Antara TNI AU dan TNI AL kini punya standar pesawat intai maritim yang sama, yakni platform CN-235 220M (military version).
Dalam hal penempatan, TNI AU lewat Skadron Udara 5 lebih dulu
mengoperasikan CN-235 220M MPA (Maritime Patrol Aircraft), yaitu per
Agustus 2009. Dan, agak lama berselang Puspenerbal TNI AL lewat Skadron
Udara 800 pada Oktober 2013 juga menerima CN-235 220M NG MPA dari PT.
Dirgantara Indonesia (DI).
Meski sama-sama mengusung platform pesawat yang sama, tapi pesawat
patmar (patroli maritim) milik TNI AU dan TNI AL ini punya sentuhan yang
berbeda. Sebelum bicara tentang jeroannya, dari sisi tampilan CN-235 220 MPA TNI AU sudah lebih lekat dalam benak masyarakat, terutama dengan hadirnya radar intai pada hidung pesawat (nose dome),
menjadikan pesawat ini mudah dikenali, bahkan akrab menjadi ikon produk
DI dalam berbagai pameran dirgantara di Luar Negeri. Sebaliknya, CN-235
220M MPA kepunyaan TNI AL juga punya sisi unik dalam hal desain. Memang
hidung pesawat kembali normal, tapi justru radar intainya dipasang
diperut pesawat (bawah body). Penempatan radar ini berdekatan dengan
posisi FLIR (forward looking infra red) SAFIRE III.
Adopsi radar intai dan perangkat FLIR dibawah perut CN-235 220 MPA
TNI AL, menjadikan penempatannya mirip dengan CN-235 110 MPA kepunyaan
Korea Coast Guard. Juga agak mirip dengan HC-235A, yakni CN-235 versi
patmar milik US Coast Guard. Hanya bedanya, di HC-235A posisi FLIR ada
di bawah hidung pesawat. Jadi bila diperhatikan dalam soal penempatan
radar intai dan FLIR, CN-235 Patmar TNI AL merujuk pada pola CN-235 Patmar Korea Selatan.
Merujuk informasi yang dikutip dari situs resmi Puspenerbal,
disebutkan CN-235 Patmar TNI AL dengan nomer P-860 menggunakan jenis
radar intai Ocean Master-400 dan sistem Thales AMASCOS (Airborne Maritime Situation Control System)
200 Mission, yang di dalamnya sudah terintagrasi berbagai sub sistem
yang memang disiapkan untuk deteksi dan identifikasi sasaran di atas
laut. Sub sistem ini diantaranya search radar, FLIR, ESM (electronic support measures), sistem computer taktis, anti jamming VHF/UHF, IFF (identifation friend or foe), kamera untuk siang malam, serta video data link.
Radar Thomson-CSF Ocean Master 400
Sistem AMASCOS 200 sebelumnya juga diadopsi oleh CN-235 220 MPA TNI AU, hanya saja pesawat patroli maritim TNI AU yang berhidung panjang masih menggunakan Ocean Master 100, sementara CN-235 MPA TNI AL sudah menggunakan Ocean Master 400 buatan Thomson-CSF, Perancis. Antara Ocean Master 100 dan Ocean Master 400 dibedakan dari besaran average power, yakni 100 watt untuk Oceabn Master 100 dan 400 watt untuk Ocean Master 400. Dimana keduanya punya jangkauan deteksi yang berbeda.
Sistem AMASCOS 200 sebelumnya juga diadopsi oleh CN-235 220 MPA TNI AU, hanya saja pesawat patroli maritim TNI AU yang berhidung panjang masih menggunakan Ocean Master 100, sementara CN-235 MPA TNI AL sudah menggunakan Ocean Master 400 buatan Thomson-CSF, Perancis. Antara Ocean Master 100 dan Ocean Master 400 dibedakan dari besaran average power, yakni 100 watt untuk Oceabn Master 100 dan 400 watt untuk Ocean Master 400. Dimana keduanya punya jangkauan deteksi yang berbeda.
Secara umum Ocean Master 400 terdiri dari 3 komponen, yaitu antena,
transmitter, dan unit prosesor. Dalam operasionalnya, perangkat ini
dimonitor oleh seorang awak. Antena punya dimensi 955 x 350 mm dengan
bobot 16 kg. Kecepatan rotasi antena radar yaitu 6 hingga 30 rpm,
sementara untuk jangkauan bisa mencakup 360 derajat, atau bila secara
sektoral 60 – 120 derajat. Bobot 3 komponen secara keselurahan hanya
sekitar 80 kg.
Dalam misinya, Ocean Master yang beroperasi di frekuensi I-band dapat menjalankan peran intai kapal permukaan, ASW (anti submarine warfare), pengintaian ZEE (zona ekonomi eksklusif), misi SAR (search and rescue),
anti penyelundupan, hingga dapat memindai jejak tumpahan minyak di
lautan lepas. Radar intai ini pun bisa men-scan 200 target dalam waktu
bersamaan. Lalu bagaimana dengan jarak jangkauan radar ini? Ocean Master
dapat di setting untuk moda long range/short range/small target. Secara terori untuk deteksi jarak jauh bisa mencapai 200 nautical mile (setara 370,4 km).
Bicara soal penempatan, adopsi di radar dibawah perut pesawat (belly dome radar)
punya keunggulan tersediri di CN-235 MPA TNI AL. Sebab model dome radar
di bawah perut memungkinkan untuk memonitor sasaran di belakang
pesawat. Sebaliknya pada Ocean Master 100 yang terpasang di CN-235 MPA
TNI AU terpasang di bagian hidung /moncong (nose dome), menjadikannya hanya bisa melihat sasaran ke depan, kiri dan kanan pesawat.
Winglet to NG (Next Generation)
Konsekuensi dari penempatan radar dan FLIR dibawah perut pesawat jelas ada, hal tersebut dapat menimbulkan gaya hambat (drag) pada pesawat menjadi meningkat. Untuk itulah kemudian PT. DI melakukan terobosan dengan menambahkan winglet pada ujung sayap utama. Adopsi winglet terbukti efektif, sebab gaya hambat berkurang yang otomatis mengurangi konsumsi bahan bakar. Dengan adanya winglet membantu performa pesawat, sehingga dapat menyamai kinerjanya sebelum ditambahkan radar dan FLIR.
Konsekuensi dari penempatan radar dan FLIR dibawah perut pesawat jelas ada, hal tersebut dapat menimbulkan gaya hambat (drag) pada pesawat menjadi meningkat. Untuk itulah kemudian PT. DI melakukan terobosan dengan menambahkan winglet pada ujung sayap utama. Adopsi winglet terbukti efektif, sebab gaya hambat berkurang yang otomatis mengurangi konsumsi bahan bakar. Dengan adanya winglet membantu performa pesawat, sehingga dapat menyamai kinerjanya sebelum ditambahkan radar dan FLIR.
CN-235 220 MPA TNI AL menjadi varian pertama di seluruh keluarga
CN-235 yang dirancang dengan winglet, oleh sebab itu pesawat baru
keluaran PT. DI ini diberi label CN-235 220M NG MPA. Adopsi winglet
menjadikan ada lompatan teknologi dalam desain CN-235, sebab masih
jarang pesawat turbo propeller yang menyematkan winglet. Selain
Indonesia, CN-235 MPA milik Turki juga diketahui mengadopsi jenis radar
Ocean Master 400, hanya bedanya pesawat mereka belum dibekali winglet.
Bagi TNI AL, pesawat baru ini akan dikonsentrasikan di Perairan Aru dan wilayah perbatasan Indonesia – Malaysia
dan Indonesia – Filipina. Maklum, di wilayah perbatasan penyelundupan
masih kerap terjadi dan sulit diberantas. Data dan informasi yang
dikumpulkan dari pesawat intai ini selanjutnya bisa dikirim real time ke
KRI terdekat untuk penindakan yang lebih cepat. Puspenerbal TNI AL
total akan mendapat 3 unit CN-235 220 MPA. Dengan patroli maritim
berbasis pesawat angkut sedang, maka daya jangkau operasi Penerbal dapat
ditingkatkan, setelah selama ini hanya mengandalkan 3 unit NC-212 200 MPA dan N22/N24 Nomad yang sudah lawas. (Bayu Pamugkas)