Saat bertandang bulan lalu di kota Malang. Jawa Timur, kami mendengar
petikan sejarah perjuangan yang begitu heroik, namun harus diakui cukup
sadis. Ini terjadi saat Agresi Militer Belanda I di tahun 1947. Dalam
sebuah babak pertempuran antara pasukan Pemuda Pelajar Brigade 17
Detasemen I/TRIP Jawa Timur melawan militer Belanda yang ingin menduduki
kota Malang, seolah ingin membuat efek jera bagi para pejuang Republik,
militer Belanda dengan kekuatan rantis lapis bajanya menjalankan aksi
teror.
Akibat kontak senjata yang tak seimbang, pejuang TRIP Jawa Timur
terpukul mundur dan beberapa akhirnya ditawan Belanda. Nah, puluhan
pejuang harus meregang nyawa dengan cara sadis, yakni dilindas
hidup-hidup oleh tank. Dalam peristiwa pertempuran 31 Juli 1947,
disebutkan 35 pejuang pasukan TRIP gugur dalam kejadian itu. Tanpa
bermaksud membuka lembaran kelam, menjadi menarik untuk ditelusuri,
jenis tank apakah yang digunakan Belanda untuk melindas para pejuang
TRIP?
Ternyata tak sulit menemukan sosok tank yang dimaksud, ‘pelaku’
sejarah ini telah dijadikan salah satu koleksi di museum Brawijaya, yang
juga berada di kota Malang. Bahkan, tank ini adalah ikon museum
Brawijaya, selain karena lakon sejarah yang kental, wujud dan dimensi
tank ini memang lumayan besar. Yang dimaksud disini adalah Amtrac (Amphibious Tractor), resminya diberi label LVTA (Landing Vehicle Tracked Armoured) 1. Meski bergerak dengan roda rantai, sejatinya Amtrac tidak masuk dalam kualifikasi tank tempur.
Amtrac LVTA diciptakan dalam berbagai varian oleh Food Machinery
Corp, AS dan populer dalam palagan Perang Dunia II, baik di medan Eropa
saat sekutu menghadapi NAZI Jerman, maupun saat AS meladeni pertempuran
melawan Jepang di Asia Pasifik. Bahkan, lepas Perang Dunia II, Amtrac
masih lumayan banyak digunakan saat Perang Korea.
Sebagai kendaraan amfibi lapis baja, struktur Amtrac memang perkasa.
Amtrak punya dimensi 7,95 x 3,25 x 3,07 meter, sosoknya sekilas nampak
jauh lebih sangar ketimbang pansam BTR-50P Marinir TNI AL. Bobotnya pun
bisa mencapai 15 ton. Membayangkan apa yang terjadi antara Amtrac
berbobot 15 ton dengan pejuang TRIP, tentu amat mengerikan.
Amtrac LVTA 1 diawaki enam orang, terdiri dari komandan, juru mudi,
asisten juru mudi, juru tembak depan sebelah kiri, dan dua juru tembak (gunner)
pada bagian belakang. Sebagai senjata andalan untuk LVTA yang digunakan
Belanda adalah SMB (Senapan Mesin Berat) Browning M2HB 12,7 mm.
Komposisi jumlah awak tentu bergantung pada varian yang diadopsi, Amtrac
(LVTA 2) juga ada yang dipersentai dengan kanon M6 37 mm, serupa dengan
yang terpasang pada tank ringan legendaris M3A3 Stuart.
Sebagai kendaraan angkut amfibi, Amtrac juga dilengkapi pintu rampa
(ramp door) pada bagian belakang. Muatan yang bisa dibawa hingga 4,1
ton, sehingga Amtrac bisa membawa satu unit jip Wilys atau Howitzer
dengan mudah. Sebagai elemen perlindungan, jenis material yang digunakan
untuk bodi adalah rolled homogeneous steel. Komposisi kepadatan lapisan
baja bervariasi sesuai sudut, berkisar antara 6 sampai 13 mm.
Bagaimana dengan urusan dapur pacu? Sebagai rantis era Perang Dunia
II, Amtrac masih mengandalkan mesin berbahan bakar bensin. Mesin
mengusung tipe Continental W-670-9A dengan tujuh silinder. Untuk
transmisi menggunakan 5 kecepatan maju dan 1 langkah untuk mundur. Laju
kecepatan rantis ini pun terbilang terbatas, untuk di jalan raya
kecepatan maksimum hanya 40 km per jam. Sementara kecepatan saat melaju
di air maksimum 11 km per jam. Daya jelajah Amtrac juga terbatas, jarak
tempuh di darat hingga 201 km, sementara di air hingga 120 km. Seperti
halnya tank IFV BVP-2 Arhanud Marinir TNI AL, Amtrac melaju di air tanpa
dukungan propeller, melainkan bergerak dengan mengandalkan putaran roda
rantai.
Jadi Kekuatan Awal Kavaleri Marinir TNI AL
Pasca berlangsungnya KMB (Konferensi Meja Bundar) di tahun 1949, yang dilanjutkan dengan terbentuknya APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat), maka Belanda menghibahkan beragam alat perangnya yang telah digunakan di Indonesia. Di lingkungan ALRIS (kini TNI AL), proses hibah peralatan kavaleri dilakukan oleh Koninklijke Marine (Marinir Kerajaan) kepada Korps Komando ALRI (KKO AL). Hanya karena di lingkungan KM, tidak satupun ada personel pribumi, seluruh personel KM adalah orang kulit putih warga negara Belanda, maka proses peleburan TNI-KNIL tidak terjadi di lingkungan satuan kavaleri KKO AL. Para personel pengawak KKO AL dilatih di bawah payung program pelatihan Missie Militer Belanda (MMB).
Pasca berlangsungnya KMB (Konferensi Meja Bundar) di tahun 1949, yang dilanjutkan dengan terbentuknya APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat), maka Belanda menghibahkan beragam alat perangnya yang telah digunakan di Indonesia. Di lingkungan ALRIS (kini TNI AL), proses hibah peralatan kavaleri dilakukan oleh Koninklijke Marine (Marinir Kerajaan) kepada Korps Komando ALRI (KKO AL). Hanya karena di lingkungan KM, tidak satupun ada personel pribumi, seluruh personel KM adalah orang kulit putih warga negara Belanda, maka proses peleburan TNI-KNIL tidak terjadi di lingkungan satuan kavaleri KKO AL. Para personel pengawak KKO AL dilatih di bawah payung program pelatihan Missie Militer Belanda (MMB).
Elemen kavaleri KKO AL yang diterima dari KM meliputi kendaraan
pendarat amfibi meriam LVTA (Landing Vehicle Tracked Armoured) 1 dan 4,
LVTH (Landing Vehicle Tracked Howitzer), panser amfibi DUKW dan tank
berat M4A3 Sherman yang dimodifikasi menjadi tank amfibi. Awalnya
kesatuan kavaleri KKO AL masih kekuatan setingkat kompi, yaitu Kompi
Tank dan Kompi Amphibious Tractor/Amtrac). Baru diresmikan menjadi
Batalyon Tank Amfibi pada tanggal 17 Oktober 1961 dengan nama Batalyon
Tank Amfibi.
Amtrac sempat digunakan KKO AL dalam operasi militer menumpas
PRRI/Permesta. Selain karena usia tua, rantis ini tak lama dioperasikan,
mengingat biaya operasional yang besar, terutama pada konsumsi bahan
bakarnya yang lumayan boros. Dalam gelar operasi tempur, saat menuju
pantai Amtrac dilepaskan dari LST (Landing Ship Tank). (Haryo Adjie)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar