Perkembangan teknologi industri militer akhirnya menghantarkan kita pada alutista tak berawak yang dikendalikan dari jauh. Namun, unmanned aerial vehicle (UAV) atau lebih populer dengan istilah drone sendiri bukan barang baru di catatan sejarah. Menurut wikipedia, Konsep drone dapat ditelusuri sampai pertengahan abad ke-19, ketika Austria mengirim balon bom tanpa awak untuk menyerang Venesia.
Pada tahun 2012, tercatat Angkatan Udara Amerika Serikat mendayagunakan 7.494 UAV dan UCAV (unmanned combat aerial vehicle), berarti hampir 1 dari 3 pesawat Angkatan Udara AS adalah UAV. Memasuki abad ke 21 peran UAV di militer sudah lebih dari IRS (inteligence, reconnaissance, and surveillance) dengan merambah sebagai unit serang udara ke darat. Pada era Perang Dingin, untuk mengurangi resiko jatuhnya pilot di teritori lawan Amerika Serikat secara intensif mengembangkan teknologi drone.
Bagaimana dengan Indonesia? UAV sendiri bakal dikerahkan untuk menjaga perbatasan Indonesia dan Malaysia di Kalimantan, termasuk patroli hingga ke Kepulauan Natuna. Hal ini sejalan dengan konsep penggunaan drone yang dicanangkan Presiden Jokowi saat kampanye. UAV digunakan untuk memantau perbatasan karena menggunakan tenaga manusia untuk mengawasi perbatasan dibutuhkan ribuan orang, bahkan jika menggunakan pesawat biasa memiliki keterbatasan dari sisi bahan bakar, sehingga pengawasan di wilayah perbatasan tidak dapat maksimal. Drone dianggap lebih efisien dan hemat.
Sejak 2012 lalu, tersiar kabar bahwa Indonesia akan membeli 4 unit Heron UAV buatan Israel untuk menjadi ‘teman’ bagi pesawat tanpa awak jenis wulung. Namun sampai saat ini belum jelas juntrungannya soal penggunaan Heron oleh Indonesia. Wulung sendiri sudah diserahterimakan, namun sampai detik ini belum operasional secara penuh.
UAV Heron dikembangkan oleh divisi Malat (UAV) Israel Aerospace Industries. Dalam medan pertempuran, Heron dapat digunakan sebagai missile guidance selain tentunya mata-mata. Sensor dalam tubuh pesawat berkomunikasi dengan stasiun pengendali darat secara real time, via direct line of data link atau melalui relay satelit.
UAV Heron mampu terbang selama 50 jam dengan ketinggian 10.000 meter kemudian menangkap dan menghasilkan gambar full colour, cocok untuk misi pengintaian juga surveilance. Secara teori, UAV yang berkecepatan maksimal 200 km per jam ini bisa diprogram untuk terbang secara otomatis dari take off hingga landing atau manual, atau kombinasi dari keduanya dalam kondisi cuaca apapun. Dari kemampuannya yang spektakuler, UAV jenis ini dikategorikan sebagai MALE (medium altitude long endurance) Secara teori UAV memiliki jarak tempuh sekitar 400 km. Pada kenyataannya, jarak operasionalnya kurang dari angka tersebut, tergantung dari payload yang dibawa saat mengudara.
Pembelian Heron sendiri ramai dibicarakan. Bukan karena masyarakat berkeberatan secara ekonomis, ataupun pertimbangan strategis namun lebih ke arah politik. Sebagai negara dengan mayoritas populasi muslim, seringkali kita bersebrangan dengan politik Israel dalam menyikapi Palestina. Bahkan pembelian Heron ini sempat menimbulkan aksi demonstrasi.
Meski pengadaan UAV buatan Israel banyak menuai kecaman di dalam negeri, tapi satu yang harus diketahui, bahwa Israel saat ini menguasai pasar UAV (drone). Nama-nama UAV yang kondang, seperti Searcher dan Hermes juga buatan Israel. Bahkan dari AS, Perancis, Rusia, dan India turut membeli UAV dari Israel. Secara legal, pengadaan UAV dari luar negeri sudah tertuang dalam Surat Keputusan Dephan Nomor SKEP/723/M/IX/2006. Surat tersebut dikeluarkan 21 September 2006 dan ditandatangani Menteri Pertahanan (Menhan) Juwono Sudarsono. Menhan Juwono Sudarsono saat itu mengungkapkan, pengadaan UAV oleh Indonesia dari Israel adalah langkah realistik mengingat alat serupa yang dibuat di dalam negeri belum memiliki teknologi yang dibutuhkan oleh TNI.
Hingga kini keberadaan UAV buatan Israel yang ‘seharusnya’ sudah tiba di Indonesia, belum bisa terkonfirmasi. Secara resmi belum ada statement kehadiran UAV ini, begitu pun belum terlihat jejak penampakannya di Lanud Supadio, Pontianak, yang disebut-sebut bakal jadi home base-nya. Lepas dari itu, malah ada pihal yang meragukan jika Indonesia akan membeli UAV sekelas Heron, alasannya dimensi pesawat dirasa terlalu besar. Benar atau tidaknya, mari kita tunggu saja update berita selanjutnya. (Deni Adi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar