Sabtu, 30 Mei 2015

Jenderal Terkenal dari Laos Ini Dulu Dilatih Kopassus

Jenderal Kong Le (ist)
Jenderal Kong Le (ist)

Inilah Jenderal Kong Le, seorang prajurit tangguh yang memiliki jasa besar terhadap negerinya dari invasi Viet Minh, pasukan komunis Vietnam di bawah kepemimpinan Ho Chi Minh. Dia anggota Angkatan Darat Kerajaan Laos, dan bergabung bersama pasukan payung.
Ketangguhannya dalam menjalani pertempuran membuatnya diberi kepercayaan untuk memimpin Batalion Parasut ke-2. Pasukan yang dipimpinnya ini memiliki pengalaman tempur dengan pasukan Viet Minh dalam rentang tahun 1959 dan 1960.
Kong Le bergabung dengan Angkatan Darat Kerajaan Laos pada pertengahan 1951, tidak lama setelah menyelesaikan pendidikan formalnya. Kemampuan bela diri membuatnya didaftarkan ke dalam Sekolah Kandidat Perwira angkatan ketiga di Dong Hene, Kamboja.
Penugasan pertama diberikan setelah OCS menempatkannya bersama Kapten Ouane Rattikone di Luang Prabang. Kemudian, dia dikirimkan untuk mengikuti pelatihan Ranger Intai di Fort William McKinley, Filipina pada 1957. Sekembalinya dari sana, dia langsung bergabung bersama Batalion Parasut ke-2.
Selain berlatih perang di Filipina, ternyata Kapten Kong ini juga pernah dilatih oleh Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha, kini Kopassus). Hal ini diungkap Luhut Pandjaitan kepada Hendro Subroto dalam bukunya ‘Para Komando: Perjalanan Seorang Prajurit’ terbitan Kompas.
“Korps Baret Merah mendidik pasukan Republik Kamboja maupun pasukan Pemerintah Laos untuk memperoleh kualifikasi para dan komando. Salah satu siswa komando dari Laos adalah Kapten Kong Le, kemudian hari menjadi seorang jenderal karismatik dalam memimpin Laos.”
Setelah mendapatkan mandat untuk memimpin sebuah batalion, Kong Le memimpin sebuah pemberontakan terhadap Raja Laos. Dia dan pasukannya memimpin sebuah pemberontakan pada 10 Agustus 1960 untuk menjatuhkan pemerintahan Laos. Kepada rakyatnya, dia menyebut tindakannya ini untuk memberangus korupsi di tubuh pemerintah dan untuk mengejutkan para perwira AS. Tak hanya itu, dia juga menuding kebijakan AS jadi penyebab kekacauan di Laos.
Namun, aksinya ini dapat diberangus dengan cepat pada 14 Desember 1960, oleh Jenderal Phoumi Nosavan. Kong Le, yang kemudian mengangkat dirinya sebagai Mayor Jenderal, bersama pasukannya melarikan diri hingga ke lokasi strategis bernama Plain of Jars. Di sana dia melakukan perekrutan baru, serta mendirikan Pasukan Bersenjata Neutraliste, dan menyebabkan Laos terlibat dalam perang saudara.
Setelah menjalani pertempuran panjang, kemampuan pasukannya ternyata tak mampu menandingi pasukan Kerajaan Laos. Tak hanya itu, mereka juga menghadapi masuknya sejumlah pasukan Vietnam Utara yang melintasi markas utamanya. Berbagai kekalahan lantas membuatnya melarikan diri dari Laos pada 17 Oktober 1966.
Sepanjang pelariannya, dia pernah bersembunyi di Indonesia, Hong Kong, AS. Dia menghembuskan napas terakhirnya saat berada di Prancis, awal tahun lalu.(Merdeka)

TR2400: Tactical Radio Infanteri TNI AD dengan Kemampuan Hybrid Analog Digital

IMAG1389
Selain bekal strategi perang yang mumpuni, senjata yang handal, dan mental personel yang kuat, harus diakui faktor penting yang jadi penentu keberhasilan dalam pertempuran infanteri adalah sistem komunikasi. Dan bicara sistem komunikasi pada lingkup infanteri, khususnya pada level pleton dan regu maka tak bisa dipisahkan dari keberadaan tactical radio (radio taktis) yang biasa dibawa dengan ransel (manpack) oleh prajurit operator radio.
Menyadari komunikasi antar satuan tempur begitu vital, infanteri di lingkungan TNI AD, TNI AL (Marinir), dan TNI AU (Paskhas) akrab dengan keberadaan tactical radio. Salah satu jenis tactical radio yang legendaris adalah AN/PRC-77. Radio ini pertama kali digunakan pada tahun 1968, dan langsung dioperasikan oleh GI (tentara AS) di Perang Vietnam. PRC-77 merupakan pengembangan dari seri AN/PRC-25, dimana tambahan kemampuan PRC-77 mencakup pada kekuatan amplifier, dukungan enkripsi voice, dan penggunaan vacuum tubes.

65113742
Meski sudah usianya sudah sangat tua, hingga kini PRC-77 yang mengandalkan teknologi analog masih dioperasikan di beberapa satuan TNI AD. Namun, sesuai tuntutan jaman, tactical radio jenis yang lebih baru pun sudah digunakan di lingkungan TNI AD, khususnya di Divisi Infanteri Kostrad. Yakni tactical radio TR2400 buatan Saab Grintek Communication Systems, Afrika Selatan. Dibanding PRC-77, TR2400 yang lebih modern punya banyak keunggulan, dari tampilan interface-nya sudah dilengkapi panel digital untuk beragam fungsi yang memudahkan operator.
Dari golongannya, TR2400 masuk dalam segmen HF (high frequency) transceiver yang berjalan di frekuensi 1,6 – 30 Mhz. Tactical radio ini menawarkan teknologi digital signal processing (DSP) untuk frekuensi tinggi hopping. Frekuensi Hopping adalah teknik lama yang diperkenalkan pertama kali dalam sistem transmisi militer untuk menjamin kerahasiaan komunikasi dan jamming tempur. Frekuensi Hopping adalah mekanisme di mana sistem perubahan frekuensi (uplink dan downlink) selama transmisi secara berkala. Hal ini memungkinkan saluran RF yang digunakan untuk pensinyalan kanal (SDCCH) timeslot atau saluran lalu lintas (TCH) timeslots, untuk mengubah frekuensi setiap frame TDMA (4,615 ms). Beberapa unggulan fitur radio ini adalah:
• Komunikasi dual band (FM dan AM ground to air/OTA). Komunikasi antar darat dan laut pada modulasi VHF 30 – 55 Mhz. Dengan kemampuan komunikasi ground to air, operator TR2400 dapat menjalankan peran pemandu tembakan dari pesawat tempur. Istilah dalam militer disebut sebagai ground FAC (forward air control).
• Multi role dan full military spec, dapat digunakan dalam berbagai medan operasi, dapat di adopsi mulai dalam moda manpack (radio panggul), base station, kendaraan taktis, ambulance, dan kapal laut.
48963780
• Multi mode, baik analog dan digital voice. Dilengkapi fitur komunikasi konvensional dengan suara analog maupun digital. Saat menggunakan kanal analog, juga dilengkapi sistem pengacak analog (AVS)
• Dilengkapi sistem pengamanan, berupa frekuensi hopping dengan kecepatan 100 hope per detik. Selain itu, TR2400 dibekali sistem pengacakan (encryption).
• Untuk mengetahui lokasi dan pergerakan radio lawan, ada fitur GPS (Global Positioning System) Blue Force Tracking.
TR2400-1
• Kemampuan daya pancar minimum 1 watt dan maksimum 10 watt dengan ketahanan selama delapan jam untuk menerima/standby. Sementara kemampuan untuk memancar hingga dua jam.
• Saat digunakan dalam manpack, daya yang digunakan 25 watt, sementara bila digunakan pada kendaraan dengan daya 100 watt. Konfigurasi sebagai base station hingga 320 watt.
• Tahan digunakan dalam lingkungan ekstrim dengan rentang suhu -30 hingga 70 derajat Celcius.
• Tahan di dalam air hingga kedalaman 1 meter.
• Mudah dalam pemeliharaan berkat konstruksi modular.
• Dilengkapi 99 channel memori dari panel atau dari PC, TR2400 dapat mengirimkan sinyal morse, email dan transfer file.

Spesifikasi TR2400
– Rentang frekuensi: 1,6 – 30 Mhz
– Dimensi perangkat: 296 x 231 x 93 mm
– Berat: 4,5 Kg
– Baterai: Lithium ion
– Power supply: 20 volt – 32 volt
– Output daya: 2,5 – 25 Watt
– Data: Modem MIL-STD-188-110A (2400 bit), STANAG 4285 (2400 bit modem), dan STANAG 4415 (75bps)
– Data Link Protocol (DLP): STANAG 5066 dan Internal ARQ SMS


Jumat, 29 Mei 2015

Badan Siber Nasional Bakal jadi Pengawas Internet

Ilustrasi (ist)
Ilustrasi (ist)
Pemerintah Indonesia melalui sejumlah kementerian terus menyiapkan segala hal dalam membentuk Badan Siber Nasional (BSN). Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Tedjo Edhi Purdijatno mengatakan, badan ini bakal jadi koordinator dalam menjaga keamanan siber nasional.
“BSN akan jadi koordinator. Kita siap membentuk BSN. Sedang mendengar masukkan dari pihak lain,” ujar Tedjo dalam jumpa pers bersama Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara di Jakarta, Kamis (28/5).
BSN menurut rencana akan menjadi koordinator membawahi lembaga-lembaga lain yang memiliki unit keamanan siber. Seperti diketahui, lembaga yang telah memiliki unit keamanan siber sendiri adalah Polri, TNI, Kemenkominfo, hingga Kemenkopolhukam.
Saran terkait BSN ini akan ditampung Kemenkopolhukam dalam acara Simposium Nasional Cyber Security 2015 yang diadakan pada 3 sampai 4 Juni 2015 di Hotel Borobudur Jakarta.
BSN akan menjadi lembaga baru setingkat kementerian dengan utama memastikan terjadinya koordinasi keamanan siber nasional.
“Kerangka komprehensif cyber security mutlak diperlukan untuk menjamin bergulirnya roda ekonomi melalui partisipasi serta urun rembuk pelaku dan pemangku kepentingan ranah siber yang majemuk,” jelas Tedjo.
Ia mengatakan Keputusan Presiden soal BSN ini akan segera terbit setelah tugas dan kewajiban lembaga baru ini selesai. Sejumlah ahli dan praktisi keamanan siber akan menjadi sumber daya di lembaga baru ini.
Indonesia dinilai belum memiliki satu sistem keamanan nasional maupun kerangka legal yang pas untuk keamanan siber.
Pada April lalu, Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Badan Reserse Kriminal Polri mengungkapkan kerugian akibat program jahat (malware) pencuri uang perbankan oleh warga negara asing mencapai Rp 130 miliar dalam sebulan. Uang dari nasabah Indonesia itu ditransfer ke negara Eropa Timur melalui rekening kurir onlone Western Union atau Moneygram.
Lembaga yang mengawasi keamanan Internet nasional, Indonesia Security Incidents Response Team on Internet Infrastructure (ID-SIRTII), mencatat pada tahun 2014 lalu ada 3.288 insiden serangan terhadap situs pemerintah dengan domain .go.id.
Secara totla ID-SIRTII mencatat ada 48,4 juta serangan siber yang melanda Indonesia tahun 2014 lalu. Serangan tertinggi terjadi pada bulan Agustus dengan 18 juta serangan.
Serangan dalam bentuk program jahat atau malware masih mendominasi, sekitar 12 juta serangan, pemanfaatan masuk ke celah keamanan dengan 24.168 serangan, record leakage 5,970 kasus, pengelabuan 1.730 kasus, serta domain leakage 215 kasus.(CNN Indonesia)

Nota Provokatif Belanda Jadi Trigger Agresi Militer I

Bala Tentara Belanda bersiap jelang Agresi Militer I (Foto: Wikipedia)
Bala Tentara Belanda bersiap jelang Agresi Militer I (Foto: Wikipedia)
Provokasi demi provokasi biasa dijadikan Belanda untuk memancing kekuatan militer Indonesia untuk bertempur di front terbuka. Belanda merasa punya keuntungan dengan jumlah personel sekira 100 ribu pasukan, jika bentrok dengan TNI yang dianggap tak punya perlatan tempur memadai di medan terbuka.
Dan, salah satu provokasi “resmi” jelang melancarkan Agresi Militer I dengan sandi ofensif “Operatie Produkt” pada 21 Juli 1947, Belanda melayangkan nota bernada ancaman nan provokatif dua bulan sebelumnya.
Ya, pada 27 Mei 1947 (68 tahun silam), Belanda mengeluarkan ultimatum yang berisi sejumlah tuntutan. Tuntutan yang dirasa takkan bisa dipenuhi pemerintah RI dan wajib dibalas dalam tempo dua pekan.
Nota yang disampaikan pada pemerintah RI melalui perwakilan Belanda, Dr. P.J.A Idenburg itu berisikan sebagai berikut, seperti dikutip dari ‘Kronik Revolusi Indonesia’:
1. Pembentukan pemerintahan peralihan bersama.
2. Mengadakan garis demiliterisasi dan pengacauan di daerah-daerah Konferensi Malino (Negara Indonesia Timur, Kalimantan, Bali) harus dihentikan.
3. Mengadakan pembicaraan pertahanan negara, di mana sebagian Angkatan Darat, Laut dan Udara Kerajaan Belanda harus tinggal di Indonesia.
4. Pembentukan Kepolisian demi melindungi kepentingan dalam dan luar negeri.
5. Hasil-hasil perkebunan dan devisa diawasi bersama.
Merespons ultimatum itu, Perdana Menteri Sutan Sjahrir pun hanya bisa menafsirkannya antara kapitulasi (menyerah) pada Belanda, atau perang total. Belanda sendiri sedianya sudah mulai bersiap dengan menyiagakan sejumlah pasukan sejak Maret 1947.
Sjahrir tentu menolak dan itu jadi “trigger” atau pemicu tersendiri buat Kepala Staf pasukan Belanda Jenderal Simon Hendrik Spoor, untuk me-launching serangan total yang tentunya sesuai instruksi dari Den Haag.
Namun rencana Spoor sempat tersendat, lantaran pada akhirnya Sjahrir bertekuk lutut pada tuntutan tersebut. Akibatnya, Kabinet Sjahrir pun tumbang lantaran tak lagi dipercaya rakyat. Adapun Belanda, kembali melayangkan ultimatum pada 15 Juli 1947 dengan tuntutan pasukan TNI mundur 10 kilometer dari garis demarkasi.
Lantaran PM Amir Sjarifoeddin yang menggantikan Sjahrir tak memberi jawaban, maka meletuslah ofensif Belanda yang pertama ke berbagai wilayah RI di Sumatera dan Jawa pada 21 Juli 1947.
Terlepas dari sejumlah kejadian yang terjadi dalam agresi itu, pemerintah juga belum berhenti ikut bertarung di arena diplomasi. Sjahrir dan H. Agus Salim diutus ke Sidang Dewan Keamanan PBB, di mana akhirnya diputuskan Belanda harus menghentikan serangan pada 1 Agustus dan gencatan senjata sudah harus terjadi tiga hari setelahnya.
Spoor pribadi sedianya ‘kebelet’ meneruskan gerak ofensif pasukannya hingga Yogyakarta yang kala itu jadi Ibu Kota RI, yang kemudian ditentang pemerintah sipil Belanda.
Seperti termaktub dalam buku ‘Kontroversi Serangan Umum 1 Maret 1949’, Spoor bercita-cita menguasai Yogyakarta yang kelak baru bisa dilakukannya pada Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948.
Satu fakta menarik bahwa jelang Agresi Militer I itu, markas Tentara Belanda bahkan melancarkan psywar kepada tentaranya sendiri. Mereka menyebarkan selebaran yang tercatat dikeluarkan di Batavia (kini Jakarta) tertanggal 27 Mei 1947, bersamaan dengan keluarnya nota pemerintah Belanda kepada RI.
Selebaran itu dikatakan dikeluarkan pihak RI untuk memecah-belah Belanda antar kesatuan campuran KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger) atau Tentara Kerajaan Hindia-Belanda dengan Divisi I “7 December” yang merupakan kesatuan asli Angkatan Darat Belanda (Koninklijke Landmacht).
Tujuannya, agar para personel Divisi “7 December” kian terdongkrak spirit-nya jelang Agresi Militer I. Berikut kira-kira isi selebaran itu jika diterjemahkan dari bahasa Belanda:
“Para Perwira, Prajurit Divisi 7 Desember.
Dengan meningkatnya gejolak pemerintah menyelamatkan pasukan dalam setiap harinya ketika terlibat dan bertemu langsung dengan unit campuran dari KNIL, di mana mayoritas mereka menunjukkan simpati untuk Indonesia, 100 persen tidak dibenarkan, khususnya oleh kita yang empat tahun hidup di bawah cengkeraman Jerman.
Kita telah digolongkan jadi alat untuk dengan kehendak Pemerintah terkait perjuangan kemerdekaan Indonesia, untuk menahan kontak bersenjata. Kami berharap dalam hati terdalam, bahwa orang-orang dari Divisi ’7 Desember’ yang terkenal itu akan menyingkir demi mencegah pertumpahan darah yang tak perlu dan tidak dibenarkan dengan masyarakat Indonesia.
Semoga waktu yang singkat, kelompok kapitalis dan penjajah bertaubat, dan membiarkan kita menjadi yang pertama berhadapan dengan resistensi yang umumnya pasif dari mereka (TNI), demi Tanah Air kita tercinta dan kesejahteraan negara,”. (Okezone)

KRI Bung Tomo luncurkan rudal Exocet terbaru

KRI Bung Tomo luncurkan rudal Exocet terbaru
Seorang prajurit TNI AL mengamati uji coba penembakan senjata strategis Rudal Exocet MM-40 Blok II dari kapal jenis Multi Role Light Frigate (MRLF) KRI Bung Tomo (TOM)-357 di Perairan Laut Jawa, Kamis (28/5/15). (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)
 
KRI Bung Tomo-357 yang merupakan kapal terbaru milik TNI Angkatan Laut melaksanakan uji coba peluncuran Rudal Exocet MM-40 Blok II dalam pelayaran di Perairan di Laut Jawa.

Kepala Dinas Penerangan (Kadispen) Komando Armada RI Kawasan Timur (Koarmatim) Letkol Laut (KH) Maman Sulaeman di Surabaya, Jumat, menjelaskan bahwa peluncuran rudal oleh kapal jenis pengawal yang dikomandani Kolonel Laut (P) Yayan Sofiyan itu, disaksikan Kasal Laksamana TNI Ade Supandi, Kamis (28/5).

"Kapal perang yang masuk dalam jajaran Satuan Kapal Eskorta Koarmatim tersebut melakukan uji coba sistem persenjataan untuk mengetahui sejauh mana hasil pembinaan yang dilakukan selama ini serta untuk meningkatkan kesiapan dan kesiapsiagaan operasional serta mengukur kemampuan persenjataan terbaru yang dimiliki TNI Angkatan Laut," katanya.

Penembakan rudal tersebut, kata Kadispen, juga dalam rangka penyiapan KRI Bung Tomo-357 yang akan bergabung dengan Satgas MTF XXVIII-H/UNIFIL di Libanon dalam waktu dekat ini.

Kasal mengatakan bahwa Rudal Exocet MM-40 Blok II merupakan generasi kedua yang dimiliki TNI Angkatan Laut setelah Exocet MM-38. Nantinya TNI Angkatan Laut akan memiliki Blok III sebagai generasi terbaru.

Peluncuran itu, katanya, selain untuk menguji keandalan rudalnya itu sendiri, juga dalam rangka menguji sistem yang ada di KRI Bung Tomo-357, karena kapal tersebut merupakan kapal baru yang dimiliki TNI Angkatan Laut.

Menurut dia, uji coba tersebut penting dalam rangka menguji kesiapan tempur dari KRI Bung Tomo-357.

Ia mengatakan bahwa tahapan-tahapan kegiatan peluncuran rudal Exocet MM-40 Blok II telah dilaksanakan dengan baik dan rudal dapat meluncur sesuai dengan profilnya.

Penembakan Exocet MM-40 di Laut Jawa bukan satu-satunya uji coba yang dilaksanakan TNI Angkatan Laut, karena juga dilakukan peluncuran persenjataan lain, seperti torpedo, meriam, maupun rudal jenis lain, yang berguna dalam rangka menguji kesiapan kapal sebelum digunakan sesuai proyeksi kekuatan dari Panglima TNI.

Selain Kasal, hadir juga Asreana Kasal Laksamana Muda TNI Agung Pramono, Asops Kasal Laksamana Muda TNI Ary Henryncus Sembiring Meliala, Aslog Kasal Laksamana Muda TNI Hari Pratomo, Aspam Kasal Laksamana Muda TNI Agus Heryana serta beberapa pejabat teras Mabes TNI Angkatan Laut lainnya yang berada di KRI Surabaya-591.

Selain dari atas geladak KRI Surabaya-591, peluncuran Exocet juga disaksikan Panglima Komando Armada RI Kawasan Timur (Pangarmatim) Laksamana Muda TNI Darwanto, Komandan Gugus Tempur Laut Koarmatim (Guspurlatim) Laksamana Pertama TNI I N.G. Ariawan serta para kepala satuan kerja di Mako Koarmatim.
 

Kopassus Jadikan Tentara Brunei Lebih Hebat dari Malaysia

 
image
Sertu Pardal (@jawa pos)
Kemampuan istimewa yang dimiliki Komando Pasukan Khusus (Kopassus) telah mendapatkan pengakuan internasional. Tidak heran bila beberapa negara meminta secara khusus agar pasukan elite TNI-AD tersebut menularkan kemampuan kepada tentara mereka. Itu pula yang dilakukan Sertu Pardal yang selama sepuluh bulan melatih Tim Rifle Brunei Darussalam.

SERTU Pardal merupakan seorang di antara sekian banyak anggota Kopassus yang punya kemampuan istimewa. Dia dikenal jago menembak dan memiliki keahlian sebagai penembak jitu.
Karena kemampuan itu pula, ketika tentara Brunei Darussalam meminta TNI mengirimkan anggotanya untuk menjadi pelatih di negeri berpenduduk sekitar 500 ribu jiwa tersebut, Pardal langsung ditunjuk komandannya.
Kehadiran Pardal di negara kaya ladang minyak dan gas tersebut adalah untuk melatih Tim Rifle dalam menembak. Mulai Februari hingga November 2013, dia menggembleng tim yang akan diterjunkan dalam ASEAN Armies Rifle Meet (AARM) tersebut.
’’Saya dikirim agar Tim Rifle bisa naik derajat di AARM, sebuah lomba menembak prestisius yang diikuti sepuluh negara ASEAN,’’ paparnya.
Tim Rifle Brunei beranggota LKpl Mohd Nor, LKpl Mohd Izwandi, LKpl Saiful, LKpl Azian, Kpl Mas Azi, SJN Romeo Eddy, Sld Modh Amizan, Sld Mushab, Sld Mustapa, Kpl Tony, dan Sld Safwan. ’’Mereka semua saya latih,’’ tegasnya.
Namun, bukan hal mudah untuk melatih anggota militer yang memiliki karakter dan metode pelatihan yang berbeda. Pada awal pertemuan, Pardal melihat posisi menembak sejumlah anggota Tim Rifle tidak kukuh. Karena itu, tembakan mereka tidak tepat pada target.
’’Kebanyakan mereka menembak dengan posisi jongkok dan menempatkan magazin di paha. Posisi itu kurang kukuh. Seharusnya magazin itu tepat di ujung paha. Jadi, bisa menahan getaran,’’ jelasnya.
Dari satu kejadian itu, Pardal mulai curiga. Dia berpikir, jangan-jangan memang tidak ada metode baku untuk menembak yang diterapkan tim Rifle. Dugaan itu terbukti saat Pardal melihat mereka berlatih. Kebanyakan asal datang ke lapangan tembak dan berlatih menembak. ’’Dari situ, saya mulai mengubah sistemnya,’’ paparnya.
Akhirnya, Pardal menetapkan jadwal latihan yang harus ditempuh dalam sehari. Pagi, awal latihan dimulai dengan lari 3 kilometer. Namun, bukan lari biasa. Mereka diajak lari sprint yang tiap 100 meter harus diganti dengan merayap tiarap. Lebih gila, saat tiarap itu, semua harus menahan napas.
Pardal tidak sekadar menyuruh, dia juga ikut bergabung berlari bersama mereka. ’’Ini untuk meningkatkan stamina para penembak,’’ tutur pria kelahiran Sukoharjo, Jawa Tengah, tersebut.
Ekstremnya latihan tersebut membuat dua anggota Tim Rifle pingsan. Keduanya pun harus dibawa ke klinik. ’’Memang, latihan ini lebih keras daripada biasanya. Tetapi, seorang prajurit harus bisa,’’ tegas suami Ery Wijayanti itu.
Setelah menyelesaikan lari 3 kilometer, agak siang, barulah tim militer Brunei itu berlatih menembak seperti biasa di lapangan. Tentu dengan perbaikan berbagai posisi, mulai jongkok hingga berdiri. ’’Awal-awal, saya yang juga ikut menembak selalu menang,’’ tuturnya.
Banyak hal yang harus diperbaiki untuk meningkatkan kemampuan tim tersebut. Menu latihan ekstrem akhirnya ditambah. Pardal mengajak Tim Rifle berlatih di kolam renang. Bukan berenang biasa, tetapi menyelam di kedalaman 2,5–3,5 meter selama mungkin. ’’Ini untuk melatih pernapasan,’’ tuturnya.
Anggota Tim Rifle pun mencoba latihan itu. Mereka menyelam bersama tanpa mengeluh. Tetapi, sesaat kemudian, satu per satu mereka menyembul ke permukaan. Setelah 1 menit, Pardal tinggal sendirian di dasar kolam. Barulah 30 detik kemudian, dia naik ke permukaan. ’’Mereka ternyata hanya mampu kurang dari satu menit,’’ katanya.
Lagi-lagi, banyak hal yang harus diperbaiki. Bukannya mengendurkan tensi latihan, Pardal malah terus menaikkannya. Kali ini, tim harus masuk ke kolam ’’neraka’’ untuk lari sprint di dalam air. Pardal memperagakan lebih dahulu lari sprint di dalam air itu. Dia memang bisa berlari di dalam air.
Akhirnya, giliran belasan anggota Tim Rifle yang mencoba. Mereka langsung mengambang ke permukaan setelah tiga langkah lari. Semua menu latihan itu terus dilakukan berulang-ulang. ’’Pokoknya sampai teler,’’ ujar Pardal bercanda.
Namun, menu latihan ala Kopassus tersebut membuat beberapa anggota Tim Rifle mulai tidak tahan. Beberapa di antara mereka menyerah. ’’Mereka sempat cerita ke saya ingin keluar dari tim,’’ ujarnya.
Apalagi ada perbedaan besar di militer Brunei. Anggota Tim Rifle dianggap belum berprestasi sehingga kurang dihargai dan tidak mendapat kompensasi dalam karir. ’’Kalau di Indonesia, masuk tim menembak, karirnya bisa lebih cepat. Tetapi, berbeda di Brunei,’’ tuturnya.
Masalah itu tidak membuat Pardal kehilangan akal. Dia terus berupaya agar anak didiknya tetap bersemangat. ’’Saya yakin, kalau berprestasi, tentu ada imbal baliknya,’’ tegas anggota TNI yang saat ini bertugas di Papua Barat tersebut.
Setelah sepuluh bulan, stamina Tim Rifle mulai naik drastis. Terutama teknik pernapasan yang begitu penting untuk menembak. Pardal menuturkan, pernapasan sangat penting agar penembak tidak goyang saat membidik dan menembak. ’’Semua menu latihan itu dilakukan selama sepuluh bulan,’’ jelasnya.
Akhirnya, tiba giliran untuk menguji hasil latihan tersebut dalam kompetisi internasional AARM 2013 di Myanmar. Sebelum 2013, Brunei selalu berada di papan dasar klasemen tembak di AARM. ’’Sebelumnya selalu di nomor delapan di antara sepuluh negara yang ikut menembak,’’ ujarnya.
Tetapi, kali ini berbeda. Kesiapan setelah berlatih bersama anggota Kopassus membuat tim Brunei sangat percaya diri. Setelah total dalam mengikuti lomba prestisius tersebut, tidak disangka, Tim Rifle Brunei mampu menempati posisi keempat setelah Indonesia, Filipina, dan Thailand. ’’Kali ini, mereka melampaui Malaysia dan Singapura yang biasanya di atas Brunei,’’ tuturnya.
Padahal, target mereka hanya lima besar AARM. ’’Tugas saya melatih menembak dan mendapatkan prestasi bagi Tim Rifle telah selesai,’’ ujar Pardal.
Setelah AARM 2013, tugas Pardal di Brunei juga usai. Saat akan pulang ke Indonesia, dia mendapat ucapan terima kasih dari semua orang. Bukan hanya Tim Rifle, pejabat militer Brunei setingkat KSAD juga memuji dan berterima kasih. ’’Memang, saya harus kembali, tentunya untuk mengabdi ke ibu pertiwi,’’ tegasnya.
Danjen Kopassus Mayjen Doni Manardo menuturkan, pengiriman anggota Kopassus ke luar negeri merupakan bentuk kerja sama antar pemerintah. Biasanya, negara lain meminta dikirimi seorang pelatih. ’’Kopassus yang sering diminta,’’ ungkapnya.
Pengiriman prajurit sebagai tenaga pelatih itu tentu bisa meningkatkan hubungan antara angkatan bersenjata setiap negara. Doni menyatakan, hubungan yang baik diperlukan agar ke depan bisa saling membantu. ’’Ini program yang baik dan perlu dilanjutkan,’’ ujarnya.
Penunjukan Pardal sebagai pelatih militer untuk Brunei bukan tanpa sebab. Lelaki yang telah 18 tahun bergabung dalam Kopassus itu memiliki segudang prestasi. Di Kopassus, dia merupakan salah seorang penembak terbaik. ’’Saya di kesatuan sering juara. Saya juga pernah ikut AARM beberapa tahun lalu dan juara,’’ paparnya.
Lelaki berusia 37 tahun itu mengingat, dalam setiap lomba di kesatuan maupun antarnegara, dirinya selalu mendapat medali. ’’Sering menang, mulai juara pertama hingga ketiga,’’ ungkapnya.

JPNN

Rabu, 27 Mei 2015

BAK-12 Arresting Cable Mobile: Kabel Penahan Laju Jet Tempur F-16 TNI AU

IMG_3614
Kabel penahan lajunya pesawat tempur, umumnya hanya terdapat di kapal induk untuk menahan lajunya pesawat yang baru mendarat agar segera tertahan, mengigat landasan pacu di kapal induk sengat terbatas panjangnya. Arresting cable seperti yang ada di kapal induk itu, sejak dekade 90-an telah pula dimiliki TNI AU, meski pun Indonesia tak punya kapal induk.
Kabel penahan pesawat tempur itu dipasang di landasan pacu pangkalan udara (lanud) untuk menahan lajunya pesawat tempur yang gagal lepas landas, abort take off, atau untuk menahan pesawat yang mendarat tetapi mengalami overshoot, alias kebablasan. Perangkat kabel penahan laju pesawat dan segala perlengkapannya diberi label BAK (Barrier Arresting Kit) -12 mobile yang beratnya mencapai 24 ton. Arresting cable ini digunakan untuk menjaga kemungkinan pengoperasian pesawat tempur F-16 Fighting Falcon, terlebih bila F-16 dioperasikan di lanud yang landas pacunya kurang panjang.
Karena perangkat yang mencapai 24 ton, maka pengangkutan perangkat BAK-12 harus menggunakan dua unit pesawat angkut sekelas C-130 Hercules. Jumlah teknisi yang menangani instalasi perangkat ini mencapai 20 orang.
uji-tengah-1maxresdefault-(1)

Dengan peran untuk mengamankan pesawat tempur yang batal lepas landas karena terjadi kelainan di saat pesawat itu sudah lari dengan kencang di landasan pacu, maka arresting cable dipasang 500 meter dari ujung landasan. Harapannya, bila sebuah F-16 batal lepas landas, maka sebelum sampai ke ujung landasan sudah ditahan oleh kabel ini. Begitu pula bila terjadi kasus sebuah pesawat yang mendarat kelewat di tengah, maka di samping penerbang berusaha mengentikan luncuran pesawat sebelum mencapai ujung landasan, sudah ada alat yang menjamin pesawat itu tidak terjungkal di ujung runway.
Untuk memasang arresting cable di landasan, 20 teknisi TNI AU membutuhkan waktu seharian. Kabelnya sendiri tidak berat. Kabel baja yang dipasang melintang landasan pacu, kabel ini terbuat dari baja berdiameter 3 cm, dan diletakkan 8 cm di atas permukaan landasan dengan disangga donat karet. Kalau di kapal induk kabel yang dipasang bisa berjumlah tiga buah, sementara TNI AU hanya menggunakan satu buah saja.
DF-SD-05-11136
Dari spesifikasi, kabel baja penahan laju pesawat punya panjang bervariasi, mulai dari 60 meter, 45 meter, dan 30 meter, dan dipilih sesuai lebar landasan, disambung dengan ban nilon selebar 20 cm, tepat di pinggir landasan. Ban nilon itu kemudian dihubungkan dengan mesin penggulung yang sekaligus berfungsi sebagai mesin rem, yang dipasang 50 meter dari tepi landasan.
Namun, sebelum masuk ke mesin penggulung, ban nilon itu masuk ke alat pengatur yang berbentuk box baja yang memanjang dengan 60 patok penahan dari baja. Patok-patok penahan itu juga terdapat pada mesin penggulung, dimana jumlahnya lebih sedikit, 16 buah. Dengan demikian, peralatan penahan yang ada di tepi landasan itu diperkuat oleh 76 buah patok baja yang ditancapkan sedalam masing-masing satu meter. Itu baru di satu sisi landasan. Sama halnya dengan sisi yang lain, sehingga jumlah patok penahan menjadi 152 buah. Inilah yang menyebabkan pemasangan arresting cable berlangsung sehari penuh. Pekerjaan yang melelahkan itu memang tidak percuma, karena dengan alat itu sebuah pesawat tempur yang harganya puluhan miliar rupiah serta sulit pengadaannya, dapat diselamatkan dari keusakan dan dapat beroperasi kembali.
Kabel baja dengan diameter 3 cm.
Kabel baja dengan diameter 3 cm.
Rangkaian patok baja.
Rangkaian patok baja.

Mampu Menahan Beban 40 Ton
Dengan kabel baja yang hanya bergaris tengah 3 cm serta di dukung oleh alat-alat lain beratnya 24 ton, arresting cable dapat menahan beban sebesar 40 ton. Luncuran jet tempur F-16 dengan dibantu sistem rem yang ada di pesawat, maka kabel mampu menahannya dengan baik, bahkan hingga 50 kali pemakaian. Setiap kali penggunaan, seluruh peralatan harus diperiksa kembali. Dan bila tidak pernah digunakan, maka kabel maksimal empat tahun harus diganti. Dan ban nilon, selama enam bulan terus menerus dipasang di lapangan, harus pula diganti.
Dengan cara memasang kabel setinggi delapan centimeter di atas permukaan landasan, maka gerakan semua pesawat yang lalu lalang di atasnya tidak terganggu. Dipasangnya arresting cable dilandasan pacu, sama sekali tidak mengganggu roda pesawat yang melindasnya. Pesawat F-16 yang kecil dan rendah saja tidak terganggu, apalagi bagi pesawat-pesawat komersial yang berbadan lebar, tidak akan terasa bila menginjak kabel ini.
Mesin penarik kabel baja.
Mesin penggulung kabel baja.
Dibutuhkan 20 teknisi untuk instalasi perangkat ini.
Dibutuhkan 20 teknisi untuk instalasi perangkat ini.

Dalam simulasi, bila sebuah pesawa tempur akan menggunakan kabel penahan ini, sebelum mencapai kabel, penerbang harus menurunkan hook, pengait yang ada di bagian bawah ekor. Karena kabel bisa bergerak bebas, maka pada saat hook mengait kabel, kabel akan terbawa mengikuti arah luncuran pesawat. Ketika itu mesin pengeram akan bekerja otomatis untum menahan gerakan pesawat secara perlahan sampai ia berhenti, yakni 300 meter dai posisi semula. Karena tertarik pesawat, maka posisi kabel akan tegang. Untuk melepaskan hook dari kabel, maka pesawat cukup dimundurkan sedikit. Kabel yang telah terlepas itu kemudian digulung kembali ke posisi lurus seperti semula dan siap digunakan kembali.
Karena awalnya di dapuk untuk meng-handle F-16, maka gelar arresting cable ini memang hadir di lanud Iswahjudi, Madiun, sebagai home base Skadron Udara 3 F-16. Pada tahun 1994, perangkat ini diboyong ke lanud Hasanuddin, Makassar dalam latihan puncak “Angkasa Yudha.” Saat itu lanud Hasanuddin menjadi pangkalan aju untuk F-16 Skadron Udara 3. Selain lanud Hasanuddin, kabel penahan laju ini juga dipasang di Lanud Roesmin Nurjadin, Pekanbaru. Adopsi arresting cable di Lanud Roesmin Nurjadin dianggap sangat penting, mengingat lanud ini telah menjadi home base Skadron Udara 16 yang berisi F-16 C/D Block 52ID.
Selain menggunakan arresting cable, untuk menahan laju luncurnya, F-16 juga dibekali drag chute. Namun penggunaan drag chute dipangdang kurang efesien dan efektif. Semisal dibutuhkan waktu untuk instlasi parasut bila pesawat yang baru mendarat akan lepas landas kembali. Untuk kemampuan menghentikan laju pesawat pun, kabel penahan dari baja memang lebih tepat. (Ang)