foto-foto: Airbus
Pola kerjasama Airbus Defence and Space dan PT Dirgantara
Indonesia kembali mendapat apresiasi internasional. Airbus Defence and
Space, Head of Military Aircraft, Domingo Urena Raso, mengungkap pujian
itu di hadapan puluhan wartawan kedirgantaraan dunia, sembari
menjelaskan bahwa kerjasama kedua pihak merupakan model kerjasama bisnis
dan industri yang mampu memelihara dan memenuhi kebutuhan pasar
regional.
Ketika angkatan udara di berbagai negara Eropa menghadapi masalah pemotongan anggaran, combined customer base
yang dibangun di luar Eropa, seperti PT Dirgantara Indonesia, justru
mampu memberi harapan yang lain. Potensi pasar juga tampak bersinar di
Timur Tengah dan Amerika Latin. Dalam beberapa tahun terakhir,
pemotongan anggaran membuat banyak pemerintahan selektif dalam
menentukan pilihan alutsista, termasuk untuk pesawat militer. Kini,
mereka cenderung memilih pesawat yang mampu melakukan aneka ragam misi.
Berikut laporan langsung wartawan Angkasa Adrianus
Darmawan dan Dudi Sudibyo dari ajang Airbus Defence and Space Trade
Media Briefing (TMB) 2014, 10-11 Juni lalu di Sevilla dan Madrid,
Spanyol. Di bagian lain, dari ajang Airbus Innovation Days 2014 di
Toulouse, Perancis, Dudi Sudibyo juga menyampaikan perkembangan terkini
pertarungan dua raksasa besar produsen pesawat komersial badan besar,
Airbus dan Boeing.
Pernyataan Domingo Urena Raso pada jamuan makan malam di sebuah
daerah sejuk di pinggiran kota Sevilla itu jelas bikin puluhan wartawan
penerbangan dunia terhenyak. Tak terkecuali Angkasa. Pasalnya,
industri pesawat terbang terbesar di dunia ini bukanlah yang terhebat di
antara 22 subsidiaries yang berdiri di berbagai negara. Kenapa justru
PT Dirgantara Indonesia (DI) yang diunggulkan? Adakah keunikan khusus
dari pabrik pesawat yang bermarkas di Bandung, Jawa Barat ini?
Seperti biasa, pimpinan Airbus yang dikenal supel itu tak
langsung menerangkan gamblang. Namun, dari paparan taktisnya
terjelaskan berbagai hal. Menurutnya, DI bisa dijadikan model karena,
pertama, didirikan atas dasar kesepahaman bilateral, dan, kedua, dalam
perjalanannya, meski diwarnai berbagai rintangan, telah ikut
mengembangkan pasar yang cukup unik di kawasannya. DI begitu menarik
perhatian negara-negara di sekitarnya karena memproduksi pesawat
transpor militer badan kecil/menengah yang bisa digunakan untuk berbagai
misi.
Kerjasama telah dimulai sejak 1976, ketika Airbus Defence
and Space yang bermarkas di Spanyol masih bernama CASA (Construcciones
Aeronauticas SA). Diawali pembuatan pesawat badan kecil berlisensi C-212
Aviocar, kini kerjasama dengan DI telah meningkat dengan
produk yang masih tetap populer, yakni pesawat transpor badan menengah
CN235 dan C295. Selain bisa digunakan untuk misi standar angkut pasukan,
keduanya juga bisa didayagunakan untuk misi bantuan kemanusiaan,
patroli maritim, pemantauan lingkungan dan lain-lain. Belakangan C295
sudah bisa dipesan dalam versi airborne early warning.
Sampai saat ini, CN235 yang pertama kali diperkenalkan
pada 1988, masih tetap digemari berbagai operator di kawasan Asia.
Seperti dikatakan Direktur Komersial dan Restrukturisasi DI, Budiman
Saleh. “CN-235 masih tetap jadi favorit, tidak hanya di dalam negeri,
tetapi juga di luar negeri. Pesawat ini dibeli Korea Selatan, Thailand,
Malaysia, Brunei, Uni Emirat Arab, Pakistan, Senegal dan lainnya.” (Kompas (15/2/2014).
Hingga kini, lebih dari 270 unit CN235 telah terjual ke
berbagai negara. Selain dibeli berbagai operator di wilayah Asia, Timur
Tengah, dan Amerika Selatan, pesawat ini juga dibeli sejumlah negara di
Eropa dan Amerika Utara. Sementara C295, tercatat lebih dari 120 unit
telah terjual. Berkat peraihan total market-share mencapai 58 persen antara 2005 sampai 2014, kedua pesawat selanjutnya tercatat sebagai market-leader di kelas transpor menengah.
Selain dengan Airbus DS, DI juga menjalin kerjsama yang cukup penting
dengan unit bisnis strategis Airbus Group lainnya, yakni Airbus
Helicopter, terkait penjualan dan perawatan helikopter EC225/775; juga
dengan Bell-Textron AS terkait pembuatan helikopter Bell-412.
Meski dikatakan masih perlu kesepahaman dan pendekatan lebih lanjut,
Domingo Raso tak memungkiri bahwa pemerintah Indonesia telah ikut
mendukung upaya pemasaran pesawat-pesawat tersebut. Di antara yang
terbaru adalah lawatan ke enam negara (Filipina, Brunei Darussalam,
Vietnam, Myanmar, Thailand dan Malaysia) pada Mei 2013 untuk
memperkenalkan C295. Melalui beberapa pertemuan intens, empat negara
yakni Filipina, Myanmar, Thailand, bahkan Timor Leste, mengajukan
berbagai pesanan.
Ketangguhan-kemudahan
Dalam TMB 2014, secara detail, Airbus DS menyampaikan laporan tahunan
performa bisnis, perkembangan uji terbang atas beberapa produk baru
serta program layanan purna atas produk-produknya. Jika pada tahun-tahun
sebelumnya mereka bergerak dalam pembuatan, pemasaran, program
pelatihan serta layanan purna jual untuk pesawat CN235, C295, A400M dan
A330 MRTT, mulai Desember 2013 lalu kepadanya ikut “dititipkan” pesawat
tempur Eurofighter Typhoon dan Sistem Pesawat Tanpa Awak (UAS).
Upaya Jemput “Bola” ke Luar Eropa
“Eropa harus berhenti untuk malu mengakui bahwa dirinya
memiliki kemampuan yang amat baik. Kenapa harus malu? Kenapa kita justru
tak bergerak bersama? Kita punya kekuatan industri. Untuk itu kenapa
tidak berkolaborasi? Jangan takut untuk bekerjasama dengan berbagai
negara di dunia,” ungkap Domingo Urena Raso tegas di hadapan puluhan
wartawan kedirgantaraan dari berbagai negara, yang pada 10 Juni lalu
berkumpul di Sevilla, Spanyol.
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, dalam Trade Media
Briefing (TMB) 2014 kali ini petinggi Aircraft Military, Airbus Defence
and Space itu, tampak sudah tak bisa lagi menyembunyikan kegalauannya.
Ia menganggap perlu menyatakan sikap karena sejumlah industri
kedirgantaraan dan kemiliteran di Eropa sedang resah menghadapi
penurunan skala produksi akibat gelombang pengetatan anggaran belanja
yang dialami angkatan bersenjata di banyak negara Eropa. Pengetatan
anggaran ini tak lain adalah akibat krisis ekonomi dan kebijakan bersama
Masyarakat Eropa.
Dampak krisis ini tampaknya juga bakal menerpa Airbus DS,
karena beberapa negara yang masuk dalam konsorsium pembuatan pesawat
militer badan besar A400M mulai goyah dalam memegang kesepakatan
pembeliannya. Jerman yang sebelumnya sepakat membeli 53 unit, belakangan
hanya menyanggupi 40. Sementara Perancis, yang semula menyatakan perlu
50 unit dari berbagai jenis pesawat transpor taktis buatan Airbus DS,
tampaknya akan meninjau kembali. Selain Jerman dan Perancis, kemitraan
A400M juga melibatkan Belgia, Luksemburg, Spanyol, Turki, dan Inggris.
Masalah pemotongan anggaran di Eropa hampir bisa
dipastikan juga akan berimbas pada kelangsungan industri serupa di
Amerika Serikat, karena dalam pertemuan di Brussel, Belgia, Maret 2014,
Presiden AS Barrack Obama mengisyaratkan perlunya negara-negara NATO di
Eropa mewaspadai krisis dan setiap perkembangan yang akan terjadi di
Crimea dan Ukraina. Krisis di kedua tempat akan menjadi “alarm bangun
pagi” (wake-up call) karena tak satu pun negara di sekitarnya paham seburuk apa imbasnya.
Merger di Airbus
Meski pihak Airbus DS terus berjuang agar penciutan
jumlah pesanan tidak terjadi, mereka tetap harus waspada dengan berbagai
kemungkinan terburuk. Segala hal bisa terjadi karena kepentingan
politik di internal pemerintahan kerap berpengaruh. Maka, sangatlah
lumrah jika – untuk menghadapi permasalahan ini – berbagai industri
pertahanan terkemuka berupaya melakukan merger serta meningkatkan
pengaruhnya ke pasar di luar Eropa.
Merger di keluarga Airbus sudah terjadi sejak Januari
2014. Untuk perampingan manajemen dan memancing pasar yang lebih luas,
European Aeronautic Defence and Space Company – pengelola Airbus Group
-- menggabungkan Astrium dan Cassidian dengan Airbus Military, menjadi
Airbus Defence and Space. Kepada perusahaan ini, EADS juga menitipkan
pemasaran Eurofighter Typhoon dan sistem pesawat tanpa awak yang mereka buat.
Dengan demikian di dalam induk perusahaan Airbus Group,
ada tiga bisnis unit, yakni Airbus yang mengelola industri pesawat
komersial; Airbus Defence and Space yang mengelola industri pesawat
militer, jet tempur, satelit dan UAV; dan Airbus Helicopter yang
mengelola industri helikopter.
Terkait perluasan pasar sendiri, dalam TMB 2014, misalnya, pimpinan
Airbus DS kembali menyatakan minatnya untuk meningkatkan harmonisasi dan
skala kerjasama produksi serta layanan purna jual dengan negara-negara
di Asia Pasifik (termasuk Indonesia), Timur Tengah, dan Amerika Selatan.
Ke wilayah-wilayah ini mereka akan “jemput bola” menawarkan produk
lewat paket-paket kerjasama bilateral. Dengan Indonesia mereka bisa
memuluskan penjualan CN235 dan C295 di wilayah Asia Tenggara dan
sekitarnya.
“Selain di Asia, pesawat-pesawat badan menengah ini juga disukai di
tempat lain. Pada 2013 dan 2014, Mesir, Kazakhstan, Ekuador, Kolumbia
dan beberapa costumer yang belum bisa disebutkan namanya,
masing-masing telah memastikan membeli C295 sebanyak 6 unit, 2 unit, 3
unit, 1 unit dan 17 unit. Sementara US Coast Guard kembali menyatakan
minatnya untuk menambah 1 unit CN235 versi patroli maritim. Dengan total
penjualan sebanyak 171 pesawat antara 2005 sampai 2014, kedua pesawat
pun bisa disebut sebagai market leader di kelas badan menengah,” tutur Head of Commercial, Military Aircraft, Airbus DS, Antonio Rodriguez Barberan kepada wartawan.
Tingkat penjualan pesawat-pesawat tersebut telah meninggalkan
pesaing-pesainnya, seperti C-27J, ATR-48, DHC-8, dan G-222. Selain dari
ketangguhan dan kemudahan perawatan, ketertarikan pasar pada CN235 dan
C295 juga dipengaruhi oleh ragam pilihan misi yang ditawarkan. Selain
untuk standar angkut pasukan, misalnya, CN235 juga ditawarkan dalam
versi patroli maritim. Sedang untuk C295, customer juga bisa memesan dalam versi pemadam kebakaran, airborne early warning, dan signal intelligence.
A400M, A330 MRTT, AC295
Ragam pilihan fungsi juga ditawarkan pada pesawat angkut berat A400M. Pesawat yang kerap disebut-sebut sebagai airlifter for the 21st century ini telah diuji untuk mampu melakukan tugas pengisian bahan bakar di udara dan kemampuan self-defence.
Dalam kesempatan uji pengiriman kendaraan dan helikopter ke empat
wilayah di Mali, Afrika, pesawat ini bahkan terbukti melampui pesawat
angkut berat yang dibanggakan AS, C-17 Globemaster II. Bukan dari kuantitas daya angkutnya, melainkan dari kapabilitasnya mendarat di landasan tak beraspal.
Dari 174 pesawat yang dipesan delapan negara (Belgia, Perancis,
Jerman, Luksemburg, Spanyol, Turki, Inggris dan Malaysia), tiga pesawat
sudah dinyatakan dikirim dan beroperasi, sementara 14 pesawat sedang
dalam proses persiapan pengiriman dan 20 dalam tahapan
produksi/perakitan. Daya angkutnya jauh lebih besar dari C-130J Hercules.
Maka dari itu, ketika AS tak mau mengekspor C-17 ke sembarang negara,
pimpinan Airbus DS menyebut A400M, sebagai satu-satunya pesawat angkut
berat taktis yang paling terbuka untuk dibeli.
“Kami memperkirakan, dari 1.850 pesawat sejenis yang kini beroperasi,
dunia masih memerlukan 700 pesawat sekelas A400M dalam jangka 30 tahun
mendatang. Kami berharap 400 di antaranya berbagai negara akan memilih
pesawat ini,” ujar Antonio Barberan.
Di lain pihak, Airbus DS juga tak mengurangi perhatiannya dalam
menuntaskan pesanan berbagai negara atas A330 MRTT. Lagi-lagi pesawat
militer berbasis pesawat komersial badan lebar A330 ini dirancang untuk
multimisi. Selain untuk angkut pasukan, juga bisa didayagunakan sebagai
tanker udara. Lima pesawat ini kini telah dioperasikan AU Australia, 3
unit di UAE, 4 unit di Inggris, dan 7 unit lainnya di Turki. Pesawat
ini, di antaranya, dikembangkan untuk menyaingi KC-135 Stratotanker yang dibuat Boeing (AS) berbasis Boeing B707.
Airbus : Tak Ada Pengaruh Pembatalan Pesanan A350 Emirates
Airbus menegaskan pembatalan pesanan 70 pesawat badan
lebar bermesin ganda A350 senilai 16 miliar dollar AS oleh Emirates,
tidak mempengaruhi roda produksi pesawat terbang Eropa ini. Pembatalan
dadakan operator terbesar superjumbo A380 dari Dubai, diterima Airbus
sehari sebelum ajang tahunan Airbus Innovation Days 2014 di Toulouse
untuk media massa, dan hanya beberapa bulan sebelum terbang komersial
oleh launch customer Qatar Airways, yakni setelah delapan tahun pengembangannya dan menelan investasi sekitar 15 miliar dolar AS.
“Pasti tidak akan ada kekosongan dalam produksi
(Airbus),” tegas John Leahy, Chief Operating Officer, Customer, pucuk
pimpinan penjualan Airbus sambil mengingatkan 150 wartawan mancanegara –
termasuk Angkasa, bahwa Boeing pernah mengalami hal serupa saat pembatalan bagi 787 Dreamliner, yang badannya juga dibalut bahan ringan carbon fibre.
Beda dengan Airbus, pabrik mesin pesawat Inggris, Rolls-Royce yang menjadi sole engine maker untuk A350XWB (singkatan dari Extra Wide Body), dikutip kantor berita Reuters,
menyatakan keputusan Emirates tersebut akan berdampak kehilangan
pendapatan 2,6 miliar poundsterling atau 4,4 miliar dolar dalam buku
pesanannya. Seperti Airbus, Rolls-Royce juga yakin kekosongan yang
ditinggalkan Emirates akan tergantikan oleh pesanan maskapai lain jelang
penutupan dekade.
Maskapai dari Teluk ini memesan pesawat rancangan baru sarat
teknologi mutakhir Airbus A350XWB pada 2007. Dijadwalkan akan diterima
pertama pada 2019, lebih awal daripada pesaing langsung Boeing 777X,
dimana Emirates merupakan operator terbesarnya dengan pesanan 150 unit.
Emirates tercatat sebagai salah satu di antara maskapai pertama yang
tertarik A350XWB saat programnya diperkenalkan 2007. Tak
tanggung-tanggung langsung pesan 70 unit, terdiri dari 50 unit A350-900
dan 20 versi lebih besar A350-1000.
Menurut Airbus, alasan klien topnya membatalkan pesanan, mengacu pada
tinjau ulang rencana kebutuhan armada dimana titik beratnya pada
superjumbo A380. Sejalan tinjauan ulang, maskapai Dubai ini November
2013 ajukan pesanan tambahan 50 superjumbo dalam pagelaran Dubai Airshow
2013. Menjadikan Emirates operator terbesar dunia dengan mengoperasikan
total 140 A380.
Keyakinan Airbus tidak akan mengalami gejolak akibat pembatalan
Emirates, didasarkan pada posisi kokoh pesanan pasti 742 unit A350 yang
dikantongi, kurang dari setengah tahun A350XWB akan terbang komersial di
bawah bendera launch customer Qatar Airways. “Flight test campaign A350 berjalan mulus, type certification is on track,” John Leahy menambahkan.
Tidak suka
Pucuk pimpinan Airbus, Fabrice Bregier menegaskan lagi dalam jamuan
makan malam di Aeroscopia, museum Airbus yang sedang dibangun, bahwa
pembatalan pesanan Emirates tidak akan berpengaruh negatif pada kelompok
usaha kedirgantaraan Eropa. “Apakah menjadi masalah bagi kami?
Jawabannya pasti tidak, tetapi jujur saya tidak suka mengingat Emirates
merupakan top-class customer (Airbus), dan saya akan lebih
senang bila mereka mengoperasikan A350,” ujarnya dalam ruangan museum
yang disulap menjadi ruang jamuan makan.
Dapat dimaklumi kenapa Fabrice Bregier mengatakan demikian. Bagaimana
pun Airbus dibuatnya merasa kurang nyaman bagi upayanya berada di ujung
tombak pasar pesawat twin-engine badan lebar jarak jauh yang banyak diminati maskapai. Menurut catatan Angkasa, A350XWB dibuat Airbus untuk menjawab 787 Dreamliner Boeing. Sedang varian A350-1000 ditawarkan sebagai pesaing langsung pesawat derivatif Boeing 777X.
Di sisi lain, John Leahy dalam presentasinya tidak kesampingkan bahwa
pembatalan pesanan Emirates merupakan suatu indikator titik-balik bagi
industri pesawat terbang, yang secara tak langsung memberi sinyal baik
kepada Airbus maupun Boeing untuk tidak memproduksi banyak pesawat.
Karena pasar sudah tidak dapat menyerapnya lagi. “Apakah kami terlalu
banyak membuat pesawat terbang? Apakah terjadi bubble (market)? Menurut saya tidak,” kata John menanggapi sinyal tersebut.
Kedua produsen pesawat dunia tersebut pernah memproyeksikan bahwa
hingga 2025 tidak akan ada rancangan pesawat baru. Terakhir, Boeing
menawarkan Dreamliner dengan sirip blended winglet pada kedua ujung sayapnya. Kemudian Airbus menyusul dengan A350XWB, ujung sayapnya dilengkapi sirip sharklet. Yang menonjol dari kedua jenis pesawat tersebut, badannya terbuat dari bahan ringan komposit carbon fibre,
menggantikan bahan tradisional aluminium agar berat pesawat lebih
ringan. Dibantu sirip-sirip tersebut menghasilkan irit konsumsi bahan
bakar.
Untuk menjembatani kebutuhan pesawat hingga 2025, Airbus memperkenalkan program re-engine rancangan pesawat yang sudah ada dengan mesin baru irit bahan bakar. Lahirlah program A320Neo (singkatan New Engine Option) bersayap sharklet berdasarkan pesawat laris single aisle badan sedang A320. Boeing menjawabnya dengan 737MAX dengan dasar 737-800.
Tetapi yang paling mendesak saat ini bagi Fabrice Bregier dan Airbus
adalah memenuhi jadwal target yang dijanjikan kepada pemesan, terbang
komersial sebelum penutupan tahun 2014. Target tersebut yakin dapat
dicapai, mengingat program uji terbang yang dimulai sekitar setahun
lalu, menggunakan empat pesawat untuk sertifikasi berjalan lancar sesuai
rencana. Tambah diperlancar dengan beroperasinya pesawat kelima
baru-baru ini. Total keempat pesawat sudah mengumpulkan 1.900 jam
terbang dan lebih dari 440 penerbangan.
Angkasa.