Belakangan
ini, mulai tampak upaya untuk menyeret Tentara Nasional Indonesia (TNI)
ke dalam pusaran konflik di tengah masyarakat. Ada gejala untuk
menjadikan TNI sebagai institusi utama dalam menyelesaikan setiap
konflik, baik sosial maupun politik.
Upaya itu mulai terlihat
dalam konflik yang terjadi antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan
Kepolisian RI (Polri). Ketua KPK Abraham Samad yang didukung sejumlah
kalangan pernah meminta agar TNI ikut menjaga gedung KPK. Permintaan itu
dikemukakan karena muncul kekhawatiran aparat kepolisian menggeledah
gedung KPK.
Keinginan untuk kembali melibatkan TNI muncul ketika
ada kabar tentang teror yang dilakukan terhadap staf dan pegawai KPK.
Teror yang diungkap oleh Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto itu memang
tidak menyebutkan secara spesifik identitas pelaku teror. Namun, ketika
pernyataan itu muncul, mata publik langsung mengarah ke polisi. Soalnya,
beberapa petinggi KPK dan Polri saat ini tengah bersitegang.
Wacana
tentang pelibatan TNI dalam konflik yang terjadi saat ini, terutama
dalam kasus KPK dan Polri, menimbulkan kekhawatiran bahwa TNI bakal
kembali menjadi aktor utama dalam penyelesaian konflik sosial. Kehadiran
TNI ditakutkan akan berlanjut kepada masuknya institusi militer itu ke
dalam arus politik Tanah Air.
Kekhawatiran itu kembali muncul
setelah pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun
2015 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012
tentang Penanganan Konflik Sosial. PP yang diteken Presiden Joko Widodo
(Jokowi) pada 2 Februari 2015 itu mengatur tentang pelibatan TNI dalam
penanganan konflik sosial.
Pasal 40 Ayat 1 PP itu menyebutkan,
bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI untuk penghentian konflik
dilaksanakan setelah adanya penetapan status keadaan konflik oleh
pemerintah daerah atau pemerintah. Lalu, Pasal 41 Ayat 1 menyebutkan,
pelaksanaan bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 Ayat 2 dikoordinasikan oleh Polri.
Pasal
51 Ayat 1 menegaskan tentang pelibatan TNI dalam konflik yang berskala
nasional. Disebutkan, dalam status keadaan konflik skala nasional,
Presiden berwenang mengerahkan kekuatan TNI setelah berkonsultasi dengan
pimpinan DPR.
Pada Ayat 2 disebutkan, dalam pengerahan kekuatan
TNI sebagaimana dimaksud pada Ayat 1, Menteri Pertahanan memberikan
dukungan administrasi dan saran pertimbangan kepada Presiden.
PP
tentang Penanganan Konflik Sosial itu telah secara tegas mengatur
tentang pelibatan TNI dalam menanangi konflik sosial. PP itu dengan
jelas menegaskan bahwa TNI tidak bisa serta merta dikerahkan dalam
penanganan konflik. Kehadiran TNI harus dengan perintah Presiden setelah
berkonsultasi dengan DPR.
Poin penting lain yang harus dilihat
dalam PP ini adalah Polri tetap menjadi institusi terdepan dalam
penanganan konflik. Prajurit TNI baru dikerahkan jika Polri tidak mampu
lagi mengatasi konflik. Dalam hal ini, Polri meminta bantuan TNI, namun
komando pengendalian konflik tetap berada di tangan institusi sipil itu.
Meski
PP tersebut telah memberi garis batas yang jelas tentang peran TNI dan
Polri dalam penanganan konflik, bukan tidak mungkin ada pihak-pihak yang
menafsirkannya berbeda. Bisa jadi, penerbitan PP yang bersamaan dengan
adanya konflik KPK-Polri dijadikan pintu masuk untuk kembali menyeret
TNI dalam pusaran konflik sosial masyarakat, bahkan dalam konflik
politi.
Bukan tidak mungkin pula kehadiran PP itu diartikan
sebagai “surat perintah” bagi TNI untuk ikut menjaga ketertiban
masyarakat tanpa ada koordinasi dengan Polri. Hal itu akan menimbulkan
aksi-aksi razia (sweeping) sewenang-wenang oleh aparat TNI. Tentu saja
kita tidak mau hal itu terjadi.
Kita tidak ingin sejarah buruk
terulang ketika peran TNI dalam persoalan sosial dan politik Tanah Air
begitu besar, seperti yang terjadi pada era Orde Baru. Jika itu yang
terjadi, kita tidak hanya kembali ke masa lalu, tapi juga ibarat
menggali lobang sendiri.
Kita mengimbau para elite politik dan
seluruh lapisan masyarakat lain untuk tidak kembali menyeret TNI ke
dalam pusaran konflik sosial dan politik. Kita harus menarik garis yang
tegas tentang fungsi serta peran TNI dan Polri.
Tugas utama Polri
selain menegakkan hukum juga menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat
(kamtibmas). Sedangkan, tugas pokok TNI adalah menjaga pertahanan negara
demi keutuhan dan kedaulatan NKRI. Pemahaman ini yang harus dipegang
oleh para aktor politik Tanah Air. (beritasatu.com) JKGR.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar