(photo: danendra)
Kementerian Pertahanan dan TNI tidak
pernah bermain-main dalam pembelian alutsista. Pemerintah sadar
pertanggungjawaban yang begitu besar karena uang yang digunakan untuk
membeli alutsista berasal dari rakyat. Oleh sebab itu, setiap proses
pengadaan alutsista TNI ini diawasi oleh banyak pihak.
Ada banyak institusi yang dilibatkan dalam pengadaan alutsista TNI.
Pihak-pihak tersebut terbagi menjadi organisasi induk, tim evaluasi
spesifikasi teknis, panitia pengadaan, tim evaluasi pengadaan dan tim
perumus kontrak.
Organisasi induk beranggotakan Menteri Pertahanan, Sekjen Kemhan,
Panglima TNI dan tiga Kepala Staf Angkatan. Secara umum, organisasi ini
memiliki tugas menentukan kebijakan program pengadaan dan rencana
kebutuhan alutsista, monitoring dan proses pengadaan alutsista TNI
tersebut.
Tidak hanya itu, untuk pengawasan dilakukan oleh pihak-pihak Irjen
Kemhan, Irjen TNI, Dirjen Strategi Pertahanan dan Dirjen Perencanaan
Pertahanan. Adapun pejabat pembuat komitmen dilakukan Kepala Badan
Sarana Pertahanan, Mabes TNI dan tiga Kepala Staf Angkatan. Jadi dengan
melibatkan banyak pihak, maka sangat kecil kemungkinan terjadinya
penyalahgunaan anggaran dalam pengadaan alutsista TNI.
Selain pihak internal Kemhan dan TNI, pihak-pihak lain seperti
Kementerian Keuangan, Badan Usaha Milik Negara Industri Strategis
(BUMNIS), Badan Usaha Milik Negara Industri Pertahanan (BUMNIP) dan
Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) juga dilibatkan untuk senantiasa
berkoordinasi dalam proses pengadaan alutsista.
Begitu pentingnya proses pengadaan alutsista sehingga membuat
Kementerian Pertahanan memperhatikan betul penyusunan kontrak. Dalam
pembelian impor, proses transaksi melalui surat kredit berdokumen atau
letter of credit (L/C). Sistem transaksi ini menjadi penting karena
pihak penjual dan pembeli mengadakan negosiasi jual beli barang hingga
mencapai kesepakatan. Kedua belah pihak pun harus menyerahkan jaminan
pelaksanaan dan jaminan uang muka. Di dalam kontrak pun dapat
dilampirkan beberapa dokumen penting seperti surat pelimpahan wewenang,
pernyataan tentang batas akhir ekspor, embargo dan penggunaan materi
kontrak.
Dengan proses yang demikian penting, maka Kementerian Pertahanan dan
TNI harus membuat kontrak kerja sama dengan pihak produsen senjata.
Kementerian Pertahanan berpedoman pada Standar Dokumen Pengadaan Barang
dan Jasa Pemerintah (SDPBJP) dalam menyusun kontrak tersebut.
Kementerian akan membuat klausul khusus jika ada pengaturan kontrak yang
tidak terdapat dalam standar tersebut. Beberapa klausul khusus mencakup
kodifikasi materi sistem nomor sediaan nasional (NSN), klaikan materi,
angkutan dan asuransi, pembebasan bea dan masuk pajak saat alutsista itu
tiba di Indonesia, sampai alih teknologi alias ToT nya.
Begitu banyaknya klausul khusus sehingga mendapat perhatian serius
dari Pemerintah. Hal lain yang menjadi klausul khusus adalah sertifikat
kemampuan dan kondisi khusus sesuai kebutuhan kontrak, dan jaminan
pemeliharaan.
Proses penandatanganan kontrak pun dibatasi waktu. Untuk pengadaan
barang, perbaikan, pemeliharaan suku cadang dan penambahan bekal, paling
lambat tandatangan kontrak di bulan ke enam. Sementara untuk
pengembangan kekuatan alutsista TNI paling lambat dilakukan di akhir
bulan ke-9 tahun anggaran berjalan.
Dengan melibatkan user atau pengguna dalam hal ini dengan setiap
Mabes Angkatan diminta untuk menentukan spesifikasi jenis Alutsista yang
akan diadakan sesuai dengan urgensi, kebutuhan dan skala prioritas
untuk diadakan dengan melihat potensi ancaman yang “Boleh jadi” akan
mengancam kedaulatan Indonesia beberapa tahun ke depan.
Jadi pembelian senjata dalam program MEF TNI ini tidak ujug – ujug
langsung beli suka-suka dan sesuai pesanan pihak tertentu seperti pada
jaman “Orba” dulu. Akan tetapi sudah terorganisir sesuai dengan tingkat
ancaman yang akan menggangu kita.
Selanjutnya rencana pembelian alutsista-alutsista tiap matra ini
masuk kepada kebutuhan operasi di Mabes TNI dan selanjutnya diproses di
Kemhan lewat Tim dibawah kendali Tim Evaluasi Pengadaan (TEP) yang
dipimpin oleh Sekjen. Kemudian selanjutnya diproses untuk kontrak
perjanjian pinjaman oleh Kemku hingga kemudian pencabutan tanda bintang
di Komisi I DPR. Proses pencabutan tanda bintang itu dibahas oleh High
Level Committee (HLC) dan Tim Panja Alutsista DPR, dan itu diproses
dalam rangka pencabutan tanda bintang di DPR, karena memakai uang APBN
dan uang rakyat.
Keikutsertaan DPR menjadi penting karena proses pembelian senjata
berkaitan dengan keberlangsungan pertahanan negara. Di parlemen, setiap
proses transaksi membutuhkan tanda bintang. Tanda bintang di DPR
menunjukkan berapa besar urgensi pembelian alutsista TNI.
Tetapi harap diingat, untuk alutsista strategis alias
“Classifield, Top Secret dan Off the Record” tidak semuanya dijelaskan
secara gamblang dan detil baik spesifikasi, jenis, dan jumlahnya kepada
DPR karena menyangkut kerahasiaan Negara.
Makanya beberapa waktu lalu Komisi I DPR sempat berang karena merasa
pembelian “enam” unit sukhoi SU. 30 MK2 lebih mahal dari pada harga
pasarannya, padahal di balik semua itu ada “Bakwan” yang tersembunyi di
balik udang.
Pengadaan Alutsista dalam MEF ini juga tetap berpedoman pada prinsip –
prinsip yaitu semaksimal mengutamakan produk dalam negeri. Namun
apabila itu belum memungkinkan dan terpaksa diadakan dari luar negeri
maka akan diupayakan dilaksanakan pengadaan secara G to G, produksi
bersama, disertai alih teknologi (transfer of technology), dilakukan off
set, dijamin keleluasan penggunaannya dan dijamin suku cadangnya.
Terkait pengadaan alutsista dengan mode credit state alias pinjaman
luar negeri, Kementerian Pertahanan bekerja sama dengan Kementerian
Keuangan. Metode yang dilakukan adalah penunjukan langsung. Metode ini
menjadi penting karena terkait strategi pertahanan, kerahasiaan dan
penanganan darurat.
Kementerian Pertahanan akan melaksanakan sidang Tim Evaluasi
Pengadaan (TEP). Jika melalui pinjaman luar negeri, maka dananya berasal
dari Lembaga Penjamin Kredit Ekspor (LPKE). Hasil penetapan penyedia
akan disampaikan ke Kementerian Keuangan untuk kemudian diproses.
Meski penunjukan langsung, namun ada proses ketat seperti penilaian
kualifikasi dan penyampaian penawaran. Kedua proses ini dilakukan agar
pihak yang ditunjuk langsung untuk menyediakan dana pinjaman,
benar-benar kompeten dan memiliki syarat yang dibutuhkan.
Proses pengadaan alutsista TNI tidak segampang yang dibayangkan. Ada
banyak tim yang mengawal proses pengadaan, mulai dari awal hingga akhir.
Seperti tim pengawas negosiasi angkutan dan asuransi, tim satuan tugas,
tim kelaikan, tim inspeksi pra pengiriman barang, tim uji fungsi atau
uji terima, inspeksi komodor, tim pemeriksa (inname dan anname) dan tim
penerima.
Oleh sebab itu, Pemerintah hanya berhubungan dengan pihak-pihak yang
langsung memproduksi senjata di luar negeri. Tidak berhubungan dengan
pihak ketiga yang tidak memiliki keterkaitan dengan pengadaan senjata.
Pembelian alutsista dari luar negeri pun mengacu pada tiga alasan.
Pertama, produksi alutsista dalam negeri belum memenuhi persyaratan.
Kedua, alutsista yang dibutuhkan belum bisa diproduksi di dalam negeri.
Ketiga, volume produksi dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan.
Berdasarkan tiga alasan di atas, maka pengadaan alutsista TNI dari
luar negeri tidak bisa dielakkan. TNI tidak mungkin menunggu lama
pengadaan alutsista jika mengandalkan produksi dalam negeri. Pengadaan
impor pun disertai dengan pemilahan barang dan alih teknologi. Pemilahan
barang diperlukan karena harus disandarkan pada asas kebutuhan yang
paling mendasar.
Sementara alih teknologi menjadi penting karena akan meningkatkan
pengetahuan persenjataan modern. Oleh sebab itu, Menteri Pertahanan
Purnomo Yusgiantoro senantiasa meminta masukan Panglima TNI terkait
pengadaan alutsista. Hal itu menjadi penting karena sejatinya yang
menggunakan dan memahami senjata adalah TNI sendiri. Payung hukum yang
digunakan Menhan untuk mengadakan alutsista baru adalah Peraturan
Presiden (Perpres) No 54 tahun 2010 dan UU No. 16 Th. 2012 TENTANG
INDUSTRI PERTAHANAN.
Transparansi dan akuntabilitas menjadi dua hal yang sangat penting
bagi Kementerian Pertahanan dan TNI. Kementerian ini mengeluarkan
Peraturan Menteri Pertahanan (Permenhan) Nomor 34 Tahun 2011 tentang
Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Alutsista TNI.
Bahkan pada tanggal 6 Januari 2011 yang lalu Menteri Pertahanan Purnomo
Yusgiantoro bersama perwira tinggi TNI, BPKP & LKPP mendeklarasikan
anti korupsi, yang diapresiasi oleh Komisi I DPR RI karena Kemhan dan
TNI menjadi contoh baik pemberantasan korupsi.
Mi-35 TNI AD (photo: viva.co.id)
Pengendalian dan Sanksi dalam Pengadaan Alutsista
Meski sudah diterapkan peraturan yang ketat, tidak menutup kemungkinan
terjadinya penyalahgunaan anggaran. Untuk mengatasi masalah tersebut,
Kementerian Pertahanan akan menerapkan sanksi tegas kepada semua pihak
yang diduga terlibat dugaan korupsi. Ada sanksi tegas yang akan
dijatuhkan kepada semua pihak yang berusaha bermain-main dalam proses
pengadaan alutsista TNI.
Secara umum, ada lima perbuatan yang dapat dijatuhi sanksi.
Pertama, upaya mempengaruhi panitia pengadaan alutsista TNI sehingga
melanggar peraturan perundang-undangan. Kedua, bersekongkol dengan
Penyedia Alutsista TNI lain untuk mengatur harga. Ketiga, membuat atau
menyampaikan dokumen atau keterangan lain yang tidak benar. Keempat,
mengundurkan diri dari pelaksanaan kontrak dengan alasan yang tidak
dapat dipertanggungjawabkan. Kelima, pengalihan pelaksanaan pekerjaan
utama berdasarkan kontrak, dengan melakukan subkontrak kepada pihak
lain.
Sanksi yang dijatuhkan berupa denda dan memasukkannya ke daftar hitam
(black list). Denda yang dijatuhkan kepada penyedia alutsista TNI
sebesar 1/1000 dari harga kotrak untuk setiap hari keterlambatan.
Sementara daftar hitam akan diserahkan ke LKPP. Pihak-pihak yang
sudah masuk daftar hitam tidak diperkenan untuk mengikuti pengadaan
alutsista di masa mendatang. Daftar Hitam Nasional dimutakhirkan setiap
saat dan dimuat dalam Portal Pengadaan Nasional.
Untuk menghindari sanksi tersebut, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)
wajib memberikan laporan secara berkala terkait realisasi pengadaan
alutsista TNI. Laporan diberikan kepada pengguna anggaran atau kuasa
pengguna anggaran, dalam hal ini Kementerian Pertahanan.
Jika ditemukan penyalahgunaan anggaran, maka laporan akan ditembus ke
Wakil Menteri Pertahanan dan Inspektorat Jenderal (Irjen) instansi
terkait. Tembusan ini penting karena posisi Wamenhan sebagai Ketua High
Level Committee (HLC) melaksanakan pengendalian dan pengawasan pengadaan
Alutsista TNI pada skema pembiayaan dan skema pengadaan.
Laporan yang diterima tidak serta merta diterima begitu saja. Proses
cek dan ricek terhadap laporan tetap akan dilakukan. Audit akan
dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya penyalahgunaan anggaran
dalam pengadaan alutsista TNI. Oleh sebab itu pengawasan terhadap
panitia pengadaan alutsista wajib dilakukan. Pengawasan juga disertai
dengan audit terhadap semua pihak. Audit dilakukan sebelum kontrak
dilakukan dan setelah proses pengadaan selesai. (by pocong syereem)