Mantan Presiden Republik Indonesia kedua, Soeharto
Presiden Jokowi berniat
menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden. Rencana ini menuai pro
dan kontra. Sebagian pihak menilai Jokowi membawa kembali Indonesia ke
zaman Orde Baru dimana pemerintah antikritik. Sedikit-sedikit dianggap
menghina presiden langsung diseret pidana.
Jokowi sendiri telah menegaskan kritik beda dengan menghina. Menurutnya presiden sebagai simbol negara tak pantas dihina.
Dulu di zaman Orde Baru, membicarakan hal buruk soal Presiden
Soeharto dan keluarganya selalu harus bisik-bisik. Jika ada yang bicara
terlalu keras, biasanya ada yang menegur. Menyuruh agar bisik-bisik
saja.
“Entahlah, kalau dulu itu katanya banyak intel. Takut bicara jelek
soal Presiden. Kalau ada yang keras-keras biasanya dibilangin. Huuuss,
jangan keras-keras nanti terdengar petugas. Biasanya orang tua yang
mengingatkan. Kalau sekarang sepertinya bebas mau omong apa saja soal
presiden,” kata Saiful (60), seorang pensiunan PNS.
Saiful menambahkan dulu tabu bicara jelek soal presiden. Walau kebenaran intel yang berkeliaran itu belum tentu benar.
“Yang hidup tahun 80an pasti merasakan juga. Bisik-bisik saja jika bicara buruk soal Pak Harto,” katanya.
Di era Presiden Soeharto, munculah Petisi 50. Mereka berisikan
tokoh-tokoh yang merasa Soeharto terlalu otoriter. Anggota Petisi 50 di
antaranya Jenderal Hoegeng, Letjen Ali Sadikin, Letjen Kemal Idris,
Mohamad Natsir, Jenderal AH Nasution dan Burhanudin Harahap.
Soeharto selalu menganggap kritik terhadap dirinya sebagai serangan
terhadap Pancasila. Tak setuju dengan Soeharto berarti anti-Pancasila.
Inilah yang coba dikritisi oleh Petisi 50. Soeharto bukanlah manifesto
Pancasila. Mengkritik Soeharto bukan berarti tak setuju asas tunggal
Pancasila saat itu. Petisi 50 bersuara lantang melawan penguasa Orde
Baru itu.
Soeharto mengambil langkah keras terhadap para tokoh Petisi 50. Usaha
mereka dihambat, tak boleh bicara di media atau di tempat umum. Dicekal
ke luar negeri. Jenderal Hoegeng sampai dilarang menghadiri HUT
Bhayangkara. Langkah mereka benar-benar dimatikan.
Kini sejumlah pihak takut hal seperti ini terjadi kembali. Walau Jokowi sudah meminta tak perlu terlalu jadi polemik.
“Kemarin kan sudah saya jelaskan, sampaikan, justru dengan
pasal-pasal yang lebih jelas seperti itu, kalau kamu mengkritisi, kalau
kamu berikan koreksi terhadap pemerintah malah jelas. Kalau tidak ada
pasal itu malah bisa dibawa ke pasal-pasal karet,” terang
Jokowi. (Merdeka)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar