Berikut ini adalah tulisan seorang wartawan yang meliput jajak pendapat di Dili, Timor-timur. Tulisan berikut ini sungguh luar biasa, namun sekaligus membuat dada sesak.
Ditulis
oleh Kafil Yamin, wartawan kantor berita The IPS Asia-Pacific, Bangkok,
yang dikirim ke Timor Timur pada tanggal 28 Agustus 1999 untuk meliput
‘Jajak Pendapat Timor-Timur’ yang diselenggarakan UNAMET [United Nations
Mission in East Timor], 30 Agustus 1999. Judul asli dari tulisan ini
adalah Menit-Menit yang Luput dari Catatan Sejarah Indonesia. Saya
sengaja ubah judulnya dengan maksud agar lebih jelas mengenai apa yang
terkandung dalam tulisan tersebut.
MENIT-MENIT YANG LUPUT DARI CATATAN SEJARAH INDONESIA
Oleh: Kafil Yamin
Jajak pendapat itu, yang tidak
lain dan tidak bukan adalah referendum, adalah buah dari berbagai
tekanan internasioal kepada Indonesia yang sudah timbul sejak keruntuhan
Uni Soviet tahun 1989. Belakangan tekanan itu makin menguat dan
menyusahkan Indonesia. Ketika krisis moneter menghantam negara-negara
Asia Tenggara selama tahun 1997-1999, Indonesia terkena. Guncangan
ekonomi sedemikian hebat; berimbas pada stabilitas politik; dan
terjadilah jajak pendapat itu.
Kebangkrutan ekonomi Indonesia
dimanfaatkan oleh pihak Barat, melalui IMF dan Bank Dunia, untuk menekan
Indonesia supaya melepas Timor Timur. IMF dan Bank Dunia bersedia
membantu Indonesia lewat paket yang disebut bailout, sebesar US$43
milyar, asal Indonesia melepas Timtim.
Apa artinya ini? Artinya
keputusan sudah dibuat sebelum jajak pendapat itu dilaksanakan. Artinya
bahwa jajak pendapat itu sekedar formalitas. Namun meski itu formalitas,
toh keadaan di kota Dili sejak menjelang pelaksanan jajak pendapat itu
sudah ramai nian. Panita jajak pendapat didominasi bule Australia dan
Portugis. Wartawan asing berdatangan. Para pegiat LSM pemantau jajak
pendapat, lokal dan asing, menyemarakkan pula – untuk sebuah sandiwara
besar. Hebat bukan?
Sekitar Jam 1 siang, tanggal 28 Agustus 1999,
saya mendarat di Dili. Matahari mengangkang di tengah langit. Begitu
menyimpan barang-barang di penginapan [kalau tidak salah, nama
penginapannya Dahlia, milik orang Makassar], saya keliling kota Dili.
Siapapun yang berada di sana ketika itu, akan berkesimpulan sama dengan
saya: kota Dili didominasi kaum pro-integrasi. Mencari orang Timtim yang
pro-kemerdekaan untuk saya wawancarai, tak semudah mencari orang yang
pro-integrasi.
Penasaran, saya pun keluyuran keluar kota Dili,
sampai ke Ainaro dan Liquica, sekitar 60 km dari Dili. Kesannya sama:
lebih banyak orang-orang pro-integrasi. Di banyak tempat, banyak para
pemuda-pemudi Timtim mengenakan kaos bertuliskan Mahidi [Mati-Hidup Demi
Integrasi], Gadapaksi [Garda Muda Penegak Integrasi], BMP [Besi Merah
Putih], Aitarak [Duri].
Setelah seharian berkeliling, saya
berkesimpulan Timor Timur akan tetap bersama Indonesia. Bukan hanya
dalam potensi suara, tapi dalam hal budaya, ekonomi, sosial, tidak mudah
membayangkan Timor Timur bisa benar-benar terpisah dari Indonesia.
Semua orang Timtim kebanyakan berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Para
penyedia barang-barang kebutuhan di pasar-pasar adalah orang Indonesia.
Banyak pemuda-pemudi Timtim yang belajar di sekolah dan universitas
Indonesia, hampir semuanya dibiayai pemerintah Indonesia. Guru-guru di
sekolah-sekolah Timtim pun kebanyakan orang Indonesia, demikian juga
para petugas kesehatan, dokter, mantri.
Selepas magrib, 28
Agustus 1999, setelah mandi dan makan, saya duduk di lobi penginapan,
minum kopi dan merokok. Tak lama kemudian, seorang lelaki berusia 50an,
tapi masih terlihat gagah, berambut gondrong, berbadan atletis, berjalan
ke arah tempat duduk saya; duduk dekat saya dan mengeluarkan rokok.
Rupanya ia pun hendak menikmati rokok dan kopi.
Mungkin karena dipersatukan oleh kedua barang beracun itu, kami cepat akrab. Dia menyapa duluan: “Dari mana?” sapanya.
“Dari Jakarta,” jawabku, sekalian menjelaskan bahwa saya wartawan, hendak meliput jajak pendapat.
Entah
kenapa, masing-masing kami cepat larut dalam obrolan. Dia tak ragu
mengungkapkan dirinya. Dia adalah mantan panglima pasukan pro-integrasi,
yang tak pernah surut semangatnya memerangi Fretilin [organisasi
pro-kemerdekaan], “karena bersama Portugis, mereka membantai keluarga
saya,” katanya. Suaranya dalam, dengan tekanan emosi yg terkendali.
Terkesan kuat dia lelaki matang yang telah banyak makan asam garam
kehidupan. Tebaran uban di rambut gondrongnya menguatkan kesan
kematangan itu.
“Panggil saja saya Laffae,” katanya.
“Itu nama Timor atau Portugis?” Saya penasaran.
“Timor. Itu julukan dari kawan maupun lawan. Artinya ‘buaya’,” jelasnya lagi.
Julukan
itu muncul karena sebagai komandan milisi, dia dan pasukannya sering
tak terdeteksi lawan. Setelah lawan merasa aman, tiba-tiba dia bisa
muncul di tengah pasukan lawannya dan melahap semua yang ada di situ.
Nah, menurut anak buah maupun musuhnya, keahlian seperti itu dimiliki
buaya.
Dia pun bercerita bahwa dia lebih banyak hidup di hutan,
tapi telah mendidik, melatih banyak orang dalam berpolitik dan
berorganisasi. “Banyak binaan saya yang sudah jadi pejabat,” katanya.
Dia pun menyebut sejumlah nama tokoh dan pejabat militer Indonesia yang
sering berhubungan dengannya.
Rupanya dia seorang tokoh. Memang,
dilihat dari tongkrongannya, tampak sekali dia seorang petempur senior.
Saya teringat tokoh pejuang Kuba, Che Guevara. Hanya saja ukuran
badannya lebih kecil.
“Kalau dengan Eurico Guterres? Sering berhubungan?” saya penasaran.
“Dia keponakan saya,” jawab Laffae. “Kalau ketemu, salam saja dari saya.”
Cukup
lama kami mengobrol. Dia menguasai betul sejarah dan politik Timtim dan
saya sangat menikmatinya. Obrolan usai karena kantuk kian menyerang.
Orang
ini menancapkan kesan kuat dalam diri saya. Sebagai wartawan, saya
telah bertemu, berbicara dengan banyak orang, dari pedagang kaki lima
sampai menteri, dari germo sampai kyai, kebanyakan sudah lupa. Tapi
orang ini, sampai sekarang, saya masih ingat jelas.
Sambil
berjalan menuju kamar, pikiran bertanya-tanya: kalau dia seorang tokoh,
kenapa saya tak pernah mendengar namanya dan melihatnya? Seperti saya
mengenal Eurico Gueterres, Taur Matan Ruak? Xanana Gusmao? Dan
lain-lain? Tapi sudahlah.
Pagi tanggal 29 Agustus 1999. Saya
keluar penginapan hendak memantau situasi. Hari itu saya harus kirim
laporan ke Bangkok. Namun sebelum keliling saya mencari rumah makan
untuk sarapan. Kebetulan lewat satu rumah makan yang cukup nyaman.
Segera saya masuk dan duduk. Eh, di meja sana saya melihat Laffae sedang
dikelilingi 4-5 orang, semuanya berseragam Pemda setempat. Saya tambah
yakin dia memang orang penting – tapi misterius.
Setelah bubar,
saya tanya Laffae siapa orang-orang itu. “Yang satu Bupati Los Palos,
yang satu Bupati Ainaro, yang dua lagi pejabat kejaksaan,” katanya.
“Mereka minta nasihat saya soal keadaan sekarang ini,” tambahnya.
Kalau
kita ketemu Laffae di jalan, kita akan melihatnya ‘bukan siapa-siapa’.
Pakaiannya sangat sederhana. Rambutnya terurai tak terurus. Dan kalau
kita belum ‘masuk’, dia nampak pendiam.
Saya lanjut keliling.
Kota Dili makin semarak oleh kesibukan orang-orang asing. Terlihat
polisi dan tentara UNAMET berjaga-jaga di setiap sudut kota. Saya pun
mulai sibuk, sedikitnya ada tiga konferensi pers di tempat yang berbeda.
Belum lagi kejadian-kejadian tertentu. Seorang teman wartawan dari
majalah Tempo, Prabandari, selalu memberi tahu saya peristiwa-peristiwa
yang terjadi.
Dari berbagai peristiwa itu, yang menonjol adalah
laporan dan kejadian tentang kecurangan panitia penyelenggara, yaitu
UNAMET. Yang paling banyak dikeluhkan adalah bahwa UNAMET hanya merekrut
orang-orang pro-kemerdekaan di kepanitiaan. Klaim ini terbukti. Saya
mengunjungi hampir semua TPS terdekat, tidak ada orang pro-integrasi
yang dilibatkan.
Yang bikin suasana panas di kota yang sudah
panas itu adalah sikap polisi-polisi UNAMET yang tidak mengizinkan
pemantau dan pengawas dari kaum pro-integrasi, bahkan untuk sekedar
mendekat. Paling dekat dari jarak 200 meter. Tapi pemantau-pemantau bule
bisa masuk ke sektratriat. Bahkan ikut mengetik!
Di sini saya
perlu mengungkapkan ukuran mental orang-orang LSM dari Indonesia, yang
kebanyakan mendukung kemerdekaan Timtim karena didanai asing. Mereka tak
berani mendekat ke TPS dan sekretariat, baru ditunjuk polisi UNAMET
saja langsung mundur. Tapi kepada pejabat-pejabat Indonesia mereka
sangat galak: menuding, menuduh, menghujat. Berani melawan polisi. Di
hadapan polisi bule mereka mendadak jadi inlander betulan.
Tambah
kisruh adalah banyak orang-orang pro-integrasi tak terdaftar sebagai
pemilih. Dari 4 konferensi pers, 3 di antaranya adalah tentang ungkapan
soal ini. Bahkan anak-anak Mahidi mengangkut segerombolan orang tua yang
ditolak mendaftar pemilih karena dikenal sebagai pendukung integrasi.
Saya
pun harus mengungkapkan ukuran mental wartawan-wartawan Indonesia di
sini. Siang menjelang sore, UNAMET menyelenggarakan konferensi pers di
Dili tentang rencana penyelenggaraan jajak pendapat besok. Saya tentu
hadir. Lebih banyak wartawan asing daripada wartawan Indonesia. Saya
yakin wartawan-wartawan Indonesia tahu kecurangan-kecurangan itu.
Saat
tanya jawab, tidak ada wartawan Indonesia mempertanyakan soal praktik
tidak fair itu. Bahkan sekedar bertanya pun tidak. Hanya saya yang
bertanya tentang itu. Jawabannya tidak jelas. Pertanyaan didominasi
wartawan-wartawan bule.
Tapi saya ingat betapa galaknya
wartawan-wartawan Indonesia kalau mewawancarai pejabat Indonesia terkait
dengan HAM atau praktik-praktik kecurangan. Hambatan bahasa tidak bisa
jadi alasan karena cukup banyak wartawan Indonesia yang bisa bahasa
Inggris. Saya kira sebab utamanya rendah diri, seperti sikap para
aktifis LSM lokal tadi.
Setelah konferensi pers usai, sekitar 2
jam saya habiskan untuk menulis laporan. Isi utamanya tentang
praktik-praktik kecurangan itu. Selain wawancara, saya juga
melengkapinya dengan pemantauan langsung.
Kira-kira 2 jam setelah saya kirim, editor di Bangkok menelepon. Saya masih ingat persis dialognya:
“Kafil, we can’t run the story,” katanya.
“What do you mean? You send me here. I do the job, and you don’t run the story?” saya berreaksi.
“We can’t say the UNAMET is cheating…” katanya.
“That’s what I saw. That’s the fact. You want me to lie?” saya agak emosi.
“Do they [pro-integrasi] say all this thing because they know they are going to loose?”
“Well, that’s your interpretation. I’ll make it simple. I wrote what I had to and it’s up to you,”
“I think we still can run the story but we should change it.”
“ I leave it to you,” saya menutup pembicaraan.
Saya merasa tak nyaman. Namun saya kemudian bisa maklum karena teringat bahwa IPS Asia-Pacific itu antara lain didanai PBB.
***
Kira-kira
jam 5:30 sore, 29 Agustus 199, saya tiba di penginapan. Lagi-lagi,
Laffae sedang dikerumuni tokoh-tokoh pro-integrasi Timtim. Terlihat
Armindo Soares, Basilio Araujo, Hermenio da Costa, Nemecio Lopes de
Carvalho, nampaknya mereka sedang membicarakan berbagai kecurangan
UNAMET.
Makin malam, makin banyak orang berdatangan. Orang-orang
tua, orang-orang muda, tampaknya dari tempat jauh di luar kota Dili.
Kelihatan sekali mereka baru menempuh perjalanan jauh.
Seorang
perempuan muda, cukup manis, tampaknya aktifis organisasi, terlihat
sibuk mengatur rombongan itu. Saya tanya dia siapa orang-orang ini.
“Mereka
saya bawa ke sini karena di desanya tidak terdaftar,” katanya. “Mereka
mau saya ajak ke sini. Bahkan mereka sendiri ingin. Agar bisa memilih di
sini. Tidak ada yang membiayai. Demi merah putih,” jawabnya
bersemangat.
Saya tergetar mendengar bagian kalimat itu: “…demi merah putih.”
Mereka semua ngobrol sampai larut. Saya tak tahan. Masuk kamar. Tidur. Besok jajak pendapat.
Pagi
30 Agustus 1999. Saya keliling Dili ke tempat-tempat pemungutan suara.
Di tiap TPS, para pemilih antri berjajar. Saya bisa berdiri dekat dengan
antrean-antrean itu. Para ‘pemantau’ tak berani mendekat karena diusir
polisi UNAMET.
Karena dekat, saya bisa melihat dan mendengar
bule-bule Australia yang sepertinya sedang mengatur barisan padahal
sedang kampanye kasar. Kebetulan mereka bisa bahasa Indonesia: “Ingat,
pilih kemerdekaan ya!” teriak seorang cewek bule kepada sekelompok orang
tua yang sedang antre. Bule-bule yang lain juga melakukan hal yang
sama.
Sejenak saya heran dengan kelakuan mereka. Yang sering
mengampanyekan kejujuran, hak menentukan nasib sendiri. Munafik, pikir
saya. Mereka cukup tak tahu malu.
Setelah memantau 4-5 TPS saya
segera mencari tempat untuk menulis. Saya harus kirim laporan. Setelah
mengirim laporan. Saya manfaat waktu untuk rileks, mencari tempat yang
nyaman, melonggarkan otot. Toh kerja hari itu sudah selesai.
Sampailah
saya di pantai agak ke Timur, di mana patung Maria berdiri menghadap
laut, seperti sedang mendaulat ombak samudra. Patung itu bediri di
puncak bukit. Sangat besar. Dikelilingi taman dan bangunan indah. Untuk
mencapai patung itu, anda akan melewati trap tembok yang cukup landai
dan lebar. Sangat nyaman untuk jalan berombongan sekali pun. Sepanjang
trap didindingi bukit yang dilapisi batu pualam. Di setiap kira jarak 10
meter, di dinding terpajang relief dari tembaga tentang Yesus, Bunda
Maria, murid-murid Yesus, dengan ukiran yang sangat bermutu tinggi.
Patung dan semua fasilitasnya ini dibangun pemerintah Indonesia. Pasti dengan biaya sangat mahal. Ya, itulah biaya politik.
Tak terasa hari mulai redup. Saya harus pulang. Besok pengumuman hasil jajak pendapat.
Selepas
magrib, 30 September 1999. Kembali saya menunaikan kewajiban yang
diperintahkan oleh kebiasaan buruk: merokok sambil minum kopi di lobi
penginapan. Kali ini, Laffae mendahului saya. Dia sudah duluan
mengepulkan baris demi baris asap dari hidung dan mulutnya. Kami ngobrol
lagi.
Tapi kali ini saya tidak leluasa. Karena banyak tamu yang
menemui Laffae, kebanyakan pentolan-pentolan milisi pro-integrasi.
Ditambah penginapan kian sesak. Beberapa pemantau nginap di situ. Ada
juga polisi UNAMET perwakilan dari Pakistan.
Ada seorang
perempuan keluar kamar, melihat dengan pandangan ‘meminta’ ke arah saya
dan Laffae. Kami tidak mengerti maksudnya. Baru tau setelah lelaki
pendampingnya bilang dia tak kuat asap rokok. Laffae lantas bilang ke
orang itu kenapa dia jadi pemantau kalau tak kuat asap rokok. Kami
berdua terus melanjutkan kewajiban dengan racun itu. Beberapa menit
kemudian cewek itu pingsan dan dibawa ke klinik terdekat.
Saya masuk kamar lebih cepat. Tidur.
Pagi,
4 September 1999. Pengumuman hasil jajak pendapat di hotel Turismo
Dili. Bagi saya, hasilnya sangat mengagetkan: 344.508 suara untuk
kemerdekaan, 94.388 untuk integrasi, atau 78,5persen berbanding
21,5persen.
Ketua panitia mengumumkan hasil ini dengan penuh
senyum, seakan baru dapat rezeki nomplok. Tak banyak tanya jawab setelah
itu. Saya pun segera berlari mencari tempat untuk menulis laporan.
Setelah selesai, saya balik ke penginapan.
Di lobi, Laffae sedang
menonton teve yang menyiarkan hasil jajak pendapat. Sendirian. Saat
saya mendekat, wajahnya berurai air mata. “Tidak mungkin. Ini tidak
mungkin. Mereka curang..” katanya tersedu. Dia merangkul saya. Lelaki
pejuang, tegar, matang ini mendadak luluh. Saya tak punya kata apapun
untuk menghiburnya. Lagi pula, mata saya saya malah berkaca-kaca,
terharu membayangkan apa yang dirasakan lelaki ini. Perjuangan keras
sepanjang hidupnya berakhir dengan kekalahan.
Saya hanya bisa
diam. Dan Laffae pun nampaknya tak mau kesedihannya terlihat orang lain.
Setelah beberapa jenak ia berhasil bersikap normal.
“Kota Dili ini akan kosong..” katanya. Pelan tapi dalam. “Setelah kosong, UNAMET mau apa.”
Telepon
berbunyi, dari Prabandari Tempo. Dia memberi tahu semua wartawan
Indonesia segera dievakuasi pakai pesawat militer Hercules, karena akan
ada penyisiran terhadap semua wartawan Indonesia. Saya diminta segera ke
bandara saat itu juga. Kalau tidak, militer tidak bertanggung jawab.
Semua wartawan Indonesia sudah berkumpul di bandara, tinggal saya. Hanya
butuh lima menit bagi saya untuk memutuskan tidak ikut. “Saya bertahan,
nDari. Tinggalkan saja saya.”
Laffae menguping pembicaraan. Dia
menimpali: “Kenapa wartawan kesini kalau ada kejadian malah lari?”
katanya. Saya kira lebih benar dia mikirnya.
Saya lantas keluar,
melakukan berbagai wawancara, menghadiri konferensi pers, kebanyakan
tentang kemarahan atas kecurangan UNAMET. “Anggota Mahidi saja ada 50
ribu; belum Gardapaksi, belum BMP, belum Halilintar, belum masyarakat
yang tak ikut organisasi,” kata Nemecio Lopez, komandan milisi Mahidi.
Kembali
ke penginapan sore, Laffae sedang menghadapi tamu 4-5 orang pentolan
pro-integrasi. Dia menengok ke arah saya: “Kafil! Mari sini,” mengajak
saya bergabung.
“Sebentar!” saya bersemangat. Saya tak boleh
lewatkan ini. Setelah menyimpan barang-barang di kamar, mandi kilat.
Saya bergabung. Di situ saya hanya mendengarkan. Ya, hanya mendengarkan.
“Paling-paling
kita bisa siapkan seribuan orang,” kata ketua Armindo Soares, saya
bertemu dengannya berkali-kali selama peliputan.
“Saya perlu lima ribu,” kata Laffae.
“Ya, lima ribu baru cukup untuk mengguncangkan kota Dili,” katanya, sambil menengok ke arah saya.
“Kita akan usahakan,” kata Armindo.
Saya
belum bisa menangkap jelas pembicaraan mereka ketika seorang kawan
memberitahu ada konferensi pers di kediaman Gubernur Abilio Soares. Saya
segera siap-siap berangkat ke sana. Sekitar jam 7 malam, saya sampai di
rumah Gubernur. Rupanya ada perjamuan. Cukup banyak tamu. Soares
berbicara kepada wartawan tentang penolakannya terhadap hasil jajak
pendapat karena berbagai kecurangan yang tidak bisa dimaklumi.
Setelah
ikut makan enak, saya pulang ke penginapan sekitar jam 8:30 malam.
Sudah rindu bersantai dengan Laffae sambil ditemani nikotin dan kafein.
Tapi Laffae tidak ada. Anehnya, penginapan jadi agak sepi. Para pemantau
sudah check-out, juga polisi-polisi UNAMET dari Pakistan itu. Tak
banyak yang bisa dilakukan kecuali tidur.
Namun saat rebah,
kantuk susah datang karena terdengar suara-suara tembakan. Mula-mula
terdengar jauh. Tapi makin lama makin terdengar lebih dekat dan
frekuensi tembakannya lebih sering. Mungkin karena perut kenyang dan
badan capek, saya tertidur juga.
Tanggal 5 September pagi,
sekitar jam 09:00, saya keluar penginapan. Kota Dili jauh lebi lengang.
Hanya terlihat kendaran-kendaraan UNAMET melintas di jalan. Tak ada lagi
kendaraan umum. Tapi saya harus keluar. Apa boleh buat – jalan kaki.
Makin jauh berjalan makin sepi, tapi tembakan nyaris terdengar dari
segala arah. Sesiang ini, Dili sudah mencekam.
Tidak ada warung
atau toko buka. Perut sudah menagih keras. Apa boleh buat saya berjalan
menuju hotel Turismo, hanya di hotel besar ada makanan. Tapi segera
setelah itu saya kembali ke penginapan. Tidak banyak yang bisa
dikerjakan hari itu.
Selepas magrib 5 Setember 1999. Saya
sendirian di penginapan. Lapar. Tidak ada makanan. Dili sudah seratus
persen mencekam. Bunyi tembakan tak henti-henti. Terdorong rasa lapar
yang sangat, saya keluar penginapan.
Selain mencekam. Gelap pula.
Hanya di tempat-tempat tertentu lampu menyala. Baru kira-kira 20 meter
berjalan, gelegar tembakan dari arah kanan. Berhenti. Jalan lagi.
Tembakan lagi dari arah kiri. Tiap berhenti ada tarikan dua arah dari
dalam diri: kembali atau terus. Entah kenapa, saya selalu memilih terus,
karena untuk balik sudah terlanjur jauh. Saya berjalan sendirian; dalam
gelap; ditaburi bunyi tembakan. Hati dipenuhi adonan tiga unsur: lapar,
takut, dan perjuangan menundukkan rasa takut. Lagi pula, saya tak tau
ke arah mana saya berjalan. Kepalang basah, pokoknya jalan terus.
Sekitar
jam 11 malam, tanpa disengaja, kaki sampai di pelabuhan Dili. Lumayan
terang oleh lampu pelabuhan. Segera rasa takut hilang karena di sana
banyak sekali orang. Mereka duduk, bergeletak di atas aspal atau tanah
pelabuhan. Rupanya, mereka hendak mengungsi via kapal laut.
Banyak
di antara mereka yang sedang makan nasi bungkus bersama. Dalam suasa
begini, malu dan segan saya buang ke tengah laut. Saya minta makan!
“Ikut makan ya?” kata saya kepada serombongan keluarga yang sedang makan
bersama. “Silahkan bang!.. silahkan!..” si bapak tampak senang. Tunggu
apa lagi, segera saya ambil nasinya, sambar ikannya. Cepat sekali saya
makan. Kenyang sudah, sehingga ada tenaga untuk kurang ajar lebih jauh:
sekalian minta rokok ke bapak itu. Dikasih juga.
Sekitar jam 3 malam saya berhasil kembali ke penginapan.
Pagi
menjelang siang, tanggal 6 September 1999. Saya hanya duduk di lobi
penginapan karena tidak ada kendaraan. Tidak ada warung dan toko yang
buka. Yang ada hanya tembakan tak henti-henti. Dili tak berpenghuni –
kecuali para petugas UNAMET. Nyaris semua penduduk Dili mengungsi,
sebagian via kapal, sebagian via darat ke Atambua. Orang-orang
pro-kemerdekaan berlarian diserang kaum pro-integrasi. Markas dan
sekretariat dibakar. Darah tumpah lagi entah untuk keberapa kalinya.
Sekarang,
saya jadi teringat kata-kata Laffae sehabis menyaksikan pengumuman
hasil jajak pedapat kemarin: “Dili ini akan kosong..”
Saya pun
teringat kata-kata dia: “Saya perlu lima ribu orang untuk mengguncang
kota Dili..” Ya, sekarang saya berkesimpulan ini aksi dia. Aksi pejuang
pro-integrasi yang merasa kehilangan masa depan. Ya, hanya saya yang
tahu siapa tokoh utama aksi bumi hangus ini, sementara teve-teve hanya
memberitakan penyerangan mililis pro-integrasi terhadap kaum
pro-kemerdekaan.
Tentu, orang-orang pro-integrasi pun
mengungsi. Laffae dan pasukannya ingin semua orang Timtim bernasib sama:
kalau ada satu pihak yang tak mendapat tempat di bumi Loro Sae, maka
semua orang timtim harus keluar dari sana. Itu pernah diucapkannya
kepada saya.
Inilah hasil langsung jajak pendapat yang dipaksakan
harus dimenangkan. Hukum perhubungan antar manusia saat itu sepasti
hukum kimia: tindakan lancung dan curang pasti berbuah bencana.
***
Saya
harus pulang, karena tidak banyak yang bisa dilihat dan ditemui. Untung
masih ada omprengan yang mau mengantara ke bandara. Sekitar jam 11 pagi
saya sampai di pelabuhan udara Komoro. Keadaan di bandara sedang
darurat. Semua orang panik. Semua orang ingin mendapat tiket dan tempat
duduk pada jam penerbangan yang sama. Karena hura-hara sudah mendekati
bandara. Lagi pula penerbangan jam itu adalah yang satu-satunya dan
terakhir.
Bule-bule yang biasanya tertib kini saling sikut,
saling dorong sampai ke depan komputer penjaga kounter. Ada bule yang
stres saking tegangnya sampai-sampai minta rokok kepada saya yg berdiri
di belakang tenang-tenang saja. Beginilah nikmatnya jadi orang beriman.
Banyak
yang tidak kebagian tiket. Entah kenapa saya lancar-lancar saja. Masuk
ke ruangan tunggu, di situ sudah ada Eurico Gutteres. Saya hampiri dia,
saya bilang saya banyak bicara dengan Laffae dan dia menyampaikan salam
untuknya. Eurico memandang saya agak lama, pasti karena saya menyebut
nama Laffae itu.
Sore, 7 Novembe3, 1999, saya mendarat di Jakarta.
Penduduk
Timtim mengungsi ke Atambua, NTT. Sungguh tidak mudah mereka mengungsi.
Polisi UNAMET berusaha mencegah setiap bentuk pengungsian ke luar Dili.
Namun hanya sedikit yang bisa mereka tahan di Dili.
Di kamp-kamp
pengungsian Atambua, keadaan sungguh memiriskan hati. Orang-orang tua
duduk mecakung; anak-anak muda gelisah ditelikung rasa takut; sebagian
digerayangi rasa marah dan dendam; anak-anak diliputi kecemasan. Mereka
adalah yang memilih hidup bersama Indonesia. Dan pilihan itu
mengharuskan mereka terpisah dari keluarga.
Pemerintah
negara yang mereka pilih sebagai tumpuan hidup, jauh dari menyantuni
mereka. Kaum milisi pro-integrasi dikejar-kejar tuntutan hukum atas
‘kejahatan terhadap kemanusiaan’, dan Indonesia, boro-boro membela
mereka, malah ikut mengejar-ngejar orang Timtim yang memilih merah putih
itu. Eurico Guterres dan Abilio Soares diadili dan dihukum di negara
yang dicintai dan dibelanya.
Jendral-jendral yang dulu menikmati
kekuasaan di Timtim, sekarang pada sembunyi. Tak ada yang punya cukup
nyali untuk bersikap tegas, misalnya: “Kami melindungi rakyat Timtim
yang memilih bergabung dengan Indonesia.” Padahal, mereka yang selalu
mengajarkan berkorban untuk negara; menjadi tumbal untuk kehormatan
pertiwi, dengan nyawa sekalipun.
Sementara itu, para pengungsi ditelantarkan. Tak ada solidaritas kebangsaan yang ditunjukkan pemerintah dan militer Indonesia.
Inilah
tragedi kemanusiaan. Melihat begini, jargon-jargon negara-negara Barat,
media asing, tentang ‘self determination’, tak lebih dari sekedar ironi
pahit. Sikap negara-negara Barat dan para aktifis kemanusiaan
internasional yang merasa memperjuangkan rakyat Timtim jadi terlihat
absurd. Sebab waktu telah membuktikan bahwa yang mereka perjuangkan tak
lebih tak kurang adalah sumberdaya alam Timtim, terutama minyak bumi,
yang kini mereka hisap habis-habisan.
Pernah Laffae
menelepon saya dari Jakarta, kira-kira 3 bulan setelah malapetaka itu.
Ketika itu saya tinggal di Bandung. Dia bilang ingin ketemu saya dan
akan datang ke Bandung. Saya sangat senang. Tapi dia tak pernah
datang..saya tidak tahu sebabnya. Mudah-mudahan dia baik-baik saja.
***
12
TAHUN BERALU SUDAH. APA KABAR BAILOUT IMF YANG 43 MILYAR DOLAR ITU?
SAMPAI DETIK INI, UANG ITU ENTAH DI MANA. ADA BEBERAPA PERCIK DICAIRKAN
TAHUN 1999-2000, TAK SAMPAI SEPEREMPATNYA. DAN TIDAK MENOLONG APA-APA.
YANG TERBUKTI BUKAN MENCAIRKAN DANA YANG DIJANJIKAN, TAPI MEMINTA
PEMERINTAH INDONESIA SUPAYA MENCABUT SUBSIDI BBM, SUBSIDI PANGAN,
SUBSIDI LISTRIK, YANG MEMBUAT RAKYAT INDONESIA TAMBAH MISKIN DAN
SENGSARA. ANEHNYA, SEMUA SARANNYA ITU DITURUT OLEH PEMERINTAH RENDAH
DIRI BIN INLANDER INI.
Yang paling dibutuhkan adalah
menutupi defisit anggaran. Untuk itulah dana pinjaman [bukan bantuan]
diperlukan. Namun IMF mengatasi defisit angaran dengan akal bulus:
mencabut semua subsidi untuk kebutuhan rakyat sehingga defisit
tertutupi, sehingga duit dia tetap utuh. Perkara rakyat ngamuk dan makin
sengsara, peduli amat.
Melengkapi akal bulusnya itu IMF
meminta pemerintah Indonesia menswastakan semua perusahaan negara,
seperti Bank Niaga, BCA, Telkom, Indosat.
Pernah IMF mengeluarkan
dana cadangan sebesar 9 milyar dolar. Tapi, seperti dikeluhkan Menteri
Ekonomi Kwik Kian Gie ketika itu, seperak pun dana itu tidak bisa
dipakai karena hanya berfungsi sebagai pengaman. Apa bedanya dengan dana
fiktif?
Lagi pula, kenapa ketika itu pemerintah Indonesia seperti tak punya cadangan otak, yang paling sederhana sekalipun.
KENAPA
MAU MELEPAS TIMTIM DENGAN IMBALAN UTANG? BUKANKAN SEMESTINYA
KOMPENSASI? ADAKAH DI DUNIA INI ORANG YANG HARTANYA DI BELI DENGAN
UTANG? NIH SAYA BAYAR BARANGMU. BARANGMU SAYA AMBIL, TAPI KAU HARUS
TETAP MENGEMBALIKAN UANG ITU. BUKANKAH INI SAMA PERSIS DENGAN MEMBERI
GRATIS? DAN DALAM KASUS INI, YANG DIKASIH ADALAH NEGARA? YA, INDONESIA
MEMBERI NEGARA KEPADA IMF SECARA CUMA-CUMA.
Kalau saya jadi
wakil pemerintah Indonesia waktu itu, saya akan menawarkan ‘deal’ yang
paling masuk akal: “Baik, Timor Timur kami lepas tanpa syarat. Ganti
saja dana yang sudah kami keluarkan untuk membangun Timtim selama 24
tahun.” Dengan demikian, tidak ada utang piutang.
SAMPAI HARI
INI INDONESIA MASIH MENYICIL UTANG KEPADA IMF, UNTUK SESUATU YANG TAK
PERNAH IA DAPATKAN. SAYA HARAP GENERASI MUDA INDONESIA TIDAK SEBODOH
PARA PEMIMPIN SEKARANG.