Usai kecolongan pembangunan mercusuar oleh Malaysia di Tanjung Datu, Sambas, Kalbar, Mabes TNI mengambil langkah lebih maju. Mabes TNI memastikan bakal membangun pangkalan AL (Lanal) di Tanjung Datu, untuk menggantikan pos AL Temajuk. Lanal itu nanti sekaligus untuk memperkuat pertahanan di kawasan Natuna.
Saat ini, TNI AL baru sebatas menyetop
pembangunan mercusuar dan menyiagakan tiga kapal korvet yang berpatroli
di sekitar kawasan tersebut. Kapal-kapal itu adalah KRI Senadi
Senaputra, KRI Barakuda, dan KRI Madang. Induk pengawasan wilayah
tanjung Datu adalah Lanal Pontianak yang membuat pos AL di kawasan
Temajuk.
Panglima TNI Jenderal Moeldoko menyatakan,pihaknya sejak awal memang ingin membangun pangkalan AL di Tanjung Datu. Mengingat, kawasan tersebut merupakan grey area atau status quo yang rawan sengketa. Dengan adanya insiden Tanjung Datu, maka pembangunan lanal akan segera direalisasikan.
“Kami juga akan membangun air street,
pangkalan udara. Satuan infanteri juga akan masuk di kawasan itu,”
terang Moeldoko usai menginspeksi pasukan di Kolinlamil Jakarta kemarin.
Rencananya, Rabu (28/5) mendatang pihaknya mengundang Gubernur Kalbar
dan Bupati Sambas untuk mematangkan rencana pembangunan pangkalan
militer.
Dalam pertemuan tersebut akan dirumuskan
kebutuhan pertahanan di kawasan Tanjung Datu. Juga, kebutuhan personel
maupun alutsista pendukung. Moeldoko menginginkan penempatan pasukan
dalam jumlah besar, karena pangkalan tersebut tidak hanya untuk
mempertahankan Tanjung Datu.
Moeldoko menuturkan, sengketa di Laut
Tiongkok Selatan yang makin panas berpotensi besar berdampak ke
Indonesia. Terutama, bagi kawasan Natuna. “Baik Natuna maupun Tanjung
Datu itu nanti yang paling cepat kena impact situasi tersebut,” lanjut
Doktor Ilmu Administrasi Universitas Indonesia itu.
Selain pembangunan Lanal, rencananya
hari ini (26/05) Pihak Indonesia dan Malaysia akan bertemu di Jakarta
untuk membahas persoalan Tanjung Datu. Moeldoko menuturkan, pihak
Indonesia menghadirkan TNI dan Kementerian Pertahanan dalam pertemuan
tersebut dengan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) sebagai tuan rumah
sekaligus fasilitator.
Pokok bahasan dalam pertemuan itu adalah kesepakatan terkait posisi Indonesia dan Malaysia di Tanjung Datu.
“Kalau itu dinyatakan grey area, jangan macam-macam, jangan berbuat
aneh-aneh,” ucapnya. Perjanjian terkait kawasan tersebut sudah dibuat
pada 1969. “Perjanjian sudah ada, hanya sekarang masalahnya komitmen
yang tidak ada,” tambah Moeldoko.
Ketegangan di Tanjung Datu bermula saat
Malaysia mulai membangun mercusuar di kawsan tersebut. Lokasi
pembangunannya di perairan Indonesia, tepatnya pada titik koordinat
02.05.053 Lintang Utara-109.38.370 Bujur Timur. Lokasi tersebut berjarak
sekitar 900 meter di depan patok SRTP 1 (patok 01) di Tanjung Datu.
Kawasan Tanjung Datu sendiri berada di
ujung barat laut pulau Kalimantan. Jika dilihat di peta,bentuk Tanjung
Datu menyerupai buntut yang mungil. Karena wilayahnya yang sempit,
hingga saat ini kawasan tersbeut masih menjadi sengketa antara Indonesia
dan Malaysia.
Sementara itu, saat dikonfirmasi terkait
pertemuan kedua negara hari ini, pihak Kemenlu irit bicara. Direktur
Informasi Media Kemenlu Siti Sofiah hanya menuturkan bahwa hingga Minggu
malam, pihaknya masih belum mendapat konfirmasi tentang pertemuan yang
dimaksutkan oleh Moeldoko. “Belum ada konfirmasi. Besok (hari ini) saya
infokan kalau ada ya,” ungkap Sofi melalui pesan singkatnya kemarin.
Sebelumnya, pihak Kemenlu memang
berjanji untuk memfasilitasi Tim Teknis Delimitasi Batas Maritim
Indonesia dan Malaysia untuk membahas masalah ini di Jakarta. Kemenlu
juga telah menyampaikan protes yang disampaikan oleh TNI AL atas
pembangunan mercusuar di Tanjung Datu tersebut pada Malaysia.
“Atas permintaan pihak Pemerintah RI,
menurut laporan, Malaysia telah menghentikan kegiatan pembangunan tiang
pancang rambu suar tersebut,” ujar Sofi pada Rabu (21/05) lalu. (jpnn.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar