Helikopter AgustaWestland (AW-101) (agustawestland.com)
Rencana TNI Angkatan Udara untuk mendatangkan helikopter kepresidenan
jenis AgustaWestland (AW)-101 sepertinya tak akan berjalan mulus.
Bahkan, rencana tersebut terancam batal menyusul banyaknya kritikan yang
datang bertubi-tubi.
Begitu banyaknya kritikan membuat
pemerintah berencana membahas rencana pembelian helikopter VVIP buatan
perusahaan Inggris dan Italia itu. Rencana pembahasan ini diungkapkan
Wakil Presiden Jusuf Kalla usai mengantar Presiden Joko Widodo di Lanud
Halim Perdanakusuma Jakarta, Minggu 29 November 2015.
"Anggaran
TNI, tapi nanti kami bahas setelah Presiden pulang," kata Kalla saat
dikonfirmasi mengenai dana pembelian helikopter super mahal tersebut.
Di
tempat yang sama, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan
Keamanan, Luhut Binsar Pandjaitan, juga mengatakan hal serupa. Apakah
memang helikopter Super Puma yang selama ini digunakan akan diganti,
menurut Luhut, akan diputuskan setelah Jokowi kembali ke Tanah Air.
Termasuk
opsi, agar helikopter VVIP lebih baik menggunakan produksi dalam
negeri, dalam hal ini buatan PT Dirgantara Indonesia (DI). "Saya enggak
mau berspekulasi (gunakan helikopter buatan PT DI), tapi kami akan
lihat helikopter Presiden perlu diganti atau tidak. Nanti kami rapatin setelah Presiden pulang," kata Luhut.
Kritikan
mengenai rencana membeli helikopter AgustaWestland (AW)-101 ini memang
datang bertubi-tubi sejak pertama kali dicetuskan TNI AU. Bahkan, saat
beberapa kalangan berdalih faktor keamanan yang menjadi prioritas dari
rencana pembelian helikopter super mewah ini.
Beberapa waktu
lalu, TNI AU lewat Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal TNI Agus
Supriatna begitu pede akan memboyong tiga helikopter AgustaWestland
(AW)-101 dalam rencana strategis (renstra) 2015-2019 yang sudah
dilayangkan kepada Kementerian Pertahanan Republik Indonesia dan
disampaikan pula ke Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
"Jadi,
ini hasil dari kajian satuan bawah dari Skuadron VVIP, kami kaji di
Mabes. Akhirnya, saya putuskan untuk renstra 2015-2019 kami beli untuk
memenuhi Skuadron VVIP," kata Agus kepada VIVA.co.id beberapa waktu lalu
Tuai Kritikan
Selain dana yang tak sedikit, pembelian helikopter jenis
AgustaWestland (AW)-101 menuai banyak kritikan, karena berkaitan dengan
helikopter yang bakal digusurnya yakni Super Puma yang selama 13 tahun
telah menjadi kendaraan kepresidenan.
Ya, helikopter ini memang
rakitan dari putra-putri terbaik bangsa yang berada di PT Dirgantara
Indonesia (PTDI), meski secara lisensi milik Prancis. Kondisi ini yang
memicu reaksi dari berbagai kalangan, termasuk dari politisi PDIP yang
juga anggota Komisi I DPR, Tubagus Hasanuddin.
"Siapa lagi yang mau menggunakan produk dalam negeri, kalau bangsa sendiri tidak mau menggunakannya," kata Hasanuddin.
Padahal,
menurut dia, pembelian dari industri dirgantara lokal seperti PT
Dirgantara Indonesia (DI) akan memberikan keuntungan bagi negara dan
juga PT DI. Dengan membeli dari PT DI, maka 30 persen dari uang rakyat
itu akan kembali ke negara.
"Setidaknya dalam bentuk pembelian
bahan baku lokal dan 700 teknisi anak bangsa bisa melanjutkan hidupnya
dari perusahaan ini," ujarnya.
Tubagus melanjutkan, dalam
peraturan perundangan yang berlaku, pemerintah wajib memaksimal produk
industri pertahanan dalam negeri.
“Jenis ini, (Super Puma) juga
bagus dan sudah dipakai oleh 32 kepala negara dan raja di dunia.
Harganya US$35 juta, bandingkan dengan AgustaWestland AW101 yang
mencapai harga US$55 juta,” tutur Tubagus.
Tak kalah terkejut,
pengamat penerbangan, Alvin Lie, juga melayangkan kritikan. Terlebih,
TNI AU sebagai pengguna, sama sekali tidak pernah melakukan sosialisasi.
Apalagi, pemerintah maupun DPR juga sekadar merespons pembelian
tersebut.
"Kali ini rencana peremajaan (helikopter) tidak ada
sosialisasi. TNI AU mendadak membeli AW-101, ini kejutan bagi kami,"
kata Alvin Lie dalam perbincangan di program "Apa Kabar Pagi" tvOne, Jumat 27 November 2015.
Alvin
menyayangkan, pembelian helikopter tersebut dilakukan di saat PT
Dirgantara Indonesia sudah mampu memproduksi sendiri Helikopter Super
Puma, yang kualitasnya tidak kalah dengan AW-101 yang justru hanya
dikendarai empat kepala negara saat ini.
"Ini berbeda ketika SBY beli Boeing untuk pesawat kepresidenan, karena PT DI tidak membuat itu," ujarnya.
Masih
menurut Alvin, secara politik, rencana membeli helikopter
AgustaWestland (AW)-101 ini juga sebagai betuk mosi tidak percaya
terhadap produk perusahaan yang dikelola pemerintah. Ironis memang.
Poin
penting lain yang juga menjadi sorotan Alvin adalah catatan kelam India
saat menjadikan AW-101 ini sebagai helikopter VVIP. Ternyata, pembelian
unit helikopter super canggih ini diwarnai dengan skandal memalukan.
"Helikopter
AW-101 ini pernah dibeli India untuk pesawat VVIP, namun pada 2013
terungkap bahwa pembelian itu terdapat skandal penyuapan," kata Alvin.
Skandal
tersebut terungkap setelah parlemen India mempelajari proses pembelian
12 unit helikopter AW-101 dengan kontrak senilai US$540 juta. Sejumlah
politisi dan pejabat militer India dituduh menerima suap dari
AgustaWestland untuk memenangkan pengadaan 12 helikopter.
"Setelah
dipelajari parlemen, ada unsur penyuapan. Pada 12 Februari 2013
direktur Mekanika, perusahaan induk Agusta dan CEO-nya ditangkap,"
ujarnya.
Setelah penangkapan petinggi AgustaWestland, giliran
pejabat senior dan pejabat militer Angkatan Udara India diperiksa
terkait skandal penyuapan dalam pengadaan 12 helikopter AW-101 itu.
"Pada Januari 2014, pemerintah India membatalkan kontrak tersebut,"
papar Alvin.
Peristiwa ini, Alvin melanjutkan, diharapkan menjadi
pembelajaran bagi pemerintah Indonesia agar proses pengadaan alat utama
sistem persenjataan (alutsista) dilakukan secara transparan dan
akuntabel.
Nasionalisme Diuji
Sindiran
juga diberikan politisi Partai Gerindra yang juga anggota Komisi I DPR,
Elnino M Husein Mohi. Menurut Elnino, Presiden Jokowi seharusnya tetap
menggunakan Super Puma dibanding helikopter AW-101, terlebih dikaitkan
dengan nasionalisme yang selalu didengungkan sang Presiden.
"Saya
yakin, Presiden RI Jokowi konsisten dan akan pakai Puma sebagaimana
dulu pernah pakai mobil Esemka atas nama nasionalisme," kata Elnino,
dalam siaran pers, Minggu 29 November 2015.
Saat menjadi wali
kota Solo, Jokowi memang cukup populer dengan manuvernya menggunakan
mobil Esemka sebagai kendaraan dinasnya. Hingga akhirnya, ia terpilih
menjadi gubernur DKI dan menang di Pilpres 2014. Ironisnya, nasib Esemka
kini tak jelas.
Sebagai Presiden, masih menurut Elnino,
seharusnya memang melindungi produk-produk dalam negeri. Apalagi, untuk
helikopter VVIP, anggota Komisi yang membidangi pertahanan keamanan ini,
mengaku PT DI bisa memproduksi helikopter yang berkualitas dan teruji.
Kritikan
yang tak kalah tajam datang dari anggota Komisi I DPR dari Partai
Persatuan Pembangunan (PPP), Syaifullah Tamliha. Ia khawatir dengan
rencana pembelian helikopter Kepresidenan yang baru ini akan menggunakan
pinjaman luar negeri.
“Saya khawatir pembelian pesawat Italia
itu menggunakan pinjaman luar negeri, pastilah itu berbentuk valas.
Kalau itu pinjaman luar negeri, saya belum tahu ya karena belum dibahas
di Komisi I. Pinjaman luar negeri itu membebani utang negara dan
mengubah postur anggaran APBN 2016,” kata Tamliha.
Tamliha juga
tidak yakin jika Presiden Jokowi nantinya akan memilih jenis
AgustaWestland AW-101 sebagai helikopter barunya. Terlebih dengan
komitmen Jokowi yang selalu mengedepankan hasil karya anak negeri.
"Saya tidak yakin Jokowi membutuhkan heli itu. Saya mendengar persis di KIH itu salah satu pointer
penting. Waktu pertemuan KIH pertama dengan Pak Jokowi adalah dia akan
memberdayakan hasil karya anak negeri ini, termasuk hasil dari PT
Dirgantara Indonesia,” ungkapnya.
Buatan Anak Bangsa Tak Kalah
Banyak
pihak mengatakan, helikopter buatan PT DI juga tidak kalah dengan jenis
AW-101 yang diusulkan ingin dibeli pemerintah. Helikopter modern EC-725
Combat SAR produksi PT DI, memiliki teknologi canggih, tetapi lebih
terjangkau harganya ketimbang heli dengan kelas serupa, Agusta Westland
AW-101.
"Saya tidak ingin bicara harga pesawat orang lain. Tapi,
untuk EC-725, satu unitnya 25 ribu sampai 26 ribu euro. Kalau mau
dilengkapi jadi VVIP dengan berbagai kelengkapan, total maksimum 30 ribu
sampai 35 ribu euro," kata Direktur Niaga dan Restrukturisasi PT DI,
Budiman Saleh.
Budiman mengatakan, sejauh ini pihaknya masih
memperkenalkan EC-725. Menurut dia, belum ada pembicaraan serius dengan
pemerintah, terkait pengadaan. "Kami cooling down dulu, karena proses tender ini belum terjadi," dia menambahkan.
Walau
pemerintah tidak dilarang untuk membeli pesawat dari luar negeri, namun
peraturan perundang-undangan mengenai industri pertahanan menyebutkan,
pemerintah sudah seharusnya memelihara kemandirian industri dalam
negeri.
"Undang-undang itu mengajarkan pentingnya kemandirian industri pertahanan dan sustainability industri pertahanan dalam negeri," lanjut Budiman.
Seperti
diketahui, helikopter EC-725 Combat SAR disertai dengan
teknologi-teknologi supermodern. Helikopter ini antipeluru, perahu
karet, Forward Looking Infrared (FLIR) dan teknologi canggih
lainnya. "Teknologi hampir sama (dengan AgustaWestland AW-101)," kata
Direktur Produksi PT DI, Arie Wibowo.
Dan yang tak kalah
penting, karena buatan lokal, maka perawatan dan suku cadang Super Puma
lebih terjamin, berbeda dengan suku cadang AW-101 yang lebih mahal dalam
status impor serta tidak ada jaminan tidak diembargo.
Viva.