Kamis, 26 Juni 2014

Dukungan Minimum Essential Force

Filipina memesan dua unit Perusak Kawal Rudal (PKR) 105 Meter-FRIGATE buatan PT PAL. (Foto: PT PAL)

Minimum Essential Force (MEF) atau kekuatan pokok minimum TNI menjadi salah satu poin penting dalam hal pertahanan negara menuju era global. Persoalan yang tidak kalah penting adalah peningkatan kemampuan industri militer dalam negeri, seperti LAPAN, Pindad, PT PAL, PT DI, BPPT, PT Dahana, dan sebagainya.
“Kapasitas alutsista yang modern dan memadai tentu akan meningkatkan pamor dan menambah rasa percaya diri bangsa kita di tengah-tengah dinamika hubungan antarnegara yang terjadi,” ujar Direktur Utama PT PAL, Muhammad Firmansyah Arifin, kepada JMOL di Surabaya, Rabu (18/6).
Menurut Firmansyah, peningkatan kualitas dan kuantitas alutsista yang dimiliki Indonesia menjadi sangat penting, mengingat Indonesia memiliki lautan yang sangat potensial dan strategis. Alutsista memadai akan sangat berguna apabila suatu ketika terjadi ancaman di wilayah perairan Indonesia, seperti yang terjadi di wilayah Ambalat.
Seperti diketahui, TNI AL terus berupaya meningkatkan teknologi dan kuantitas alutsista yang dimiliki. Keinginan kuat TNI AL meningkatkan alutsistanya diwujudkan dengan menjalin kerja sama yang erat dengan industri militer dalam negeri. Salah satunya, PT Penataran Angkatan Laut (PT PAL) di Surabaya.
PT PAL memahami tantangan yang dihadapi TNI AL dan berkomitmen kuat senantiasa mendukung sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam rangka pertahanan negara.
“PT PAL senantiasa mendukung kebutuhan TNI AL, dengan berusaha memenuhi setiap pesanan yang diberikan kepada kami,” kata Firmansyah.
Ia menjelaskan, beberapa alutsisita yang dipesan TNI AL kepada PT PAL antara lain LPD 125-KRI Banjarmasin, Kapal Perusak Kawal Rudal (PKR), Fast Patrol Boat 28 M, Fast Patrol Boat 57 M, serta KCR 60 M KRI Sampari. PT PAL saat ini sedang dalam proses perencanaan pembuatan kapal selam pesanan TNI AL.

Alih Teknologi
Di sisi lain, harus diakui bahwa tidak semua komponen kapal dapat dipenuhi oleh industri dalam negeri. Untuk kapal perang, sekitar 60 persen komponennya dibuat di dalam negeri. Sedang sisanya diimpor dari berbagai negara. Untuk kapal niaga, komponen yang mampu diproduksi dalam negeri sebesar 70 persen.
Untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas produksi, PT PAL sering kali melakukan proses alih teknologi. Upaya yang dilakukan PT PAL dalam rangka alih teknologi tersebut utamanya dalam menyiapkan kualitas SDM yang andal. SDM yang disiapkan melalui proses seleksi yang ketat, kemudian training peningkatan kemampuan teknis maupun mentalitas.
Alutsista yang dibutuhkan di masa depan tentu harus dikembangkan melalui perencanaan yang matang dan strategis.
“Kemenhan saat ini sedang membuat pemetaan untuk kebutuhan alutsista, baik dari jumlah maupun teknologi yang dibutuhkan, serta kapasitas galangan kapal. Dari pemetaan ini akan dapat dilihat perbandingan antara perencanaan dan pemenuhannya. Untuk itulah pemetaan dibutuhkan,” pungkasnya. (jurnalmaritim.com) JKGR.

Menjemput Tank Leopard ke Jerman

Tank Leopard 2A4 TNI AD
Tank Leopard 2A4 TNI AD

52 tank Leopard siap dikirimkan dari Jerman ke Indonesia di pengiriman yang pertama. Jumlah ini merupakan bagian dari total pemesanan TNI AD 2013, yang berjumlah 164 unit.
Upacara pengiriman pertama (roll out) 52 tank dilakukan di Unterluss, Jerman. Rombongan High Level Commitee (HLC) dipimpin Wakil Menteri Pertahanan Letjen (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin dan turut dalam rombongan tersebut mantan KSAD Jenderal (Purn) Pramono Edhie Wibowo. Rombongan dijadwalkan bertolak dari Jakarta Minggu (22/6/2014) pagi ini menuju Hamburg.
Pembelian tank Leopard merupakan inisiasi KSAD saat itu, Jenderal Pramono Edhie Wibowo. Adapun alasan perlunya pembelian alat utama sistem senjata (Alutsista) tersebut sebagai bagian dari modernisasi alutsista.
“Alutsista Indonesia termasuk yang paling terbelakang bahkan di antara beberapa tetangga negara ASEAN. Selama ini Indonesia hanya mengandalkan pada tank tempur ringan seperti Scorpion, dan AMX-13. Ketiga jenis tank ringan ini terbilang sudah uzur,” jelas Edhie dalam keterangan tertulisnya, Minggu (22/6/2014).
Selain itu, pembelian Leopard juga merupakan bagian dari penyegaran alutsista setelah 30 tahun lamanya tanpa penyegaran. “Penyegaran ini diperlukan Indonesia dalam menjamin kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” tambah Edhie.
Sesuai dengan perjanjian jual beli yang dilakukan pada tahun 2013 lalu, Kemenhan telah memesan 164 tank Leopard jenis main battle tank dan medium tank IFV Marder. Tank Leopard ini dibeli lengkap beserta amunisi, peluru latihan dan suku cadang oleh Kemhan dari perusahaan Jerman, Rheinmettal AG, atas persetujuan Pemerintah Jerman.
“Kehadiran kami di Unterluss adalah untuk melihat langsung persiapan akhir yang meliputi inspeksi teknis dan uji coba unit tank Leopard yang akan dikirim ke Indonesia,” ujar Edhie.
“Rencananya 26 MBT dan 26 marder ini bisa tiba di Indonesia dalam waktu dekat dan bisa diperagakan pada upacara perayaan hut TNI 5 Oktober mendatang,” kata Komandan Komandan Pusat Kesenjataan Kavaleri (Danpusenkav) Brigjen TNI Mulyanto. (Detik.com).

Minggu, 22 Juni 2014

Tatra T815 : Kendaraan Peluncur Roket 6x6 MLRS Astros II Mk-6



MLRS Astros II Mk-6 menggunakan basis kendaraan truk 6x6 Tatra T815-790R39 sebagai kendaraan peluncur roketnya, sedangkan kendaraan pendukung menggunakan basis truk 4x4 Tatra T815-7A0R59. Sebelumnya digunakan truk 6x6 Mercedes Benz tipe 2028A (photo : Kompas)
 
Awal Agustus mendatang, 13 dari 38 kendaraan sistem peluncur roket multilaras (MLRS) Astros II MK-6 buatan perusahaan Avibras, Brasil, tiba di Jakarta. Kendaraan MLRS yang berpenggerak enam roda (6 x 6) itu memiliki kemampuan meluncurkan 24 roket dengan daya jangkau dari belasan kilometer hingga 300 kilometer.
Namun, kali ini yang akan dibahas bukanlah mengenai kemampuan roket yang diluncurkan, melainkan tentang kendaraan 6 x 6 yang memanggul kontainer peluncur roket itu. Di masa lalu, Avibras mendatangkan kendaraan 6 x 6-nya dari Mercedes Benz, Jerman. Akan tetapi, kali ini, Avibras memesannya dari Ceko, tepatnya dari perusahaan Tatra.
Chasis Tatra T-815 6x6 (photo : Tatra)
Avibras memesan chassis, mesin, dan suspensi independen dari Tatra. Mesin yang dipesan adalah mesin diesel berkapasitas 12.7 liter (12.700 cc), 8 silinder dalam konfigurasi V (V8), OHV (over-head camshaft), natural aspirated (tidak menggunakan turbocharge), dan menggunakan sistem pendinginan udara (air cooled).
Dari jenisnya, mesin diesel Tatra itu bukanlah mesin diesel dengan teknologi yang terbaru. Malah bisa dikatakan bahwa mesin diesel itu adalah mesin diesel dengan teknologi yang sederhana. Namun, kesederhanaan itu pula yang justru menjadi kekuatannya. Oleh karena mudah perawatannya dan mudah pula perbaikannya. Hal itu sangat penting dalam peperangan. Sistem pendinginan udara untuk mendinginkan mesin mungkin tidak sesempurna sistem pendinginan air yang menggunakan radiator, tetapi perawatannya jauh lebih mudah.
Ujicoba peluncur roket 6x6 Astros II Mk-6 dilakukan di Brasil karena belum ada tempat latihan di Indonesia yang mempunyai jarak steril 40 km sesuai dengan kemampuan MLRS Astros II ini  (photo : Kompas)
Yang membuat Avibras memilih Tatra adalah karena suspensi independen yang diterapkan pada tiap roda. Dengan demikian, setiap roda akan bergerak secara independen (bebas) sesuai dengan rintangan yang dihadapi roda. Suspensi seperti itu sangat diperlukan untuk melintasi medan offroad, apalagi Tatra menggunakan sistem penggerak enam roda.
Chassis, mesin, dan suspensi yang diterima Avibras di pabriknya di Sao Jose dos Campos, di luar kota Sao Paolo, dilengkapi dengan sistem hidrolik (pneumatic). Itu membuat ketinggian bagian bawah kendaraan dari permukaan tanah (ground clearance) tetap sama walaupun kendaraan melintas di permukaan tanah yang bergelombang. Ketinggian bagian bawah kendaraan dari permukaan tanah juga dapat diatur. Ditinggikan saat akan melintas genangan air (sungai kecil) atau direndahkan pada saat akan memasuki kabin pesawat angkut militer Hercules C130.
Chasis Tatra T-815 4x4 (photo : Tatra)
Kendaraan lapis baja
Avibras kemudian membangunnya menjadi kendaraan lapis baja tahan peluru. Selain dipasangi pelat baja yang tahan peluru, Avibras juga menggunakan kaca tahan peluru.
Setiap bagian diperiksa secara hati-hati untuk menjamin kekuatan kendaraan itu dalam menahan tembakan peluru kaliber 7,62 mm.
Dengan menggunakan tangki bahan bakar tahan peluru berkapasitas 200 liter, kendaraan MLRS Astros II MK-6 memiliki daya jelajah 480 kilometer, dalam sekali pengisian tanki hingga penuh. Mobil yang mesinnya menghasilkan tenaga maksimum 280-320 PK itu dapat dipacu hingga kecepatan maksimum 100 kilometer per jam di jalan raya.
Kendaraan berbobot 24 ton itu juga menggunakan ban khusus, yaitu run flat tires. Ban jenis itu memungkinkan kendaraan tetap melaju sejauh 200 kilometer walaupun ban dalam keadaan pecah (gembos) akibat tembakan atau terkena ranjau.
 
MI. 

KARYA ANAK BANGSA DI SELAT MELAKA

kcr-40-1
KRI Alamang 644 (KCR-40)

Perhatian kami tiba-tiba tertuju pada konvoi kapal patroli yang sedang melintas, tidak jauh dari boat tempat kami yang sedang lego jangkar. Sebelumnya saya tidak tahu, program apa yang sedang dijalani oleh kapal-kapal patroli ini. Tidak besar tapi tampak gagah dan lincah. Perhatian kami terfokus pada sebuah kapal yang paling keren, KRI Alamang..! Sebuah KCR, yang diproduksi PT Palindo Marines and Shipyard di Batam.
Setelah pulang ke rumah, saya segera mencari informasi yang berkaitan dengan kehadiran kapal-kapal milik TNI tersebut. Ternyata, kedatangan mereka adalah untuk mengikuti program tahunan yang bertajuk Patkor Malindo 2014. Ada kekaguman dan kebanggaan yang begitu dalam tatkala menyaksikan karya anak bangsa melenggang di negeri orang. Tidak sedikit dari sekian banyak prajurit dan perwira Angkatan Laut dari kedua negara yang rela bersusah payah untuk mengabadikan sosok seksi yang sengaja didatangkan dari pangkalannya di Lantamal 1 Belawan, Medan.
KRI Alamang 644 (KCR-40)
KRI Alamang 644 (KCR-40)

Patkor Malindo, yang telah diakui dunia sebagai sebuah wadah koordinasi pengawalan dan pengamanan selat Melaka paling sukses, kini akan lebih fokus pada pengaman selat Melaka dari aktivitas penyelundupan manusia dan pendatang haram. Apalagi dalam seminggu ini, telah dua kali berturut-turut terjadi kecelakaan kapal yang merenggut korban dari Indonesia. Untuk itu, kedua institusi terkait telah sepakat untuk mencari pangkal permasalahannya.
Dikabarkan dari Singapore, bahwa kedua kapal tersebut telah dan sedang mengantongi surat izin berlayar dari Aceh-Singapore-Aceh. Pertanyaannya, mengapa kapal itu tiba-tiba ada di Port Klang, dan bukan hanya mengangkut barang, tetapi juga banyak mengangkut orang. Inilah misteri klasik yang akan menjadi materi utama Patroli Koordinasi tahun ini.
KRI Siribua bersama KRI Alamang
KRI Siribua bersama KRI Alamang

Nun di tengah laut selat Melaka, aktivitas kapal-kapal patroli, nelayan dan fery, nampak begitu sibuk. Sejauh ini, modus penyelundupan manusia dan pendatang ilegal dari dan ke Melaka, memang terbilang jarang atau mungkin hampir tidak pernah terjadi. Setidaknya itulah info yang dirilis oleh TLDM pada publik sejauh ini. Mungkin karena letak pelabuhan Melaka yang diapit oleh berbagai fasilitas ketentaraan, sehingga para pelaku kejahatan menjadi kurang bernyali untuk beraksi di kota pelabuhan ini. Lain halnya dengan Port Klang, yang banyak dikelilingi oleh pulau-pulau kecil dan kampung nelayan, serta disinggahi kapal-kapal barang bertonase besar, sehingga dianggap lebih aman untuk bermain petak umpet dengan pihak keamanan.
malaka-patroli
Langit begitu cerah, matahari di atas kepala seakan enggan untuk berhenti menyemburkan panasnya yang melelehkan peluh-peluh di tubuh. Angin laut yang kadang terasa lebih kencang, sesekali seperti ingin mencabut ujung air laut, mencabut dan membantingnya, sehingga kapal-kapal kecil yang kerap lalu-lalang, menjadi ikut bergoyang..! Tapi konvoi kapal-kapal TNI AL ini, seakan tidak terpengaruh dengan debur ombak yang sesekali datang menampar.
Sungguh indah..! Kami membayangkan bagaimana saudara-saudara kita saat membangun KCR 40 di Batam. Mereka telah bekerja tanpa mengenal lelah, untuk sebuah atau beberapa masterpiece seni alutsista persembahan TNI AL. Inilah akumulasi dari sebuah pembelajaran yang gigih, bekerja tangguh dan berpikir positif. Hehehe..! Anda masih meragukannya..? Mari kita belajar lagi..! Selamat berakhir pekan bung..! (by:yayan@indocuisine / Kuala Lumpur, 21 June 2014).

JKGR.

Panther AS-565 MB Skadron 400

 Helikopter anti kapal selam AS-565 Panther (photo:eurocopter)
Helikopter anti kapal selam AS-565 Panther (photo:eurocopter)

Rasa gembira menaungi Skadron Udara 400 (Anti Kapal Selam) TNI AL. Pasalnya sebagian rekan mereka tengah berada di Prancis untuk menguji coba dan memilih spesifikasi Helikopter Anti Kapal Selam (AKS) Panther AS-565 MB yang sedang dibeli Kementerian Pertahanan. Gembira karena ada alutsista baru yang segera menemani helikopter AS332 Super Puma, Bell 412EP dan BO-105c, milik Skadron 400. Gembira karena kapal perang mereka akan semakin gahar dan diperhitungkan lawan.
Helikopter AS 565 MB merupakan multi purpose: naval version, serach and rescue, berbasiskan AS 365 N3 (maritime patrol and surveillance platform).
AS 565 MB, bisa digunakan untuk misi: fire support, Anti-Submarine (ASW) dan Anti-Surface Warfare (ASuW), yang bisa dipersenjatai dengan: AS15TT anti-ship missiles, searchlight, Magnetic Anomaly Detector (MAD), dipping sonar, search radar, anti-tank missiles, gun pods, rockets, torpedo dan lain sebagainya. Panther juga dijual oleh Eurocopter ke Amerika Serikat untuk United States Coast Guard (USCG) sebagai HH-65 Dolphin.
Dari 11 helikopter yang dibeli TNI AL, tidak semuanya untuk AKS, namun ada juga versi AKPA dan versi Intai Taktis. Helikopter Panther AS-565 MBe yang dibeli seharga 23 USD/unit ini, sedang disiapkan oleh Skadron 400 TNI AU dan pihak Prancis, untuk mendapatkan spesifikasi yang terbaik, bagi Indonesia.
Untuk misi operasi Naval, AS565MB bisa dikatakan nyaris sempurna: senyap, biaya perawatan murah, multi purpose untuk: surveillance kapal permukaan, Anti-Surface unit Warfare (ASuW) dan Anti-Submarine Warfare (ASW).

Anti Kapal Permukaan
Dengan durasi terbang selama 4 jam, AS565MB masuk kedalam kelas helikopter medium. Helikopter ini dapat melakukan misi Over-the-Horizon Targeting (OTHT) dengan membawa rudal jarak jauh, sehingga efektif sebagai anti-surface warfare (ASUW).
image
Apalagi jika helikopter ini didukung oleh rudal generasi baru seperti MBDA’s Future Anti Ship Guided Weapon (FASGW), maka AS565MB dapat melakukan pencarian, memilah sasaran, serta membayangi atau menyerang sasaran dari balik lengkung bumi (OTHT) secara presisi, tanpa mampu dideteksi oleh kapal musuh. Kapal musuh akan terkendala oleh pola lengkung bumi (OTHT). Ketahanan terbang helikopter ini mencapai waktu 4 jam dengan kecepatan medium (14o km/jam) atau terbang dengan mode OTHT.

Anti Kapal Selam
Sonar yang dipasang di badan kapal laut memiliki kemampuan deteksi yang terbatas, akibat gangguan temperatur maupun tingkat keasinan permukaan air. Daya endusnya sekitar 18 km, untuk melacak kapal selam. Perbedaan permukaan air laut membuat posisi kapal berubah-ubah yang menghasilkan suara dan kecepatan kapal yang berubah-ubah, sehingga mempengaruhi daya endus sonar kapal.
image
Jangkauan yang terbatas ini bisa tangani lewat helikopter seperti AS565MB yang terbang jauh dan memiliki variable-depth and towed sonar arrays untuk menyelidiki setiap layer, sehingga daya deteksi bisa berkembang jauh mencapai 185 km dan mampu mendeteksi lokasi kapal selam musuh dengan presisi.
Helikopter ini tinggal menunggu agar kapal selam masuk jangkauan torpedo untuk melakukan penembakan “fire and forget”. Tentu ada pula kapal selam yang memiliki rudal anti udara, namun umumnya masih jarak pendek.
Dengan peralatan anti kapal selam yang dibawa oleh helikopter, kapal teman dapat melakukan pelacakan dengan radius yang lebih jauh terhadap kapal selam musuh, dibandingkan mendeteksi tanpa menggunakan helikopter.

Mengisi KRI Diponegoro Class.
AS 565MBe mampu melakukan misi Anti Kapal Selam dan Anti Kapal Permukaan selama 4 jam ketika terbang dengan kecepatan 140km/jam. Helikopter ini memiliki kecepatan maksimum +300 km/jam dengan daya jelajah 792 km dengan tanki standar.
Helikopter ASW Panther AS565 MB, akan ditempatkan di KRI Korvet Diponegoro Sigma Class, untuk memperkuat mata dan telinga kapal tempur tersebut.
AS-565 MBe
Sejumlah senjata akan melengkapi helikopter Panther TNI AL, antara lain Torpedo MU 90, Light Anti Ship Missile,maupun canon mounted 20 mm.
senjata-5
torpedo99
Jika TNI AL menggunakan Panther AS-565 MBe, maka Basarnas Indonesia juga menggunakan helikopter buatan Eurocopter ini, yakni versi Dauphin yang versi sipil.
Dari pembelian ini, Indonesia mendapatkan transfer of technology, yang akan diserap oleh PT Dirgantara Indonesia (PT DI). Selain TNI AL dan Basarnas, TNI AD juga membeli helikopter baru buatan Eurocopter yakni Fennec AS 550. Begitu pula dengan TNI AU yang membeli Eurocopter EC725 Cougar.
Semua angkatan membeli helikopter baru dari Eurocopter. Dengan demikian, perawatan helicopter tersebut semakin mudah dan bisa langsung ditangani di dalam negeri oleh PT DI yang memiliki kemampuan mumpuni, untuk urusan helikopter.
Kerjasama yang komprehensif antara TNI AD, TNI AL, TNI AU dan Basarnas dengan Eurocopter, merupakan peluang besar yang harus dimanfaatkan Indonesia.
Helikopter-helikopter itu dikerjakan secara Co-Production dengan PT DI. Diharapkan kedepannya PT DI mampu mewujudkan helikopter buatan dalam negeri, antara lain melanjutkan proyek helikopter Gandiwa atau jenis lainnya. (Sumber : Jalo dan Eurocopter).

JKGR. 

Membangun mimpi Propelan Indonesia


image
Bordeaux - PT Dahana menggandeng Indo Pacific Communication and Defence, anak perusahaan Artha Graha untuk membuat perusahaan patungan bagi industri propelan dengan dua perusahaan Prancis Roxel dan Eurinco. Perusahaan munisi yang akan dibangun di Subang itu akan menelan investasi US$ 1,8 miliar atau sekitar Rp 20 triliun. Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin meminta agar pembangunan industri propelan di Subang bisa direalisasikan sebelum bulan Oktober 2014.
Saat mengunjungi Industri Propelan Roxel di Bordeaux, Prancis, Jumat (20/6/2014), Sjafrie mengatakan perjanjian kerja sama pertahanan antara Pemerintah Indonesia dan Prancis harus direalisasikan ke dalam kegiatan nyata. Ia mengapresiasi langkah yang ditempuh PT Dahana dan Roxel untuk membuat perusahaan patungan.
“Saya sangat mengharapkan rencana pendirian perusahaan patungan antara Dahana dan Roxel di Subang bisa segera berjalan. Saya akan membantu agar produk industri propelan nanti tidak hanya dipakai oleh TNI, tetapi juga oleh negara-negara ASEAN,” kata Sjafrie.
Presiden Direktur Roxel, Jacques Desclaux mengaku kaget atas semangat yang diperlihatkan Wamenhan. Ia akan berusaha dengan PT Dahana untuk bisa segera melaksanakan rencana pembangunan industri propelan di Subang.
image
Investasi Rp 20 triliun
Direktur Utama PT Dahana F. Harry Sampurno melihat pembangunan industri propelan merupakan sesuatu yang harus dilakukan Indonesia. Masalahnya, sekarang ini hampir semua kebutuhan amunisi bagi TNI dipenuhi dari impor.
“Pengadaan amunisi melalui impor sangatlah riskan. Pertama, pasokan kebutuhannya tergantung kepada pasokan pihak produsen. Kedua, jumlah impor amunisi mudah diketahui negara lain dan itu berkaitan dengan kemampuan pertahanan negara kita,” kata Harry
Atas dasar itu PT Dahana mendukung langkah Kementerian Pertahanan untuk membangun industri propelan di dalam negeri. Kehadiran industri propelan akan memperkuat kemampuan pertahanan Indonesia.
Menurut Harry, PT Dahana sudah menyiapkan lahan bagi pembangunan industri propelan di Subang. Di sanalah diharapkan bisa dibangun industri propelan yang bukan hanya memasok kebutuhan TNI, tetapi juga untuk keperluan ekspor.
Harry merasa bersyukur bisa bekerja sama dengan Roxel dan juga Eurinco. Sebab, Roxel sudah mengembangkan munisi dan industri propelan sejak tahun 1660. Investasi yang diperlukan untuk membangun industri propelan, menurut Harry, diperkirakan mencapai US$ 1,8 miliar atau sekitar Rp 20 triliun. Indonesia akan memiliki 51 persen saham, sementara Roxel dan Eurinco sebanyak 49 persen.
Anggota Komite Kebijakan Industri Pertahanan Muhammad Said Didu mengatakan kerja sama yang dilakukan PT Dahana dan Roxel serta Eurinco sangat baik bagi Indonesia. Dengan model membentuk perusahaan patungan, maka Indonesia akan terlibat langsung dalam proses produksi, sehingga alih teknologi bisa terjadi.
“Pihak Roxel akan menyerahkan seluruh kepemilikan saham kepada Indonesia apabila putra-putra Indonesia bisa mengerjakannya sendiri. Divestasi itu diperkirakan akan terjadi setelah enam tahun perusahaan berjalan,” kata Said Didu.
Untuk memenuhi kebutuhan investasi, PT Dahana menggandeng anak perusahaan Kelompok Artha Graha untuk bergabung, Indo Pacific Communication and Defence. Apabila groundbreaking bisa dilaksanakan bulan Oktober, pembangunan industri propelan diharapkan bisa selesai dalam waktu 40 bulan.
Produk munisi yang dihasilkan akan mampu memenuhi kebutuhan peluru yang diperlukan TNI dan juga peluru kendali. Bahkan peluru kendali yang diproduksi bisa berbentuk peluru kendali dari darat ke darat, dari darat ke udara, dan dari udara ke udara.(finance.detik.com).

KAPAL SELAM DI INDONESIA DAN HUBUNGAN DENGAN PENYELAMAN TNI AL

 
kpm3804
Pada permulaan abad ke-20 tepatnya tahun 1916 pemerintah Belanda membuka kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk memperoleh pendidikan kelautan, tetapi kesempatan itu masih terbatas. Meskipun kesempatan untuk memperoleh pendidikan sudah terbuka, namun untuk menduduki jabatan penting di bidang pemerintahan khususnya bidang kelautan masih tertutup bagi bangsa Indonesia. Sampai berakhirnya penjajahan Belanda di Indonesia yang memperoleh pendidikan kelautan masih sangat sedikit jumlahnya.
Begitu juga kesempatan menempati kedudukan yang baik di bidang perhubungan laut seperti di Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM)  dan di Governement Marine (GS) boleh dikatakan tidak ada. Kebanyakan dari mereka yang telah memperoleh pendidikan hanya berpangkat bintara. Mereka ditugaskan sebagai crew di kapal-kapal perang atau di kapal Maskapai Pelayaran Belanda dan sebagai pegawai rendahan di kantor-kantor pemerintahan Belanda.
Pada sekitar tahun 1930 jumlah pelaut Indonesia sudah cukup banyak, diantaranya 4.800 orang di KPM dan 2.400 orang di Koninklijke Marine (KM). Mereka inilah yang nantinya merintis usaha pembangunan di bidang kelautan.
Sejalan dengan perkembangan pergerakan nasional Indonesia, pemuda pelaut yang bekerja di kapal-kapal Belanda berusaha membentuk berbagai organisasi kelautan antara lain, Inlandsche Marine Bond (IMB) dan Christtelijke Inlandsche Marine Bond (Ch IMB). Melalui organisasi ini para pelaut Indonesia berhasil membangkitkan kesadaran nasional serta mempertebal semangat kelautan.
Seperti telah dikemukakan, bahwa pada masa penjajahan Belanda pemuda Indonesia telah mendapat kesempatan mengikuti pendidikan kelautan yang masih terbatas. Pembatasan ini disebabkan Belanda khawatir apabila para pemuda yang mendapat pendidikan itu menjadi besar potensi militernya, sehingga dapat membahayakan kekuasaannya di Indonesia. Kesempatan pendidikan yang terbatas inilah yang dimanfaatkan oleh D. Ginagan putra kelahiran Sibolga, Sumatera Utara 23 April 1918 untuk belajar di negeri Belanda atas biaya sendiri.
Pada tahun 1937 D.Ginagan pergi ke Belanda untuk memperdalam pendidikan kepelautan, ia masuk Gemeentelijke Zeevaartschool di Den Helder mengambil jurusan pelaut selama 3 tahun. Setelah lulus kemudian memperdalam pengetahuannya pada jurusan mesin di Groningen selama 2 tahun. Setelah selesai pendidikan ini, D.Ginagan tinggal di negeri Belanda sampai 1946. Selama tinggal di negeri Belanda, D. Ginagan bekerja pada perusahaan perkapalan Belanda sebagai Stuurman, Pada tanggal 10 Mei 1940 sebelum Jerman menyerang Belanda, D.Ginagan merencanakan untuk berangkat ke Amerika Serikat dengan kapal Belanda. Namun karena Jerman menyerang Belanda rencana tersebut dibatalkan.
Selama tinggal di negeri Belanda D. Ginagan ikut aktif berjuang untuk kepentingan bangsa Indonesia baik sebelum diproklamirkan kemerdekaan Indonesia manpun sesudahnya. Karena aktifitasnya dalam membela kepentingan Indonesia, pada tahun 1946, D. Ginagan diusir dari negeri Belanda, kemudian ia kembali ke Indonesia pada bulan Desember 1946.
Melihat situasi perjuangan yang banyak memerlukan tenaga-tenaga terampil untuk membantu meningkatkan kemampuan tentara kita, setelah sampai di tanah air, D. Ginagan melaporkan ke Kementerian Pertahanan dan sesuai keahliannya ditempatkan di Kementerian Pertahanan bagian Angkatan Laut dengan status sebagai pegawai sipil. Selama menjadi pegawai sipil inilah timbul ide/gagasan untuk membuat kapal selam.

Proyek Kapal Selam Indonesia
Selama ini banyak yang mengira bahwa perkembangan kapal selam di TNI AL dimulai sejak tahun 1958, yaitu dengan adanya proyek pengambilan kapal di Polandia dalam rangka Trikora, di bawah pimpinan Laksamana O.B. Syaaf. Sebenarnya pemikiran atau gagasan untuk membuat kapal selam sendiri di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1946.
Banyak orang di kalangan TNI AL sendiri yang tidak tahu, siapa sebenarnya tokoh yang mempunyai gagasan untuk membuat kapal selam di Indonesia. Tokoh tersebut adalah warga TNI AL sendiri yang pada waktu itu masih berstatus pegawai sipil pada Kementerian Pertahanan Bagian Angkatan Laut yaitu, D. Ginagan. Inspirasi ide tersebut timbul setelah melihat pameran kapal selam yang dikendalikan oleh satu orang (Eenpersoons D/tikboof) di Groningen, Belanda pada tahun 1946. Kapal ini adalah kapal yang dipakai oleh Jerman pada waktu Perang Dunia II, dan pada waktu sedang dikembangkan oleh Jerman.
Untuk melaksanakan ide tersebut, D. Ginagan segera mengajukan permohonan kepada Kementerian Pertahanan, rupanya gagasan itu disetujui. Segera setelah ijin disetujui, ia menghubungi Penataran Angkatan Laut (PAL) sekarang PT PAL dan pabrik besi/Perbi di Yogyakarta. Dalam melaksanakan ide tersebut, D. Ginagan banyak dibantu oleh M. Susilo pegawai Perencana Perkapalan terutama dalam pembuatan gambar (design). Pembuatan kapal selam ini dimulai sekitar bulan Juli 1947 di Perbi Yogyakarta dengan anggaran ± 35.000 (ORI).
Uji coba kapal selam buatan D. Ginagan di Kalibayem
Uji coba kapal selam buatan D. Ginagan di Kalibayem

Data kapal selam yang tidak berperiskop ini adalah sebagai berikut: panjang 7 m, lebar 1 m dan DWT 5 ton. Kapal selam tersebut dilengkapi dengan sebuah torpedo kapal terbang yang banyak terdapat di lapangan terbang Maguwo Yogyakarta, peninggalan Jepang dengan panjang 5 meter. Alat penggerak kapal tersebut sebuah mesin mobil Fiat berkekuatan 4 PK, sedangkan sebagian badan kapal digunakan untuk tangki bensin.
Kapal selam ini adalah kapal selam mini yang dikemudikan oleh satu orang dan mampu meluncurkan torpedo dengan jarak tembak lebih kurang 1 – 1½ mil yang direncanakan untuk menerobos blokade laut Belanda yang pada waktu itu telah menutup sebagian besar perairan Indonesia. Setelah kapal tersebut selesai dibuat, lalu diadakan uji coba di Kalibayem, Yogyakarta yang dihadiri oleh masyarakat Yogyakarta dan pejabat-pejabat penting pemerintah seperti, Menteri Pertahanan dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Presiden Soekarno sendiri sempat rneninjau kapal selam tersebut sebelum diadakan uji coba di Kalibayem. Dalam percobaan tersebut yang berjalan selama 1 jam kapal dikendalikan sendiri oleh D. Ginagan dan dapat berlayar namun belum bisa menyelam, karena belum ada baterainya.
Keberhasilan uji coba ini membawa dampak yang sangat positif bagi perjuangan bangsa Indonesia, terutama dalam menumbuhkan rasa cinta terhadap tanah air dan rela berkorban demi untuk tetap tegaknya kemerdekaan Indonesia. Reaksi yang timbul dari pemenntah Belanda terhadap uji coba kapal selam ini sangat meremehkan sekali. Hal tersebut dapat diketahui dari siaran radio Belanda yang bernada penghinaan. “Wah, orang Indonesia di Kali membuat kapal selam dari drum”.
Sebetulnya ungkapan dari pihak Belanda terhadap keberhasilan uji coba ini merupakan bukti kekhawatiran pihak Belanda akan kemampuan bangsa Indonesia dalam mempersenjatai tentaranya. Bahkan dampaknya perjuangan melawan Belanda semakin berkobar di seluruh wilayah Indonesia.
Pada waktu agresi Belanda II kapal selam ini masih dalam tarap perbaikan, kemudian D. Ginagan mendapat tugas mendampingi KSAL ke Aceh. Ketika kembali dari Aceh dalam rangka persiapan pembentukan Staf Angkatan Laut RI di Aceh, kapal selam mini tersebut telah ditarik kembali ke pabrik besi Perbi. Namun karena pada waktu itu situasi perjuangan semakin mernanas akibat agresi Belanda II dan semuanya sibuk berjuang menjadikan perbaikan terhadap kapal selam ini terhenti. Sejak tahun 1948, D. Ginagan masuk Angkatan Laut Republik Indonesia dengan pangkat Kapten serta pensiun tanggal 31 Agustus 1961 dengan pangkat Letnan Kolonel.
Kapal selam buatan D. Ginagan yang ditemukan di Sentolo oleh Belanda dan kemudian disita, dibawa Belanda ke Semarang.
Kapal selam buatan D. Ginagan yang ditemukan di Sentolo oleh Belanda dan kemudian disita, dibawa Belanda ke Semarang.

Lalu bagaimana dengan Belanda alias Holand alias Kompeni?
Hindia Belanda semasa “diasuh” oleh Holand, merupakan termasuk negara koloni yang lamban memodernisasi alat utama sistem senjata yang dimilikinya, banyak peralatan yang digunakan merupakan produk kelas dua dari pabrikan Amerika maupun tinggalan perang dunia pertama. Namun pemerintah Kolonial Hindia-Belanda nampaknya boleh bangga karena mereka memiliki sejumlah kapal selam di masa itu yang sempat dioprasikan semasa pecah perang pasifik.
image001
Menurut catatan sejarah, kapal selam hindia belanda jumlahnya cukup banyak, diantaranya adalah K-VIII, K-IX, K-X, K-XVIII, K-XVII, K-XV, K-XIV, K- XIII dan K- XII, istilah “K” sendiri mengacu pada nama Kolonien. Kapal-kapal selam ini dulunya sebelum diberangkatkan ke Hindia Belanda sempat berpangkalan di galangan kapal Rotterdam, kemudian sejak 1934 beberapa kapal selam tersebut telah ditempatkan di Nieuwediep (Belanda).
Kapal selam ini dibuat di galangan kapal Rotterdamse Droogdok Maatschappij, Rotterdam, serta didesain oleh orang Belanda sendiri JJ van der Struyff, B.Sc.
Pada tanggal 7 pebruari 1934, kapal-kapal selam ini berangkat menuju Hindia belanda dengan mengambil rute melalui Lisbon, Cadiz, Palermo, Port Said, Suez, Aden dan Kolombo. Kemudian pada tangga 12 Apr 1934, Kapal selam tiba di Padang dan dilayarkan ke pangkalan angkatan laut di Surabaya.
SS Nieuw Holland di Tandjong Priok.
SS Nieuw Holland di Tandjong Priok.

Kiprah kapal selam ini mulai muncul kepermukaan setelah tanggal 19 Nov 1941, Submarine Divisi III yang terdiri dari K-XIV, K-XV dan K XVI berangkat dari Surabaya menuju Tarakan. Sejak tanggal 22 November, kapal-kapal ini sudah meronda disekitar perairan Tarakan.
Kekuatan kapal-kapal selam ini dibagi-bagi lagi, pada 8 Desember 1941 di malam hari, ada Perintah kepada Submarine Divisi III untuk membentuk garis piket Utara-Barat ‘Stroomenkaap’ dalam rangka untuk menutupi pintu masuk utara ke Selat Makassar. Dari posisi ini kapal-kapal selam itu juga bisa digunakan untuk pertahanan Tarakan (Kalimantan).
Mata-mata Jepang rupanya juga mengetahui, posisi pulau Tarakan hanya dipertahankan segelintir kapal selam yang selalu berpindah-pindah posisi, selain harus meronda di sekitar Manado, ada juga yang di tarik Ke Balikpapan, alhasil di hari pendaratan tentara Jepang kapal selam yang meronda di sekitar perairan Tarakan cuma sebiji belakangan diketahui kapal selam yang mempertahankan Tarakan adalah K-X yang bukan dari Divisi III, kapal selam ini dikomandoi oleh Letnan P. G. de Back, tiba di Tarakan pada 8 januarai 1942 setelah melakukan pelayaran dari Ambon.
Tugas utama K-X saat itu adalah mengawal kapal penabur ranjau Prins Van Orange, namun kalah jumlah dan moril dari tentara penyerang, kapal selam sekutu ini gagal mempertahankan pulau Tarakan.
Walau begitu bukan berarti kiprah kapal selam kolonial di perairan Tarakan tamat, setidaknya diketahui pada tahun 1943 dan 1944, tak lama setelah pendaratan Jepang di Tarakan, kapal selam Hindia Belanda ini sempat melancarkan operasi pendaratan mata-mata dengan kode sandi “Phiton” dan “Squirel” di sekitar perairan Sesayap dan Sesanip
Dinas penyelaman dan pengangkatan (Pasukan Selambair TNI AL)
Setelah menyerahkan kedaulatan belanda pada tahun 1950 TNI-AL pada waktu itu melanjutkan dinas Penyelaman Belanda dengan nama “Mijn Dyik En Bergingst“ kemudian oleh TNI-AL diberi nama “Dinas Penyelaman dan Pengangkatan“ (DPP). Dpp di bawah Komando Skoadron 10 (sepuluh) ranjau (Konjeran).
- Pada tahun 1952 pendidikan pertama dengan Instruktur dari misi Tentara Belanda dengan diikuti oleh perwira, bintara dan tamtama.
- Pada tahun 1959 dikirim beberapa perwira TNI-AL untuk pendidikan di US Diver.
- Pada tahun 1960 dikirim kembali para perwira, bintara dan tamtama mengikuti pendidikan penyelaman di polandia.
- Pada tahun 1962 ( 30 april 1962 ) mulai penggunaan instalasi penyelam ( Diving Center ) atau berdirinya “ Pusat Pendidikan Penyelaman Angkatan Laut “ ( PPAL ).
- Pada tahun 1963 ( 30 september 1963 ) diganti namanya menjadi “Sejusal “ ( Sekolah Juru Selam ) dibawah organisasi KPBA.
- Pada tahun 1965-1966 para perwira, bintara dan tamtama mengikuti kembali pendidikan penyelaman di USR.
- Pada tahun 1966 peresmian Diving Center dan penggantian nama KPBA menjadi “ KOPEBAL “ ( Komando Penyelaman Bawah Air ) dibawah organisasi Menpangal.
- Pada tahun 1971 “ KOPEBAL “ diganti menjadi “ Dislambair “ dibawah armada dan tidak lama kemudian menjadi “ Dislamatarma “ masih dibawah armada.
- Pada tahun 1985 diganti namanya menjadi “ Dislambair “ di bawah lantamal Surabaya.
- Pada tahun 2001 diganti namanya kembali menjadi “ KOPEBAL “ di bawah komando Armada Timur.
Perkembangan dari penyelaman kebanyakan disebabkan karena keperluan untuk melaksanakan tugas bawah air yang khusus. Dengan majunya penyelaman itu sendiri dan juga dengan terciptanya alat-alat baru dengan tehnik-tehnik khusus yang mutakhir semakin banyak tugas-tugas bawah air yang dapat dilaksanakan.
a. Penyelamatan kapal ( Ship Rescue Salvage ).
1). Penyelamatan unsur apung Armada RI.
2). Pengangkatan kapal tenggelam / kandas.
3). Pembersihan alur laut
b. Pertolongan kapal selam (submarine Rescue).
Membantu para awak kapal selam dalam hal kedaruratan dengan Free Ascent.
c. Pencarian dan penemuan (Search and Recovery).
1). Torpedo latihan.
2). Benda jatuh dilaut.
3). Orang jatuh dilaut.
d. Pemeriksaan dan perbaikan (Inspection And Repair ).
1). Pemeliharaan kapal bawah Waterline ( garis air )
2). Fasilitas pelabuhan.
e. Bangunan (Contruction).
1). Dermaga.
2). Jembatan.
3). Terowongan.
f. Penyelaman taktis (Terbatas penggunaannya pada penyelam tempur).

Selain tugas-tugas di atas, penyelaman bagi militer dapat dipergunakan antara lain untuk : pemotongan tali / rantai jangkar kapal lawan agar hanyut, membor atau melobangi lambung kapal lawan serta membuat rintangan-rintangan pelabuhan, sebagai usaha untuk dapat menghancurkan musuh secara meluas, di samping itu juga mendukung kegiatan operasi kapal perang dan fasilitas labuhnya menjadi tugas penyelam-penyelam militer. Dengan kemajuan teknologi penyelaman maka berhasil dibuat berbagai peralatan selam yang sesuai dengan tujuan operasi militer yang membuat para penyelam-penyelam militer (pasukan) dapat lebih efisien dan efektif dalam menjalankan operasinya.




by Pocong Syereem

JKGR.