Kamis, 12 Juni 2014

RI Tidak Bisa Borong Alutsista, Rusia Enggan Transfer Teknologi


“Contohnya India yang borong 80 Sukhoi, kita tidak bisa,” kata Menhan.


Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro mengatakan Indonesia meminta Rusia untuk melakukan transfer teknologi atas alutsista yang dibeli. Jika masih tidak bisa dilakukan, RI mengancam akan membeli dari negara lain.
“Justru itu, yang selalu kami minta ke Rusia. Kami mengatakan kepada mereka, apabila tidak bisa transfer of technology (TOT), maka kami akan berpaling ke tempat lain,” ujar Purnomo yang ditemui semalam di Hari Nasional Rusia di Jakarta.
Dia menjelaskan, selain dari Rusia, RI juga mendapatkan tawaran alutsista dari Ukraina dan negara blok timur lainnya. “Dan teknologi yang mereka miliki termasuk bagus,” kata Purnomo.
Ditanya alasan Rusia masih belum mau TOT, Purnomo mengatakan pembelian yang dilakukan harus dalam jumlah besar. Sementara sistem anggaran yang diterapkan oleh RI tidak memungkinkan untuk memborong dalam jumlah banyak.
“Contohnya seperti India yang kemarin memborong 80 pesawat tempur Sukhoi. Nah, kita tidak bisa seperti itu. Apabila semua anggaran hanya dialokasikan untuk membeli alutsista militer bisa repot,” ujar Purnomo.
Hal ini dibantah oleh Duta Besar Republik Federasi Rusia, Mikhail Y. Galuzin. Dia mengatakan masalah ini masih terus dinegosiasikan. “Dari sisi politik, saya melihat tidak ada masalah untuk itu,” ujar Galuzin.

Terus Berjalan

Kendati demikian, Purnomo menyebut kerjasama di bidang pertahanan dengan Rusia terus berjalan.
Terakhir, TNI Angkatan Laut kembali menerima 37 unit kendaraan tempur amfibi tank BMP-3F buatan Rusia pada akhir Januari. Alutsista tersebut diserahkan secara resmi di Jawa Timur.
Dengan adanya 37 tank tersebut, maka kian memperkuat alutsista serupa yang sudah dibeli tahun 2010 silam. Saat itu TNI AL menerima sebanyak 17 unit, sehingga total kini telah terdapat 54 unit tank BMP-3F.
Menurut situs resmi TNI, pengadaan 37 unit kendaraan tempur amfibi untuk AL tersebut memakan dana senilai lebih dari US$100 juta atau Rp1,1 triliun. (ren)

Sumber : Viva.co.id

Latihan US Navy Seals dan Kopaska

Pasukan US Neavy Seals tiba di Surabaya (photo: koarmatim)
Pasukan US Neavy Seals tiba di Surabaya (photo: koarmatim)

Satuan Komando Pasukan Katak (Satkopaska) Koarmatim akan melaksanakan latihan bersama dengan pasukan khusus Angkatan Laut Amerika Serikat US Navy SEALs dalam waktu dekat. Saat ini tim Satkopaska Koarmatim sedang menyiapkan kedatangan tim US Navy SEALs Team One di Bandara Pangkalan Udara TNI Angkatan Laut (Lanudal) Juanda, Surabaya, Selasa (10/06).
Setelah menempuh penerbangan selama kurang lebih enam jam, personel Navy SEALs Team One tiba di Lanudal Juanda, sekitar pukul 11.45 WIB, menggunakan pesawat militer jenis C-40A Clipper milik Angkatan Laut Amerika Serikat United States Navy (USN) dari Skuadron VR 53, Naval Air Logistic Operation.
Latihan bersama tersebut diberi sandi Flash Iron 14-1 JCET T.A 2014. Kegiatan ini merupakan latihan bersama antara Kopaska TNI AL dengan US Navy SEALs dalam rangka peningkatan profesionalisme prajurit Satkopaska Koarmatim.
Latihan dasar US Neavy Seals (photo: Getty images)
Latihan dasar US Neavy Seals (photo: Getty images)

Tugas pokok dari kedua satuan elite tersebut dalam latihan bersama ini yaitu melaksanakan pengembangan teknik maupun taktik peperangan laut khusus (Naval Special Warvare) dan operasi lanjutan. Latma Flash Iron 14-1 JCET T.A 2014 digelar dalam rangka meningkatan hubungan bilateral kedua negara, Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat.
Bentuk hubungan baik tersebut, kedua negara perlu melaksanakan peningkatan kerja sama yang salah satunya diwujudkan dalam bidang kemampuan profesionalisme Angkatan Laut melalui Latihan Bersama.
US Navy Seals
US Navy Seals

Paradigma Baru TNI AL Kelas Dunia
Latihan Kopaska dengan US Navy Seals ini, tidak terlepas dari upaya TNI AL untuk mewujudkan ‘Paradigma Baru TNI AL Kelas Dunia’ yang sedang menyusun Visi ‘Sea Power Indonesia’.
Sea Power merupakan salah satu upaya membangkitkan visi maritim menjadi kejayaan bangsa Indonesia. Sedangkan ‘Paradigma Baru TNI AL Kelas Dunia’, menjadi instrumen pendukung dalam rangka pencapaian visi TNI AL yang handal dan disegani dunia.
Konsep ‘Sea Power Indonesia’ dan ‘Paradigma Baru TNI AL Kelas Dunia’, dituangkan Kepala Staf Angkatan Laut (Kasal) TNI Laksamana Marsetio, dalam bukunya yang diluncurkan Rabu 11 Juni 2014.
“TNI AL berkomitmen untuk menjaga kedaulatan negara khususnya wilayah maritim Indonesia. Stabilitas nasional, regional maupun internasional perlu dijaga TNI Angkatan Laut”, ujar Laksamana Marsetio, Rabu (11/6).
Latihan Satkopaska dengan US Navy Seals, merupakan salah satu dari sekian banyak langkah yang ditempuh TNI AL, untuk mewujudkan ‘Paradigma Baru TNI AL Kelas Dunia.


sumber: koarmatim.tnial.mil.id dan merdeka.com

JKGR. 

Rabu, 11 Juni 2014

Transparansi Anggaran Alutsista TNI

(photo: danendra)
(photo: danendra)

Kementerian Pertahanan dan TNI tidak pernah bermain-main dalam pembelian alutsista. Pemerintah sadar pertanggungjawaban yang begitu besar karena uang yang digunakan untuk membeli alutsista berasal dari rakyat. Oleh sebab itu, setiap proses pengadaan alutsista TNI ini diawasi oleh banyak pihak.
Ada banyak institusi yang dilibatkan dalam pengadaan alutsista TNI. Pihak-pihak tersebut terbagi menjadi organisasi induk, tim evaluasi spesifikasi teknis, panitia pengadaan, tim evaluasi pengadaan dan tim perumus kontrak.
Organisasi induk beranggotakan Menteri Pertahanan, Sekjen Kemhan, Panglima TNI dan tiga Kepala Staf Angkatan. Secara umum, organisasi ini memiliki tugas menentukan kebijakan program pengadaan dan rencana kebutuhan alutsista, monitoring dan proses pengadaan alutsista TNI tersebut.
Tidak hanya itu, untuk pengawasan dilakukan oleh pihak-pihak Irjen Kemhan, Irjen TNI, Dirjen Strategi Pertahanan dan Dirjen Perencanaan Pertahanan. Adapun pejabat pembuat komitmen dilakukan Kepala Badan Sarana Pertahanan, Mabes TNI dan tiga Kepala Staf Angkatan. Jadi dengan melibatkan banyak pihak, maka sangat kecil kemungkinan terjadinya penyalahgunaan anggaran dalam pengadaan alutsista TNI.
Selain pihak internal Kemhan dan TNI, pihak-pihak lain seperti Kementerian Keuangan, Badan Usaha Milik Negara Industri Strategis (BUMNIS), Badan Usaha Milik Negara Industri Pertahanan (BUMNIP) dan Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) juga dilibatkan untuk senantiasa berkoordinasi dalam proses pengadaan alutsista.
Begitu pentingnya proses pengadaan alutsista sehingga membuat Kementerian Pertahanan memperhatikan betul penyusunan kontrak. Dalam pembelian impor, proses transaksi melalui surat kredit berdokumen atau letter of credit (L/C). Sistem transaksi ini menjadi penting karena pihak penjual dan pembeli mengadakan negosiasi jual beli barang hingga mencapai kesepakatan. Kedua belah pihak pun harus menyerahkan jaminan pelaksanaan dan jaminan uang muka. Di dalam kontrak pun dapat dilampirkan beberapa dokumen penting seperti surat pelimpahan wewenang, pernyataan tentang batas akhir ekspor, embargo dan penggunaan materi kontrak.
Dengan proses yang demikian penting, maka Kementerian Pertahanan dan TNI harus membuat kontrak kerja sama dengan pihak produsen senjata. Kementerian Pertahanan berpedoman pada Standar Dokumen Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (SDPBJP) dalam menyusun kontrak tersebut. Kementerian akan membuat klausul khusus jika ada pengaturan kontrak yang tidak terdapat dalam standar tersebut. Beberapa klausul khusus mencakup kodifikasi materi sistem nomor sediaan nasional (NSN), klaikan materi, angkutan dan asuransi, pembebasan bea dan masuk pajak saat alutsista itu tiba di Indonesia, sampai alih teknologi alias ToT nya.
Begitu banyaknya klausul khusus sehingga mendapat perhatian serius dari Pemerintah. Hal lain yang menjadi klausul khusus adalah sertifikat kemampuan dan kondisi khusus sesuai kebutuhan kontrak, dan jaminan pemeliharaan.
Proses penandatanganan kontrak pun dibatasi waktu. Untuk pengadaan barang, perbaikan, pemeliharaan suku cadang dan penambahan bekal, paling lambat tandatangan kontrak di bulan ke enam. Sementara untuk pengembangan kekuatan alutsista TNI paling lambat dilakukan di akhir bulan ke-9 tahun anggaran berjalan.
Dengan melibatkan user atau pengguna dalam hal ini dengan setiap Mabes Angkatan diminta untuk menentukan spesifikasi jenis Alutsista yang akan diadakan sesuai dengan urgensi, kebutuhan dan skala prioritas untuk diadakan dengan melihat potensi ancaman yang “Boleh jadi” akan mengancam kedaulatan Indonesia beberapa tahun ke depan.
Jadi pembelian senjata dalam program MEF TNI ini tidak ujug – ujug langsung beli suka-suka dan sesuai pesanan pihak tertentu seperti pada jaman “Orba” dulu. Akan tetapi sudah terorganisir sesuai dengan tingkat ancaman yang akan menggangu kita.
Selanjutnya rencana pembelian alutsista-alutsista tiap matra ini masuk kepada kebutuhan operasi di Mabes TNI dan selanjutnya diproses di Kemhan lewat Tim dibawah kendali Tim Evaluasi Pengadaan (TEP) yang dipimpin oleh Sekjen. Kemudian selanjutnya diproses untuk kontrak perjanjian pinjaman oleh Kemku hingga kemudian pencabutan tanda bintang di Komisi I DPR. Proses pencabutan tanda bintang itu dibahas oleh High Level Committee (HLC) dan Tim Panja Alutsista DPR, dan itu diproses dalam rangka pencabutan tanda bintang di DPR, karena memakai uang APBN dan uang rakyat.
Keikutsertaan DPR menjadi penting karena proses pembelian senjata berkaitan dengan keberlangsungan pertahanan negara. Di parlemen, setiap proses transaksi membutuhkan tanda bintang. Tanda bintang di DPR menunjukkan berapa besar urgensi pembelian alutsista TNI.
Tetapi harap diingat, untuk alutsista strategis alias “Classifield, Top Secret dan Off the Record” tidak semuanya dijelaskan secara gamblang dan detil baik spesifikasi, jenis, dan jumlahnya kepada DPR karena menyangkut kerahasiaan Negara.
Makanya beberapa waktu lalu Komisi I DPR sempat berang karena merasa pembelian “enam” unit sukhoi SU. 30 MK2 lebih mahal dari pada harga pasarannya, padahal di balik semua itu ada “Bakwan” yang tersembunyi di balik udang.
Pengadaan Alutsista dalam MEF ini juga tetap berpedoman pada prinsip – prinsip yaitu semaksimal mengutamakan produk dalam negeri. Namun apabila itu belum memungkinkan dan terpaksa diadakan dari luar negeri maka akan diupayakan dilaksanakan pengadaan secara G to G, produksi bersama, disertai alih teknologi (transfer of technology), dilakukan off set, dijamin keleluasan penggunaannya dan dijamin suku cadangnya.
Terkait pengadaan alutsista dengan mode credit state alias pinjaman luar negeri, Kementerian Pertahanan bekerja sama dengan Kementerian Keuangan. Metode yang dilakukan adalah penunjukan langsung. Metode ini menjadi penting karena terkait strategi pertahanan, kerahasiaan dan penanganan darurat.
Kementerian Pertahanan akan melaksanakan sidang Tim Evaluasi Pengadaan (TEP). Jika melalui pinjaman luar negeri, maka dananya berasal dari Lembaga Penjamin Kredit Ekspor (LPKE). Hasil penetapan penyedia akan disampaikan ke Kementerian Keuangan untuk kemudian diproses.
Meski penunjukan langsung, namun ada proses ketat seperti penilaian kualifikasi dan penyampaian penawaran. Kedua proses ini dilakukan agar pihak yang ditunjuk langsung untuk menyediakan dana pinjaman, benar-benar kompeten dan memiliki syarat yang dibutuhkan.
Proses pengadaan alutsista TNI tidak segampang yang dibayangkan. Ada banyak tim yang mengawal proses pengadaan, mulai dari awal hingga akhir. Seperti tim pengawas negosiasi angkutan dan asuransi, tim satuan tugas, tim kelaikan, tim inspeksi pra pengiriman barang, tim uji fungsi atau uji terima, inspeksi komodor, tim pemeriksa (inname dan anname) dan tim penerima.
Oleh sebab itu, Pemerintah hanya berhubungan dengan pihak-pihak yang langsung memproduksi senjata di luar negeri. Tidak berhubungan dengan pihak ketiga yang tidak memiliki keterkaitan dengan pengadaan senjata.
Pembelian alutsista dari luar negeri pun mengacu pada tiga alasan. Pertama, produksi alutsista dalam negeri belum memenuhi persyaratan. Kedua, alutsista yang dibutuhkan belum bisa diproduksi di dalam negeri. Ketiga, volume produksi dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan.
Berdasarkan tiga alasan di atas, maka pengadaan alutsista TNI dari luar negeri tidak bisa dielakkan. TNI tidak mungkin menunggu lama pengadaan alutsista jika mengandalkan produksi dalam negeri. Pengadaan impor pun disertai dengan pemilahan barang dan alih teknologi. Pemilahan barang diperlukan karena harus disandarkan pada asas kebutuhan yang paling mendasar.
Sementara alih teknologi menjadi penting karena akan meningkatkan pengetahuan persenjataan modern. Oleh sebab itu, Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro senantiasa meminta masukan Panglima TNI terkait pengadaan alutsista. Hal itu menjadi penting karena sejatinya yang menggunakan dan memahami senjata adalah TNI sendiri. Payung hukum yang digunakan Menhan untuk mengadakan alutsista baru adalah Peraturan Presiden (Perpres) No 54 tahun 2010 dan UU No. 16 Th. 2012 TENTANG INDUSTRI PERTAHANAN.
Transparansi dan akuntabilitas menjadi dua hal yang sangat penting bagi Kementerian Pertahanan dan TNI. Kementerian ini mengeluarkan Peraturan Menteri Pertahanan (Permenhan) Nomor 34 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Alutsista TNI.
Bahkan pada tanggal 6 Januari 2011 yang lalu Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro bersama perwira tinggi TNI, BPKP & LKPP mendeklarasikan anti korupsi, yang diapresiasi oleh Komisi I DPR RI karena Kemhan dan TNI menjadi contoh baik pemberantasan korupsi.
Mi-35 TNI AD (photo: viva.co.id)
Mi-35 TNI AD (photo: viva.co.id)

Pengendalian dan Sanksi dalam Pengadaan Alutsista
Meski sudah diterapkan peraturan yang ketat, tidak menutup kemungkinan terjadinya penyalahgunaan anggaran. Untuk mengatasi masalah tersebut, Kementerian Pertahanan akan menerapkan sanksi tegas kepada semua pihak yang diduga terlibat dugaan korupsi. Ada sanksi tegas yang akan dijatuhkan kepada semua pihak yang berusaha bermain-main dalam proses pengadaan alutsista TNI.
Secara umum, ada lima perbuatan yang dapat dijatuhi sanksi.
Pertama, upaya mempengaruhi panitia pengadaan alutsista TNI sehingga melanggar peraturan perundang-undangan. Kedua, bersekongkol dengan Penyedia Alutsista TNI lain untuk mengatur harga. Ketiga, membuat atau menyampaikan dokumen atau keterangan lain yang tidak benar. Keempat, mengundurkan diri dari pelaksanaan kontrak dengan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Kelima, pengalihan pelaksanaan pekerjaan utama berdasarkan kontrak, dengan melakukan subkontrak kepada pihak lain.
Sanksi yang dijatuhkan berupa denda dan memasukkannya ke daftar hitam (black list). Denda yang dijatuhkan kepada penyedia alutsista TNI sebesar 1/1000 dari harga kotrak untuk setiap hari keterlambatan.
Sementara daftar hitam akan diserahkan ke LKPP. Pihak-pihak yang sudah masuk daftar hitam tidak diperkenan untuk mengikuti pengadaan alutsista di masa mendatang. Daftar Hitam Nasional dimutakhirkan setiap saat dan dimuat dalam Portal Pengadaan Nasional.
Untuk menghindari sanksi tersebut, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) wajib memberikan laporan secara berkala terkait realisasi pengadaan alutsista TNI. Laporan diberikan kepada pengguna anggaran atau kuasa pengguna anggaran, dalam hal ini Kementerian Pertahanan.
Jika ditemukan penyalahgunaan anggaran, maka laporan akan ditembus ke Wakil Menteri Pertahanan dan Inspektorat Jenderal (Irjen) instansi terkait. Tembusan ini penting karena posisi Wamenhan sebagai Ketua High Level Committee (HLC) melaksanakan pengendalian dan pengawasan pengadaan Alutsista TNI pada skema pembiayaan dan skema pengadaan.
Laporan yang diterima tidak serta merta diterima begitu saja. Proses cek dan ricek terhadap laporan tetap akan dilakukan. Audit akan dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya penyalahgunaan anggaran dalam pengadaan alutsista TNI. Oleh sebab itu pengawasan terhadap panitia pengadaan alutsista wajib dilakukan. Pengawasan juga disertai dengan audit terhadap semua pihak. Audit dilakukan sebelum kontrak dilakukan dan setelah proses pengadaan selesai. (by pocong syereem)


Selasa, 10 Juni 2014

DUEL UDARA MELUMPUHKAN DOMINASI ASING DI INDONESIA TIMUR


Ilustrasi Pesawat P-51 Mustang AURI melumpuhkan pesawat B-26 Invader AUREV
Pada awal kemerdekaan, bangsa Indonesia banyak mengalami peristiwa-peristiwa yang mengarah kepada terjadinya diintegrasi bangsa. Hal tersebut  terjadi karena beberapa sebab diantaranya adanya ketidakpuasan terhadap kebijakan-kebijakan pusat terhadap daerah. Sebab inilah yang memicu terjadinya pemberontakan Permesta di Sulawesi.
Pada tanggal 2 Maret 1957, bertempat di kantor Gubernuran Ujungpandang telah diadakan pertemuan yang dihadiri oleh tokoh-tokoh militer maupun sipil.  Pertemuan tersebut telah menghasilkan apa yang disebut dengan  “Piagam Perjuangan Semesta” (Permesta). Pada tahapan selanjutnya, pemberontakan ini telah mendapat bantuan baik dari dalam maupun dari luar negeri. Salah satu bukti adanya dukungan dari luar negeri adalah adanya keterlibatan kekuatan udara asing adalah ketika Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) yang ketika itu mengambil peran dalam upaya penumpasan pemberontakan Permesta berhasil menembak jatuh sebuah pesawat B-26 yang ternyata dipiloti oleh Allen Pope yang berkewarganegaraan Amerika Serikat.
Angkatan Udara Revolusioner yang lebih dikenal dengan AUREV merupakan  kekuatan udara yang  dibentuk  oleh Permesta dalam rangka merebut dan menguasai wilayah  udara Indonesia. Dengan menguasai wilayah udara tentunya akan mempermudah pasukan Permesta untuk melancarkan serangan-serangan ke seluruh wilayah Indonesia Timur.  
Pada awal pembentukkan AUREV, yang dijadikan sebagai pusat kekuatannya adalah Pangkalan Udara Tasuka. Kapten Udara Rambing ditunjuk sebagai Komandan Kesatuan Darat (Ground Unit). Keadaan semakin berubah ketika bergabungnya Petit Muharto dan Hadi Sapandi yang datang dengan membawa dua Pesawat P-51 Mustang dan tiga Pembom B-26 Invander yang merupakan bantuan dari Amerika, diterbangkan langsung dari pangkalan udara Clark Field di Fhilipina Selatan. Muharto kemudian diangkat sebagai Kepala Staf AUREV dengan pangkat “Komodor Muda Udara“ sedangkan wakilnya Hadi Sapandi dengan pangkat “Mayor Udara”.
Alutsista yang menjadi kekuatan utama AUREV secara keseluruhan didatangkan dari luar negeri. Tidak ada satupun pesawat AUREV yang merupakan milik AURI ataupun penerbangan sipil Indonesia. Pesawat yang menjadi kekuatan AUREV terdiri dari pesawat pembom (Attack) empat buah B-26, pesawat pemburu P-51 Mustang dua buah, pesawat angkut type Curtiss C-46 “Commando” dua buah, Lockheed 12, selain itu pesawat-pesawat DC-3/C-47 “Dakota” dan DC-4/C-54 “Skymaster”. AUREV juga telah menyiapkan 15 pesawat pengebom B-26 untuk Permesta yang merupakan bantuan dari pihak asing. Pesawat-pesawat tersebut disiagakan di sebuah lapangan terbang di Filipina.
Secara keseluruhan, warga negara asing yang mendukung AUREV adalah terdiri dari 14 orang  dari Amerika (enam orang awak pesawat/penerbang dan telegrafis udara, enam orang pelayanan di darat/ montir pesawat dan dua orang petugas lain/perhubungan dan sandi), tujuh orang dari Fhilipina (dua orang penerbang dan lima orang pembantu montir pesawat) serta 18 orang warga Thionghoa yang meliputi awak pesawat dan pelayanan di darat.
Secara umum, bangsa Indonesia yang terlibat dalam AUREV berada pada pekerjaan administrasi sedangkan pada awak pesawat hanya sedikit sekali yaitu sembilan orang sebagai telegrafis udara dan dua orang penerbang yaitu Petit Muharto dan Hadi Sapandi sisanya selain tenaga administrasi juga sebagai pasukan pertahanan pangkalan. Maka dapat kita simpulkan bahwa kegiatan operasi penerbangan AUREV sangat dikuasai oleh bangsa asing.
Serangan udara pertama yang dilakukan adalah serangan terhadap Mapanget pada tanggal 12 April 1958. Serangan tersebut dilakukan dengan menggunakan pesawat pembom B-26 Invander yang tinggal landas langsung dari Pangkalan Udara Clark Field di Filiphina. Keesokan harinya serangan udara kembali dilakukan, yang menjadi sasaran adalah kota Makassar dan Balikpapan. Allen Lawrence Pope menjadi aktor utama dalam penyerangan-penyerangan yang dilakukan oleh AUREV dengan menggunakan pesawat pembon B-26 Invander. Pada tanggal 29 April 1958 kira-kira jam 14.00, pesawat pembom B-26 AUREV  dengan penerbang Allen  Lawrence Pope telah melakukan suatu serangan udara terhadap Detasemen Angkatan Udara Kendari. Pada tanggal 30 April 1958, Pope kembali menyerang dan yang menjadi sasaran adalah daerah Donggala dan Palu. Serangan dilakukan pada sekitar pukul 04.00 WITA.

Kepulan asap sisa-sisa pemboman AUREV
Pada tanggal 1 Mei 1958, pesawat B-26 AUREV menyebarkan Pamflet yang isinya menyatakan bahwa Rakyat Ambon supaya menjauhi obyek-obyek militer karena Permesta akan melakukan serangan-serangan. Keesokan harinya, 2 Mei 1958 hal tersebut benar-benar terjadi yaitu ketika pesawat pembom AUREV benar-benar melakukan serangan terhadap kota Ambon. Serangan selanjutnya adalah  pada tanggal 7 Mei 1958 kira-kira jam 06.00, AUREV melakukan serangan udara terhadap Pangkalan Udara Ambon.    Pada tanggal 8 Mei 1958 kira-kira pukul 17.00, kembali melakukan penyerangan terhadap Detasemen Angkatan Udara Liang/Ambon. Pada tanggal 15 Mei 1958 kira-kira pukul 05.30, melakukan penyerangan terhadap sebuah kapal motor dipelabuhan Ambon.  Pada tanggal 18 Mei 1958 kira-kira pukul 06.00 penyerangan dilakukan tehadap Pangkalan Udara Pattimura/Ambon.
Satu momen bersejarah saat AURI menumpas pemberontakan Permesta adalah ketika seorang penerbang AURI dapat menembak jatuh sebuah pesawat B 26 Invander AUREV.  Pagi itu, pada tanggal 18 Mei 1958 di Pangkalan Udara Liang, Kapten Udara Ignatius Dewanto tengah bersiap di kockpit P-51 Mustang. Dia ditugaskan menyerang pangkalan udara AUREV di Sulawesi Utara. Hanya beberapa saat sebelum Dewanto take off menuju Manado, dia menerima sebuah berita yang memaksanya membatalkan serangan ke Manado dan harus mengarahkan pesawat ke Ambon karena kota tersebut dibom oleh B-26 Invader AUREV. Ketika berada di atas udara Ambon, Dewanto melihat  asap mengepul di mana-mana. Puing-puing berserakan, menandakan baru saja terjadi serangan udara terhadap Ambon. Pesawat kemudian dibawa untuk berputar-putar sejenak, B-26 Invader AUREV tidak terlihat. Kemudian pesawatnya diarahkan ke barat. Ferry tank dilepas untuk menambah kelincahan pesawat.

Dewanto penerbang Pesawat P-51 Mustang
Dewanto terbang rendah, saat pandangannya tertuju ke konvoi kapal ALRI, sekelebat dilihatnya pesawat B-26 Invader AUREV. Pesawat tersebut ternyata tengah melaju ke arah konvoi kapal ALRI tersebut. Dewanto terbang mengejar dan beruntung bisa menempatkan diri persis berada di belakang B-26 tersebut. Walau sempat ragu karena posisi musuh tepat antara kapal dan dia, Kapten Dewanto segera menembak dengan roketnya, tapi meleset yang kemudian disusul dengan tembakan 12,7 mm, karena tembakan rentetan dan jaraknya sudah lebih dekat kemungkinan kena lebih besar. Alhasil, B-26 yang diterbangkan seorang serdadu bayaran bernama Allen Lawrence Pope beserta juru radio Hary Rantung (bekas AURI), terbakar dan tercebur ke laut. Posisi  jatuhnya pesawat B-26 tersebut pada koordinat 03.40 LS dan 127.51 BT. Dewanto yakin peluru 12,7 mm nya mengenai sasaran, hal ini dikuatkan dengan adanya asap yang mengepul keluar dari badan pesawat. Sementara dua awak pesawat B-26 kelihatan meloncat menggunakan parasut. Sewaktu berusaha mendarat payung Allen Pope menyangkut di pohon kelapa di Pulau Tiga, ketika hendak turun dari pohon kelapa ia terhempas ke batu karang sehingga kakinya patah dan badannya luka-luka. Sementara yang seorang lagi operator Radio Harry Rantung bekas anggota AURI juga jatuh ke laut kemudian dapat berenang ke tepi, akhirnya keduanya dapat ditangkap.
Sejak tertangkapnya Allen Pope, kekuatan AUREV telah lumpuh serta keunggulan di udara di wilayah Indonesia Timur dikuasai AURI. Operasi-operasi pendaratan-pendaratan berhasil dilakukan diberbagai tempat oleh pasukan gabungan TNI.  Peristiwa ini telah berdampak kepada pemerintah Amerika Serikat untuk mengubah sikapnya terhadap Indonesia. Washington menjadi ramah dengan harapan Indonesia itu akan diam. Bola politik benar-benar dimainkan oleh Presiden Soekarno. Penahanan Pope diulur untuk mendapatkan manfaat keramahtamahan diplomasi Amerika Serikat. Embargo senjata terhadap Republik Indonesia dicabut. Pemerintah Amerika Serikat segera menyetujui pembelian senjata juga berbagai suku cadang yang dibutuhkan TNI termasuk suku cadang persawat terbang AURI.

Sidang pengadilan militer Allen Lawrence Pope
Allen Pope kemudian dihadapkan ke pengadilan militer  kemudian dijatuhi hukuman mati sedanggkan Harry Rantung diganjar hukuman 15 tahun. Setelah John F. Kennedy menjadi Presiden Amerika Serikat, hubungan Amerika Serikat dengan Presiden Soekarno mengalami perbaikan. Pemerintah Amerika Serikat busaha juga untuk mbebaskan Allen Pope. Jaksa Agung Amerika Serikat  diutus ke Jakarta untuk menemui Presiden Soekarno dengan mbawa surat Kepresidenan yang isinya agar Pope dibebaskan.

TNI AU 

OPERASI LINTAS UDARA (LINUD) PERTAMA


Pasukan Payung siap diberangkatkan dari lapangan terbang Maguwo
Kalimantan sebagai salah satu wilayah RI, penduduknya juga berjuang melawan NICA yang bermaksud berkuasa kembali. Pada tanggal 10 Oktober 1945, rakyat Kalimantan Selatan berhasil membentuk Pemerintah Daerah sebagai bagian dari Republik Indonesia, dengan Banjarmasin sebagai ibukotanya. Pasukan Sekutu yang pada waktu itu menduduki Kalimantan, pada tanggal 24 Oktober 1945 menyerahkan kekuasaan secara resmi kepada NICA. Tindakan ini langsung menimbulkan kemarahan rakyat setempat yang setia kepada Republik Indonesia. Mereka mulai membentuk barisan untuk menentang penjajah. Bantuan yang diharapkan melalui laut dari Jawa terhalang, karena Belanda menjalankan blokade di laut. Oleh karena itu, satu-satunya jalan yang dapat dilakukan adalah melalui udara.Gubernur Kalimantan, Ir. Pangeran Muhammad Noor mengirim surat kepada KSAU Suryadi Suryadarma, yang isinya meminta bantuan agar AURI  bersedia melatih pemuda-pemuda asal Kalimantan, kemudian menerjunkan mereka kembali ke Kalimantan untuk berjuang membantu saudara-saudaranya. Pimpinan AURI kemudian mengadakan perundingan dengan Markas Besar  Tentara. Akhirnya MBT sepakat untuk membentuk staf khusus yang bertugas menghimpun pasukan payung. Dalam hal ini KSAU dibantu Mayor Cilik Riwut, yang berasal dari Kabupaten Kota Waringin. Dia adalah perwira operasi yang ditempatkan pada staf Sekretaris KSAU, Bagian Siasat Perang.
Dalam waktu singkat, staf khusus berhasil merekrut sekitar 60 pejuang dari Kalimantan, Sulawesi, Jawa, dan juga dari Madura yang bersedia diterjunkan di Kalimantan. Mereka ditampung di Asrama Padasan, Warungboto, di dekat Maguwo. Adapun pelatih dari AURI adalah Opsir Udara II Suyono, dibantu Opsir Muda Udara II Amir Hamzah, Opsir Muda Udara III Suroyo, Sersan Mispar dan Kopral Udara Matyasir.
Mengingat sempitnya waktu, mereka hanya mendapat latihan di darat saja, berupa latihan teori terjun dan cara melipat payung. Mereka tidak sempat dilatih terjun dari pesawat. Lamanya latihan pun hanya satu minggu. Pada akhir latihan, terpilih 12 orang putra Kalimantan yang semua paham bahasa Dayak Kahayan, ditambah dua orang dari PHB AURI, yaitu Opsir Muda Udara I Hari Hadisumantri dari Semarang sebagai montir radio, dan Sersan Udara F.M Suyoto dari Ponorogo yang bertugas menjadi juru radio. Adapun pasukan payung berjumlah 14 orang ini, dipimpin Iskandar yang berasal dari Kabupaten Sampit, Kalimantan Selatan.

Pesawat C-47 Dakota RI-002 yang digunakan untuk dropping pasukan payung tanggal 17 Oktober 1947 di Kalimantan
Tujuan dan tugas operasi penerjunan yang bersifat rahasia itu, adalah membentuk dan menyusun kekuatan inti gerilya di daerah asal suku Dayak, Sepanbiha, untuk membantu perjuangan rakyat setempat; membuka stasiun pemancar induk, serta menyiapkan daerah penerjunan untuk operasi selanjutnya. Dua petugas PHB AURI beserta pemancar radio yang mereka bawa, diharapkan dapat menjadi “pemancar strategis”, sehingga perjuangan rakyat Kalimantan dapat dikoordinasikan dengan perjuangan di Jawa dan Sumatera.
Pesawat yang digunakan adalah Dakota RI-002 dengan pilot yang dipercayakan lagi kepada Bob Earl Freeberg. Adapun yang menjadi co-pilot adalah Opsir Udara III Makmur Suhodo dan Operator Penerjun Opsir Muda Udara III Amir Hamzah. Mayor Cilik Riwut bertindak sebagai penunjuk daerah penerjunan.
Pesawat berangkat dari Yogyakarta pada tanggal 17 Oktober 1947 pukul 02.30 dini hari, dan waktu menunjukkan pukul 05.30 ketika melayang di atas kawasan rawa-rawa Kalimantan. Tjilik Riwut sempat ragu, tetapi setelah yakin bahwa mereka sudah ada di atas daerah Sepanbiha, maka para pemuda itu pun mulai melakukan penerjunan. Djarni batal meloncat karena takut. Adapun ke–13 anggota pasukan payung yang berhasil mendarat dengan selamat adalah  Hari Hadisumantri, Achmad Kosasih, (Mangkahulu), Iskandar, Ali Akbar (Balikpapan), Mica Amiruddin, Emmanuel  (Kahayanhulu), C. Williams (Kuala Kapuas), Morawi (Rantau Pulut), Bachri (Barabai), Darius (Kadingan), M. Dachlan (Sampit), J. Bitak (Kepala Baru), dan Suyoto.
Operasi pertama yang berlangsung pada tanggal 17 Oktober 1947 ini, disertai dropping alat-alat perlengkapan dan perbekalan untuk bergerilya di hutan. Beberapa orang tersangkut pohon-pohon tinggi rimba raya, tetapi tidak menjadi rintangan untuk mendarat tanpa cacat. Mereka baru berkumpul pada hari ketiga. Ternyata mereka tidak mendarat di Sepanbiha, tetapi dekat Kampung Sambi, di antara Sungai Seruyan di barat laut Rantau Pulut, Kotawaringin. Tidak semua parachut dapat ditemukan kembali, demikian juga persediaan amunisi, bahan makanan, alat perkemahan dan veldbed. Andaikata tidak ada pengkhianatan dari Albert Rosing, seorang Lurah Kampung Mayang, yang menyebabkan mereka masuk perangkap, setelah 35 hari di hutan, pasti mereka berhasil.

Pada tanggal 23 Nopember 1947 anggota pasukan payung disergab patrol Belanda di hulu anak Sungai Seruyan
Pada dini hari tanggal 23 November 1947, ketika orang masih tidur nyenyak, di sebuah ladang tepi Sungai Koleh (anak Sungai Seruyan), mereka dihujani peluru oleh sepasukan tentara Belanda yang menyerang dari 3 jurusan. Akibatnya tiga orang gugur seketika, yaitu Letnan Udara II Anumerta Iskandar, Sersan Mayor Udara Anumerta Achmad Kosasih, dan Kapten Udara Anumerta Hari Hadisumantri. Suyoto tertawan, sedangkan Dachlan yang mengalami luka berat di leher, bersama Bachri, Ali Akbar, Mica Amiruddin dan yang lain sempat meloloskan diri. Dengan tabah, sisa rombongan melanjutkan bergerilya, tetapi pengepungan pasukan NICA begitu ketatnya, sehingga akhirnya dua bulan kemudian mereka semua tertangkap.
Mereka dibawa ke Banjarmasin, dan kemudian ditawan di Penjara Bukitduri, Jakarta. Tidak lama di Jakarta mereka dibawa kembali ke Banjarmasin, setelah itu mereka dikirim lagi ke Jakarta, masuk Penjara Glodok, kemudian dipindah ke Penjara Cipinang, lalu dijebloskan ke Penjara Bukit Batu di Nusa Kambangan. Pada waktu mendekati penandatanganan KMB di Den Haag, Belanda, mereka ditarik kembali ke Glodok dan akhirnya dikembalikan ke Yogya dengan status bebas.

Kali Seruyan yang menjadi saksi bisu perjuangan Pasukan Payung
Demikianlah operasi penerjunan pasukan payung ini dilaksanakan sekaligus merupakan operasi lintas udara (linud) pertama bagi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Meskipun tugas operasi Kalimantan itu gagal, tetapi kisah paratroop tersebut merupakan suatu peristiwa gemilang. Ini membuktikan bahwa para pejuang kemerdekaan dalam keadaan serba darurat dapat membina kekuatan yang tidak boleh dianggap remeh. Peristiwa inilah yang kemudian diperingati sebagai hari Pasukan Khas Angkatan Udara.
Untuk mengenang dan menghormati kepahlawanan para pelopor penerjunan  payung  yang  telah  mendahului  meninggal  dunia,  maka pimpinan AURI telah memerintahkan kepada FM. Sujoto, J. Bitak dan Dachlan untuk mengadakan ekspedisi ke Kalimantan guna memindahkan makam  ketiga temannya yang telah gugur, ke makam pahlawan Yogyakarta.  Demikianlah pada tanggal 15 Maret 1950 mereka bertolak dari Yogyakarta dan apabila dibandingkan dengan dua setengah tahun yang lalu, maka perjalanan sekarang ini adalah jauh lebih berbeda keadaannya, dimana udara tidak lagi diliputi oleh suasana pertikaian dan permusuhan dengan Belanda.

Tim pencarian kerangka jenazah tiga anggota Pasukan Payung yang gugur sedang diabadikan dengan pemandangan daerah Sampit Kalimantan Tengah
Setelah sampai di Banjarmasin mereka bertemu dengan Mayor Eddie dan mendapat keterangan, bahwa  dua minggu yang lalu beliau mengirimkan telegram ke Jakarta yang isinya meminta supaya rencana pengambil­an jenazah ditunda sampai bulan Juli mengingat musim hujan  dan bahaya banjir.  Saran  diterima  diberikan  pula  oleh  dari  Overste  Sukanda Bratamanggala dan Ketua Dewan Dayak, akan tetapi andaikata mereka bermaksud akan melanjutkan perjalanannya, maka akan dibantu sepenuhnya.  Untuk keberhasilan pelaksanakan tugas dan kembali  tidak dengan tangan kosong, maka mereka memutuskan untuk melanjutkan rencana semula.  Setelah dua hari mengadakan persiapan-persiapan, mereka lalu berangkat menuju daerah pedalaman dengan menggunakan kapal motor B-004.

Jenazah Kapten Udara Harry Hadisumantri mendapat menghormatan secara adat suku Dayak oleh penduduk Panjumpa
Pada tanggal 21 Maret 1950 tepat pukul12.00 siang mereka sampai di daerah Sampit dan disini tinggal selama dua hari untuk mencari perlengkapan-perlengkapan lainnya berupa tiga buah peti jenazah dan sebuah perahu lagi.  Di samping itu juga mendapat bantuan pengawalan dari anggota TNI-AD berjumlah enam orang.  Setelah sampai di Rantaupulut mereka memperoleh keterangan, bahwa jenazah teman-teman mereka telah dipindahkan dari tempat semula.  Kiranya kejadian dan kenangan dua setengah tahun yang lampau kembali terbayang, ketika mereka menyusuri sungai Serujan.
Setelah itu mereka memperoleh keterangan, bahwa jenazah-jenazah yang mereka cari telah dipindahkan ke Makam Pahlawan Tubangmanjul.  Pada keesokan harinya berangkatlah mereka ke Tumbangmanjul dan dari hasil penggalian serta pengenalan kembali hanya diketemukan jenazah Harry Hadisumantri saja, sedang dua jenazah yang lain Iskandar dan Kosasih tidak diketemukan  berhubung dengan tempat penguburannya yang baru tidak diberi tanda, sehingga sulit untuk mengenalnya, maka satu peti dapat terisi, sedang yang dua tetap kosong.

Di persemayaman jenasah Kapten Udara Hary Hadisumsntri dikawal dua orang prajurit
Jalannya pengambilan jenazah ini mendapat perhatian penduduk sangat besar dari penduduk setempat, mereka tidak lupa mengadakan upacara selamatan untuk menghormati arwah para pahlawannya dengan tari-tarian selamatan, dan tari-tarian adat yang sekaligus menunjukkan pula rasa duka citanya.  Bukan saja di Mujang, tetapi ditempat-tempat lain yang mereka lalui, mereka mendapat sambutan hangat dan mengharukan.  Pada tanggal 14 April 1950 rombongan tiba kembali di Banjarmasin, yang selanjutnya jenazah almarhum Harry Hadisumantri diistirahatkan di gedung G.P.I Jalan Pelabuhan Utara untuk menunggu kapal yang akan mengangkut ke Jawa.  Dengan kapal K.P.M MS Rengat jenazah kemudian dibawa ke Surabaya yang selanjutnya dari Surabaya diteruskan ke Yogyakarta untuk dimakamkan di  Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara.

TNI AU. 

PASUKAN GARUDA MULYA


Pasukan Garuda Mulya di daerah gerilya
Pada 19 Desember 1948, ketika Belanda melancarkan agresinya yang ke-2, dengan menyerang Pangkalan Udara Maguwo  dan diikuti  dengan  pendaratan  tentara  payungnya, Pangkalan Udara Panasan juga didatangi oleh empat pesawat P-51 Mustang Belanda pada kira-kira pukul 06.30.   Mengetahui hal ini, anggota Pangkalan Udara Panasan pimpinan Bapak R.A. Wiriadinata menyerang lebih dahulu dengan senapan-senapan mesin yang jumlahnya 8 pucuk kaliber 12,7 mm.   Melihat peluru api berhamburan di udara, pesawat Belanda tidak membalas.

Hal ini mungkin karena tidak nampak adanya pesawat- pesawat AURI yang parkir di landasan, karena 3 buah pesawat AURI yang ada telah dihancurkan pada waktu Agresi Militer Belanda I.   Pada kenyataannya landasan Pangkalan Udara Panasan hanya dipenuhi dengan batu-batu dan bambu runcing yang telah dipasang oleh pasukan kita. Pesawat-pesawat  P-51 Mustang Belanda hanya melaksanakan pengintaian dan penyebaran pamflet yang berisikan pengumuman bahwa pembesar-pembesar  RI telah di tawan, Pemerintahan Negara dipegang oleh Belanda dan seluruh rakyat diminta tenang. Namun setelah itu pesawat terbang ke arah Delanggu,   disana  mereka menyerang pabrik gula Delanggu dengan senapan mesin dan bom.

Mendengar keadaan yang demikian Komandan Pangkalan Udara Panasan Opsir Muda Udara I Wiriadinata mengeluarkan perintah agar:
a.  Markas AURI dipindahkan ke Bekonang.
b.  Pangkalan dan bangunan-bangunan AURI dihancurkan.

Dengan adanya perintah tersebut anggota Pangkalan Udara Panasan mengadakan aksi bumi hangus atas obyek-obyek vital yang ada di dalam pangkalan termasuk pengrusakan landasan.   Dengan menggunakan bom-bom pesawat terbang yang beratnya antara 25-100 kg yang sudah di ubah detonatornya, Pangkalan Udara Panasan pada tanggal 21 Desember 1948, terpaksa dibumihanguskan.   Dalam waktu singkat, rumah-rumah sudah rata dengan tanah.   Dalam pelaksanaan pembumihangusan Pangkalan Udara Panasan jatuh korban atas nama Kopral Udara Semi dan Kopral Udara Sarsono, karena ingin memperbaiki detonator bom yang macet.   Tetapi malang nasibnya ketika ia menyentuh detonator, bom itu meledak sehingga menghancurkan tubuhnya.

Pasukan Panembahan Senopati (PPS-105)
Sore hari anggota Pangkalan Udara Panasan dan keluarga mengungsi dengan tujuan Madiun untuk menggabungkan diri dengan pasukan dari Maospati yang dipimpin oleh Bapak Soeprantijo. Tetapi sesampainya di Polokerto  (Bekonang) ditahan oleh Gubernur Militer II Rayon I Polokarto Pimpinan Suhendro dan diberikan daerah pertahanan di Kecamatan Jumantoro.   Barangkali Belanda mengetahui dari mata-mata bahwa kampung Bekonang merupakan konsentrasi dari pasukan gerilya maka pada pukul 18.30  diserang oleh 2 pesawat P-51 Mustang sehingga banyak korban yang meninggal.   Dengan segera anggota Pangkalan Udara Panasan berpindah tempat ke Desa Tugu kurang lebih 4 km dari Kampung Bekonang.     Kemudian mereka memberi nama pasukannya dengan nama Garuda Mulya.

Setelah mendapatkan kekuasaan atas suatu daerah, maka mereka segera mengatur siasat perang gerilya yang mana pasukan dibagi atas beberapa regu dengan ditempatkan dikampung-kampung sepanjang jalan raya antara Solo – Tawangmangu dengan tugas untuk mengadakan penghadangan-penghadangan terhadap setiap gerakan tentara Belanda.    Disamping pasukan yang menetap, dibentuk pula pasukan mobile dengan tugas mengadakan serangan-serangan terhadap pos-pos musuh yang ditempatkan antara Solo – Tawangmangu.   Operasi yang gemilang yang dicapai oleh pak Wiriadinata dalam memimpin pasukannya. Berkenaan dengan peristiwa gugurnya yang dipimpin oleh Pak Soenardjo karena suatu pertempuran di daerah Karangpandan, maka Pak Wiriadinata diangkat menjadi Komandan Rayon yang daerahnya semakin meluas termasuk Kecamatan Matesih.

Marsda TNI Wiriadinata
Kegiatan pasukan Garuda Mulya ini lebih diintensifkan.    Pasukan mobile ditugaskan untuk mengadakan kontak dengan semua pasukan-pasukan tetangga serta mengadakan serangan-serangan terhadap pos-pos musuh dan markas-markas musuh sampai ke Jatisrono dan sekitarnya.    Disamping pasukan Mobile hampir setiap satu minggu satu kali semua regu yang menetap pada Sektor Pertahanannya masing-masing dikerahkan untuk mengadakan serangan ke Karang Pandan dan Tawangmangu. Dengan makin gemilangnya hasil-hasil yang telah dicapai, maka kemudian Pak Wiriadinata diangkat menjadi Komandan Pasukan Panembahan Senopati 105, yang disingkat PPS 105.

Berbekal pengalaman di medan operasi gerilya, pada tahun 1952 Pak Wiriadinata menjadi tokoh utama dalam pembentukan Pasukan Pertahanan Pangkalan (PPP) yang kemudian dikenal Pasukan Gerak Tjepat (PGT).  Atas jasanya membentuk  Pasukan Payung TNI AU  tersebut, Pak Wiriadinata dikukuhkan sebagai “Bapak Pasukan TNI AU”.

TNI AU. 

Navigasi Jarak Jauh (NJJ) gunakan pesawat KT 01 Wong Bee tempuh jarak 600 Km


Pesawat KT -01 Wong Bee sedang persiapan di Selter sebelum melaksanakan Navigasi jarak jauh ke Jakarta Selasa (10/6)
Sekolah Instruktur Penerbang angkatan 71, Lanud Adisutjipto, Selasa (10/6) memulai kegiatannya melaksanakan Navigasi Jarak Jauh. Navigasi Jarak Jauh dengan Route Lanud Adisutjipto menuju Semarang (90 Mile) kemudian dilanjutkan ke Jakarta (230 Mile), dari Jakarta menuju ke Semarang dan kembali ke Lanud Adisutjipto ini direncanakan akan memakan waktu 6 hari atau dari tanggal 10 Juni sampai 16 Juni 2014. Menurut perkiraan jarak yang ditempuh pesawat KT 01 Wong Bee mencapai 600 Km hingga sampai Jakarta. 

Komandan Skadron Pendidikan 102 Letkol Fery Yunaldi mengatakan Navigasi Udara Jarak Jauh merupakan salah satu kurikulum pendidikan di Skadik 102. Untuk itu para siswa baik dari SIP A-71 maupun siswa Sekbang lainnya wajib mengikuti dengan baik. Tujuan dari kegiatan ini adalah yaitu agar siswa mampu terbang navigasi menggunakan politage atau baca peta, time calculation dan fuel logging. Navigasi Jarak Jauh bagi Siswa Sekolah Instruktur Penerbang angkatan 71 ini diikuti oleh 16 siswa dengan menggunakan pesawat KT-1B. Sekolah Intruktur Penerbang A 71 ini dibuka tanggal 7 Januari 2014 dan akan ditutup bulan Juli 2014.

Latihan Penerbangan NJJ kali ini dipimpin langsung oleh Komandan Skadron Pendidikan 102 dengan maksud untuk melatih para siswa Instruktur Penerbang (SIP), dalam melaksanakan navigasi jarak jauh agar nantinya para Siswa Instruktur Penerbang (SIP) ini mampu menguasai dan menerbangkan pesawat dengan baik. Latihan ini juga sekaligus sebagai bentuk pembinaan bagi para penerbang agar menjadi penerbang yang handal di segala kondisi dan juga nantinya dapat menjadi instruktur penerbang yang berkualitas tinggi sesuai yang diharapkan oleh TNI AU.