengan penyebaran ideologi ke khalifahan dunia, memang
Islamic State dampaknya akan jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan
Al-Qaeda.
Khusus bagi Indonesia, sebaiknya
pulbaket (pengumpulan bahan keterangan) mereka-mereka yang berangkat ke
Irak dan Suriah perlu dilakukan data ulang, beberapa informasi
menyebutkan jumlahnya hingga kini mencapai sekitar 200 orang, dan bukan
tidak mungkin akan semakin bertambah. Langkah pelarangan IS di tanah air
perlu terus digalakkan, karena ide negara Islam sangat mudah disemaikan
di Indonesia.
Ancaman terhadap stabilitas di Indonesia
akan jauh lebih terasa dibandingkan negara-negara Barat, dan kita sudah
mempunyai pengalaman sejak bom Bali 2002. Sebagai negara dengan
penduduk beragama Islam terbesar di dunia, jelas kita sangat tidak
mengharapkan IS akan menjadikan Indonesia menjadi pusat kegiatannya di
masa mendatang.
Penulis : Marsda TNI (Pur) Prayitno Ramelan, Analis Intelijen. www.ramalanintelijen.net