Senin, 30 November 2015

Seribu Anak Bangsa Bisa Hidup dari Helikopter Lokal

Seribu Anak Bangsa Bisa Hidup dari Helikopter Lokal
Seorang teknisi menyelesaikan proses produksi Helikopter jenis Superpuma SA 332 C1A dan Cougar E725 di hanggar PT Dirgantara Indonesia (DI), Bandung, Jawa Barat, Rabu (25/11/2015) (ANTARA FOTO/Novrian Arbi)
 
Rencana TNI Angkatan Udara mendatangkan helikopter Kepresidenan jenis Agustawestland (AW)-101 dari luar negeri, masih menuai banyak kritikan.

Padahal, jika membeli helikopter lokal, maka uang rakyat yang digunakan bisa kembali ke negara. Seperti diketahui, PT Dirgantara Indonesia memiliki helikopter yang juga canggih.

"Lebih 1.000 anak-anak bangsa bisa melanjutkan hidupnya dari perusahaan (PT DI) ini," kata anggota Komisi I DPR RI Sukamta, Senin 30 November 2015.

Jika pemerintah harus menggunakan produk luar negeri, menurutnya, harus ada kewajiban berbagi teknologi, dengan cara bekerja sama dengan industri alutsista lokal.

"Saya berharap, kita tidak mengambil opsi itu (beli dari luar). Majunya industri pertahanan ini membutuhkan komitmen bersama semua anak bangsa," ujar Sukamta.

Sukamta menyampaikan, dalam Pasal 43 ayat 5 mengenai Industri Pertahanan, pemerintah harus memanfaatkan industri pertahanan dan teknologi dalam negeri.

"Kami meminta TNI AU tetap konsisten menggunakan produk dalam negeri sesuai dengan Undang-undang No 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan," kata politisi PKS ini. 

Polemik Helikopter Kepresidenan, Nasionalisme Diuji

Polemik Helikopter Kepresidenan, Nasionalisme Diuji
Helikopter AgustaWestland (AW-101) (agustawestland.com)

Rencana TNI Angkatan Udara untuk mendatangkan helikopter kepresidenan jenis AgustaWestland (AW)-101 sepertinya tak akan berjalan mulus. Bahkan, rencana tersebut terancam batal menyusul banyaknya kritikan yang datang bertubi-tubi.

Begitu banyaknya kritikan membuat pemerintah berencana membahas rencana pembelian helikopter VVIP buatan perusahaan Inggris dan Italia itu. Rencana pembahasan ini diungkapkan Wakil Presiden Jusuf Kalla usai mengantar Presiden Joko Widodo di Lanud Halim Perdanakusuma Jakarta, Minggu 29 November 2015.

"Anggaran TNI, tapi nanti kami bahas setelah Presiden pulang," kata Kalla saat dikonfirmasi mengenai dana pembelian helikopter super mahal tersebut. 
Di tempat yang sama, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Luhut Binsar Pandjaitan, juga mengatakan hal serupa. Apakah memang helikopter Super Puma yang selama ini digunakan akan diganti, menurut Luhut, akan diputuskan setelah Jokowi kembali ke Tanah Air.

Termasuk opsi, agar helikopter VVIP lebih baik menggunakan produksi dalam negeri, dalam hal ini buatan PT Dirgantara Indonesia (DI). "Saya enggak mau berspekulasi (gunakan helikopter buatan PT DI), tapi kami akan lihat helikopter Presiden perlu diganti atau tidak. Nanti kami rapatin setelah Presiden pulang," kata Luhut.

Kritikan mengenai rencana membeli helikopter AgustaWestland (AW)-101 ini memang datang bertubi-tubi sejak pertama kali dicetuskan TNI AU. Bahkan, saat beberapa kalangan berdalih faktor keamanan yang menjadi prioritas dari rencana pembelian helikopter super mewah ini.

Beberapa waktu lalu, TNI AU lewat Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal TNI Agus Supriatna begitu pede akan memboyong tiga helikopter AgustaWestland (AW)-101 dalam rencana strategis (renstra) 2015-2019 yang sudah dilayangkan kepada Kementerian Pertahanan Republik Indonesia dan disampaikan pula ke Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

"Jadi, ini hasil dari kajian satuan bawah dari Skuadron VVIP, kami kaji di Mabes. Akhirnya, saya putuskan untuk renstra 2015-2019 kami beli untuk memenuhi Skuadron VVIP," kata Agus kepada VIVA.co.id beberapa waktu lalu
Tuai Kritikan
Selain dana yang tak sedikit, pembelian helikopter jenis AgustaWestland (AW)-101 menuai banyak kritikan, karena berkaitan dengan helikopter yang bakal digusurnya yakni Super Puma yang selama 13 tahun telah menjadi kendaraan kepresidenan.


Ya, helikopter ini memang rakitan dari putra-putri terbaik bangsa yang berada di PT Dirgantara Indonesia (PTDI), meski secara lisensi milik Prancis. Kondisi ini yang memicu reaksi dari berbagai kalangan, termasuk dari politisi PDIP yang juga anggota Komisi I DPR, Tubagus Hasanuddin.

"Siapa lagi yang mau menggunakan produk dalam negeri, kalau bangsa sendiri tidak mau menggunakannya," kata Hasanuddin.

Padahal, menurut dia, pembelian dari industri dirgantara lokal seperti PT Dirgantara Indonesia (DI) akan memberikan keuntungan bagi negara dan juga PT DI. Dengan membeli dari PT DI, maka 30 persen dari uang rakyat itu akan kembali ke negara.

"Setidaknya dalam bentuk pembelian bahan baku lokal dan 700 teknisi anak bangsa bisa melanjutkan hidupnya dari perusahaan ini," ujarnya.

Tubagus melanjutkan, dalam peraturan perundangan yang berlaku, pemerintah wajib memaksimal produk industri pertahanan dalam negeri.

“Jenis ini, (Super Puma) juga bagus dan sudah dipakai oleh 32 kepala negara dan raja di dunia. Harganya US$35 juta, bandingkan dengan AgustaWestland AW101 yang mencapai harga US$55 juta,” tutur Tubagus.


Tak kalah terkejut, pengamat penerbangan, Alvin Lie, juga melayangkan kritikan. Terlebih, TNI AU sebagai pengguna, sama sekali tidak pernah melakukan sosialisasi. Apalagi, pemerintah maupun DPR juga sekadar merespons pembelian tersebut.

"Kali ini rencana peremajaan (helikopter) tidak ada sosialisasi. TNI AU mendadak membeli AW-101, ini kejutan bagi kami," kata Alvin Lie dalam perbincangan di program "Apa Kabar Pagi" tvOne, Jumat 27 November 2015.

Alvin menyayangkan, pembelian helikopter tersebut dilakukan di saat PT Dirgantara Indonesia sudah mampu memproduksi sendiri Helikopter Super Puma, yang kualitasnya tidak kalah dengan AW-101 yang justru hanya dikendarai empat kepala negara saat ini.

"Ini berbeda ketika SBY beli Boeing untuk pesawat kepresidenan, karena PT DI tidak membuat itu," ujarnya.

Masih menurut Alvin, secara politik, rencana membeli helikopter AgustaWestland (AW)-101 ini juga sebagai betuk mosi tidak percaya terhadap produk perusahaan yang dikelola pemerintah. Ironis memang.

Poin penting lain yang juga menjadi sorotan Alvin adalah catatan kelam India saat menjadikan AW-101 ini sebagai helikopter VVIP. Ternyata, pembelian unit helikopter super canggih ini diwarnai dengan skandal memalukan.

"Helikopter AW-101 ini pernah dibeli India untuk pesawat VVIP, namun pada 2013 terungkap bahwa pembelian itu terdapat skandal penyuapan," kata Alvin.

Skandal tersebut terungkap setelah parlemen India mempelajari proses pembelian 12 unit helikopter AW-101 dengan kontrak senilai US$540 juta. Sejumlah politisi dan pejabat militer India dituduh menerima suap dari AgustaWestland untuk memenangkan pengadaan 12 helikopter.

"Setelah dipelajari parlemen, ada unsur penyuapan. Pada 12 Februari 2013 direktur Mekanika, perusahaan induk Agusta dan CEO-nya ditangkap," ujarnya.

Setelah penangkapan petinggi AgustaWestland, giliran pejabat senior dan pejabat militer Angkatan Udara India diperiksa terkait skandal penyuapan dalam pengadaan 12 helikopter AW-101 itu. "Pada Januari 2014, pemerintah India membatalkan kontrak tersebut," papar Alvin.

Peristiwa ini, Alvin melanjutkan, diharapkan menjadi pembelajaran bagi pemerintah Indonesia agar proses pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) dilakukan secara transparan dan akuntabel.
Nasionalisme Diuji

Sindiran juga diberikan politisi Partai Gerindra yang juga anggota Komisi I DPR, Elnino M Husein Mohi. Menurut Elnino, Presiden Jokowi seharusnya tetap menggunakan Super Puma dibanding helikopter AW-101, terlebih dikaitkan dengan nasionalisme yang selalu didengungkan sang Presiden.


"Saya yakin, Presiden RI Jokowi konsisten dan akan pakai Puma sebagaimana dulu pernah pakai mobil Esemka atas nama nasionalisme," kata Elnino, dalam siaran pers, Minggu 29 November 2015.


Saat menjadi wali kota Solo, Jokowi memang cukup populer dengan manuvernya menggunakan mobil Esemka sebagai kendaraan dinasnya. Hingga akhirnya, ia terpilih menjadi gubernur DKI dan menang di Pilpres 2014. Ironisnya, nasib Esemka kini tak jelas.


Sebagai Presiden, masih menurut Elnino, seharusnya memang melindungi produk-produk dalam negeri. Apalagi, untuk helikopter VVIP, anggota Komisi yang membidangi pertahanan keamanan ini, mengaku PT DI bisa memproduksi helikopter yang berkualitas dan teruji.


Kritikan yang tak kalah tajam datang dari anggota Komisi I DPR dari Partai  Persatuan Pembangunan (PPP), Syaifullah Tamliha. Ia khawatir dengan rencana pembelian helikopter Kepresidenan yang baru ini akan menggunakan pinjaman luar negeri.


“Saya khawatir pembelian pesawat Italia itu menggunakan pinjaman luar negeri, pastilah itu berbentuk valas. Kalau itu pinjaman luar negeri, saya belum tahu ya karena belum dibahas di Komisi I. Pinjaman luar negeri itu membebani utang negara dan mengubah postur anggaran APBN 2016,” kata Tamliha.


Tamliha juga tidak yakin jika Presiden Jokowi nantinya akan memilih jenis AgustaWestland AW-101 sebagai helikopter barunya. Terlebih dengan komitmen Jokowi yang selalu mengedepankan hasil karya anak negeri.


"Saya tidak yakin Jokowi membutuhkan heli itu. Saya mendengar persis di KIH itu salah satu pointer penting. Waktu pertemuan KIH pertama dengan Pak Jokowi adalah dia akan memberdayakan hasil karya anak negeri ini, termasuk hasil dari PT Dirgantara Indonesia,” ungkapnya.

Buatan Anak Bangsa Tak Kalah



Banyak pihak mengatakan, helikopter buatan PT DI juga tidak kalah dengan jenis AW-101 yang diusulkan ingin dibeli pemerintah. Helikopter modern EC-725 Combat SAR produksi PT DI, memiliki teknologi canggih, tetapi lebih terjangkau harganya ketimbang heli dengan kelas serupa, Agusta Westland AW-101.


"Saya tidak ingin bicara harga pesawat orang lain. Tapi, untuk EC-725, satu unitnya 25 ribu sampai 26 ribu euro. Kalau mau dilengkapi jadi VVIP dengan berbagai kelengkapan, total maksimum 30 ribu sampai 35 ribu euro," kata Direktur Niaga dan Restrukturisasi PT DI, Budiman Saleh.


Budiman mengatakan, sejauh ini pihaknya masih memperkenalkan EC-725. Menurut dia, belum ada pembicaraan serius dengan pemerintah, terkait pengadaan. "Kami cooling down dulu, karena proses tender ini belum terjadi," dia menambahkan.


Walau pemerintah tidak dilarang untuk membeli pesawat dari luar negeri, namun peraturan perundang-undangan mengenai industri pertahanan menyebutkan, pemerintah sudah seharusnya memelihara kemandirian industri dalam negeri.


"Undang-undang itu mengajarkan pentingnya kemandirian industri pertahanan dan sustainability industri pertahanan dalam negeri," lanjut Budiman.


Seperti diketahui, helikopter EC-725 Combat SAR disertai dengan teknologi-teknologi supermodern. Helikopter ini antipeluru, perahu karet, Forward Looking Infrared (FLIR) dan teknologi canggih lainnya. "Teknologi hampir sama (dengan AgustaWestland AW-101)," kata Direktur Produksi PT DI, Arie Wibowo.


Dan yang tak kalah penting, karena buatan lokal, maka perawatan dan suku cadang Super Puma lebih terjamin, berbeda dengan suku cadang AW-101 yang lebih mahal dalam status impor serta tidak ada jaminan tidak diembargo. 

Viva. 

Jumat, 27 November 2015

Ironis, Pemerintah Tak Percaya Helikopter Buatan Anak Negeri

Ironis, Pemerintah Tak Percaya Helikopter Buatan Anak Negeri
Helikopter AgustaWestland (AW-101) (agustawestland.com)
TNI Angkatan Udara telah memutuskan untuk membeli helikopter Kepresidenan baru jenis Agusta Westland AW-101 untuk menggantikan helikopter Kepresidenan yang lama, Super Puma.
Rencananya, helikopter baru tersebut akan tiba di Tanah Air pada pertengahan 2016 mendatang.

Dipilihnya AW-101 sebagai helikopter yang akan digunakan Presiden atau Wakil Presiden dan tamu VVIP diklaim sebagai helikopter canggih dan memiliki tingkat keamanan, serta kenyamanan yang baik. Helikopter ini pun didesain antipeluru.

Pengamat Penerbangan, Alvin Lie, mengaku terkejut dengan rencana pembelian helikopter kepresidenan buatan Inggris-Italia itu. Pasalnya, TNI AU sebagai user, sama sekali tidak pernah melakukan sosialisasi. Apalagi, pemerintah maupun DPR juga hanya sekedar merespons pembelian tersebut.

"Kali ini rencana peremajaan (helikopter) tidak ada sosialisasi. TNI AU mendadak membeli AW-101, ini kejutan bagi kami," kata Alvin Lie dalam perbicangan di program "Apa Kabar Pagi" tvOne, Jumat, 27 November 2015.

Alvin menilai, pembelian helikopter tersebut dilakukan di saat PT Dirgantara Indonesia (DI) sudah mampu memproduksi sendiri Helikopter Super Puma, yang kualitasnya tidak kalah dengan AW-101.
"Ini berbeda ketika SBY beli Boeing untuk pesawat kepresidenan, karena PT DI tidak membuat itu," ujarnya.

Nyatanya, pemerintah lebih memilih membeli helikopter jenis AW-101, ketimbang menggunakan helikopter buatan dalam negeri. Padahal, Super Puma buatan PT DI sudah terbukti kualitasnya, dan digunakan oleh negara lain.

"Secara politik ini adalah mosi tidak percaya terhadap produk (yang dihasilkan) perusahaan yang dikelola oleh pemerintah, dan itu ironis," tegas mantan anggota DPR RI ini.

Sebelumnya, Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU), Marsekal TNI Agus Supriatna, menegaskan pembelian Helikopter AW-101 sebagai helikopter kepresidenan yang baru sudah melalui tahapan dan kajian mendalam TNI AU.

Menurut Agus, alasan membeli pesawat helikopter AW-101, lantaran dirinya benar-benar mengetahui helikopter mana yang benar-benar canggih dan lebih layak digunakan oleh kepala negara.

"Saya tahu betul, pengalaman bagaimana mengoperasikan pesawat-pesawat yang sekarang ada. Bagaimana servisnya, bagaimana kita mencari suku cadang," kata Agus Supriatna di Wisma Angkasa, Jalan Wijaya, Jakarta Selatan, Selasa, 24 November 2015.

Tentunya, pembelian pesawat helikopter bagi Presiden, Wakil Presiden dan VVIP, berdasarkan hasil kajian dan penelitian yang lebih serius.
"Jadi, jangan dibuat seperti ini. Segala sesuatu, saya tahu betul, kenapa saya enggak memilih ini, pasti ini karena hasil kajian," ujar Agus.

Viva. 

PTDI Lamban Rampungkan Pesanan Helikopter

super puma

Lambatnya penyelesaian pesanan oleh PTDI menjadi salah satu alasan mengapa TNI AU tidak memesan helikopter untuk pejabat penting negara (VVIP) ke BUMN yang bermarkas di Bandung, Jawa Barat, itu.

Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal Agus Supriatna mengatakan, tahun 2012 TNI AU pernah memesan sejumlah helikopter EC725 Caracal alias Super Cougar dari PT Dirgantara Indonesia, namun helikopter-helikopter pesanan itu tidak datang sesuai waktu yang disepakati.

“Kontrak diteken tahun 2012. Rencananya pembuatan helikopter selesai dalam 38 bulan. Seharusnya pesanan itu sudah datang Mei 2015. Tapi perjanjiannya diamandemen sehingga mundur,” kata Marsekal Agus di Jakarta, Kamis (26/11).

Helikopter Super Cougar yang dipesan tak kunjung selesai karena terdapat pending item.

Super Puma
Super Puma

Implementasi jual beli antara TNI AU dengan PTDI yang tak sesuai tenggat waktu bukan hanya pada perjanjian helikopter Super Cougar itu saja, tapi juga pada kontrak pembelian helikopter NAS 332 Super Puma.

“Kami punya pengalaman kontrak Super Puma yang juga pending item, sampai sekarang belum bisa dioperasikan,” ucap KSAU.


Berkaca pada dua pengalaman berbisnis dengan PTDI itu, KASAU memutuskan tidak membeli helikopter baru dari PTDI untuk saat ini.

Helikopter VVIP pilihan TNI jatuh pada AgustaWestland AW101 buatan Italia-Inggris. Satu unit telah dipesan Juni tahun lalu, dan kini telah memasuki perakitan tahap akhir di Italia untuk kemudian dikirim ke Indonesia tahun depan.

AW101 akan diberikan kepada Skadron Udara 45 yang bertugas mengoperasikan transportasi udara bagi pejabat dan tamu negara sekelas presiden dan wakil presiden.

Agusta Westland 101
Agusta Westland 101

Sebelumnya Direktur Utama PTDI Budi Santoso berharap helikopter rakitan perusahaannya dipilih menjadi kendaraan VVIP. “Mudah-mudahan Presiden mau menggunakan produk kami. Ini akan menjadi iklan terbaik bagi kami, untuk menjual ke negara-negara lain,” kata Budi di Bandung.

KASAU yang juga menjabat Komisaris Utama PTDI sejak Oktober 2014, bertekad memperbaiki kinerja perusahaan pelat merah itu. Posisi Komisaris Utama PTDI merupakan jabatan yang melekat (ex officio) pada KSAU.

“Saya ingin PTDI berkembang dengan baik. Step by step akan saya perbaiki,” ujar Marsekal Agus.

PTDI sejak awal tahun 90-an telah merakit helikopter-helikopter Airbus Helicopters, divisi manufaktur helikopter dari Airbus Group yang bermarkas di Prancis. Sebelum merakit Super Cougar, PTDI juga merakit Super Puma. Tak hanya merakit, beberapa bagian helikopter seperti badan dan ekor pesawat juga diproduksi PTDI.

CNN Indonesia

AgustaWestland AW101 VVIP: Mengintip Calon Helikopter Kepresidenan RI Terbaru

MAKS2013part3-53-M

Meski sempat mengundang polemik, namun bila tak ada aral melintang, di HUT TNI AU ke-70 pada 9 April 2016 akan tiba pesanan pertama helikopter kepresidenan “Air Force One” terbaru AgustaWestland AW101 sebagai pengganti heli kepresidenan NAS 332 L1/L2 Super Puma di Skadron Udara 45 yang bermarkas di Pangkalan Udara Utama TNI AU Halim Perdanakusuma. Rencananya TNI AU akan mendatangkan tiga unit AgustaWestland AW101, mengikuti konfigurasi NAS 332 Super Puma VVIP (very very important person) yang juga ada tiga unit.

Mengutip pernyataan KSAU Marsekal TNI Agus Supriatna di situs beritasatu.com (25/11/2015), rencana pengadaan helikopter kepresidenan sudah masuk dalam rencana strategis TNI AU periode 2015 – 2019 atau masuk MEF (Minimum Essential Force) tahap II. Menghadapi tentangan dari sejumlah kalangan, seperti mengapa tidak membeli varian Super Puma terbaru?, menurut KSAU pemilihan AgustaWestland AW101 sudah melewati kajian yang mendalam, dan akhirnya diputuskan untuk membeli AW101. Dana pengadaan ketiga helikopter diambil dari anggaran renstra TNI AU, sementara bila nanti digunakan untuk operasional kepresidenan, akan menggunakan dana Sekretariat Negara (Setneg).

9915874805_14afdb8c63_bAgustaWestland-AW101-at-Helitech-2013-1

helitech-13-image-3591

AgustaWestland AW101 jelas helikopter yang asing di Indonesia, maklum selama ini kebanyakan heli yang wara wiri di angkasa Indonesia berasal dari turunan Airbus Helicopters atau Bell Textron yang produksinya digarap PT Dirgantara Indonesia (DI). Meski sama-sama di kelas helikopter kelas medium, tapi AW101 punya spesifikasi yang lebih besar dari keluarga Super Puma. Yang paling kentara bisa dilihat AW101 mempunyai tiga mesin, jumlah bilah baling-baling ada 5, dan tersedianya ramp door di bagian belakang. Adopsi ramp door helikopter sejatinya bukan barang bagi TNI, tercatat heli angkut berat Mi-6 TNI AU dan Mi-17 Puspenerbad TNI AD sudah menggunakan ramp door.

1a5da0acf7ee2812f61b7f91d16bf4c43333_240122964_originalaw101-cabin

AgustaWestland, perusahaan hasil merger Agusta (Italia) dan Westland (Inggris) pada dasarnya membagi penawaran AW101 kedalam tiga rancangan, yakni head of government state transport, Combat SAR, SAR (Search and Rescue), dan utility. Nah, dalam konteks helikopter VVIP maka yang jadi acuan adalah setting head of government state transport. Bila di versi utility ruang cargo dapat dimuati 38 pasukan bersenjata lengkap, maka saat ruang cargo disulap untuk rombongan presiden, maka konfigurasi hanya diperuntukkan untuk 10-13 kursi saja.

Berdasarkan paparan di situs resmi agustawestland.com, pada versi VVIP digunakan tiga mesin tipe General Electric CT7-8E turboshaft dengan teknologi Full Authority Digital Engine Control (FADEC). Teknologi FADEC memungkinkan heli untuk terbang dengan satu mesin dengan tetap mempertahankan high performance. Secara umum, AW101 dapat terbang selama 6,5 jam. Bahkan dimungkinkan untuk melakukan pengisian bahan bakar di udara (air refuelling). Dengan kapasitas bahan bakar 4.094 liter, AW101 VVIP sanggup terbang sejauh 1.360 km dan kecepata jelajah 278 km per jam.

Interior AW101 VVIP
Interior AW101 VVIP

Interior AW101 VVIP. Untuk urusan interior bisa dikustom sesuai keingjnan pembeli,
Interior AW101 VVIP. Untuk urusan interior bisa dikustom sesuai keingjnan pembeli,

Sebagai varian untuk pejabat tinggi dan kepresidenan, AW101 VVIP yang demo unitnya pernah ditampilkan di ajang Helitech 2013, dilengkapi tingkat keselamatan tinggi, baik pada proteksi anti peluru dan proteksi terhadap benturan bila terjadi crash. Kabarnya poin anti peluru menjadi elemen prioritas untuk heli kepresidenan RI ini. Bahkan bila anggaran memungkinkan, AW101 TNI AU bisa juga dipasangi perangkat anti jamming, anti rudal, dan lainnya.

DSC_0377photo-1-alg-vvip

Untuk kenyamanan sang presiden, tersedia kabin yang terluas di kelas heli medium, yakni kompartemen dengan tinggi 1,83 meter dan lebar 2,49 meter. Seperti terlihat pada gambar, tersedia kursi mewah berikut perabotannya, pintu tangga samping VVIP, dan pintu belakang lewat ramp door untuk keluar masuk staf dan pasukan pengawal. Kelengkapan lain di ruang kabin mencakup sistem secure communication, kamar kecil/toilet, peralatan medis, kursi staf/pengawal, perangkat informasi/hiburan, dan perlindungan balistik. Kabin AW101 VVIP pun dipastikan punya fitur low noise dan efek getaran yang rendah.

Bagaimana dengan sistem avioniknya? Untuk sistem avionic mengacu pada AW101 versi Combat SAR, kedua pilot dilengkapi fasilitas Night Vision Goggle (NVG) yang kompatibel dengan glass cockpit, fully integrated communications, dan mission management systems yang memberi gambaran situasional nyata kepada pilot tentang situasi yang dihadapi.

Secara khusus AgustaWestland menawarkan defensive aids suite untuk AW101 VVIP, komponen yang disertakan terdiri dari Radar Warning Receiver (RWR), Laser Warning System (LWS), Missile Approach Warning System (MAWS), Countermeasures Dispensing System (CMDS), dan Directed Infra-Red Countermeasures (DIRCM). Namanya juga helikopter untuk kepala pemerintahan dan kepala negara, rasanya untuk urusan keselamatan memang harus jadi prioritas.

Sampai saat ini, AW101 VVIP telah digunakan oleh pemerintah Arab Saudi, Nigeria, Turkmenistan, dan Algeria. AW101 pun sudah sempat ambil peran dalam film layar lebar, yakni James Bond “Skyfall,” dalam film  helikopter digunakan sebagai wahana penyerbu kastil tempat persembuyian James Bond. (Gilang Perdana)

AW101 di film "Skyfall" James Bond.
AW101 di film “Skyfall” James Bond.

Spesifikasi AgustaWestland AW101 VVIP
– Panjang: 19,53 meter
– Diameter rotor: 18,59 meter
– Pilot: 2
– Penumpang: 10-13
– Mesin: 3x General Electric (GE) CT7-8E turboshaft
– Kecepatan jelajah: 278 km/jam
– Kecepatan maks: 309 km/jam
– Kapasitas bahan bakar: 4.094 liter
– Ketinggian terbang maks: 4.572 meter
– Berat lepas landas maks: 15,6 ton
– Payload maks: 5,4 ton
– Jangkauan terbang: 1.360 km
– Endurance terbang: 6,5 jam

Rencana Strategis TNI AU 2015-2019

  T-50 Golden Eagle
T-50 Golden Eagle

Jakarta – Kepala Staf TNI AU, Marsekal TNI Agus Supriatna, memaparkan Rencana Strategis TNI AU 2015-2019, yang berasal dari kajian internal TNI AU dan disetujui Markas Besar TNI dan Kementerian Pertahanan.

Ada beberapa hal yang menjadi fokus utama Rencana Strategis TNI AU 2015-2019 itu, sebagaimana yang dinyatakan KASAU di Ruang Tunggu VIP Base Ops Pangkalan Udara Utama TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta, Kamis, 26/11/2015.

1. Pengganti F-5E/F Tiger II di Skadron Udara TNI AU 14, yang diproyeksikan pada dua kandidat utama, yaitu Sukhoi Su-35 Super Flanker buatan Rusia, dan F-16 Viper buatan Lockheed Martin, Amerika Serikat. Yang pertama bermesin dua, dan yang kedua bermesin tunggal. Akan dibeli unit baru yang baru dari pabriknya, dan dalam keadaan lengkap persenjataan dan sistem avionik.

Walau tender terbuka tidak pernah dilakukan, namun pabrikan yang turut memaparkan kebolehan dan keunggulan produknya adalah Saab Swedia (JAS39 Gripen), Dassault Rafale (Prancis), Eurofighter Typhoon (konsorsium : Spanyol, Inggris, Jerman, dan Italia).

2. Pemutakhiran armada pesawat angkut berat sekelas C-130 Hercules. Sejauh ini ada dua skadron udara TNI AU yang mengoperasikan pesawat militer di kelas ini, yaitu Skadron Udara 31 (Pangkalan Udara Utama TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta), dan Skadron Udara 32 (Pangkalan Udara Utama TNI AU Abdurrahman Saleh, Malang, Jawa Timur).

C-130 Hercules serie dipilih karena tipe ini terbukti andal dan populasinya masih sangat banyak di dunia. Adapun Embraer dari Brazil sempat mencoba peruntungan, sebagaimana A400M dari Airbus Industry.

3. Pemutakhiran pesawat latih jet T-50i dari Korea Aerospace Industry, Korea Selatan. TNI AU sudah punya 16 unit T-50i Golden Eagle, sehingga sebagai skadron udaranya, kekuatannya terbilang lengkap, yang dimasukkan ke dalam Skadron Udara 15 TNI AU, di Pangkalan Udara Utama TNI AU Iswahyudi, Madiun, Jawa Timur.


Marsekal Supriatna menjelaskan, yang dilakukan nanti adalah melengkapi T-50i Golden Eagle dengan radar dan sistem persenjataannya. Selama ini belum ada radar dan persenjataan T-50i Golden Eagle yang datang pada 2013 dan belum bisa dikategorikan sebagai pesawat tempur taktis.

Pengadaan T-50i Golden Eagle yang bentuknya nyaris persis dengan F-16 Fighting Falcon untuk memenuhi skala waktu yang dituntut dalam kontrak pembelian, yaitu tiba perdana pada 2013 dan unit terakhir 2014.

4. Penambahan pesawat latih dasar Grob G-120TP dari Jerman, yang dimasukkan di Skadron Udara 202, yang adalah skadron udara pendidikan calon perwira penerbang berpangkalan di Pangkalan Udara Utama Adi Sucipto, Yogyakarta. Grob G-120TP pengganti AS-202 Bravo, yang telah berkiprah sejak dasawarsa ’70-an.

5. Penambahan KT-1B Wong Bee, buatan Korea Aerospace Industry, Korea Selatan. Pesawat terbang mesin turbo piston berbaling-baling ini bergabung ke dalam Skadron Udara 201, yang juga skadron pendidikan calon perwira penerbang di Yogyakarta.

Pesawat terbang ini juga dijadikan the goodwill ambassador of Indonesian Air Force, ke dalam Tim Aerobatic Jupiter.

6. Pembelian 9 unit Helikopter angkut berat dan helikopter kepresidenan/VIP, yang berbasis Agusta Westland AW-101 Merlin. Diproyeksikan enam unit AW-101 dibeli baru untuk skadron udara angkut berat dan tiga untuk Skadron Udara 45 VIP.

Semua tender pengadaan pesawat militer tidak diungkapkan kepada publik.

Antara

Singapura Klarifikasi Ucapan Luhut soal FIR

  F-16 TNI AU
F-16 TNI AU

Jakarta – Kementerian Luar Negeri Singapura menyatakan pemerintah mereka belum menyepakati pengambilalihan kendali ruang udara atau Flight Information Region (FIR) di Kepulauan Riau oleh Indonesia.

“Deputi Perdana Menteri Singapura Teo Chee Hean tidak setuju dengan hal itu. Pembicaraan soal FIR mengemuka pada acara makan malam yang digelar Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Indonesia, Luhut Pandjaitan, 23 November 2015. Teo belum, dan tidak dapat menyetujui, isu sebesar itu dibicarakan dalam diskusi informal singkat selama makan malam,” demikian rilis resmi Kementerian Luar Negeri Singapura, Kamis (26/11).

Pemerintah Singapura berpendapat kontrol ruang udara bukan isu kedaulatan, melainkan soal operasionalisasi lalu lintas udara yang efektif dengan prioritas pada keselamatan penerbangan.

Deputi Perdana Menteri Singapura Teo menekankan FIR adalah masalah teknis oeprasional yang kompleks di bawah lingkup Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO), dan karenanya melibatkan banyak negara dan maskapai penerbangan yang melintasi ruang udara dalam kendali FIR tersebut.

Sikap Singapura itu ditegaskan Deputi Perdana Menteri Teo dalam pertemuan dengan sejumlah pejabat Indonesia pada kunjungannya ke Jakarta, 23-25 November. Di antara menteri Indonesia yang ditemui Teo ketika itu adalah Menkopolhukam Luhut dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.


Saat itu pula, ujar Kemlu Singapura, para pejabat Indonesia sepakat dengan pemerintah Singapura bahwa pengelolaan ruang udara bukan masalah kedaulatan, melainkan persoalan teknis operasional.

“Mereka (pejabat Indonesia) juga setuju bahwa perhatian utama harus ditujukan pada keselamatan, efisiensi, dan kelancaran operasi lalu lintas udara,” kata Kementerian Luar Negeri Singapura.

Singapura menyatakan ada banyak contoh di mana ruang udara suatu negara dikelola otoritas negara lain. Indonesia misalnya, kata Singapura, juga mengelola zona udara milik negara lain yang berbatasan dengan RI.

Beberapa waktu lalu, Menko Polhukam Luhut Panjaitan menyatakan Singapura tak keberatan dengan niat Indonesia mengelola ruang udaranya sendiri. Saat ini Indonesia tengah menyiapkan sumber daya manusia dan infrastruktur untuk mengelola FIR di Kepulauan Riau yang berbatasan dengan Singapura.

Rencana Indonesia mengambil alih kendali ruang udara Kepulauan Riau dari Singapura mencuat awal bulan September ketika Jokowi memerintahkan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan dan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo memodernisasi peralatan dan meningkatkan kemampuan personelnya agar dapat mengelola FIR secara mandiri.

CNN Indonesia