Transfer of Technology (ToT) hanya bisa terjadi dengan jalan joint
development dan/atau mendatangkan tenaga ahli dengan jumlah yang
memadai. ToT “100%” seperti yang ditawarkan Saab Swedia untuk pesawat
tempur Gripen NG hakekatnya hanya karoseri. ToT karoseri ini tidak akan
membikin kita bisa mengembangkan pesawat sendiri nantinya, namun paling
banter hanya akan menambah lapangan pekerjaan. Dan penambahan pekerja
pun nggak seberapa dibanding cost yang akan dikeluarkan, alias MUBAZIR.
ToT Gripen hanya akan menimbulkan bencana bagi kapasitas produksi
untuk IFX. Pemerintah tidak mungkin invest membuat 2 jalur produksi
untuk IFX dan Gripen. Invest 2 jenis man power juga mahal yang hanya
akan menciptakan jebakan over supply man power di masa mendatang karena
produksi kedua jenis pesawat ini hanya sedikit. Jangankan 2 jalur
produksi, saya belum yakin apakah IFX akan dirakit akhir di PT DI
Bandung, mengingat panjang landasan udara Husein sepertinya pas-pasan
untuk fighter sekelas IFX (need correction).
Dengan budget yang kecil, pengadaan pesawat yang cukup berwarna hanya
akan meningkatkan biaya perawatan. AS mulai meninggalkan sekian jenis
pesawat yg sangat berwarna menjadi pesawat tunggal yang bisa menjawab
banyak tuntutan dengan melahirkan keluarga F-35.
Gripen kemampuannya rata-rata, kelasnya setara FA-50 Korea. Lebih
tepat di kelas 12 ton pemerintah pakai terus keluarga T-50 dan FA-50
Golden Eagle. Di kelas 20-an ton pakai F-16 kemudian beralih ke IFX.
Kelas 35 ton-an pakai keluarga Flanker/Fullback. ToT dengan joint
development di kelas 20-an ton (KFX/IFX) sangat strategis, karena berada
di tengah-tengah antara kelas 12-an ton dengan 30-an ton, sehingga
future RI punya fleksibilitas untuk mengembangkan fighter sendiri di
kelas 12-an ton dan 30-an ton.
Penggunaan Eurofighter Typhoon, meskipun ini pesawat bagus tapi
mahal, juga tidak banyak manfaatnya. Typhoon hanya bermanfaat jika RI
punya gesekan dalam hubungan dengan China. Inggris cs tentu saja tidak
akan support jika Typhoon dipakai untuk menyerang sekutunya: Australia,
Singapore, Malaysia, dann lain-lainl. Sekali dua kali Typhoon bisa gelut
dengan F-35 tetangga, tapi tidak dijamin untuk perang berkepanjangan
sekian ronde. Typhoon hanya akan menyandera Indonesia, agar budget
militer besar hanya untuk barang pajangan.
Tawaran ToT Gripen hanya omomg kosong, sebagai pemanis agar
pesawatnya laku. Skema ini tidak jelek, tapi cocoknya untuk negara yang
industri pesawatnya masih pemula. Contohnya Malaysia, biar menyerap
tenaga kerja. Bagi RI fase ToT semacam ini sudah lewat. Real ToT pesawat
untuk makin mandiri buat pesawat adalah di joint development di
IFX/KFX. Tahun 80-an RI sudah ToT membuat heli BO105, Super Puma, hingga
torpedo SUT, termasuk airframe nya dibubut di Bandung. Dan sekarang
tetap saja kita kesulitan mengembangkan sendiri benda-benda ini, karena
ToT memang tidak mungkin mentransfer kemampuan agar bisa mengembangkan
sendiri.
Gripen adalah light fighter berteknologi jadul (lama) yang tidak
bakal dipakai untuk future medium weight stealth fighter IFX/KFX. Korea
kebingungan dengan teknologi ToT jadul ini? Lah pesawat sekelasnya yang
lebih baru, FA-50, isinya apa? Kalau tidak dipakai di KFX IFX, buat apa
bela-belain keluar miliaran US$ utk ToT Gripen ini? Misal benar
mengajarkan engineer sampai mandiri, Indonesia mau pakai di mana? Belum
keluar maintenance cost sepanjang masa hanya untuk light fighter yang
kelasnya duplikasi dengan Golden Eagle. Jangan KEMARUK, tapi lihat
implikasi cost dan benefit untuk kemandirian.
Bagi Swedia, ini terakhir kesempatan obral ToT Gripen ke RI. Saat ini
resource RI baik itu cost dan engineer terserap ke IFX. Sekalinya
pesawat IFX operasional, RI tiba tiba akan langsung naik kelas di kancah
industri pesawat tempur canggih dunia. Teknologi Gripen pun terlibas
dan tinggal menjadi masa lalu. RI kalau kemudian akan mengembangkan
pesawat baru minimal berbasis IFX, sementara Gripen hanya sekedar
literatur pustaka. Dengan IFX/KFX, RI dan Korsel akan mengisi segment
pasar yg saat ini juga diincar Swedia. Apa kata dunia, RI sudah bisa
buat IFX yang canggih kok masih ToT karoseri Gripen yang lebih light dan
jadul. Bad image for RI, but good image for Sweden.
Tahukah anda, tak lama N250 berhasil first flight 1995an kemudian saham Fokker anjlok hingga pabrik ini tutup 1997-an?
Kini begitu PT DI akan menyelesaikan N219, Airbus memindahkan seluruh
produksi NC212 nya ke PT DI. Perlu disadari, N219 pesaing langsung 212
dan Airbus tidak ingin kehilangan pasar di Asia Pasifik. Bagi RI,
keuntungan dari lisensi (ToT) 212 kecil, tapi cukup penting di masa
sulit sekarang. Kalau mau untung besar ya develop pesawat sendiri, bukan
sekedar karoseri ToT. Good luck N219, IFX, New N250 dan sebagainya.
(written by WH / 17/02/2014).