Diskusi ketahanan pangan
dalam acara Jakarta Food Security Summit (JFCC) ke-3 mengangkat
pembahasan berbagai persoalan seperti pengadaan lahan bagi produktivitas
pertanian di Indonesia.
Panglima TNI Moeldoko tak ingin melewatkan kesempatan untuk berbagi
cerita dihadapan para pengusaha mulai dari harga pangan hingga nasib
petani di Tanah Air.
Kisah pertama, dipaparkan Moeldoko mengenai harga komoditas cabai
yang sempat melonjak beberapa bulan lalu sampai Rp 125 ribu per kilogram
(kg). Padahal, negara ini mampu memproduksi cabai berkualitas karena
didukung lahan yang subur.
“Orang-orang di sini kesulitan beli lombok atau cabai yang harganya
mencapai Rp 125 ribu per kg, tapi di daerah perbatasan warga setempat
bisa menanam cabai berukuran besar. Itu artinya lahan kita subur sekali,
tapi masalahnya mau dibawa kemana setelah ditanam,” paparnya di JFSS
ke-3 JCC, Jumat (13/2/2015).
Lebih jauh kata dia, seluruh orang teriak swasembada pangan seperti
gula, beras, jagung, kedelai, daging dan lainnya. Sayangnya, target ini
kurang mendapat dukungan bagi para petani, diantaranya ketersediaan
lahan, pupuk dan air. Jika kondisi ini terus berlanjut, maka pemerintah
sulit mencapai swasembada dan hanya bertumpu pada impor pangan.
Dari sisi ketersediaan lahan, Moeldoko berkisah, betapa luasnya area
lahan di Indonesia yang dapat diamati dari udara. Sebagai contoh di
Sumatera, Kalimantan dan Papua.
“Tapi begitu sampai di darat, mau cari lahan 100 hektare saja
susahnya minta ampun. Karena lahan-lahan itu sudah ada pemiliknya, ini
lahan orang Depok, orang Jakarta, sampai nggak ada yang kosong,” tutur
dia.
Moeldoko menyebut, petani bak museum karena kekurangan fasilitas yang
memadai. “Petani sekarang seperti musem, cangkulnya sudah tua dan yang
bekerja sudah tua. Kalau begini, masih adakah anak muda mau jadi
petani?,” katanya.
Tak ingin regenerasi petani mati suri, dia mengaku, telah melakukan
upaya semacam diskusi antara mahasiswa dengan praktisi yang berhasil
meningkatkan produktivitas pertanian.
“Jadi ini semacam jembatan antara para petani dengan mahasiswa yang
punya idealisme. Sehingga terjadi interaksi dan pemahaman sama mengenai
pertanian, pangan dan swasembada,” pungkas Moeldoko. (Liputan6)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar