Keberadaan petugas penjaga keamanan di dalam pesawat yang sedang
terbang (sering disebut sebagai Air Marshal) akan diadopsi di
penerbangan nasional. Keberadaan Air Marshal ini disetujui dalam
pertemuan anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) di
Montreal pada 25 Maret – 4 April 2014 lalu.
“Dalam pertemuan tersebut, disepakati untuk meng-endorse Protocol Tokyo yang salah satunya memuat tentang keberadaan Air Marshal. Karena kita merupakan contracting state
ICAO, jadi wajib meratifikasinya,” ujar Direktur Keamanan Penerbangan
Kementerian Penerbangan Yusfandri Gona, Kamis kemarin (8/5/2014).
Menurut Yusfandri, sampai saat ini Pemerintah masih membahas secara
intensif tentang hal tersebut. “Kita masih membahas bagaimana
mekanismenya, siapa saja nanti yang akan diajak kerjasama dan
sebagainya,” ujarnya.
Keberadaan Air Marshal ini dipastikan akan melibatkan pihak luar. Terutama tentang siapa yang akan menjadi Air Marshal.
Tugas seorang Air Marshal memang tidak mudah. Misalnya, dia harus
ikut dalam penerbangan dengan cara menyamar sehingga tidak mengundang
kecurigaan orang lain. Selain itu dia juga harus mampu menangani masalah
keamanan di dalam pesawat yang sempit dan mempunyai karakteristik
sangat vital. Seperti contoh peristiwa penumpang yang menggedor-gedor
pintu kokpit dalam penerbangan Virgin Air Australia dari Brisbane
menuju Denpasar beberapa waktu lalu. untuk mampu menangani hal tersebut,
seorang Air Marshal juga harus menguasai seluk-beluk penerbangan.
Di beberapa negara, Air Marshal sudah diterapkan seperti di AS,
Kanada dan Jerman. Di negara tersebut sudah ada asosiasi yang menaungi
keberadaan Air Marshal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar