Minggu, 24 November 2013

Eks Kepala BIN: Intel RI Juga Tak Kalah Hebat

Bantuan Alat Perang dari Australia Bagai Senjata Makan Tuan



Indonesia Police Watch (IPW) mendesak pemerintah membersihkan semua peralatan cyber bantuan Australia. Terutama Cyber Crime Investigation Satellite Office yang diberikan kepada Polri dan ditempatkan di lima lokasi.
"Sebelum peralatan  dibersihkan, sebaiknya jangan diaktifkan," tegas Ketua Presidium IPW Neta S. Pane, Minggu (24/11).
Neta juga mengatakan berbagai hasil penyadapan tingkat tinggi yang dilakukan badan intelejen Australia terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan sejumlah pejabat negara  sepertinya akan dibocorkan ke publik dalam waktu dekat ini.
Menurut dia, hasil sadapan itu diduga menyangkut kasus megakorupsi Hambalang, Century, kasus BP Migas, dan berkaitan dengan kontrak karya migas yang dimiliki para elit politik serta monopoli impor BBM.
"Penyadapan itu diduga dilakukan Australia melalui berbagai cara via bantuan peralatan cyber yang diberikannya," katanya.
IPW memantau ada sejumlah peralatan yang diberikan Australia kepada Polri pasca Bom Bali I. Bantuan alat sadap itu ternyata bukan hanya untuk Densus 88 Anti Teror. Bantuan yang spektakuler justru diberikan Australian Federal Police kepada Polri. Dalam hal ini AFP mengoperasikan secara resmi Cyber Crime Investigation Satellite Office di Mabes Polri.  
Selain di Mabes Polri, kantor investigasi cyber crime dibangun juga di Polda Metro, Sumut, Bali dan NTB. "Target Australia, perangkat ini dibangun di semua Polda," tegasnya.
Ia menambahkan, kantor ini dilengkapi perangkat dan sarana penunjang forensik digital yang canggih. Tujuannya, untuk melakukan penyadapan, membantu mengungkap, dan memerangi kejahatan dunia maya, khususnya satelit cyber crime, transnational crime, dan cyber crime yang sangat erat dengan internet.
"Kerjasama ini dilakukan akibat meluasnya kejahatan cyber di Indonesia. Bahkan, saat itu situs presidensby.info saja dihack," ujarnya.
Ia menyatakan dana yang digelontorkan AFP untuk peralatan di Mabes Polri saja mencapai 9 juta dolar Australia. "Tapi, bantuan ini bagai senjata makan tuan," ungkapnya.
Menurut Neta, dengan adanya penyadapan yang dilakukan Australia tentunya, semua peralatan bantuan tersebut harus dicermati."Apakah alat-alat itu sudah dipakai untuk menyadap presiden dan para pejabat Indonesia atau tidak," pungkasnya.

Kasus Penyadapan, Indonesia Buta Lawan dan Kawan

Antara/Zabur Karuru/vg

Penyadapan yang dilakukan Autralia merupakan dampak dari sikap Indonesia yang belum bisa menentukan kawan dan lawan dalam sikap politiknya.
Indonesia  telah lama menjadi bidikan penyadapan kerangka kerja lima negara (Amerika, Autralia, New Zealand, Inggris, Kanada) aliansi intelejen dunia The Five Eyes untuk di kawasan Asia Timur, Selatan dan Tenggara.

Hal ini disampaikan politikus Partai Keadialan Sejahtera (PKS) Mahfud Sidiq dalam dialog kebangsaan bertajuk Penyadapan dan Diplomasi, di rumah pergerakan ormas Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI), Jakarta Timur. 

"Jadi ada 12 negara yang menjadi user hasil sadapan sinyal ini. Jadi jangan kaget dengan penydapan ini sebenarnya. Autrali sudah nyatakan itu sejak lama,"ujarnya.

Selain itu, secara teknis Indonesia juga bertahun-tahun membuka ruang penyadapan yang luas dengan menggunakan teknologi komunikasi yang dimiliki oleh negara Amerika.

Dalam sejarahnya, menurut Ketua Komisi I DPR RI ini, penyadapan yang dilakukan oleh Australia sudah terjadi sejak 1950, tapi yang menjadi mengagetkan adalah program politik pemerintah yaitu diplomasi luar negri  dengan zero.  enemy.

Atas kisrus penyadapan yang tak kunjung selesai tersebut, Mahfud menegaskan sudah saatnya pemerintah memperkuat sistem teknologi dengan menentukan sendiri tekonologi yang akan digunakan. 
Pun tegas dalam menentukan sikap kultur dalam berkomunikasi dengan teknologi

"Masyarakat kita terlalu kegirangan dengan teknologi dengan mengungkapkan semuanya pada teknologi, kita sangat telanjang dengan sistem komunikasi kita," cetusnya. 

Situs Polri lumpuh, hacker Indonesia sasar liberal.org.au

Situs Polri lumpuh, hacker Indonesia sasar liberal.org.au
Hacker. ©2013 Merdeka.com



Situs Bareskrim Kepolisian Republik Indonesia belum juga pulih, kini situs kepolisian Republik Indonesia yang beralamat di http://polri.go.id sudah tak dapat diakses sejak malam ini.

Bila situs tersebut dibuka, maka yang ada hanyalah tulisan The Connection was reset. Belum diketahui apa penyebab lumpuhnya situs tersebut, apakah terkena serangan hacker atau kah sedang pemeliharaan.

Berdasarkan data merdeka.com, situs Kepolisian RI bukan kali ini saja tumbang, karena beberapa waktu yang lalu, sekitar Juli, situs tersebut juga tumbang berhari-hari.

Tumbangnya situs Polri itu berarti mengikuti jejak situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang sudah lebih dulu tumbang. Serangan serupa kepada situs pemerintah RI juga pernah dialamatkan ke situs Kementerian Hukum dan HAM, dan KPK.

Sementara itu, seperti tak mengenal kata lelah, peretas Indonesia terus dan terus beraksi, meski beberapa hari kemarin sempat vakum dan melihat situasi keseriusan pemerintah Australia meminta maaf atas tindakan mata-mata terhadap Presiden dan pejabat tinggi di Indonesia.

Dari pantauan merdeka.com, malam ini para peretas akan melakukan serangan terhadap target baru, yang berbeda dari target-target sebelumnya, yaitu partai politik yang sedang berkuasa di Australia di alamat http://liberal.org.au.

Serangan dimulai pukul 19:00 WIB malam ini dengan metode DDOS. Serangan ini, seperti serangan-serangan sebelumnya, diklaim juga mendapat dukungan dari hacker Australia yang tergabung dalam Anonymous Australia.

Situs Partai Liberal Australia tersebut terlihat terus berganti-ganti protokol internet (IP) sehingga susah ditaklukkan oleh hacker Indonesia. Namun, para hacker tersebut seakan tak kenal menyerah dan diprediksi akan terus menyerang sampai pagi nanti.
Merdeka.

Tan Malaka pernah ingin satukan Indonesia-Australia dalam Aslia

Tan Malaka pernah ingin satukan Indonesia-Australia dalam Aslia
Tan Malaka. ©blogspot.com



Isu penyadapan yang dilakukan intelijen Australia terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan sejumlah pejabat negara lainnya belakangan membuat hubungan kedua negara memanas. Sebagai negeri tetangga yang kerap menjalin kerja sama dengan Indonesia, Australia dinilai tak tahu diri atas penyadapan yang dilakukannya.

Indonesia dengan Australia memang dua negara yang memiliki kedekatan dari segi letak geografis. Dulu Ibrahim Datuk Tan Malaka , sang Bapak Republik Indonesia, bahkan sempat memiliki konsep penyatuan Australia, Indonesia dan sejumlah negara Asia lainnya dalam Aslia yang merupakan singkatan dari Asia-Australia.

Ceritanya, pada Juni 1927 Tan Malaka berada di Bangkok dan mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) bersama Subakat dan Jamaludin Tamim. Namun, selang berapa tahun kemudian sesuai dengan suasana dan kondisi dunia yang berubah, PARI lantas menjadi Proletaris Aslia Republik Internasional.

"Jadi wataknya PARI tetap Proletaris seperti sedia kala dan daerahnya tetap pula internasional seperti dulu, tetapi daerahnya sudah bertambah luas, daerahnya sekarang adalah daerah yang cocok dengan penyelidikan para ahli yang bersandarkan atas ilmu bumi ilmu bangsa serta akhirnya cocok pula dengan perekonomian," kata Tan Malaka dalam 'Manifesto Jakarta' 1945.

Menurut Tan Malaka , Aslia meliputi wilayah Birma (sekarang Myanmar), Thailand, Annam, Philipina, Semenanjung Malaya, Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Sunda kecil dan Australia Panas. Wilayah Australia Panas yang dimaksud luasnya sekitar 1/3 dari keseluruhan wilayah Australia.

Tan Malaka yakin di zaman kuno, wilayah Indonesia menyatu dengan Australia. Hal itu berdasarkan penelitian yang dilakukan ilmu pasti Asia. Saat itu, manusia di tanah Indonesia juga berada di tanah Australia hingga proses alam akhirnya memisahkan tanah kedua wilayah itu.

Meski demikian, Tan Malaka sadar penduduk Australia di eranya mayoritas bukan warga pribumi. Di wilayah Australia bagian selatan yang berudara sejuk, didiami oleh bangsa Eropa yang merupakan keturunan dari orang-orang hukuman Kerajaan Inggris di masa lampau. Tan Malaka menyebut wilayah itu sebagai Australia Putih. Mereka tak bisa hidup di wilayah Australia Panas.

"Bangsa pindahan ini seperti juga di Amerika membinasakan lebih kurang memusnahkan bangsa Australia Asli dan peperangan lahir dan batin yang tiada henti-hentinya, di seluruh Australia Putih yang luasnya lebih kurang 1/3 pula dari seluruh dataran Australia yang luasnya 3 juta miles persegi itu," kata Tan Malaka .

Menurut Tan Malaka , seluruh wilayah Aslia memiliki berbagai kesamaan, dua di antaranya adalah kondisi iklim dan musim. Selain itu, alat perkakas, kehidupan ekonomi, sosial, politik, jiwa, perasaan, hasrat serta impian masyarakatnya juga tidak berbeda satu sama lain.

"Pendek kata seluruh Aslia kini dalam segala cara penghidupan berada dalam keadaan yang bersamaan dan suasana serta keadaan dunia setelah Perang Dunia II ini membutuhkan pergabungan dan kerja sama," kata Bapak Republik Indonesia itu.

Tan Malaka bercita-cita mewujudkan masyarakat yang tolong menolong dan sama rata dalam semua segi kehidupan di Aslia. Selain itu, Tan Malaka berpandangan, dengan terwujudnya Aslia, akan tercipta kesimbangan di dunia internasional. Hal itu berdasarkan pembagian negara-negara raksasa yang dilakukannya. Dia membagi negara-negara di dunia ini menjadi delapan hingga 10 kelompok raksasa.

"Amerika Serikat dan Kanada kira-kira mempunyai wilayah 8 juta miles-persegi dengan jumlah penduduk kira-kira 160 juta jiwa. Tiongkok dengan luas wilayah 4,5 juta miles-persegi dengan jumlah penduduk 400 juta jiwa, Soviet Rusia mempunyai wilayah lebih kurang 9 juta miles-persegi dengan jumlah penduduk 200 juta jiwa, penduduk Eropa Barat dengan luas wilayah 3,75 juta miles-persegi dengan jumlah penduduk 350 juta jiwa, dan selanjutnya Hindustan dan Iran (Indo-Iran), Afrika dalam satu atau dua gabungan, Amerika Selatan jika ingin berdiri sendiri," katanya.

Tan Malaka meyakini dengan adanya delapan hingga 10 gabungan raksasa dunia yang masing-masing dapat berdiri sendiri dalam hal ekonomi itu, satu sama lainnya akan saling menghormati. Sebab, kekuatan besar tidak akan melawan kekuatan besar. Mereka justru akan saling menjaga kedamaian dan saling berhubungan untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Dengan terciptanya kondisi tersebut, Tan Malaka percaya keamanan, kemakmuran dan persatuan dunia akan tercipta. Sebab, perdamaian dunia tidak akan bisa kekal jika hanya ada tiga atau empat negara besar saja. Karena, penjajahan secara langsung maupun tidak langsung (ekonomi) akan terus terjadi terhadap negara kecil. Tentunya, negara kecil terjajah itu tidak akan terima dan mencoba mencari koloni dengan negara besar lainnya yang dapat berujung pada terciptanya permusuhan hingga dapat menimbulkan perang dunia.

Karena itu, menurut Tan Malaka cuma konsep 'gabungan kelompok raksasa' yang dapat menjamin terciptanya perdamaian di muka bumi.

"Perhubungan yang semakin hari akan semakin rapat antara manusia dan manusia, bangsa dan bangsa juga dalam politik, ekonomi dan kebudayaan kelak selangkah demi selangkah akan mengadakan Internasionalisme yang berdasarkan keanekaragaman yang bersatu padu (homogen )," katanya.


Andai konsep tersebut saat itu dapat terealisasi tentunya kasus penyadapan yang dilakukan Australia terhadap Indonesia tak akan terjadi dan kehidupan dunia internasional akan lebih adil.

Tindakan Indonesia sikapi penyadapan Australia dinilai tepat

Ilustrasi Kegiatan mata-mata AS (ANTARA News/Grafis)
 
Tindakan pemerintah Indonesia dengan memanggil pulang duta besar dan menghentikan beberapa kerja sama militer dengan Australia sebagai respons atas penyadapan yang dilakukan intelijen "negeri kanguru" terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dinilai tepat.

"Sikap pemerintah Indonesia sudah tepat karena secara diplomatik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghendaki hubungan baik dan tidak saling mencurigai," kata pengamat politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Bambang Cipto di Yogyakarta, Sabtu.

Menurut dia, tindakan pemerintah Indonesia merupakan sebuah bentuk penyesalan atas tindakan penyadapan yang dilakukan Australia dan bukan untuk memusuhi. Indonesia tidak mengusir duta besar Australia.

"Kerja sama yang dihentikan Indonesia secara sepihak membuat pemerintah Australia secara resmi mengungkapkan penyesalan itu merupakan bentuk perasaan takut mereka kepada Indonesia," kata Rektor UMY itu.

Ia mengatakan, Indonesia merupakan negara yang penting bagi Australia. Hubungan kedua negara yang tidak sekali mengalami ketegangan diplomatik tersebut merupakan suatu dinamika hubungan antarnegara yang bertetangga.

"Australia dan Indonesia tidak bisa lepas dari fakta bahwa kedua negara bertetangga dan akan masih ada hubungan yang panjang ke depan. Hal itu semacam bumbu dalam hubungan diplomatik, tidak mungkin hubungan mulus-mulus saja," katanya.

Menurut dia, Indonesia tidak memiliki permusuhan yang fundamental dengan Australia sehingga hubungan kedua negara tidak akan putus begitu saja.

"Kasus penyadapan tersebut tidak akan mengganggu para pelajar Indonesia yang sedang belajar di negeri kanguru," katanya.

Adanya wacana untuk mendatangkan mantan kontraktor untuk National Security Agency (NSA) yang menginformasikan penyadapan Australia, Edward Snowden, ia mengatakan hal itu tidak perlu dilakukan karena akan memperlebar masalah.

"Saya rasa hal itu tidak perlu dilakukan. Masalah tidak perlu diperpanjang," kata Guru Besar Hubungan Internasional UMY itu.

Sabtu, 23 November 2013

Wakil Menhan: Tanpa Australia, Pertahanan RI Solid

Wakil Menhan: Tanpa Australia, Pertahanan RI Solid
Sjafrie Sjamsoeddin. TEMPO/Imam Sukamto

Seluruh kerja sama di bidang pertahanan antara Indonesia dengan Australia dihentikan menyusul terbongkarnya skandal penyadapan yang dilakukan intelijen negara tersebut. Bahkan, latihan tempur bersama yang dilakukan militer kedua negara juga disetop.

Wakil Menteri Pertahanan dan Keamanan Letnan Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin mengungkapkan bahwa penghentian kerja sama pertahanan dilakukan atas instruksi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. "Kami setop sampai Australia memberikan jawaban yang tegas dan jelas," kata Sjafrie saat berkunjung ke industri roket dan bom PT Sari Bahari Malang, Jawa Timur, Jumat, 22 November 2013.

Menurut dia, Indonesia tak memiliki beban dengan diakhirinya kerja sama militer dan pertahanan dengan Australia. Dia berpendapat sistem pertahanan RI sudah solid dan kuat.

Mengenai kekuatan spionase Indonesia, Sjafrie menyatakan bahwa sistem intelijen sudah tertata dan memiliki kapabilitas yang memadai. Termasuk di antaranya menangkal aksi mata-mata musuh dengan melakukan kontra-intelijen. "Semua berada di bawah manajemen Badan Intelijen Negara," katanya.