Untuk kali pertama dalam sejarah
Indonesia, pidato kenegaraan menyambut Kemerdekaan RI di gedung DPR,
tidak didahului dengan lagu Indonesia Raya. Rangkaian acara peringatan
HUT RI ke-64 itu pun memancing reaksi. Tidak jelas memang, hal itu
terjadi karena masalah teknis atau disengaja.
Sejumlah pihak pun mengecam absennya lagu Indonesia Raya itu.
Terlewatnya lagu Kebangsaan ini dipandang sebagai salah satu indikasi
bahwa semangat nasionalisme dan penghargaan kepada pahlawan mulai
ditinggalkan.
“Nasionalisme tidak hanya luntur, tetapi memang sudah tidak ada.
Pemerintah Indonesia benar-benar tidak memberikan perhatian yang serius
terhadap pejuangpejuangnya. Padahal negara yang besar adalah negara yang
menghormati jasa para pahlawannya”
Pernyataan itu dilontarkan oleh Eurico Barros Gomes Guterres, mantan
Wakil Panglima Pasukan Pejuang Integrasi (PPI) Timor Timur. Eurico
Guterres memang memiliki cara pandang tersendiri dalam meletakkan arti
nasionalisme.
Demi membela kedaulatan NKRI, Eurico divonis sepuluh tahun penjara
oleh Mahkamah Agung karena dinilai melakukan pelanggaran berat HAM di
Timor Timur, sebelum provinsi itu lepas dari Indonesia. Sebaliknya,
sejumlah tokoh militer dan Polri lepas dari penjara.
Kecintaan Eurico kepada NKRI dipupuk sejak ia kehilangan orang-orang
terdekat yang dibantai oleh kelompok pemberontak Fretilin. Pengalaman
pahit itu membentuk sikap berani Eurico dalam menghadapi segala resiko.
Keberanian Eurico menjadi perbincangan setelah pada 1988 Eurico
ditangkap aparat keamanan dengan tuduhan terlibat dalam rencana
pembunuhan Presiden Soeharto yang akan mengunjungi Dili pada Oktober
1988.
Disebut-sebut, pertemuan dengan aparat militer itulah yang akhirnya
membawa hubungan dekat Eurico dengan dengan sejumlah petinggi TNI di
Timor Timur. Bahkan, pada 1994 Eurico direkrut menjadi anggota
Gardapaksi, organisasi pro integrasi.
Sepak terjang Eurico Guterres mulai dikenal sejak konfl ik
horisontal, pasca jajak pendapat Timor Timur pada 1999. Eurico menjadi
tertuduh utama milisi dalam pembantaian di Gereja Liquisa, April 1999.
Kerusuhan pasca referendum dan penghancuran ibu kota Dili yang menewaskan ratusan nyawa itu telah memancing perhatian dunia internasional, khususnya Amerika Serikat dan Australia. Negara adi daya itu menekan pemerintah Indonesia melalui Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk mengusut tuntas dalang pelaku kerusuhan.
Diakui ataupun tidak, pemerintah dalam posisi serba salah menghadapi tekanan internasional yang dimotori AS. Ironisnya, Eurico yang juga pejuang pro integrasi dijadikan sebagai tersangka kasus pelanggaran hak asasi manusia itu. Perjuangan Eurico pun dikhianati. Padahal, demi integrasi Timor Timor, Eurico harus berpisah dengan anak dan isterinya.
Milisi pejuang pro integrasi pun di jalan simpang. Di satu sisi sisi, Eurico adalah pejuang integrasi Timor Timur, di sisi lain Eurico juga dipandang terlibat dalam berbagai aksi pelanggaran HAM. Walhasil, dengan alasan adanya paradigma baru, di mana TNI harus dijauhkan dari politik, kekerasan dan menghormati HAM, TNI mengabaikan semua kelompok milisi yang pernah dibentuk.
Pro kontra pun merebak. Lelaki kelahiran Uatolari, Timor Timur, Juli 1971 itu telah dikorbankan untuk menghadapi tekanan asing. Di sisi lain, Eurico dengan jantan mendatangi pihak berwajib untuk siap menjalankan proses hukum jika memang dinyatakan bersalah.
Memang, hukuman sepuluh tahun penjara hanya dijalani Eurico selamasatu tahun sebelas bulan di LP Cipinang, setelah pengajuan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung membebaskan Eurico, April 2008.
Sejak awal, banyak yang meragukan kesalahan Eurico. Pada pengadilan HAM Ad Hoc di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, November 2002, terdapat satu pendapat berbeda (dissenting opinion/DO) dari satu hakim yang berpendapat bahwa Eurico harus dibebaskan dan diberi rehabilitasi.
Pertimbangannya, berdasarkan keterangan saksi aksi penyerangan kelompok Eurico tidak saja dilakukan oleh penduduk sipil tetapi juga oleh militer dan polisi. Sebelumnya Eurico didakwa bersalah melakukan penyerangan terhadap pengungsi di rumah Manuel Viegas Carascalao di Liquisa, 17 April 1999 yang menewaskan 12 orang pengungsi. Dari 18 orang yang dituntut sebagai pelaku pelanggaran berat HAM di Timor Timur, di antaranya terdapat 16 anggota aparat militer dan aparat kepolisian Indonesia, yang dihukum sampai tingkat kasasi adalah Eurico dan mantan Gubernur Timtim Abilio Soares.