Jumat, 18 Juli 2014

F-16 C/D 52ID TNI AU Mendarat di Alaska

 
F-16 c-d
Pesawat F-16 TNI AU TS 1623 dan TS 1625 akan melaksanakan air refueling pada pesawat KC-10 USAF pada ketinggian 25.000 kaki. Selasa (15/7).­ (photo : TNI AU)­
Tiga pesawat F-16 C/D 52ID TNI AU dengan call sign “Viper Flight,” sudah meninggalkan Hill AFB Utah dan mendarat dengan selamat di Eielson AFB Alaska. Pesawat pertama adalah TS 1620 dengan crew Maj Collin Coatney/Ltk.Firman Dwi Cahyono, pesawat TS 1623 diawaki Ltc Erick Houston/ May. Anjar Legowo dan pesawat TS 1625 diawaki Col Phil Purcel. Tiga buah pesawat F-16 C/D lepas landas dari Hill AFB Utah pukul 11.15 waktu setempat untuk bertemu dengan pesawat tanker KC-10 yang akan mengawal pesawat sampai Alaska.
Perjalanan ditempuh dengan ketinggian 25.000 kaki pada kecepatan 0.8 MN (Mach Number) atau sekitar 480 KTAS (Knots True Air Speed) melewati area gurun, area perkotaan, selat sepanjang pantai dan juga pegunungan yang tertutup salju di wilayah Canada bagian utara sebelum memasuki wilayah Negara bagian Alaska. Selama perjalanan dilaksanakan air to air refueling dengan pesawat KC-10 dari Travis selama 3 kali pengisian.
Pesawat mendarat dengan ILS approach di Eielson AFB Alaska di tengah guyuran hujan dan angin samping (crosswind 20 kts) pada pukul 13.51 waktu setempat di mana Alaska berada pada zona waktu GMT-8. Rencana pada leg berikutnya keberangkatan akan dilaksanakan pada hari Kamis pukul 11.00 waktu Alaska menuju Guam yang akan menempuh waktu perjalanan lebih dari 9 jam. Dalam perencanaan penerbangan “ferry flight” dari Hill AFB Utah menuju Lanud Iswahjudi Madiun dimulai dengan perjalanan dari Hill AFB, Utah menuju Eilsen AFB Alaska dengan waktu 4 jam 23 menit, selanjutnya tgl 17 Juli berangkat dari Eilsen AFB Alaska menuju Andersen AFB Guam selama 9 jam 40 menit dan leg terakhir tanggal 20 Juli dari Guam langsung menuju Lanud Iswahyudi Madiun dengan waktu 5 jam 16 menit. Ketiga pesawat direncanakan akan mendarat pada pukul 11.16 di lanud Iswahjudi Madiun pada tanggal 20 Juli 2014 langsung diparkir di hangar Skadron Udara 3 “The Dragon Nest”.
Keenam instruktur penerbang mulai bulan Agustus akan melanjutkan latihan terbang konversi F-16 C/D nya di Lanud Iswahyudi Madiun dibawah supervisi empat instruktur penerbang dari US Air Force Mobile Training Team. Karena konfigurasi awal pesawat F16C/D-52ID tidak dilengkapi dengan drag chute (rem payung) maka pesawat-pesawat ini direncanakan akan menjalani modifikasi pemasangan peralatan drag chute yang dilakukan tehnisi TNI AU dibantu personil Lockheed Martin pada kuartal pertama 2015.
Pengadaan 24 pesawat F16 C/D-52ID dalam Proyek “Peace Bima Sena II” ini merupakan kerjasama antara Pemerintah AS dan Indonesia berdasarkan kontrak yang ditandatangani pada tanggal 17 Januri 2012. Pelaksanaan regenerasi meliputi structural/airframe upgrade pesawat Block 25 hingga mencapai masa usia pakai (service life) optimal. Disisi lain modernisasi avionic dan engine pesawat akan meningkatkan kemampuan menjadi setara dengan F-16 block 52. Upgrade Pesawat F-16 C/D 52ID ini tidak main-main karena mengejar kemampuan setara dengan Block 52, terutama pemasangan Mission Computer MMC- 7000A versi M-5 yang dipakai Block 52+, Improved Data Modem Link 16 Block-52, Embedded GPS INS (EGI) block-52 yang menggabungkan fungsi GPS dan INS , Electronic Warfare Management System AN/ALQ-213, Radar Warning Receiver ALR-69 Class IV, Countermeasures Dispenser Set ALE-47 untuk melepaskan Chaff/Flare. Sedangkan kemampuan radar AN/APG-68 (V) ditingkatkan agar mampu mendukung peralatan dan system baru yang dipasang.
Tidak hanya itu, seluruh mesin pesawat tipe F100-PW-220/E menjalani upgrade di sehingga menjadi baru kembali. Seluruh pesawat menjalani upgrading dan refurbished rangka “airframe” serta sistem “avionic” dan persenjataan di Ogden Air Logistics Center Hill AFB, Utah.
Rangka pesawat diperkuat, cockpit diperbarui, jaringan kabel dan elektronik baru dipasang, semua system lama di rekondisi menjadi baru dan system computer baru ditambahkan agar pesawat lahir kembali dengan kemampuan jauh lebih hebat.
Pengadaan 24 F-16 C/D-52ID tersebut akan melengkapi Skadron Udara 3 Lanud Iswahjudi dan Skadron Udara 16 Lanud Rusmin Nuryadin Pekanbaru untuk menambah kekuatan tempur TNI Angkatan Udara sebagai tulang punggung kekuatan dirgantara (Air Power) kita demi menjaga Keamanan Nasional Indonesia. (TNI AU).

Pelatihan Awak KRI Bung Tomo Class

 
KRI Bung Tomo 357 (photo : Grhm Rpr)
KRI Bung Tomo 357 (photo : Grhm Rpr)

Prajurit Koarmatim yang menjadi awak kapal perang fregate buatan Inggris menerima pembekalan teknis dari kru ahli bidang senjata, radar, mesin di Galangan Kapal di Barrow in Furness, Inggris, Selasa (15/07/2014). Para prajurit tersebut tergabung dalam Satuan Tugas Multi Role Light Fregatte (MRLF).
(photo: Dispenarmatim)
(photo: Dispenarmatim)

Sebelumnya, para prajurit pengawak kapal perang jenis MRLF ini, telah melaksanakan berbagai pelatihan dan pembekalan tentang fungsi, peran, prosedur, pengoperasian peralatan, baik secara individu maupun terintegrasi bagi para calon pengawak kapal perang ini di Kolatarmatim.
Satgas MRLF dipimpin oleh Kolonel Laut (P) Yayan Sofiyan. Selama di Inggris parajurit TNI AL yang menjadi awak kapal perang itu mendapatkan berbagai macam pembekalan tentang senjata, radar, mesin dan pengetahuan struktur bangunan dan operasional kapal tersebut. “Dengan demikian diharapkan prajurit dapat mengawaki peralatan yang berada di kapal perang itu sesuai tugasnya”, Kata Dansatgas MRLF.
Ketiga kapal MRLF rencanaya diserahkan Pemerintah Inggris ke Pemerintah RI dalam waktu dekat, sekaligus penamaan kapal perang tersebut menjadi Kapal Perang Republik Indonesia (KRI). Nama ketiga kapal perang tersebut yaitu KRI Bung Tomo-357, KRI Jhon Lie-358 dan KRI Usman Harun-359.
Ketiga kapal ini akan diseberangkan secara bertahap menuju tanah air. Tahap pertama Adalah KRI Bung Tomo 357 dan KRI Usman Harun-359. Sedangkan tahap kedua adalah KRI Jhon Lie-358. (tnial.mil.id).

Serah Terima Pesawat F-16 C/D 52ID

 
Hill Air Force Base menyelesaikan tiga F-16 untuk diserahkan ke TNI AU
Hill Air Force Base menyelesaikan tiga F-16 untuk diserahkan ke TNI AU

Tiga dari 24 pesawat tempur F-16 C/D 52ID telah diserahkan oleh pemerintah Amerika Serikat kepada pemerintah Indonesia di hangar Flight Test Facility Hill AFB, Senin (14/7/2014) waktu setempat. Pihak Amerika serikat diwakili Dr Chalon Keller yang sehari-hari menjabat sebagai acting chief F-16 International Branch.
Ia menyerahkan tiga pesawat F-16 C/D 52ID kepada pihak Indonesia yang diwakili Atase Udara RI Kol Pnb Beni Koessetianto. Pengadaan 24 pesawat F16 C/D-52ID dalam Proyek “Peace Bima Sena II” ini merupakan kerjasama antara Pemerintah AS dan Indonesia berdasarkan kontrak yang ditandatangani 17 Januri 2012.
Ketiga pesawat terdiri dari dua pesawat F-16 D (kursi ganda) dengan nomor ekor TS-1620 dan TS-1623, serta sebuah pesawat F-16 C (kursi tunggal) dengan nomer ekor TS-1625. Turut hadir pula dalam acara penyerahan ini Maj. Gen Brent Baker selaku Komandan Hill AFB, perwakilan dari 309 AMXG, perwakilan dari Kellstrom Industry, BAE system, Northrop Grumman, Indonesian F-16 program office Mayor Tek Subagyo serta Komandan Skadron Udara 3 Letkol.Pnb.Firman “Foxhound” Dwi Cahyono beserta dua orang penerbang yaitu Mayor.Pnb.Anjar “Beagle” Legowo dan Mayor Pnb.Bambang “Bramble” Apriyanto.
Dalam kesempatan ini pula untuk pertama kalinya para penerbang Skadron Udara 3 melihat sosok luar dan cockpit F-16 C/D block 52 ID yang tampak baru dengan hampir semua peralatan dan layar penunjuk baru. Para penerbang mendapat penjelasan saat diberi kesempatan melihat pengerjaan pesawat-pesawat lain yang sedang di regenerasi setelah acara serah terima.
Dibutuhkan waktu kurang lebih 17.500 man-hour untuk mengerjakan pesawat pertama, karena baru pertama kali Depo Regenerasi dan Lockheed Martin melakukan upgrade mengganti system avionik pesawat blok 25 dengan blok 52.
Untuk pengerjaan pesawat ke dua dan selanjutnya hanya dibutuhkan 15.000 man hour atau mungkin kurang setelah pabrikan mendapatkan road map pengerjaan pesawat.
Sebelumnya Kepala Staf Angkatan Udara (Kasau), Marsekal TNI I.B Putu Dunia didampingi Atase Udara RI di Washington DC, Kol Pnb Benedictus B Koessetianto dan Technical Liaison Officer Mayor Tek. Subagyo telah melaksanakan kunjungan kerja selama 2 hari di Depo Regenerasi Hill AFB, Utah pada tanggal 4-5 April 2014. Dalam kesempatan tersebut Kasau melaksanakan inspeksi ke hangar tempat regenerasi pesawat dilaksanakan. Kasau juga melihat langsung pesawat pertama (TS 1625) yang telah selesai melaksanakan upgrade dan modifikasi.
Menjelang penyerahan enam orang penerbang menjalani ground training di Tucson ANG Base Arizona. Selama menjalani kegiatan ground training baik di kelas maupun di simulator mereka mendapatkan bahwa metode yang diterapkan sangat efektif.
Pelajaran di kelas dan pelatihan di simulator ditekankan kepada pendalaman avionik apa saja yang diupgrade serta penggunaannya dalam penerbangan. Simulator di sini ada dua macam, yaitu simulator untuk block 25 dan simulator untuk block 42.
Pelatihan para penerbang TNI AU menggunakan simulator block 42 yang dinilai lebih mendekati pada kemampuan pesawat blok 52ID kita. Kegiatan di simulator terdiri atas familiarisasi cockpit dan avionik, prosedur normal dan prosedur emergency, Air To Ground (Serangan darat) dan Air To Air (Pertempuran Udara) yang meliputi Basic Intercept, Air Combat Tactic 2 v 2 dan 2 v 4. Tujuannya utk memperlancar penggunaan sistem avionik dan HOTAS (Hand On Throttle And Stick) sehingga penerbang mahir menggunakan pesawat dalam pertempuran tanpa memindahkan tangan dari kemudi.
Selanjutnya pada tanggal 15 Juli dua orang penerbang TNI AU akan ikut dalam penerbangan “Ferry” jarak jauh tiga pesawat pertama yang dikirim ke Indonesia. Rencananya dua pesawat F-16 D dengan nomer ekor TS-1620 diawaki oleh Col.Howard Purcell (Komandan 162 Fighter Wing) / Letkol.Firman Dwi Cahyono dan TS- 1623 diawaki Ltc. Erik Houston / Mayor. Anjar Legowo serta sebuah pesawat F-16 C dengan nomer ekor TS 1625 diawaki oleh Maj. Collin Coatney.
Selama perjalanan ketiga pesawat akan terbang melintasi Samudera Pasifik dengan mengikuti pesawat tanker KC-135 milik USAF sebagai pesawat untuk “air refueling” atau pengisian bahan bakar di udara.
Rencananya penerbangan dimulai tanggal 15 juli 2014 dengan take off dari Hill AFB, Utah pada pukul 11.00 menuju Eilsen AFB Alaska (4 jam 23 menit), selanjutnya 17 Juli Dari Eilsen AFB Alaska menuju Andersen AFB Guam (9 jam 40 menit) dan leg terakhir tanggal 20 Juli dari Guam langsung menuju Lanud Iswahyudi Madiun ( 5 jam 16 menit). Ketiga pesawat direncanakan akan mendarat di Madiun pukul 11.16 pada hari Minggu tanggal 20 Juli 2014.
Keenam instruktur penerbang selanjutnya mulai Agustus akan melanjutkan latihan terbang konversi F-16 C/D nya di Lanud Iswahyudi Madiun dibawah supervisi para instruktur penerbang dari US Air Force (Mobile Training Team). Saat ini konfigurasi awal pesawat F16C/D-52ID tidak dilengkapi dengan drag chute (rem payung) sehingga untuk menyesuaikan dengan kondisi Indonesia maka pesawat-pesawat ini direncanakan akan menjalani modifikasi pemasangan peralatan drag chute yang dilakukan teknisi TNI AU dibantu personil Lockheed Martin pada kuartal pertama 2015.
Kemampuan operasi dan tehnologi pesawat ini untuk saat ini dirasa sudah memadai untuk meningkatkan secara signifikan kemampuan jajaran tempur TNI AU dalam manajemen perang udara modern. Harapan kita pada saat pesawat tempur masa depan IFX sudah bisa dioperasikan maka kita bisa menerapkan berbagai prosedur, taktik, pengalaman dan ilmu pengetahuan yang didapat dari pengoperasian pesawat F-16 C/D 52ID ini, sehingga bisa menyamai dan bahkan mengungguli kekuatan udara calon lawan dan pesaing negara kita.
Pengalaman dan pemahaman dari aplikasi penggunaan tehnologi perang udara modern yang didapat dalam pengoperasian F-16 CD 52ID akan membantu kita untuk memperbaiki perencanaan, pengadaan, pelatihan serta doktrin dan taktik perang udara TNI AU sehingga mampu menjadi tulang punggung kekuatan dirgantara nasional kita. (tni-au.mil.id). 

Rabu, 16 Juli 2014

OCEA OSV190 SC WB: Kapal Hidro-Oseanaografi Terbaru TNI AL

1529642_-_main
Sebagai negara yang menguasai 2/3 luas lautan di Asia Tenggara, adalah multak bagi Indonesia untuk mempunyai peta dasar laut yang lengkap dan memadai. Hal ini penting, pasalnya tanpa bekal informasi dan peta dasar lautan yang komplit, maka TNI AL akan kesulitan untuk gelar operasi bawah laut yang dilakukan satuan kapal selam, maupun untuk tugas anti kapal selam. Lain dari itu, pemetaan bawah laut berperan vital dalam keselematan navigasi pelayaran, baik untuk fungsi militer dan sipil.
Peran Hidro-Oseanaografi adalah urusan mutlak bagi negara maritim, dan TNI AL (d/h ALRI) sejak tahun 1951 telah membentuk badan khusus untuk fungsi hidrogafi, kemudian saat ini badan untuk urusan survei, peneletian, publikasi , serta keselamatan navigasi pelayaran dilakukan oleh Dinas Hidro-Oseanografi (Dishidros) yang kedudukannya langsung dibawah KSAL. Seperti halnya satuan kapal eskorta, satuan kapal amfibi, dan satuan kapal cepat, maka Dishidros pun punya armada kapal tersendiri, yakni Satuan Surveihidros (Satsurveihidros).
Saat ini Satsurveihidros memiliki 5 (lima) KRI, khusus KRI yang berada di jajaran Satsurveihidros merupakan jenis kapal Bantu Hidro-Oseanografi atau yang dikenal dengan istilah BHO.Dari ke lima KRI tersebut 1 (satu) KRI Dewa Kembar 932, 1 (satu) KRI Leuser 924 dan 3 (tiga) kelas kondor yaitu KRI Pulau Rote-721, KRI Pulau Romang 723 dan KRI Pulau Rempang 729. KRI yang berada dijajaran Satsurveihidros sejatinya bukanlah merupakan jenis kapal survei namun menyikapi keterbatasan yang ada TNI Angkatan Laut memodifikasi kapal-kapal tersebut untuk dapat dijadikan kapal survei. Awalnya bahwa kapal-kapal tersebut merupakan kapal tipe rumah sakit, kapal tunda samudera dan kapal penyapu ranjau sehingga memiliki nama dan nomor lambung yang berbeda namun memiliki fungsi azasi yang sama sebagai kapal survei. KRI yang berada di jajaran Satsurveihidros merupakan jenis kapal Bantu Hidro-Oseanografi atau yang dikenal dengan istilah BHO.
KRI Dewa Kembar 932
KRI Dewa Kembar 932

Nah, dibanding satuan kapal lain di lingkungan armada TNI AL, Satsurveihidros bisa dikata yang paling jarang mendapat update pengadaan kapal. Nyaris tidak terdengar ada tambahan kapal baru untuk Satsurveihidros. Untuk saat ini, sejatinya hanya ada satu kapal, yakni KRI Dewa Kembar 932 yang punya asasi sebagai kapal survei dan riset bawah air. Kapal ini pun bukan barang baru, KRI Dewa Kembar sebelumnya bernama HMS Hydra buatan tahun 1964, kemudian dibeli TNI AL pada Mei 1986.
Tapi rupanya ada angin segar untuk Dishidros, pada Oktober 2013 Kementerian Pertahanan telah melakukan kontrak pembelian dua unit kapal survei dari galangan kapal dari Perancis, OCEA SA. Kapal yang dimaksud adalah OSV190 SC WB. Kapal ini rancang bangunnya disiapkan untuk tugas patroli laut di zona ekonomi eksklusif (ZEE). Kapal dengan panjang total 60,1 meter ini juga dirancang mampu untuk misi angkut personel, dan mendukung misi penyelaman (scuba diving operations). Lainnya bisa menjalankan misi anti polusi, penanganan kebakaran, dan sebagai kapal penarik, dimana kapal dibekali fasilitas towing. Sementara untuk tugas utamanya, kapal dibekali perangkat pemetaan tiga dimensi (3D) dan mampu memindai kontur bawah laut hingga kedalaman 6.000 meter. Dengan kemampuannya terserbut, OSV190 SC WB dapat dengan mudah mendeteksi benda-benda asing dan mencurigakan di bawah laut, seperti bangkai pesawat yang jatuh atau kapal selam musuh.
Proses finishing OCEA OSV190 SC WB
Proses finishing OCEA OSV190 SC WB

Dibekali Senjata Ringan
Meski misi yang dijalankan masuk dalam kategori Operasi Militer selain Perang (OMSP), namum dengan menyandang identitas sebagai KRI, maka kedua kapal OSV190 SC WB juga dibekali senjata ringan, tujuannya lebih untuk self defence. Menurut info dari situs Janes.com, kedua kapal akan dilengkapi 1 unit kanon kaliber 20 mm dan dua pucuk SMB (senapan mesin berat) kaliber 12,7 mm. Kanon kaliber 20 mm bakal ditempatkan pada haluan, sedangkan dua pucuk SMB pada arah anjungan belakang. Melihat spesifikasi senjata tersebut, maka kapal Dishidros ini juga dapat menjalankan peran sebagai kapal patroli. Masih cukup ideal untuk melawan kelas perompak. Lepas dari itu, aneka sensor bawah laut dan teknologi multi beam kelak dapat dimanfaatkan untuk satuan tugas anti kapal selam.
Dari segi rancang bangun, desain haluan nampak dibuat streamline, sekilas bentuknya mengingatkan pada kapal patroli canggih milik AL Australia, yakni Armidale Class. Dalam operasionalnya, Kapal ini akan dilengkapi juga dengan laboratorium yang berteknologi modern. Kapal juga dilengkapi dengan ruang-ruang tidur tamtama, bintara, dan perwira yang cukup nyaman, karena untuk pemetaan dan survei, personel akan berada di tengah laut hingga berhari-hari.
Di bagian haluan ini nantinya akan dipasang kanon kaliber 20mm.
Di bagian haluan ini nantinya akan dipasang kanon kaliber 20mm.
Hidro Oseanografi OCEA OSV190 SC WB 2
OSV190 SC WB diawaki sekitar 41 personel, termasuk peneliti dari TNI AL. Rencananya pada bulan Juli ini, 41 personel diberangkatkan menuju Prancis untuk melakukan training dan pengenalan kapal. Mereka nanti yang akan membawa kapal survei pertama ke Indonesia di akhir 2014. Diperkirakan butuh waktu 5 minggu untuk membawa kapal berbobot 500 ton dari Paris hingga tiba di Indonesia.
Kelebihan kapal ini adalah bodi kapal terbuat dari alumunium dan baja, sehingga tidak cepat berkarat. Kapal dengan panjang 60,1 meter dan lebar 11 meter ini juga akhirnya memiliki berat yang lebih ringan, hanya 500 ton. Padahal, kapal-kapal dengan ukuran yang sama bisa mencapai 1.500 ton. Mengingat bobot kapal yang ringan, lantas apakah kapal ini akan mudah tergoyang oleh ombak karena berbobot ringan? Ternyata tidak. Saat ini telah ada teknologi baru menggunakan dynamic tank yang bisa membuat kapal lebih stabil dari goncangan ombak, meski hanya 2,5 meter bagian bawah kapal yang masuk ke dalam air laut. Dengan bobot 500 ton, penggunaan BBM juga pasti akan lebih efisien.
Armidale Class milik AL Australia
Armidale Class milik AL Australia

Indonesia memesan dua kapal survei dengan biaya US$100 juta. Kapal pertama akan selesai bulan September 2014 dan akan tiba di Indonesia awal Januari 2015. Kapal kedua akan selesai bulan Agustus 2015 dan akan tiba di Indonesia pada September 2015. Hadirnya dua kapal ini tentu vital bagi kepentingan Indonesia, khususnya TNI AL yang akan kedatangan tambahan tiga unit kapal selam baru dari Korea Selatan pada tahun 2015 – 2018. Melihat situasi dan kondisi perubahan alam, peta bawah laut Indonesia sudah mutlak untuk diperbaharui. (son)

Spesifikasi OCEA OSV190 SC WB
Panjang : 60,10 meter
Lebar : 11 meter
Berat : 500 ton
Awak : 41
Penumpang : 6
Speed : 16 knots

Minggu, 13 Juli 2014

Mengenal F-16 C/D TNI AU


image
Indonesia akan memiliki 24 pesawat tempur F-16 setara Block 52. Perinciannya, 5 buah pesawat F-16D (kursi ganda) dan 19 pesawat F-16C kursi tunggal.
Pengadaan 24 pesawat F16 C/D-52ID dalam Proyek ‘Peace Bima Sena II’ ini merupakan kerjasama antara Pemerintah AS dan Indonesia berdasarkan kontrak yang ditandatangani pada tanggal 17 Januari 2012. Pesawat F-16 C/D ini merupakan pesawat bekas hibah dari US Coast Guard yang telah diupgrade menjadi setara Block 52.
Upgrade pesawat dilakukan dengan menambah berbagai perlengkapan. TNI AU mengklaim pesawat ini pun seperti nyaris pesawat baru gres dari pabrik.
“Seluruh pesawat menjalani upgrading dan refurbished rangka serta sistem avionic dan persenjataan di Ogden Air Logistics Center yang berada di Hill AFB, Odgen, Utah. Rangka pesawat diperkuat, jaringan kabel dan elektronik baru dipasang, semua sistem lama direkondisi menjadi baru dan system baru ditambahkan agar pesawat lahir kembali siap menjadi pesawat baru dengan kemampuan jauh lebih hebat dari saat kelahirannya,” kata Kadispen TNI AU Marsekal Hadi Tjahjanto.

Pelatihan Khusus para Pilot
Tidak cuma memesan pesawat F-16 dari Amerika Serikat. TNI AU juga mengirim para pilotnya berlatih ke sana. Enam instruktur penerbang tempur F-16 A/B Skadron Udara 3 TNI AU saat ini sedang mengikuti latihan konversi pesawat F-16 C/D Block 52ID di Tucson ANG Base Arizona.
Di bawah pimpinan Letkol Pnb Firman ‘Foxhound’ Dwi Cahyono (40 th). Para instruktur penerbang ini menjalani latihan ‘Differential Training’ F-16 C/D di Tucson Arizona? mulai tanggal 30 Juni hingga 11 juli 2014.
Mereka adalah Mayor Pnb Anjar ‘Beagle’ Legowo (38), Mayor Pnb Bambang ‘Bramble’ Apriyanto (34). Selain itu Kapten Pnb Pandu ‘Hornet’ Eka Prayoga (31), Kapten Pnb Anwar ‘Weasel’ Sovie (30 th) dan Kapten Pnb Bambang ‘Sphynx’ Yudhistira (30).
Merekalah yang kelak akan membawa pulang pesawat terbaru TNI AU ini. Kemudian menjadi instruktur untuk para penerbang tempur TNI AU di Lanud Iswahjudi.
image

Penerbangan panjang ke Madiun
Tiga buah pesawat F-16 C/D 52ID pesanan TNI AU telah selesai. Pada 15 Juli mendatang, dua orang penerbang TNI AU akan ikut dalam penerbangan jarak jauh tiga pesawat pertama yang akan dikirim ke Indonesia. Yaitu sebuah pesawat F-16 C (kursi tunggal) dengan nomer ekor TS 1625 dan dua pesawat F-16 D (kursi ganda) dengan nomer ekor TS 1623 dan TS 1621.
Selama perjalanan ketiga pesawat akan terbang melintasi Samudera Pasifik dengan? melaksanakan ‘air refueling’ atau pengisian bahan bakar di udara dari pesawat tanker KC 135 milik USAF.
Rencananya penerbangan dimulai dengan take off dari Hill AFB, Utah pada pikul 11.00 menuju Eilsen AFB Alaska (4 jam 23 menit). Selanjutnya tanggal 17 Juli dari Eilsen AFB Alaska menuju Andersen AFB Guam (9 jam 40 menit). Dan leg terakhir tanggal 20 Juli dari Guam langsung menuju Lanud Iswahyudi Madiun (5 jam 16 menit).
Ketiga pesawat direncanakan akan mendarat di Madiun pada tanggal 20 Juli 2014 pukul 11.16 WIB.
F16CD
Persenjataan
TNI AU mengklaim, dalam operasi udara niscaya kemampuan pesawat ini cukup handal. Untuk urusan pertempuran udara, mampu membawa rudal jarak pendek AIM-9 Sidewinder P-4/L/M dan IRIS-T (NATO). Lalu rudal jarak sedang AIM-120 AMRAAM-C.
Sedangkan untuk sasaran darat dan perairan, pesawat ini membawa persenjataan kanon 20 mm, bomb standar MK 81/82/83/84, Laser Guided Bomb Paveway, JDAM (GPS Bomb), Bom anti runway Durandal, rudal AGM-65 Maverick K2. Ada juga rudal AGM-84 Harpoon (anti kapal) dan rudal AGM-88 HARM (anti radar).
Peralatan Improved Data Modem Link 16 memungkinkan penerbang? melakukan komunikasi tanpa suara hanya menggunakan komunikasi data dengan pesawat lain atau radar darat, radar laut atau radar terbang.
Pesawat juga akan dilengkapi navigation dan targeting pod canggih seperti SniperLitening untuk operasi tempur malam hari, seperti layaknya siang. Di samping itu mampu melaksanakan missi Supression Of Enemy Air Defence (SEAD) untuk menetralisir pertahanan udara musuh.
F16CD52ID
Kemampuan Dog Fight
F-16 C/D Block 52 memiliki sejumlah kelebihan. Baik di persenjataan dan daya jelajah.
TNI AU mengakui memang pesawat F-16 C/D Block 52 dengan daya dorong lebih besar mampu mengangkut senjata lebih berat dan bisa terbang lebih jauh. Namun dalam close combat atau pertempuran udara jarak pendek maka pesawat F-16 TNI AU memiliki kelincahan yang lebih baik dari F-16 Block 52.
Tapi kemenangan di udara tentu tak hanya bergantung pada kelincahan pesawat. Kemampuan pilot dan jenis senjata juga sangat menentukan.
Dilengkapi sistem avionic dan senjata udara modern serta kemampuan daya jangkau operasi lebih dari 700 km, maka pesawat ini sudah cukup memadai untuk menghadang penerbangan gelap atau menghantam sasaran. Baik siang atau malam di semua tempat di luar atau dalam wilayah kedaulatan kita.
(photo: TNI AU)
(photo: TNI AU)

Pangkalan
Pesawat- pesawat F-16 C/D-52ID akan melengkapi kekuatan TNI AU di Skadron Udara 3 Lanud Iswahjudi Madiun, Jawa Timur, dan Skadron Udara 16 Lanud Rusmin Nuryadin, Pekanbaru.
Menurut pihak TNI AU, kemampuan dan teknologi pesawat ini sudah memadai untuk meningkatkan secara signifikan kemampuan kita dalam manajemen perang udara modern.
TNI AU berharap pada saat pesawat tempur masa depan IFX sudah bisa dioperasikan maka bisa menerapkan berbagai prosedur, taktik, pengalaman dan ilmu yang didapat dari pengoperasian pesawat F-16 C/D 52ID ini.
Pengalaman dan pemahaman dari aplikasi penggunaan teknologi perang udara modern yang didapat akan membantu kita untuk memperbaiki doktrin dan taktik perang udara untuk menjadi tulang punggung kekuatan dirgantara nasional. (Merdeka.com)

Sabtu, 12 Juli 2014

Mortir 81mm: Mobilitas Tinggi Senjata Andalan Bantuan Infanteri

jjf
Dalam suatu pertempuran, sudah lumrah bila laju elemen infanteri mendapat bantuan tembakan (fire support) dari unit artileri medan. Dengan sekali gebuk, semburan proyektil dari howitzer mampu merobek posisi perkubuan lawan. Tugas infanteri pun jadi lebih mudah untuk merangsek masuk ke jantung pertahanan musuh. Tapi faktanya, infanteri tak bisa melulu mengharap bantuan tembakan dari howitzer, juga pastinya butuh waktu untuk meminta bantuan tembakan dari udara (close air support).
Menghadapi skenario diatas, unit infanteri di level peleton, kompi dan batalyon butuh dukungan artileri secara mandiri, tanpa harus bergantung pada satuan lain. Dan, jawabannya adalah sosok mortir. Mortir dengan larasnya yang halus (smoothbore) dan tekanan penembakan lebih rendah (low pressure), tak ayal menempati posisi sebagai senjata dukungan jarak dekat andalan bagi infanteri. Meski sudah digunakan sejak era Perang Dunia I, nyatanya perkembangan teknologi turut mempertahankan keberadaan mortir sebagai unsur bantuan tembakan infanteri yang cukup diandalkan hingga kini. Bentuknya yang ringkas membuat mortir tak bisa dilepaskan dari setiap pergerakan infanteri. Dengan bentuknya yang ringkas, mortir mudah dibawa ke sana ke mari bersama pergerakan pasukan infanteri. Manfaat ini terasa betul bagi pasukan khusus yang bergerak di belakang garis musuh, yang seringkali tidak memiliki dukungan tembakan artileri.
Mortir_TNI
Prajurit Marinir TNI AL tengah melakukan bidikan mortir 81mm.
Komponen mortir
Komponen mortir
2238444620X310
Bagi TNI, penggunaan mortir sudah begitu lekat sejak puluhan tahun. Hampir semua satuan TNI yang punya predikat infanteri, apa pun angkatannya saat ini dibekali unit mortir dalam beberapa kaliber yang berbeda. Kaliber mortir yang digunakan TNI ada 3 jenis, yakni kaliber 81 mm, 60 mm, dan 40 mm. Perbedaan kaliber tentu membawa pengaruh pada jarak tembak, hulu ledak dan bobot dari senjata tersebut.

Mortir 81mm
Diantara kaliber mortir yang ada, mortir paling populer adalah di kaliber 81 mm, biarpun ada mortir besar kaliber 120 mm, 160 mm, atau bahkan 240 mm, singgasana mortir 81 mm tetap belum tergusur. Ada beberapa alasan mengapa mortir 81 mm sangat populer. Pertama, mortir 81 mm memiliki jangkauan memadai sehingga kru mortir ada di luar line of sight lawan, alhasil lebih sulit untuk dibalas, daya hancurnya luar biasa relatif terhadap ukuran kalibernya, dan mempunya bobot yang masih ideal untuk penggelaran berpindah-pindah.
Mortir 81mm.
Mortir 81mm.
Proyektil mortir 81mm buatan Pindad.
Proyektil mortir 81mm buatan Pindad.


Salah satu mortir 81 mm yang digunakan infanteri TNI adalah mortir 81 mm hasil modifikasi dari mortir buatan pabrik Salgat dengan jenis Tampella di Finlandia. Saat ini, PT Pindad telah mampu memproduksi mortir dalam ketiga ukuran kaliber. Berbeda dengan howitzer dan meriam tank, pengoperasian mortir terbilang unik. Secara umum, desain mortir terdiri dari lima komponen besar. Yaitu tabung peluncur, landasan penahan (baseplate), sistem bidik, bipod, dan tentu saja proyektil dan sumbunya (fuse). Desain tabung peluncur dan baseplate berbeda-beda tergantung pada besaran kaliber.
Cara kerja mortir sebagai berikut, saat proyetil diturunkan oleh assistant gunner dengan pantat (sirip) menghadap kebawah, proyektil akan meluncur bebas sampai ke dasar laras mortir. Sampai di dasar, ada pena pemukul (firing pin) yang menekan primer di ekor proyektil. Dengan desain proyetil sedemikian rupa, dimulai dari ekor yang kurus sampai bentuk proyektil yang menggemuk dengan cincin obturatornya yang menempel erat di dinding dalam laras, ledakan yang terperangkap di dalam ruang antara tabung mortir dan proyetil, memberikan dorongan hebat sehingga proyektil meluncu hebat keluar. Ketika sampai di mulut laras, proyektil keluar sebagai ledakang bunga api dengan suara yang memekakkan telinga. Maka itu para awak mortir harus menutup telinga, atau menggunakan penutup telinya yang memadai agar terhindar dari cacat permanen, terutama jika yang ditembakkan adalah mortir kaliber besar.
Pasukan AS tengah menembakkan mortir di Irak.
Pasukan AS tengah menembakkan mortir 81mm di Irak.
Persiapan satuan tembak mortir TNI AD.
Persiapan satuan tembak mortir TNI AD.
2524588_20140512120812
Anoa versi Mortar Carrier
Tampilan belakang Anoa Mortar Carrier.
Tampilan belakang Anoa Mortar Carrier.

Sementara dalam prosedur penembakan, pemimpin regu bertugas berdiri dan mengawasi pengoperasian mortir, dan menentukan penempatan, arah, serta penembakan mortir. Penembak (gunner) bertugas melakukan bidikan melalui optik dan mengatur elevasi dan simpangan mortir. Pembantu penembak (assistant gunner) berdiri di sebelah kanan, memasukan proyektil sesuai aba-aba penembak. Ia juga harus membersihkan laras setelah 10 kali penembakan. Pembawa amunisi pertama berdiri di kanan belakang mortir, mempersiapkan proyektil (menyetel sumbu, memasang charge) dan menyerahkan ke assistant gunner. Terakhir , pembawa amunisi kedua mencatat semua proyektil yang ditembakkan per fire mission dalam buku catatan, serta mengamankan posisi sembari bersiaga dengan senapan serbu.
Untuk mortir 81 mm, dengan bobot sekitar 49 kg dan panjang laras 1560 mm, dapat dicapai jarak tembak maksimum 6.500 meter dan jarak tembak minimum 100 meter. Untuk mendongkrak mobilitas, nantinya mortir 81 mm juga akan diadopsi ke dalam ranpur Anoa versi Mortar Carrier. Nantinya Anoa APS-3 Mortar Carrier disiapkan untuk memperkuat Batalyon Infanteri Mekanis. (Gilang Perdana)

Spesifikasi Mortir 81 mm Pindad
Kaliber : 81 mm
Diameter : 81,4 mm
Panjang laras : 1.560 mm
Panjang Bipod (dilipat) : 960 mm
Berat Bipod : 14 kg
Berat dasar plat : 12,5 kg
Akurasi alat bidik : 1 mil
Berat alat bidik : 1,55 kg
Berat lengkap mortir : 49 kg
Jarak elevasi : 45-85 derajat
Jarak tembak max : 6500 – 8.000 meter

Kedatangan Leopard dan Konsep MEF

Leopard
Sebanyak 26 unit tank tempur utama (MBT) Leopard dan 26 unit tank Marder akan tiba di Indonesia pada minggu pertama September 2014. Pengiriman tersebut merupakan pengiriman gelombang pertama dari total 130 unit tank Leopard dan 50 unit tank Marder yang dibeli Kementerian Pertahanan berdasarkan kontrak pengadaan nomor TRAK/1198/PLN/XII/2012/AD antara Kementerian Pertahanan dengan pihak Rheinmetall, Jerman. Upacara pengiriman dilakukan Senin, 23 Juni 2014, di Unterluss, Jerman, yang dihadiri oleh Wakil Menteri Pertahanan, Sjafrie Sjamsoeddin.

Kehadiran tank Leopard merupakan salah satu bagian dari penguatan postur pertahanan Indonesia yang digariskan untuk membangun kekuatan pokok minimum (Minimum Essential Force/MEF) TNI dengan daya pukul dahsyat, daya gentar (deterrent effect) besar, dan mobilitas tinggi.
"Apabila penguatan angkatan udara dengan pengadaan pesawat F-16 dan Sukhoi, angkatan laut dengan pengadaan kapal selam dan kapal perusak, maka angkatan darat dengan pengadaan tank Leopard. Kita memang tidak bermaksud untuk berperang, tetapi kita harus bersiap untuk menghadapi keadaan yang tidak diinginkan," jelas Wamenhan.

Dalam pengadaan tank Leopard terselip muatan alih teknologi (transfer of technology). Pihak Rheinmetall setuju untuk melakukan kerja sama pembuatan amunisi dengan PT. Pindad. Dengan cara tersebut, dalam waktu dekat kebutuhan amunisi bagi tank Leopard sudah dibuat di PT. Pindad. Kedepan diharapkan tidak hanya kebutuhan tank Leopard TNI AD yang bakal dipasok PT. Pindad, melainkan juga kebutuhan untuk negara-negara di kawasan. Pihak Rheinmetall antusias menjadikan PT. Pindad sebagai basis produksi dari Rheinmetall untuk kebutuhan alutsista di kawasan Asia Tenggara.

Terkait dengan konsep MEF, Kemhan dan Bappenas telah membahas untuk merealisasikannya dalam tiga tahap, yaitu:
1. Tahap pertama; 2010-2014
Penambahan skadron pesawat tempur strategis, pesawat angkut berat dan sedang. TNI AL akan mendapatkan tambahan kapal perang atas air dan bawah air (kapal selam), serta kapal patroli cepat. TNI AD memilki lebih dari 100 tank tempur utama dan puluhan kendaraan tempur infanteri, sekitar 200 panser Anoa yang akan tersebar di wilayah Indonesia, serta heli serang taktis.
2. Tahap kedua; 2015-2019
Peningkatan kemampuan industri pertahanan dalam negeri dalam melakukan kerja sama produksi dengan negara lain. Dari berbagai kerja sama yang dilakukan diharapkan bisa dihasilkan produk-produk persenjataan baru, yang bisa semakin memperkuat alutsista TNI. Sebagai contoh, dengan Korea Selatan, disepakati pengembangan untuk pesawat tempur KFX dan pembangunan kapal selam.

3. Tahap ketiga; 2020-2025
Mengarah pada pembentukan kekuatan ideal. Pada periode ini kemampuan industri terus berkembang dan kerja sama yang dilakukan dengan negara lain ditujukan kepada alutsista yang lebih maju dan berteknologi tinggi.