Minggu, 28 Desember 2014

Mengapa Pengadaan Roket MLRS Astros II Untuk TNI AD Diributkan?

astros II MK6


Presiden SBY, Menhan Poernomo Saat masih Menjabat dan Astros II MK6 (worlddefence news.com)


Lebih sepuluh hari penulis mengamati pemberitaan yang menyangkut masalah pengadaan roket multi peluncur MLRS (multi-launcher rocket system) asal Brasil yang diberitakan beberapa media tanah air, karena menyangkut besarnya pengadaan yang mengaitkan antara Kemenhan, DPR RI, TNI AD serta Kementerian Keuangan. Penulis mengumpulkan beberapa fakta dan mencoba mengulasnya, karena roket tersebut adalah salah satu alutsista andalan TNI. Ramainya pengadaan MLRS tersebut mirip dengan pengadaan Tank Leopard tahun lalu, dimana beberapa pihak menilai tidak tepat karena MBT (Main Battle Tank) itu bisa merusak jalan. Penulis juga pernah menuliskan soal tank hebat itu (Baca: "Arti Penting Tank Leopard bagi TNI AD", http://ramalanintelijen.net/?p=4794).

Awal Muasal Pemberitaan Miring MLRS  
Media yang pertama memunculkan soal MLRS asal Brasil adalah Jakarta Post (JP), edisi tanggal 11 Desember 2014 dengan judul "House turns blind eye to dubious deal." Pada Headline News, disebutkan bahwa Komisi-I DPR RI benar telah menerima laporan dari Irjen Kementerian Pertahanan yang menyatakan bahwa telah terjadi kelebihan pengeluaran anggaran (overspent) dalam pembelian sistem roket multi-peluncur (MLRS) dari Brasil Avibras Industria Aeroespacial pada pertengahan 2012, sekitar US $ 134,9 juta dari harganya yang sebesar US $ 405 juta. JP menyebutkan bahwa Irjen Kemenhan (Laksdya TNI Sumartono) yang kini sudah pensiun menulis laporan kepada Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro dan Wakil Menhan Sjafrie Sjamsoeddin pada bulan April dan Juni 2012, menandai beberapa pelanggaran dalam proses pengadaan di Kemenhan. Dalam laporan tersebut diantaranya disebutkan olehnya bahwa keputusan untuk memilih Avibras telah melanggar instruksi presiden dan peraturan yang dikeluarkan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Nasional (LKPP). Avibras, menurutnya tidak bisa memenuhi spesifikasi teknis yang dibutuhkan dalam tender pengadaan ("the company could only provide seven of the required 38 ammunition supply vehicles and two of the seven mobile workshop vehicles required to support MLRS). Irjen juga menyatakan bahwa TNI AD telah bernegosiasi dengan Avibras, yang bermitra dengan PT Poris Duta Sarana untuk mengamankan kesepakatan tersebut. 

Tanggapan Pejabat Terkait  
Tanggapan Kemhan. Pemberitaan tersebut telah dibantah oleh Letjen TNI Ediwan Prabowo (Sekjen Kemhan) yang pada tahun 2012 saat berlangsungnya proses pengadaan MLRS masih menjabat Dirjen Baranahan, (sebagai Sekjen saat itu Marsdya TNI Eris Herryanto), Wamenhan Letjen Syafrie Samsoedin, dan Menhan Poernomo Yusgiantoro. Ediwan menyatakan bahwa berita tersebut dimunculkan di publik karena ada pihak yang kalah dalam bersaing. Ditegaskan oleh Ediwan bahwa keputusan Kemenhan memilih Multiple Launch Rocket System (MLRS) Avibras Brazil mengutamakan spektek dengan harga kompetitif bukan sekedar beli yang murah. “Aspek spektek lebih utama dari pada mencari harga murah tapi kurang optimal,” katanya dalam keterangan tertulis kepada media, Rabu (17/12). Ediwan juga mengatakan bahwa yang digunakan TNI adalah Alutsista yang sudah teruji, sehingga siap digunakan. Untuk itulah, setiap pembelian selalu disertai dengan uji coba. Dalam pengadaan roket sejenis tercatat pihak Roketsan (Turki) menjadi kompetitor Avibras Brasil. Dikatakan selanjutnya, MLRS Avibras dinilai berkemampuan dan memiliki nilai yang lebih tinggi daripada yang ditawarkan oleh Roketsan. Avibras sudah teruji dalam pertempuran, memiliki kapasitas multi-kaliber, memiliki cakupan yang lebih luas dan daya hancur besar, serta dapat diangkut dengan pesawat C-130 Hercules. Tanggapan Mabes TNI. Kapuspen TNI , Mayjen TNI Fuad Basya, menegaskan ada pihak yang tidak menyukai semakin kuatnya Alutsista militer Indonesia. Faktanya, ketika TNI memiliki peluncur roket jarak jauh, ada yang menuding pengadaan persenjataan ini bermasalah. "Saya rasa ini adalah pihak yang tidak suka dengan semakin kuatnya kami," kata Fuad, Minggu (14/12).
astros-ii-foto-avibras
astros-ii-foto-avibras Penembakan Astros II MLRS (sumber : defence.review.com)

Tanggapan Kepala Staf TNI AD. KSAD Jenderal TNI Gatot Nurmantyo ikut menanggapi pemberitaan soal pengadaan MLRS asal Avibras Brazil, mengatakan, "Saya yakin sangat yakin kemampuan MLRS Astros II pabrikan Brazil lebih bagus dari MLRS buatan Rokestan asal Turki," ungkapnya di Jakarta (Kamis, 18/12). Keyakinan itu didasari atas hasil uji coba MLRS. Alutsista tersebut sudah diujicoba secara berkesinambungan. Prosedur ini menurutnya adalah keniscayaan. Selanjutnya menyebutkan, "Setiap persenjataan yang dibeli Angkatan Darat adalah persenjataan yang sudah lebih dulu diuji di pertempuran atau sudah teruji di medan tempur," tegasnya. Gatot menegaskan, yang dibutuhkan terkait Alutsista adalah spesifikasi tekhnis (Spektek). Kemampuan, akurasi, daya ledak menjadi ukuran yang utama. "Jadi bukan soal mahal atau tidaknya," jelasnya. Peran HLC (High Level Committee) dalam pengadaan Alutsista TNI. HLC terbentuk sesuai petunjuk Presiden SBY setelah serangkaian rapat kabinet bidang politik, hukum, dan keamanan sepanjang tahun 2011 yang membahas pengadaan alutsista. Dibentuk sebagai pendorong pengadaan alutsista TNI. HLC diketuai oleh Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin dan TKP3B yang dipimpin Irjen Kemhan dimana didalamnya ada Tim BPKP dan LKPP serta Tim Itjen Angkatan dan Mabes TNI. Dalam rapat-rapat Kabinet bidang politik, hukum, dan keamanan tahun 2011 yang membahas alutsista, pemerintah memutuskan bahwa pemenuhan kebutuhan alutsista TNI diarahkan untuk mencapai kekuatan dasar minimum atau minimum essential force (MEF). Dalam proses pengadaan MLRS Astros II , proses pengadaan berasal dari bawah yakni TNI AD sebagai pengguna/user, menyangkut spesifikasi teknis, yang kemudian masuk sebagai kebutuhan operasi dari Mabes TNI, lalu ke Kementerian Pertahanan. Kemudian Kemhan memrosesnya melalui Tim Evaluasi Pengadaan (TEP) dibawah Sekjen Kemhan, saat itu Marsdya TNI Eris Herriyanto, dengan membuatkan kontrak dan perjanjian pinjaman (Loan Agreement) dari Kementerian Keuangan, untuk kemudian pencabutan tanda bintang di DPR. Letjen Sjafrie sebagai Ketua HLC, bersama rombongan pada bulan November 2012 pernah berkunjung ke Brasil, yakni ke Avibras (produsen roket) dan Embraer (produsen pesawat Super Tucano untuk TNI AU). Sjafrie bersama rombongan melihat dan berdiskusi langsung dengan para produsen alutsista itu tanpa perantara. Untuk cara kerjanya, Syafrie menjelaskan kepada media di Brasil (14/11/2012) bahwa HLC berupaya mempercepat pengadaan alutsista prioritas, yaitu akselerasi, paralelisasi (pengadaan dan pembiayaan), integrasi (Kementerian Pertahanan dan TNI), koordinasi, dan inspeksi (kunjungan ke produsen).  

Perbandingan MLRS Altros II Brasil dengan T-122/300 Roketsan Turki

Dalam membandingkan antara ASTROS II MK6 buatan AVIBRAS Brazil dengan T-122/300 buatan ROKETSAN buatan Turki yang menarik adalah hasil penelitian oleh Pusat Artileri Medan TNI AD (Mayor Art Rico Ricardo Sirait, BS, Pusen Armed, Garuda Militer). Danpussenarmed selaku user Alutsista MLRS dan pembina fungsi kecabangan Armed memperhatikan aspek teknis keunggulan dan kelemahan dari masing-masing Alutsista guna mendapatkan sistem senjata yang terbaik. Semua data dan fakta serta spesifikasi teknis yang tercantum dalam perbandingan ini dibuat berdasarkan proposal penawaran dan presentasi penyedia dalam rapat TEP Pengadaan Alutsista MLRS di Kemhan RI pada tanggal 5 April 2012. 
Dari perbandingan teknis diperoleh gambaran Alutsista yang memiliki kehandalan tinggi, adaptabilitas terhadap karakteristik daerah operasi di Indonesia, daya tahan terhadap cuaca dan medan geografis Indonesia serta mendukung kegiatan operasional dan taktis TNI AD. Secara mendalam aspek persyaratan operasional, spesifikasi teknis serta konfigurasi yang telah ditawarkan dalam proses pengadaan, akan dibahas sebagai aspek perbandingan yang utama. Dari aspek persyaratan operasional, ditinjau dari faktor adaptability (kemampuan adaptasi), ASTROS II memungkinkan untuk dapat diangkut oleh pesawat Hercules C-130 ke trouble spot di wilayah NKRI. Dari faktor sustainability (kemampuan daya tahan). kemampuan teknis yang dimiliki oleh ASTROS II pada pressurized cabin mampu untuk melindungi awaknya dari pengaruh senjata kimia dan biologi. Selain itu, pengalaman AVIBRAS sebagai produsen ASTROS sejak tahun 1983 dalam bidang pemeliharaan dan penyediaan suku cadang telah membuktikan bahwa produk AVIBRAS masih memiliki kemampuan operasional 90 persen setelah kurun waktu penggunaan selama 25 tahun (ASTROS MK2 milik Angkatan Darat Saudi Arabia). 
Sementara pihak ROKETSAN menawarkan alih teknologi pengembangan roket dengan basis kemampuan yang dimiliki oleh Roketsan saat ini. Teknologi roket yang dimiliki oleh ROKETSAN merupakan alih teknologi yang diterima pada era tahun 1980-an pada saat pengembangan Roket WS-1 milik Cina. Perkembangan teknologi roket saat ini sudah jauh lebih modern dibandingkan dengan teknologi roket WS-1. Sehingga perlu kajian yang lebih mendalam apabila Indonesia akan menerima tawaran alih teknologi dari ROKETSAN. Sedangkan alih teknologi yang ditawarkan AVIBRAS yaitu peningkatan kapabilitas Rantis ANOA buatan PT. PINDAD jauh lebih realistis untuk dicapai serta dapat meningkatkan standar produksi Nasional ke jenjang yang lebih tinggi. Faktor interoperability (kemampuan operasional yang terintegrasi dengan fungsional lainnya). Kemampuan joint interability atau joint operational dihadapkan dengan ketersediaan sistem manajemen pertempuran yang dapat diintegrasikan dengan sistem Komando dan Kendali yang dimiliki oleh TNI AD saat ini. 
Faktor Reliability, merupakan faktor kehandalan Alutsista MLRS yang dibutuhkan (needs) dihadapkan dengan asumsi kemampuan dan kekuatan militer asing yang akan dihadapi. Pada faktor ini, ASTROS II memiliki kemampuan yang lebih unggul pada jarak capai roket, teknologi multi kaliber, daya hancur (firepower), dan teknologi interchangeable antar platform Ranpurnya. Hal penting lainnya adalah kemampuan Combat Proven / teruji di medan pertempuran merupakan salah satu faktor kehandalan yang dipersyaratkan oleh TNI AD. Dengan terujinya sistem senjata di medan pertempuran dapat menunjukkan bukti otentik bahwa sistem senjata tersebut memiliki kapabilitas yang handal pada kondisi perang sesungguhnya. Altros II MLRS sudah teruji dan dipergunakan oleh Arab Saudi dalam medan tempur. Pada tahun 2012 saja, ASTROS sudah digunakan di 5 negara di dunia sejak generasi I tahun 1980an, sedangkan produk ROKETSAN yang terjual dalam jumlah lebih dari 200 unit bukanlah produk yang ditawarkan kepada Indonesia khususnya penggunaan teknologi sealed composite pod pada munisi roket 300 mm yang masih pada tahap uji coba. 
Pada aspek kemampuan mobilitas udara, T-122/300 perlu modifikasi khusus dengan melaksanakan prosedur pelepasan beberapa bagian besar platform. Hal ini menunjukkan bahwa T-122/300 tidak memenuhi persyaratan operasional TNI AD untuk dapat dimobilisasi ke seluruh wilayah NKRI dalam waktu relatif singkat. Jika dibandingkan secara umum dapat terlihat secara nyata bahwa teknologi yang digunakan oleh ASTROS II dan T-122/300 merupakan generasi yang berbeda. ASTROS II jauh lebih unggul secara teknologi dan kemampuan teknis ditinjau dari inovasi dan kapabilitas yang dimiliki. Launcher ASTROS II sudah compatible untuk digunakan meluncurkan roket taktis dengan jarak capai 300 km. Ketersediaan munisi latihan ASTROS II dapat digunakan dengan mekanisme tembakan dan pada platform yang sama. Sedangkan munisi latihan ROKETSAN akan menggunakan munisi kaliber 70 mm buatan PT. DI yang masih dalam tahap pengembangan sehingga belum dapat menjamin tercapainya tujuan latihan untuk meningkatkan kemampuan personel TNI AD pada pelaksanaan penembakan Roket sesungguhnya. 
Untuk aspek konfigurasi yang ditawarkan, ROKETSAN memiliki keunggulan dalam pemenuhan konfigurasi yang diharapkan oleh TNI AD dari segi kuantitas. Namun, secara kualitas perbandingan antara Alutsista ASTROS II dengan T-122/300 tidak bisa disetarakan mengingat perbedaan teknologi yang digunakan. Inovasi teknologi dan kehandalan kemampuan ASTROS berada di generasi setingkat diatas T-122/300 sesuai dengan aspek spesifikasi teknis sebelumnya. Keunggulan kualitas AVIBRAS meliputi teknologi munisi container launcher yang memberikan fleksibilitas tinggi dalam penggunaan munisi berbagai kaliber sesuai kebutuhan. Kemampuan daya hancur terhadap personel dan materiil lapis baja munisi ASTROS II didukung oleh penggunaan teknologi sub munisi sehingga mampu melipatgandakan efek kehancuran daerah sasaran serta mampu menembus baja dengan ketebalan hingga 200 mm. Itulah beberapa informasi yang merupakan executive summary perbandingan teknis antara ASTROS II MK6, AVIBRAS dengan T-122/300, ROKETSAN yang dibuat oleh panitia pengadaan dari sisi Pusen Armed TNI AD. Kesimpulannya Astros II jauh lebih unggul dan spesifikasi tehnisnya lebih mendekati seperti yang ditetapkan oleh pengguna (TNI AD). 

Analisis dan Kesimpulan
Kasus pengadaan MLRS Astros II yang diberitakan oleh media pada akhir 2014 ini adalah merupakan pengangkatan kembali laporan yang dibuat Irjen Kemhan pada tahun 2012. Memang sulit membandingkan Alutsista tempur yang dibuat oleh pabrikan yang berbeda. Nampaknya harga kedua roket dari sumber yang berbeda itu berbeda cukup besar. Penegasan dari Kepala Staf TNI AD Jenderal TNI Gatot Nurmantyo yang menyatakan bahwa pemilihan alutsista tersebut lebih didasarkan kepada spesifikasi tekhnis (spektek), kemampuan, akurasi, daya ledak menjadi ukuran yang utama. "Jadi bukan soal mahal atau tidaknya." Kini TNI bisa mengimbangi negara tetangga (Malaysia) yang juga memiliki 54 MLRS Astros II untuk Tentera Darat. Indonesia tercatat membeli 36 (9 Baterai) Astros II, pembelian ini merupakan balance of power di kawasan. Negara lain adalah AD Brasil 20 Astros II (5 Baterai), Irak 66 Astros II, dan Arab Saudi 76 Astros II. Dari pengalaman penulis dalam penugasan di Dephan (Kemhan) selama tiga tahun sebagai staf ahli dan penasihat Menhan, persaingan dalam pengadaan alutsista adalah suatu hal yang wajar dan selalu terjadi, karena masing-masing produsen termasuk agen berusaha dan berlomba-lomba memasarkan dan mensukseskan barang dagangannya laku dengan segala cara. 
Bisnis senjata bukan bisnis yang murah, jelas bisnis raksasa yang menggiurkan, sehingga ada saja cara yang mencoba memengaruhi para pejabat. Yang penting adalah niat dari para pembesar itu, jangan sampai tergelincir, karena rakyat makin pintar mengawasi, semua hanya menunggu waktu untuk membuat laporan. Sudah ada kejadian beredarnya surat gelap yang melaporkan seorang pimpinan militer kepada pimpinan nasional. Demikian juga bagi para politisi di Senayan, jangan coba-coba mencari peluang mengatur sebuah pengadaan alutsista, semua sangat mungkin terbongkar pada masa kini dan mendatang. Presiden Jokowi kini sangat mungkin sewaktu-waktu meminta KPK mengusut kasus yang terindikasi korupsi, tidak sulit bagi presiden mendapatkan fakta yang dibutuhkan. Walau sudah pensiun bisa saja dilakukan pengusutan kepada para mantan pejabat, kalau ada indikasi korupsi terhadap uang negara. Bahkan pernah dilakukan pengusutan dan pengadilan kepada pejabat aktif Polri, Irjen Pol Djoko Soesilo (Kakorlantas) yang kini masih berada di dalam penjara. 
Penulis pernah mengulas soal korupsi dengan menggunakan referensi hasil skripsi dari Hasan Hambali (2005) yang dalam penelitiannya menyampaikan bahwa sumber korupsi mencakup dua hal pokok yaitu, "kekuasaan kelompok kepentingan dan hegemoni elit." Kekuasaan kelompok kepentingan cenderung lebih berwawasan politik, hegemoni elit lebih berkait dengan ketahanan ekonomi. Piranti korupsi umumnya menggunakan perlindungan politis dan penyalahgunaan kekuasaan (Baca : KPK semakin Berani, seberapa Sukses Pemberantasan Korupsi?, http://ramalanintelijen.net/?p=6066). Dengan demikian maka menurut Hambali, peran kekuatan politik di Senayan, hegemoni elit (agen dari produsen) serta penguasa akan saling terkait membentuk sebuah jaringan semu yang saling memeras, menekan tetapi juga saling menguntungkan. Semoga itu hanya terjadi pada masa lalu, dan masa kini dan kedepan akan semakin bersih. Pada waktu mendatang akan ada pemilihan pesawat pengganti pesawat tempur TNI AU F-5E Tiger II, ada beberapa kompetitor yang juga sedang mengincar. Nah, kita akan melihat persaingan yang jelas ramai. Sebaiknya seperti pemilihan Astros II MLRS yang lebih diberikan porsi besar memilih kepada TNI AD sebagai calon pengguna, pespur pengganti F-5 itu sebaiknya diberikan porsi yang lebih besar kepada TNI AU yang sangat faham akan kebutuhannya. Jangan sampai yang tidak faham, hanya karena tekanan politik misalnya, kemudian ikut menentukan alutsista yang kurang tepat. Semoga bermanfaat. 

Penulis: Marsda TNI (Pur) Prayitno Ramelan, Pengamat Intelijen, www.ramalanintelijen.net