Pasukan Payung siap diberangkatkan dari lapangan terbang Maguwo |
Kalimantan sebagai salah satu wilayah
RI, penduduknya juga berjuang melawan NICA yang bermaksud berkuasa
kembali. Pada tanggal 10 Oktober 1945, rakyat Kalimantan Selatan
berhasil membentuk Pemerintah Daerah sebagai bagian dari Republik
Indonesia, dengan Banjarmasin sebagai ibukotanya. Pasukan Sekutu yang
pada waktu itu menduduki Kalimantan, pada tanggal 24 Oktober 1945
menyerahkan kekuasaan secara resmi kepada NICA. Tindakan ini langsung
menimbulkan kemarahan rakyat setempat yang setia kepada Republik
Indonesia. Mereka mulai membentuk barisan untuk menentang penjajah.
Bantuan yang diharapkan melalui laut dari Jawa terhalang, karena Belanda
menjalankan blokade di laut. Oleh karena itu, satu-satunya jalan yang
dapat dilakukan adalah melalui udara.Gubernur Kalimantan, Ir. Pangeran
Muhammad Noor mengirim surat kepada KSAU Suryadi Suryadarma, yang isinya
meminta bantuan agar AURI bersedia melatih pemuda-pemuda asal
Kalimantan, kemudian menerjunkan mereka kembali ke Kalimantan untuk
berjuang membantu saudara-saudaranya. Pimpinan AURI kemudian mengadakan
perundingan dengan Markas Besar Tentara. Akhirnya MBT sepakat untuk
membentuk staf khusus yang bertugas menghimpun pasukan payung. Dalam hal
ini KSAU dibantu Mayor Cilik Riwut, yang berasal dari Kabupaten Kota
Waringin. Dia adalah perwira operasi yang ditempatkan pada staf
Sekretaris KSAU, Bagian Siasat Perang.
Dalam waktu singkat, staf khusus
berhasil merekrut sekitar 60 pejuang dari Kalimantan, Sulawesi, Jawa,
dan juga dari Madura yang bersedia diterjunkan di Kalimantan. Mereka
ditampung di Asrama Padasan, Warungboto, di dekat Maguwo. Adapun pelatih
dari AURI adalah Opsir Udara II Suyono, dibantu Opsir Muda Udara II
Amir Hamzah, Opsir Muda Udara III Suroyo, Sersan Mispar dan Kopral Udara
Matyasir.
Mengingat sempitnya waktu, mereka hanya
mendapat latihan di darat saja, berupa latihan teori terjun dan cara
melipat payung. Mereka tidak sempat dilatih terjun dari pesawat. Lamanya
latihan pun hanya satu minggu. Pada akhir latihan, terpilih 12 orang
putra Kalimantan yang semua paham bahasa Dayak Kahayan, ditambah dua
orang dari PHB AURI, yaitu Opsir Muda Udara I Hari Hadisumantri dari
Semarang sebagai montir radio, dan Sersan Udara F.M Suyoto dari Ponorogo
yang bertugas menjadi juru radio. Adapun pasukan payung berjumlah 14
orang ini, dipimpin Iskandar yang berasal dari Kabupaten Sampit,
Kalimantan Selatan.
Pesawat C-47 Dakota RI-002 yang digunakan untuk dropping pasukan payung tanggal 17 Oktober 1947 di Kalimantan |
Tujuan dan tugas operasi penerjunan yang bersifat rahasia itu, adalah
membentuk dan menyusun kekuatan inti gerilya di daerah asal suku Dayak,
Sepanbiha, untuk membantu perjuangan rakyat setempat; membuka stasiun
pemancar induk, serta menyiapkan daerah penerjunan untuk operasi
selanjutnya. Dua petugas PHB AURI beserta pemancar radio yang mereka
bawa, diharapkan dapat menjadi “pemancar strategis”, sehingga perjuangan
rakyat Kalimantan dapat dikoordinasikan dengan perjuangan di Jawa dan
Sumatera.
Pesawat yang digunakan adalah Dakota RI-002 dengan pilot yang
dipercayakan lagi kepada Bob Earl Freeberg. Adapun yang menjadi co-pilot
adalah Opsir Udara III Makmur Suhodo dan Operator Penerjun Opsir Muda
Udara III Amir Hamzah. Mayor Cilik Riwut bertindak sebagai penunjuk
daerah penerjunan.
Pesawat berangkat dari Yogyakarta pada tanggal 17 Oktober 1947 pukul
02.30 dini hari, dan waktu menunjukkan pukul 05.30 ketika melayang di
atas kawasan rawa-rawa Kalimantan. Tjilik Riwut sempat ragu, tetapi
setelah yakin bahwa mereka sudah ada di atas daerah Sepanbiha, maka para
pemuda itu pun mulai melakukan penerjunan. Djarni batal meloncat karena
takut. Adapun ke–13 anggota pasukan payung yang berhasil mendarat
dengan selamat adalah Hari Hadisumantri, Achmad Kosasih, (Mangkahulu),
Iskandar, Ali Akbar (Balikpapan), Mica Amiruddin, Emmanuel
(Kahayanhulu), C. Williams (Kuala Kapuas), Morawi (Rantau Pulut),
Bachri (Barabai), Darius (Kadingan), M. Dachlan (Sampit), J. Bitak
(Kepala Baru), dan Suyoto.
Operasi pertama yang berlangsung pada tanggal 17 Oktober 1947 ini, disertai
dropping
alat-alat perlengkapan dan perbekalan untuk bergerilya di hutan.
Beberapa orang tersangkut pohon-pohon tinggi rimba raya, tetapi tidak
menjadi rintangan untuk mendarat tanpa cacat. Mereka baru berkumpul pada
hari ketiga. Ternyata mereka tidak mendarat di Sepanbiha, tetapi dekat
Kampung Sambi, di antara Sungai Seruyan di barat laut Rantau Pulut,
Kotawaringin. Tidak semua
parachut dapat ditemukan kembali, demikian juga persediaan amunisi, bahan makanan, alat perkemahan dan
veldbed.
Andaikata tidak ada pengkhianatan dari Albert Rosing, seorang Lurah
Kampung Mayang, yang menyebabkan mereka masuk perangkap, setelah 35 hari
di hutan, pasti mereka berhasil.
Pada tanggal 23 Nopember 1947 anggota pasukan payung disergab patrol Belanda di hulu anak Sungai Seruyan |
Pada dini hari tanggal 23 November 1947, ketika orang masih tidur
nyenyak, di sebuah ladang tepi Sungai Koleh (anak Sungai Seruyan),
mereka dihujani peluru oleh sepasukan tentara Belanda yang menyerang
dari 3 jurusan. Akibatnya tiga orang gugur seketika, yaitu Letnan Udara
II Anumerta Iskandar, Sersan Mayor Udara Anumerta Achmad Kosasih, dan
Kapten Udara Anumerta Hari Hadisumantri. Suyoto tertawan, sedangkan
Dachlan yang mengalami luka berat di leher, bersama Bachri, Ali Akbar,
Mica Amiruddin dan yang lain sempat meloloskan diri. Dengan tabah, sisa
rombongan melanjutkan bergerilya, tetapi pengepungan pasukan NICA begitu
ketatnya, sehingga akhirnya dua bulan kemudian mereka semua tertangkap.
Mereka dibawa ke Banjarmasin, dan
kemudian ditawan di Penjara Bukitduri, Jakarta. Tidak lama di Jakarta
mereka dibawa kembali ke Banjarmasin, setelah itu mereka dikirim lagi ke
Jakarta, masuk Penjara Glodok, kemudian dipindah ke Penjara Cipinang,
lalu dijebloskan ke Penjara Bukit Batu di Nusa Kambangan. Pada waktu
mendekati penandatanganan KMB di Den Haag, Belanda, mereka ditarik
kembali ke Glodok dan akhirnya dikembalikan ke Yogya dengan status
bebas.
Kali Seruyan yang menjadi saksi bisu perjuangan Pasukan Payung |
Demikianlah operasi penerjunan pasukan payung ini dilaksanakan
sekaligus merupakan operasi lintas udara (linud) pertama bagi Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia. Meskipun tugas operasi Kalimantan itu
gagal, tetapi kisah
paratroop tersebut merupakan suatu
peristiwa gemilang. Ini membuktikan bahwa para pejuang kemerdekaan dalam
keadaan serba darurat dapat membina kekuatan yang tidak boleh dianggap
remeh. Peristiwa inilah yang kemudian diperingati sebagai hari Pasukan
Khas Angkatan Udara.
Untuk mengenang dan menghormati kepahlawanan para pelopor penerjunan
payung yang telah mendahului meninggal dunia, maka pimpinan AURI
telah memerintahkan kepada FM. Sujoto, J. Bitak dan Dachlan untuk
mengadakan ekspedisi ke Kalimantan guna memindahkan makam ketiga
temannya yang telah gugur, ke makam pahlawan Yogyakarta. Demikianlah
pada tanggal 15 Maret 1950 mereka bertolak dari Yogyakarta dan apabila
dibandingkan dengan dua setengah tahun yang lalu, maka perjalanan
sekarang ini adalah jauh lebih berbeda keadaannya, dimana udara tidak
lagi diliputi oleh suasana pertikaian dan permusuhan dengan Belanda.
Tim
pencarian kerangka jenazah tiga anggota Pasukan Payung yang gugur
sedang diabadikan dengan pemandangan daerah Sampit Kalimantan Tengah |
Setelah sampai di Banjarmasin mereka bertemu dengan Mayor Eddie dan
mendapat keterangan, bahwa dua minggu yang lalu beliau mengirimkan
telegram ke Jakarta yang isinya meminta supaya rencana pengambilan
jenazah ditunda sampai bulan Juli mengingat musim hujan dan bahaya
banjir. Saran diterima diberikan pula oleh dari Overste Sukanda
Bratamanggala dan Ketua Dewan Dayak, akan tetapi andaikata mereka
bermaksud akan melanjutkan perjalanannya, maka akan dibantu sepenuhnya.
Untuk keberhasilan pelaksanakan tugas dan kembali tidak dengan tangan
kosong, maka mereka memutuskan untuk melanjutkan rencana semula.
Setelah dua hari mengadakan persiapan-persiapan, mereka lalu berangkat
menuju daerah pedalaman dengan menggunakan kapal motor B-004.
Jenazah Kapten Udara Harry Hadisumantri mendapat menghormatan secara adat suku Dayak oleh penduduk Panjumpa |
Pada tanggal 21 Maret 1950 tepat pukul12.00 siang mereka sampai di
daerah Sampit dan disini tinggal selama dua hari untuk mencari
perlengkapan-perlengkapan lainnya berupa tiga buah peti jenazah dan
sebuah perahu lagi. Di samping itu juga mendapat bantuan pengawalan
dari anggota TNI-AD berjumlah enam orang. Setelah sampai di Rantaupulut
mereka memperoleh keterangan, bahwa jenazah teman-teman mereka telah
dipindahkan dari tempat semula. Kiranya kejadian dan kenangan dua
setengah tahun yang lampau kembali terbayang, ketika mereka menyusuri
sungai Serujan.
Setelah itu mereka memperoleh keterangan, bahwa jenazah-jenazah yang
mereka cari telah dipindahkan ke Makam Pahlawan Tubangmanjul. Pada
keesokan harinya berangkatlah mereka ke Tumbangmanjul dan dari hasil
penggalian serta pengenalan kembali hanya diketemukan jenazah Harry
Hadisumantri saja, sedang dua jenazah yang lain Iskandar dan Kosasih
tidak diketemukan berhubung dengan tempat penguburannya yang baru tidak
diberi tanda, sehingga sulit untuk mengenalnya, maka satu peti dapat
terisi, sedang yang dua tetap kosong.
Di persemayaman jenasah Kapten Udara Hary Hadisumsntri dikawal dua orang prajurit |
Jalannya pengambilan jenazah ini mendapat perhatian penduduk sangat
besar dari penduduk setempat, mereka tidak lupa mengadakan upacara
selamatan untuk menghormati arwah para pahlawannya dengan tari-tarian
selamatan, dan tari-tarian adat yang sekaligus menunjukkan pula rasa
duka citanya. Bukan saja di Mujang, tetapi ditempat-tempat lain yang
mereka lalui, mereka mendapat sambutan hangat dan mengharukan. Pada
tanggal 14 April 1950 rombongan tiba kembali di Banjarmasin, yang
selanjutnya jenazah almarhum Harry Hadisumantri diistirahatkan di gedung
G.P.I Jalan Pelabuhan Utara untuk menunggu kapal yang akan mengangkut
ke Jawa. Dengan kapal K.P.M MS Rengat jenazah kemudian dibawa ke
Surabaya yang selanjutnya dari Surabaya diteruskan ke Yogyakarta untuk
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara.
TNI AU.