Minggu, 29 Juli 2018

Cerita Heroik Bapak TNI AU yang ketika Masih Jadi Tentara Belanda Pernah Menenggelamkan Kapal Perang Jepang

KASAU pertama Suryadi Suryadarma
Sejarah perjalanan berdirinya TNI AU cukup unik dan juga penuh perjuangan karena bermodal pesawat-pesawat terbang peninggalan Jepang dan Belanda yang ditinggalkan begitu saja.
Kepala Staf TNI AU (KASAU) yang pertama, Marsekal Suryadi Suryadarma pun awalnya merupakan tentara Belanda (KNIL) yang kemudian bergabung dengan Angkatan Perang RI, setelah Indonesia merdeka.
Sebagai tentara Belanda yang pernah mengawaki pesawat tempur jenis pembom Glenn Martin dalam PD II, Letnan Suryadarma pernah menjabat sebagai Wakil Komandan kesatuan pembom Grup 7 AU Belanda.
Dalam misi tempurnya, Suryadarma yang bertugas sebagai komandan operator bom ternyata pernah menenggelamkan kapal Jepang (cruisser) di perairan Kalimantan.
Kisah heroik itu berlangsung pada 13 Januari 1942, ketika pesawat pembom Glenn Martin B-10 yang diawaki Suryadarma dan dipiloti Kapten Lukkien serta seorang kopilot lainnya terbang dari Pangkalan Udara Manggar Samarinda, Kalimantan.
Tujuan misi terbang tempur itu adalah untuk menyerang kapal-kapal perang Jepang yang sedang berlayar menuju Tarakan.
Pesawat yang diawaki Suryadarma, Glenn Martin M-588, terbang bersama dua pesawat lainnya dalam formasi segitiga dan saling melindungi dari ancaman sergapan pesawat tempur Zero Jepang.
Dalam misi itu Suryadarma bertindak sebagai observer sekaligus komandan operator bom bagi dua pesawat Glenn Martin lainnya.
Penerbangan ketiga pesawat pembom Belanda itu dengan mudah menemukan konvoi kapal-kapal perang Jepang yang berjumlah sekitar 50 unit yang sedang berlayar menuju Tarakan.

Kedatangan pesawat pembom Belanda langsung disambut tembakan antiserangan udara dari kapal-kapal perang Jepang yang kemudian berlayar zig-zag demi menghindari serangan bom.

Tapi pada saat yang sama sejumlah pesawat tempur Zero Jepang juga mulai berdatangan untuk merontokkan pesawat-pesawat pembom Belanda.
Tanpa membuang waktu sebagai komandan operator bom, Suryadarma pun membidik salah satu kapal perang Jepang jenis penjelajah berat (cruisser) dan kemudian memberikan aba-aba kepada kedua Glenn Martin lainnya melalui radio untuk segera menjatuhkan bom.
Sejumlah bom pun jatuh secara bersamaan dari ketiga Glenn Martin dan bom-bom itu berhasil menenggelamkan satu kapal penjelajah Jepang yang ukurannya seperti KRI Irian yang pernah dimiliki TNI AL.
Tapi serangan udara terhadap konvoi kapal perang Jepang harus dibayar mahal.
Dua pesawat Glenn Martin lainnya tertembak jatuh setelah disergap Zero, dan pesawat Glenn Martin yang diawaki Suryadarma sendiri juga mengalami rusak parah.
Namun meski pilotnya dalam keadaan terluka parah, Glenn Martin M-588 bisa mendarat kembali ke Pangkalan Udara Manggar dengan selamat.
Meski pasukan Belanda berusaha melawan pasukan Jepang yang kemudian mendarat di Indonesia (Hindia Belanda), militer Belanda akhirnya menyerah.
Suryadarma sendiri kemudian bergabung dengan pasukan RI untuk bertempur melawan Jepang  dan juga melawan Belanda dalam Perang Kemerdekaan.
Dalam perjalanan karier militernya, Suryadarma ternyata juga berhasil menjadi orang dekatnya Presiden Soekarno.
Suryadarma, seperti termaktub dalam buku Bapak Angkatan Udara Suryadi Suryadarma, kemudian diangkat sebagi KSAU pertama AURI/TNI AU dan diberi kepercayaan penuh untuk mengembangkan AURI sehingga mendapat julukan Bapak Angkatan Udara.


Intisari. 

Senin, 20 Maret 2017

Gelombang Keempat F-16 C/D Block52ID Segera Tiba di Lanud Iswahjudi



Meski tengah dirundung duka dengan musibah overrun F-16 B Fighting Falcon TS-1603 di Lanud Roesmin Nurjadin, Pekanbaru, namun TNI AU dalam waktu dekat dipastikan akan segera kedatangan armada Elang Penempur tambahan langsung dari Amerika Serikat. Tepatnya gelombang keempat dari proyek “Peace Bima Sena II” akan tiba di Lanud Iswahjudi, Madiun, Jawa Timur. Sebanyak lima unit F-16 C/D Block52ID kini tengah dalam proses ferry flight dari Lanud Hill di Utah, Amerika Serikat, transit di Hawaii dan Guam, dan kemudian tiba di teritori Indonesia.

Meski belum jelas distribusi pesawat tempur F-16 C/D Block52ID, pendaratan di Lanud Iswahjudi dipilih lantaran sebagai pangkalan utama TNI AU yang mempunyai fasilitas pendukung untuk F-16 paling lengkap, pasalnya Lanud Iswahjudi menjadi home base dari Skadron Udara 3 yang berisikan F-16 A/B Block15. Iswahjud pun dianggap lebih dekat dicapai, mengingat armada F-16 C/D Block52ID tiba dari arah Indonesia Timur.



Dengan akan tibanya lima unit F-16 C/D Block52ID, maka jumlah F-16 C/D yang tiba di Indonesia sudah mencapai 19 unit. Sayangnya satu unit sudah mengalami total lost dalam dalam kecelakaan yang melibatkan F-16 C Block52ID di Lanud Halim Perdanakusuma pada bulan April 2015. Sehingga jumlah F-16 C/D yang serviceable nantinya ada 18 unit. Setelah kedatangan gelombang keempat, masih akan tiba lagi gelombang pengiriman kelima yang dijadwalkan pada bulan Desember 2017.

Lewat kontrak Foreign Military Sales (FMS) LOA ID-D SAL yang disepakati Pemeritah Indonesia dan Amerika Serikat. Indonesia akan mendapatkan 30 unit F-16, dengan rincian 24 unit berupa F-16 C/D Block52ID yang diterbangkan langsung dari AS, empat unit F-16 C/D dalam kondisi terurai untuk dukungan suku cadang, dan sisanya dua unit F-16 A/B Block 15, yang disebut terakhir kabarnya untuk melengkapi kekuatan Skadron Udara 3 yang telah ‘kehilangan’ dua unit F-16 sejak dioperasikan pada 1989/1990.



“Kemampuan pesawat yang di-upgrade dengan pesawat baru aviability-nya sama. Hanya kemampuan avioniknya yang berbeda seperti sistem radar dan sistem senjata,” jelas Komandan Lanud Iswahjudi, Marsekal Pertama (Marsma) TNI Andyawan MP, dikutip dari Janes.com (23/9/2016). Meski produknya berstatus hibah, namun pemerintah mengucurkan dana tak kurang dari US$700 juta untuk melakukan upgrade dan refurbish pada ke-24 pesawat tersebut. Mainframe F-16 C/D yang didatangkan ke Indonesia berasal dari Block25, namun lewat sejumlah program uprade kemampuannya kini setara F-16 C/D Block52.

Kedatangan gelombang kedua F-16 C/D Block52ID di Lanud Iswahjudi,
Selama penerbangan ferry,  pesawat yang diterbangkan pilot AU AS ini sudah menggunakan kode TS (Tempur Strategis), namun untuk bendera negara di sayap tegak dan logo skadron di hidung selama penerbangan melintasi Samudera Pasifik ditutup dengan stiker kuning. Sementara logo TNI AU di juga ditutup stiker kuning dengan logo AU AS (US Air Force). (Bayu Pamungkas)


Setelah Overrun, Mungkinkah F-16 TS-1603 Kembali Mengudara?




Setelah 27 tahun mengawal dirgantara Indonesia, hari Selasa (14/3/2016), jet tempur strategis (latih) F-16B Fighting Falcon dengan nomer TS-1603 mengakhiri masa pengabdiannya. Sayangnya akhir dari masa pengabdian jet tempur yang ikut mengusir black flight F/A-Hornet di atas Bawean tahun 2003 ini tidak mulus, pesawat mengalami kecelakaan overrun akibat brake malfunction di runway 36 Lanud Roesmin Nurjadi, Pekanbaru. Meski tidak ada korban jiwa dari kedua pilot (Mayor Pnb Andri dan Lettu Pnb Marko), pesawat yang berjasa mencetak puluhan fighters TNI AU mengalami kerusakan serius, dan berdampak langsung pada tingkat kesiapan tempur TNI AU, terlebih pada area yang berbatasan dengan Singapura.



Mengenai kondisi pesawat, Harian Kompas  (15/3/2017) menyebut F-16 TS-1603 mengalami total lost, sementara Pihak Dinas Penerangan TNI AU lewat Direct Message di akun Twitter @_TNIAU menjelaskan bahwa sampai saat ini tengah dilakukan pemeriksaan pada airframe, fuselage, dan komponen lainnya untuk memastikan tingkat kerusakan, sehingga nantinya baru dapat dipastikan apakah F-16 TS-1603 masih bisa diperbaiki dan diterbangkan lagi atau tidak. Teknisi di skadron secara sekilas menyimpulkan bahwa pesawat masih bisa digunakan.

Dirunut dari sejarahnya, F-16B (tandem seat) TS-1603 resmi digunakan TNI AU sejak Mei 1990. Pesawat ini didatangkan dengan cara ferry flight dari Amerika Serikat. Proyek pengadaannya disebut sebagai Bima Sena I yang mencakup total pengadaan 12 unit F-16 A/B dengan nilai per unit pesawat mencapai US$32 juta. Berbeda dengan F-16 C/D Block 52ID yang menggunakan mainframe Block 25, maka F-16 A/B yang awalnya menjadi arsenal Skadron Udara 3 ini mengusung Block 15 OCU (Optional Capability Upgrade).

Dengan label OCU, F-16 A/B Block 15 OCU berbeda dengan versi awal dari F-16 produksi awal. F-16 A/B Block 15 OCU dibuat dengan memenuhi standar Operational Capability Upgrade yang mencakup mesin F100-PW-220 turbofans dengan kontrol digital, kemampuan menembakkan AGM-65, AMRAAM, dan AGM-119 Penguin, serta pembaruan pada kokpit, komputer, dan jalur data. Berat maksimum lepas landasnya bertambah menjadi 17.000 kg. Meski begitu, F-16 A/B Block 15 OCU yang diterima TNI AU belum punya kemampuan untuk menembakkan rudal canggih seperti AIM-120 AMRAAM (Advanced Medium-Range Air-to-Air Missile) atau rudal BVR (Beyond Visual Range). Kemampuan bisa melepaskan rudal AMRAAM baru saat ini bisa dilakukan pada generasi pesawat hibah upgrade F-16 C/D Block 52ID.






Ikut dalam paket OCU juga terdiri dari kelengkapan radar Westinghouse AN/APG-66 Pulse-doppler, mesin Pratt & Whitney F100-PW-200 turbofan, dengan 14.670 lbf (64.9 kN), 23.830 lbf (106,0 kN) dengan afterburner. Hadirnya F-16 A/B Block 15 untuk TNI AU membawa titik pembaharuan tersendiri, meski tetap masih tertinggal dari F-16 milik Singapura, F-16 A/B memperkenalkan TNI AU pada adopsi jet tempur fly by wire yang punya kapabilitas meluncurkan rudal AGM-65G Maverick dan rudal udara ke udara AIM-9P4 Sidewinder yang mampu menguber sasaran dari segala arah.

Kini, F-16 TS-1603 yang berada di shelter Skadron Udara 16 tengah dalam inspeksi dan penyelidikan terkait sebab musababnya, sebagai jet tempur yang berperan dalam program latih (konversi), F-16 TS-1603 juga beberapa kali ditumpangi tamu VIP dalam joy flight, diantara yang pernah dibawa terbang dengan TS-1603 adalah mantan Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro. Walau telah mengalami kerusakan pada beberapa komponen, besar harapan jika pesawat memang harus ‘pensiun’ maka  bisa dimanfaatkan sebagai suku cadang untuk F-16 lainnya.
 

Rabu, 15 Maret 2017

CZ Scorpion Evo 3: Berdesain Kompak, Inilah Submachine Gun Terbaru Andalan Kostrad TNI AD



Jagad senjata perorangan, khususnya Submachine Gun (SMG) untuk TNI kembali bertambah dengan hadirnya CZ Scorpion Evo 3 lansiran Česká zbrojovka Uherský Brod, asal Republik Ceko. Senjata kompak berdesain futuristik dengan kaliber 9 x 19 mm ini terlihat digunakan oleh prajurit Kostrad (Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat) dalam suatu latihan penanganan teror di Mabes TNI.

Apa yang menarik dari CZ Scorpion Evo 3? Selain desain yang serba baru, rancangan laras senjata berbobot 2,77 kg ini dilengkapi picatinny rail dari atas, bawah, dan kiri serta kanan, menjadikan Scorpion Evo 3 sangat adaptif untuk dipasangi berbagai akesesoris alat bidik dan alat bantu penembakkan lainnya. Diantara aksesoris yang mendukung pada senjata ini mencakup opsi pemasangan grip (pegangan tangan), teropong bidik (sight), senter, dan laser pembidik. Kesemua aksesoris senjata ini mengacu pada standar Mil-1913

Foto: Facebook Lembaga Keris.
Skema pengopersian CZ Scorpion Evo 3 tak berbeda jauh dengan jawara SMG kondang macam H&K MP5, yakni mengadopsi roller delayed blowback. Pada varian CZ Scorpion Evo 3 A1 ditawarkan penggunaan pemilihan fire switch, memberikan opsi bagi gunner untuk menggunakan moda safe, semi automatic, tembakkan tiga putaran, dan tembakkan penuh (full automatic fire). Lain dari itu, manufaktur juga merilis varian CZ Scorpion Evo 3 S1, pada varian ini hanya ditawarkan opsi safe dan semi automatic fire. Varian S1 umumnya ditawarkan untuk pihak Kepolisian.

CZ Scorpio Evo 3 lengkap dengan grip, persis yang digunakan oleh Kostrad TNI AD.
Laras dengan mudah dipasangi peredam.
Pada umumnya CZ Scorpion Evo 3 dihadirkan dengan opsi popor lipat, ciri khas dari senjata ini adalah mudah untuk dibongkar pasang. Dibangun dalam konfigurasi yang ergonomis, saat popor direntangkan senjata punya bentang 670 mm, sementara dengan popor dilipat panjangnya menjadi 410 mm. Panjang larasnya sendiri hanya 196 mm. Membuktikan sebagai senjata yang ringkas, CZ Scorpion Evo 3 punya lebar 60 mm dan tinggi 262 mm. Dari segi kinerja, CZ Scorpion Evo 3 punya kecepatan tembak 1.150 peluru per menit, sedangkan kecepatan luncur proyektil-nya 370 meter per detik.

Pasukan anti teror Kostad bersama personel Marinir yang menyandang SMG Daewoo K7.
CZ Scorpion Evo 3 memiliki jangkauan hingga 250 meter bila ditembakkan dari bahu, sementara jarak jangkau efektifnya 50 meter ketika ditembakkan dalam posisi handheld dengan popor dilipat. SMG ini ditawarkan dalam dua pilihan magasin, masing-masing dengan kapasitas 20 peluru dan 30 peluru. Mengikuti jejak senapan serbu AUG Steyr, CZ Scorpion Evo 3 mengadopsi magasin model transparan dari bahan polimer, dengan model ini menjadikan gunner dapat memantau langsung sisa amunisi yang tersedia di magasin.



Dengan popor dilipat.
Sebelum CZ Scorpion Evo 3, TNI juga telah menggunakan produk CZ, tepatnya senapan serbu CZ085 Bren kaliber 5,56 x 45 mm yang dioperasikan Kopassus (Komando Pasukan Khusus) TNI AD dan Kopaska (Komando Pasukan Katak) TNI AL. Bila dirunut ke sejarahnya, disebutkan basis SMG Skorpion Vz 61, jenis Submachine Gun yang sempat dioperasikan Detasemen Bravo Paskhas TNI AU. (Bayu Pamungkas)

Indomil. 

IFF Bird Slicer: Absen di F-16 Fighting Falcon TNI AU



Radar AN/APG-66 pada jet tempur F-16 A/B Fighting Falcon TNI AU secara teori mampu mengendus sasaran dari jarak 150 km. Seperti pada insiden di atas Bawean tahun 2003, setelah dipandu dari radar GCI (Ground Controlled Intercept), dua unit F-16 dari Skadron Udara 3 Lanud Iswahjudi yang ditugaskan melakukan pengejaran pada black flight akhirnya dapat mengenali identitas sang penyusup, yakni F/A-18 Hornet dari USS Carl Vinson yang tengah berlayar di Laut Jawa. Namun pengenalan identitas F/A-18 Hornet dilalukan lewat pengamatan langsung sang pilot, alias memanfaatkan darto (radar moto – bahasa Jawa berarti mata).

Meski tidak terkait langsung dengan babak akhir dari suatu duel pertempuran di udara, kemampuan mengenali identitas lawan menjadi poin penting bagi pilot. Dengan mengetahui lebih dini siapa potensi lawan yang akan dihadapi, situational awareness pilot akan lebih maksimal, obyek tak dikenal pada layar radar atau HUD (Head Up Display) bisa memberi informasi lebih presisi terkait lawan. Dengan begitu, pilot bisa lebih mempersiapkan strategi dalam meladeni pertarungan bila kondisi memaksa, dan yang lebih penting pilot dapat melaportkan pada komando di atas tentang situasi lebih detail.





Dan perangkat identifikasi pada sasaran, apakah itu kawan atau lawan, akrab disebut sebagai IFF (Identification Friend or Foe). Dan sayangnya perangkat IFF ini belum hadir di elemen jet tempur TNI AU, termasuk pada F-16 A/B dan C/D Block 52ID. Padahal jika di compare dengan F-16 milik Thailand dan Singapura, F-16 milik kedua negara tetangga sudah dilengkapi antena IFF yang terintegrasi.

Keluarga F-16 melengkapi antena IFF dalam wujud empat sirip kecil yang disematkan di bagian depan kokpit. Karena desain yang unik, IFF yang masuk ke dalam Advanced IFF (AIFF) ini juga dikenal dengan sebutan “bird slicer.” Tidak ada keharusan F-16 keluaran baru yang bisa dipasangi AIFF, pasalnya F-16 versi ADF (Air Defence Fighter) dari Block 10/15 yang telah di upgade banyak yang sudah dipasangi bird slicer. F-16 ADF adalah versi yang digunakan oleh US Air National Guard. Biasaya instalasi bird slicer dilakukan bersamaan pada program MLU (Mid Life Update). Sementara untuk F-16 lansiran terbaru, seperti di Block 60 , AIFF sudah melekat sebagai standar fitur yang ditawarkan dan diintegrasikan pada radar.



F-16C Block 52 AU Singapura.
F-16A Block 15 MLU AU Thailand.
Bird slicer pada dasarnya serupa dengan transponder pesawat sipil untuk mengenali dan memberi tahu suatu posisi pesawat. Namun karena digunakan untuk kebutuhan militer, transponder IFF dilengkapi enkripsi pada sinyal, tujuannya agar proses identifikasi pada sasaran dapat berlangsung senyap, apakah sasaran di depan lawan atau kawan?


Jenis antena AIFF yang digunakan di F-16 umumnya merujuk ke AN/APX-109 produksi Northrop Grumman. Transponder AN/APX-109 mengintegrasikan fungsi interrogator, receiver-transmitter reply evaluator, synchronizer, transponder, COMSEC units, dan control functions ke dalam single package untuk menghemat bobot dan ruang. Tanpa adanya kemampuan IFF, dalam suatu pertempuran udara, baik dalam skenario dog fight (duel jarak dekat) dan beyond visual range (tempur jarak jauh), sangat rentan terjadi salah tembak pada pesawat tempur kawan atau bahkan pesawat penumpang sipil. Bila F-16 Thailand dan Singapura sudah dipasangi bird slicer, idealnya F-16 TNI AU juga harus dipasangi perangkat IFF ini. (Gilang Perdana)
 
 

KRI Kurau 856, Meluncur Keluarga Baru Kapal Patroli PC-40 Satrol TNI AL



Setelah berhasil menyerahkan produksi kapal patroli cepat (PC-40) KRI Cakalang 852 kepada TNI AL pada bulan Juli 2016, kini galangan kapal swasta nasional, PT Caputra Mitra Sejati (CMS) kembali meluncurkan PC-40 terbaru pesanan TNI AL, KRI Kurau 856. Peluncuran dilakukan Selasa (7/3/2017) di fasilitas galagan PT CMS di Perairan Salira, Banten. Upacara peluncuran dan shipnaming yang dilakukan Wakil Kepala Staf Angkatan Laut (Wakasal) Laksda TNI A.Taufiq, menandakan rampungnya tahapan pembangunan fisik konstruksi kapal patroli ini.

Meski telah diluncurkan, KRI Kurau 856 belum langsung diserahkan ke TNI AL, kapal patroli yang masih ‘kosongan’ tanpa senjata dan sistem elektronik ini masih akan melalui tahapan sea trial dan commodore inspection, baru kemudian dapat diserahkan ke pihak pengguna, yaitu Satuan Kapal Patroli (Satrol) TNI AL. KRI Kurau 856 memiliki panjang (Loa) 44,40 meter, lebar 7,40 meter dan tinggi tengah kapal 3,40 meter.

KRI Kurau 856 memiliki mesin utama 3 x 1800 Hp dengan putaran mesin 2300 rpm, dan kecepatan maksimum mencapai 24 knot. Kapal ini juga memiliki kecepatan jelajah sampai 17 knot dengan daya jangkau 1632 nautical mile (setara 3.022 km). Kapal berbobot 230 ton ini mampu memuat kapasitas bahan bakar hingga 56.000 liter.



Dirunut dari ‘kodratnya’ sebagai kapal patrol, KRI Kurau 856 tidak akan dilengkapi senjata sekelas rudal anti kapal, meski begitu sebagai generasi kapal patroli modern, TNI AL nantinya akan melengkapi KRI Kurau 856 dan PC-40 lainnya dengan kanon reaksi cepat. Berdasarkan spesifikasi teknis (spektek), PC-40 akan dilengkapi kanon Oto Melara laras tunggal kaliber 30 mm buatan Italia.

Oto Melara 30 mm adalah varian terbaru yang ditawarkan Finmeccanica menganut teknologi MARLIN WS (Modular Advanced Remotely controlled Lightweight Naval Weapon Station). Dari segi instalasi, Oto Melara 30 mm dirancang mudah untuk dipasang di semua jenis tipe kapal perang, tidak diperlukan rekayasa pada desain internal lambung kapal, alias tinggal plug in pada dudukan. Untuk kapal patroli cepat, Oto Melara 30 mm dirancang sebagai senjata utama, namun bila dipasang di frigat/korvet, maka akan menjadi senjata lapis kedua.




Dengan desain modular, kubah Oto Melara ini dapat diganti pasang jenis larasnya, bila menggunakan kaliber 30 mm, larasnya Mauser MK30-A2 atau ATK-MK44. Sementara bila menggunakan kaliber 25 mm, larasnya menggunakan ATK-M242 atau Oerlikon KBA. Dengan dukungan CMS (Combat Management System), Oto Melara 30 mm sanggup meladeni multi target. Dukungan perangkat pada kubahnya mencakup optical sensor suite untuk mendukung pencitraan siang dan malam. Bisa lagi ditambahkan laser range finder yang dipasang coaxial pada kubah.



KRI Lepu 861 dengan kanon Oto Melara 30 mm pada haluan.
Oto Melara 30 mm dapat dioperasikan stand alone dengan remote control consol yang terdapat di PIT (Pusat Informasi Tempur). Namun Oto Melara 30 mm dapat pula diintegrasikan dengan CMS, menjadikan sistem senjata ini terkonfigurasi utuh dalam FCS (Fire Control System) yang melibatkan peran radar penjejak dan video tracking. Jalur yang digunakan dari terminal senjata ke CMS/FCS memakai teknologi LAN (local area netwotk).

Sejauh ini, diketahui kanon Oto Melara 30 mm sudah mulai terpasang di PC-40, seperti di KRI Lepu 861 dan KRI Torani 860. Meski keduanya masuk di kelas PC-40, namun KRI Lepu 861 dan KRI Torani 860 diproduksi oleh PT Karimun Anugrah Sejati. (Gilang Perdana)
 

UH-60M Black Hawk: Multi Mission Performer Untuk Kavaleri Udara TNI AD



Kabar rencana TNI AD untuk mengakuisisi helikopter angkut sedang UH (Utility Helicopter)-60 Black Hawk telah berhembus sejak tahun 2012 silam, namun baru di akhir Februari lalu, jenis Black Hawk yang akan dipinang mulai jelas variannya, maklum keluarga Black Hawk lansiran Sikorsky Aircraft (Lockheed Martin Company) terdiri dari beragam varian. Dan merujuk ke pernyataan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Mulyono dan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo di beberapa media nasional, maka yang bakal didatangkan adalah UH-60M Black Hawk.

Oleh pabrikannya, varian UH-60M diberi label sebagai “Multi Mission Performer” dan dipastikan ini adalah salah satu varian terbaru dan termutakhir dari keluarga Black Hawk. Sikorsky Aircraft mulai memproduksi varian UH-60M pada tahun 2006, AD AS (US Army) menggadang UH-60M untuk menggantkan varian lawas UH-60A yang sudah mengudara sejak dekade 80-an. Apa yang baru di UH-60M? Pihak Sikorsky menyebut helikopter twin engine ini sudah dilengkapi dengan airframe baru, advanced digital avionics dan sistem propulsi yang lebih powerful. Dengan beragam peningkatan yang ditawarkan, UH-60M ditawarkan lebih garang untuk mendukung misi angkut taktis, combat SAR, penyerbuan udara, command and control, medical evacuation, aerial sustainment, hingga peran sebagai fire fighting.



Sebagai helikopter untuk misi tempur di garis depan, UH-60M dibekali proteksi balistik pada tail rotor blades-nya. Mengusung desain monolithic, UH-60M menawarkan kemampuan handling dan kendali lebih baik dari varian-varian sebelumnya, termasuk disini adanya fitur active vibration control. Sebagai helikopter angkut, UH-60M punya kabin dengan ukuran panjanh 3,8 meter, lebar 2,3 meter, dan tinggi 1,3 meter. Secara keseluruhan kabin dan bagasi di heli ini punya volume masing-masing 11.2m³ and 0.5m³.





Untuk fasilitas pada kokpit mengandalkan teknologi glass cockpit dengan basis fly by wire Common Avionics Architecture System (CAAS). Dalam dashboard kokpit terdapat empat unit mission display dari Rockwell Collins yang menyajikan situational awareness. Masih seputar avionik, sistem GPS dipasok oleh Honeywell dengan dual GPS inertial (EGI) navigation system. Kemudian electronic flight management systems dipasok Marconi.




Soal dapur pacu, UH-60M disokong dua mesin General Electric T700-GE-701D, dibanding varian lama, di UH-60M plat cover mesin dibekali proteksi balistik untuk menahan terjangan proyektil. Setiap mesin mampu menghasilkan tenaga 2.974 kW, dan dengan dalam kondisi darurat, mesin tunggal dapat menghasilkan tenaga 1.447 kW. Dari segi performa, UH-60M mampu melaju dengan kecepatan maksimum 511 km per jam, dan kecepatan jelajah 280 km per jam.

Dengan konfigurasi standar, Black Hawk bisa membawa hingga 11 pasukan. Namun dengan konfigurasi khusus, UH-60M bisa disulap menjadi helikopter serbu dengan racikan senjata jenis rudal anti tank AGM-114R Hellfire dan roket Hydra 70. Senjata paling populer di UH-60 bisa disebut berupa dua pucuk Gatling M134 Minigun kaliber 7,62 yang ditempatkan pada jendela dibelakang kokpit.






UH-60M sudah masuk kelas helikopter battle proven, pasalnya sudah malang melintang digunakan AS dalam Perang di Irak dan Afghanistan. Sampai saat ini UH-60M masih dalam proses produksi, mengingat AD AS total mengorder 956 unit dan diperkirakan pesanan baru dituntaskan pada tahun 2026.

Pengiriman UH-60M pesanan militer Taiwan.
Bagaimana dengan UH-60M yang ingin diakuisisi TNI AD? Mengingat belum ada kontrak pengadaan, maka belum diketahui berapa unit yang akan didatangkan untuk melengkapi arsenal Puspenerbad. Bila memang nantinya UH-60M ‘berjodoh’ untuk TNI AD, maka Indonesia bakal menjadi negara kedua setelah Thailand sebagai pengguna UH-60M di kawasan Asia Tenggara. Berapa harga satu unit UH-60M Black Hawk? Situs fi-aeroweb.com menyebut pada tahun 2015 harga total untuk satu unitnya mencapai US$16,96 juta, harga ini belum termasuk kelengkapan paket senjata. (Bayu Pamungkas)

Spesifikasi UH-60M Black Hawk:
– Power Plant: 2x General Electric T700-GE-701D
– Length: 19,8 meter
– Height: 5,1 meter
– Rotor Diameter: 16,4 meter
– Weight (Empty): 4.819 kg
– Maximum Takeoff Weight (MTOW): 9.979 kg
– Capacity: Internal: 11 combat-equipped troops or 6 stretchers;
– Speed:280 km/h
– Rate of Climb: 3,6 m/s
– Service Ceiling: 4.627 meter
– Range: Ferry: 2.224 km
– Combat Radius: 593 km
– Crew: Four (two pilots and two crew chiefs)