Menko Polhukam Luhut Panjaitan saat membuka Simposium di Arya Duta (foto :detak)
Pada dua bulan terakhir April dan awal Juni di Jakarta telah digelar dua simposium yang terkait dengan masalah komunis, HAM dan Pancasila. Dalam simposium pertama yang digelar oleh pemerintah (Menko Polhukam), penulis pernah mendapat penjelasan langsung dari Menko Polhukam, Jenderal (Purn) Luhut Binsar Panjaitan (LBP) pada saat pertemuan Akabri lichting 1970 di kantor Polhukam pada tanggal 9 Mei 2016. Penulis satu angkatan dengan LBP, Akabri 1970.
Saat itu LBP menyatakan bahwa simposium itu adalah idenya untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM di Indonesia, dimana menurutnya HAM internasional menyebutkan terdapat 450.000 korban dari pihak PKI yang dibunuh pada peristiwa 1965. Dalam simposium tersebut, Gubernur Lemhannas Letjen Purn Agus Widjoyo bertindak sebagai Ketua Panitia Pengarah Simposium yang dilaksanakan di Hotel Aryaduta dengan tema "Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan."
Acara yang dimulai pukul 08.30 WIB ini diselenggarakan oleh Menkopolhukam dan Watimpres. Acara tersebut juga dihadiri oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, kalangan akademisi, pegiat hak asasi manusia, mereka yang mengklaim sebagai korban pelanggaran HAM berat, Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965 (YPKP) yang sekaligus korban dari peristiwa itu, Bejo Untung, perwakilan partai politik, serta perwakilan dari lembaga-lembaga pemerintah.
Ilham Aidit, putra bungsu Ketua Komite Pusat PKI, DN Aidit, "Ini baru pintu pertama, karena menyelesaikan masalah HAM masa lalu, itu pekerjaan panjang," katanya.(Foto : BBC Indonesia).
Menurut informasi sumber lain, simposium tersebut ide dari FSAB (Forum Silaturahmi Anak Bangsa), yaitu kumpulan anak pemberontak (PKI) dan anak korban. FSAB kabarnya diasuh oleh Agus Widjojo. Ide simposium tersebut di fasilitasi LBP. Ternyata kegiatan tersebut ditunggangi oleh Ilham Aidit (Anak DN Aidit, anggota FSAB) setelah bertemu dengan Sidarto Danusubroto, Watimpres, mantan Ketua MPR dari PDIP. Seminggu setelah simposium, menurut informasi Ilham dikeluarkan dari FSAB.
Simposium kedua digelar di Balai Kartini, dengan Ketua pelaksana Letjen Purn Kiki Syahnakri, dimana penulis sempat hadir dalam dua hari pelaksanaan (tanggal 1 dan 2 Juni 2016). Tema yang diusung adalah "Mengamankan Pancasila dari Ancaman Kebangkitan PKI dan Ideologi lain." Simposium di bagi dalam dua sesi dengan topik ideologi komunis dalam perspektif agama dan ideologi komunis dalam perspektif NKRI.
Pak Try Soetrisno saat memberikan sambutan pembukaan simposium (foto :tempo)
Perbedaan dari dua simposium intinya pada masalah rekonsiliasi. Simposium Aryaduta yang dibicarakan perumusan rekonsiliasi, sementara simposium Balai Kartini dengan tegas menolak rekonsiliasi. Purnawirawan pembicara kunci (Jenderal Pur Try Sutrisno, Menhan Jenderal Purn Ryamizard Ryacudu) menegaskan adanya indikasi kebangkitan PKI serta implikasinya jika pemerintah meminta maaf kepada PKI.
Menhan menyatakan bahwa yang dibutuhkan adalah rekonsiliasi perselisihan antara Orde Lama, Orde Baru dan era Reformasi. Saat menyampaikan sambutan, Menhan menyarankan, "Bapak Presiden itu harus bijak dalam persoalan ini, lihat pihaknya siapa, baru dipertimbangkan benar tidaknya," katanya. Juga ditegaskannya tidak perlu bongkar-bongkar kuburan.
Pak Try Sutrisno beserta beberapa pembicara setelah membuka simposium “Mengamankan Pancasila dari Ancaman Kebangkitan PKI dan Ideologi Lain” di Balai Kartini, Jakarta, 1 Juni 2016. (Foto:historia)
Pada Simposium Balai Kartini terlihat demikian banyak purnawirawan dari tiga Angkatan, tokoh-tokoh politik seperti Wakil Ketua DPR Fadli Zon, Efendi Simbolon (PDIP), LSM dan Ormas yang berpartisipasi tercatat 37, tidak hanya sekedar silaturahmi, tetapi lebih kepada ajang pertemuan dengan dasar kebersamaan anti PKI yang masih sangat kuat. Selain Pak Try dan Menhan, juga memberikan presentasi Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantio, serta sesepuh TNI Bapak Sayidiman, tokoh NU Marsudi Zuhud, MUI, serta Ketua FPI Habib Rizieq, Mayjen Purn Kivlan Zein, serta beberapa tokoh lainnya.
Purnawirawan senior dan mantan pejabat TNI yang hadir diantaranya Jenderal Purn Widjojo Soejono, Ketua Pepabri Jenderal Pur Agum Gumelar, Ketua PPAD Letjen Suryadi, Mantan Kasau Marsekal Purn Imam Syufaat, Mantan Menkopolhukam Laksamana Pur Tedjo Edhy P, Mantan Kasal, Laksamana Pur Slamet Soebijanto serta sekitar 150 lebih purnawirawan Perwira Tinggi dan menengah TNI. Juga nampak hadir, beberapa perwira tinggi aktif dari Mabes TNI dan Kemhan RI.
Menhan Ryamizard Ryacudu saat memberikan sambutannya dalam Simposium Nasional Anti PKI di Balai Kartini, Jakarta (Foto : salam-online)
Dalam penutupan simposium di Balai Kartini, dibacakan rekomendasi oleh Indra Bambang Utoyo (FKPPI), yang intinya adalah pemerintah tidak mengungkit kasus masa lalu dan menolak usulan permintaan maaf kepada PKI. Juga panitia mendesak memasukan nilai-nilai Pancasila dalam kurikulum pendidikan. Menanggapi rekomendasi tersebut, Menko Polhukam menyatakan, akan membentuk tim untuk menyusun hasil rekomendasi dari dua simposium dalam menyikapi penyelesaian kasus HAM masa lalu. Menurutnya tidak masalah ada perbedaan dua simposium tersebut. Tim akan merumuskan dan melaporkan kepada presiden untuk mengambil sikap.
Analisis Kasus Dalam Perspektif Intelijen Komponen Polkam
Perspektif intelijen selalu memberikan saran kepada end user, berupa analisis intelijen yang merupakan hasil akhir dari beberapa informasi yang telah di olah, dikonfirmasikan dan dinilai baik sumber maupun isinya. Nah, dalam kaitan merebaknya isu komunis Indonesia dan PKI, mengapa kini menjadi sebuah isu nasional yang diperdebatkan dan bahkan menjurus kepada pertentangan dikalangan purnawirawan TNI? Ini sebuah pertanyaan yang sebaiknya kita renungkan. Purnawirawan memang bukan TNI lagi, tetapi LBP (Akabri 1970) selalu menyebut dirinya berjiwa tentara, setia , tidak pernah khianat, mantan Kopassus, itulah kebanggaan pribadinya sebagai mantan tentara. Sebuah branding yang memang demikian adanya. LBP menurut penulis lebih kental karakter militernya dibandingkan sebagai pemain politik. Ini titik rawannya dimana dia bisa tergulung oleh keculasan politik.
Gubernur Lemhannas, Agus Widjojo demikian semangat saat simposium di Arya Duta (foto:tempo)
Penulis melihat bahwa 'geger' soal PKI ini bermula karena diadakannya simposium di Aryaduta dengan penjuru Agus Widjoyo (Akabri 1970). Simposium tersebut mengakomodasi mantan-mantan anggota PKI dan keturunan serta simpatisannya, penggiat HAM, maka terbitlah keinginan rekonsiliasi, penyelidikan HAM korban 1965. Saat pertemuan perwakilan Akabri 1970 di Polhukam, LBP menyebut akan mencari apakah benar ada 450.000 korban anggota PKI yang dibunuh dan dikubur? Menurut penulis lantas kalau misalnya yang ketemu 22.000 (seperti yang dikatakannya lebih baik dibandingkan 450.000), terus mau diapakan dan bagaimana? Apakah HAM tetap mau menerima begitu saja? Jumlahnya banyak itu (sebanyak 22 batalyon).
Banyak yang sadar dan faham bahwa isu PKI dan komunisme itu sebuah isu sangat sensitif di Indonesia. Begitu jaringan tertutup simpatisan PKI merasa mendapat angin, makin marak kemunculan simbol-simbol palu arit dimana-mana. Jelas reaksi yang muncul akan berpuluh kali lebih besar berupa penolakan. Penulis mengkhawatirkan, dalam sambutannya kelompok muslim keras seperti FPI sudah menyatakan tidak hanya sekedar melarang tetapi akan menumpas. Artinya ini apa? Seperti yang dikatakan Menhan Ryamizard Ryacudu, ini kalau diteruskan akan berdarah-darah. Bahkan Kivlan Zein dalam pidatonya di muka seribuan lasykar FPI menyebutkan akan menyikat siapapun yang mendukung PKI, dan FPI mengamininya.
Kita tidak menyalahkan, LBP sebagai pejabat resmi pemerintah yang memiliki pemikiran untuk menyelesaikan masalah HAM khususnya dalam hal ini tragedi 1965. Barangkali ada saran masukan yang kuat (indikasi dari Watimpres?) atau tekanan soal HAM ke kementerian yang dipimpinnya, jelas ini sesuatu yang wajar. Seperti juga masalah HAM saat operasi Timor Timur, yang terus ditiupkan para penggiat HAM internasional, tetapi tidak pernah dibuat semacam simposium atau semacamnya untuk penyelesaian. Hingga kini juga adem ayem saja. Apakah masalah HAM ini kemudian menjadi panggung khusus? Menurut penulis, justru ada yang sengaja memasukkan LBP kedalam killing ground, dilibatkan dalam kegaduhan dengan tujuan tertentu. Dilain sisi, Agus Widjojo dikenal sebagai perwira pintar, putra Jenderal korban pembunuhan PKI yang banyak pengalaman. Agus jelas mendapat tugas dalam simposium dengan sudut pandangnya sendiri, dengan jabatan yang melekat sebagai Gubernur Lemhannas, banyak pihak yang menjadi heran. Akhirnya publik menilai bahwa Agus ini mendukung PKI, jelas repot bukan? Jenderal walaupun sudah pensiun tetap harus menjaga martabat dan ucapannya, sekali dia bicara maka dia akan berusaha mempertahankan dan mempertanggung jawabkan ucapannya.
Oleh karenanya Agus kini beresiko berhadapan dengan para senior dan juniornya di PPAD dalam perspektif yang berbeda. Menurut seniornya saat acara ILC, Hendropriyono (mantan Kepala BIN) mengatakan bahwa seseorang tidak hanya cukup pintar, tetapi harus melihat dan menyesuaikan situasi dan kondisi. Hendro menyarankan masalah ini dihentikan saja, sudah cukup dan berbahaya karena implikasinya akan luas. Masukan tokoh intelijen yang sebaiknya di perhatikan. Purnawirawan TNI itu jelas berpegang kepada Pancasila, UUD 1945, Sapta Marga dan Sumpah Prajurit. Oleh karenanya, apabila dia tidak berada di struktural, maka Pancasila adalah bagian dari keyakinannya dan akan dipertahankan. Nah, begitu dirasa dan diketahui bahwa PKI sebagai bahaya laten yang pernah memberontak mendapat angin dari pemerintah (apapun alasannya), maka gelombang penolakan dari para purnawirawan akan terus membesar dan pasti akan melibatkan kelompok-kelompok agama yang anti kepada PKI karena dinilai ber-ideologi komunis yang atheis. Dalam masalah keyakinan ideologi, banyak pihak yang akan bertindak keras apabila dinilai membahayakan Pancasila sebagai dasar negara.
Analisis Komprehensif Intelstrat
Dari perspektif intelijen yang lebih luas dari komponen lainnya, dalam melihat kasus kebangkitan PKI sebagai bahaya laten, penulis mencoba menganalisis lebih komprehensif dengan pisau bedah intelstrat. Dalam melihat kasus-kasus yang merebak di Indonesia, kita harus melihat dengan cakrawala pandang yang lebih luas. Dari sisi komponen ideologi, apakah komunis merupakan ancaman tunggal? Menurut Panglima TNI Gatot Nurmantyo, dalam presentasinya di Balai Kartini 2 Juni 2016, mengatakan ada ancaman lain yang harus juga diwaspadai yaitu Neo Kapitalisme dan Neo Liberalisme. Penulis teringat saat mengikuti pendidikan intelijen pada tahun 1978, Kepala Sekolah yang seorang Kolonel (Alm) mengatakan bahwa ancaman terhadap bangsa Indonesia dimasa depan adalah Komunisme dan Liberalisme. Dalam menguasai negara, menurut sang guru, perbedaannya kalau Liberalisme tidak perlu mempunyai partai, tetapi Komunisme pakemnya harus memiliki partai. Harus kita akui kini faham liberal sudah merasuk ke dalam sistem apapun di Indonesia, berupa penerapan demokrasi liberal dan penerapan HAM. Karena saat ini tidak ada partai komunis yang resmi, maka para elit parpol dan aparat keamanan dan intelijen sebaiknya waspada menelisik, apakah ada parpol baik lama maupun bentukan baru yang di infiltrasi kader-kader komunis. Cepat atau lambat parpol tersebut akan berubah dan dikuasai menjadi semacam PKI Gaya Baru. Inilah bahaya laten yang harus disadari.
Presiden
Jokowi dan Ketua Umum Golkar Setya Novanto (Foto; boel.asia)
Terkait penilaian komponen intelstrat politik, Presiden Jokowi kini mampu menarik Partai Golkar menjadi pendukungnya. Dengan demikian pada pemilu 2019, PDIP tidak akan bisa semaunya mendiktenya. Golkar yang berkoalisi dengan pemerintah secara perlahan akan semakin kuat, kita lihat saja nanti. Siapa tokoh Golkar, pemainnya hanya dua Setya Novanto (SN) dan LBP. Saat Musyawarah Nasional, LBP berada di tengah-tengah pengurus dan mengendalikan para Ketua-Ketua Daerah. SN yang dikenal mempunyai cacat yang disebut persekongkolan jahat soal Freeport, akhirnya sukses menjadi Ketua Umum Golkar dengan dukungan LBP. Dalam sebuah dinamika politik, yang penulis lihat adalah kepentingan Jokowi menarik Golkar kepihaknya. SN menjadi Ketua yang digadang LBP ke Jokowi, akan mudah di tekan apabila berbuat macam-macam. Catatannya di Kejagung masih belum kering tintanya. Lantas bagaimana LBP? Mungkin ada yang dilupakannya? Yang perlu diingat, senjata mematikan presiden adalah hak "prerogatif," setiap saat bisa mengganti pembantunya di kabinet. Menurut penulis, justru dengan kegaduhan soal PKI dan benturan dengan seniornya di Angkatan Darat (PPAD), ini akan menurunkan posisi tawarnya. Jokowi butuh Golkar, bukan orang perorang, dan etape konsolidasi Golkar sudah selesai dalam genggaman.
Presiden
Jokowi dan Menko Polhukam, akan terus bersama? (foto: politik.news.viva)
Presiden jelas memiliki catatan lengkap soal Free Port, Panama Papers, dan kini jelas ada masukan soal kegaduhan simposium. Di sisi lain ada Menhan dengan dukungan para sesepuh TNI AD dan PPAD yang berada di garis yang berbeda pandangan dengan LBP. Kasus Andi Wijayanto dan Tedjo Edhie adalah contoh kasus, betapa mudahnya seseorang diturunkan dari jabatannya (cukup setahun saja). Demikian juga dengan LBP demikian ringan dan mudah digeser dari jabatan Kastaf Kepresidenan yang powerfull ke posisi kementerian kordinator (adhock). Jadi yang perlu diingat, jabatan itu seperti baju, mudah dipakaikan dan juga mudah dilepaskan. Presiden Jokowi rasanya juga akan berhitung apabila harus berseberangan dengan mayoritas para purnawirawan TNI. Oleh karena itu posisi LBP ataupun Agus Widjoyo nampaknya bisa terancam setiap saat. Apabila dilihat dari Intelstrat Komponen Ekonomi, maka presiden Jokowi menurut penulis menjadi target yang diperhitungkan lawan dan akan mereka turunkan. Mengapa? Pertama dalam kasus Laut China Selatan (LCS), sikap Indonesia dinilai mengambang dan justru lebih berpihak ke China. Amerika Serikat sejak tahun 2009 menegaskan selain Australia, Jepang, Filipina, Korea Selatan dan Singapura, dikatakan oleh Presiden Obama, bahwa Malaysia dan Indonesia diharapkan menjadi mitra.
Posisi
Pulau Natuna Indonesia serta garis klaim China dan beberapa negara (Foto :
UNCLOS)
Dalam perkembangan politik dan ekonomi, Malaysia lebih memilih China sebagai partner utama perdagangan dan kini Indonesia nampaknya juga demikian. Kini kedua negara mulai disisihkan dan mungkin akan dilupakan oleh AS (potensi menjadi musuh). AS kini mulai menggandeng Vietnam yang selama ini di blokade soal senjata. Presiden Obama beberapa waktu lalu berkunjung dan akan mempersenjatai Vietnam dengan membuka akses pembelian senjata ke AS. Negosiasi AS dengan Vietnam sebagai mitra dalam menghadapi China nampaknya sudah mencapai titik temu. Vietnam dinilai AS lebih tegas posisi politiknya dibandingkan dengan Malaysia dan Indonesia. Posisi geopolitik ini sebaiknya harus dilihat inner circle sebagai sebuah ancaman kelangsungan Jokowi sebagai presiden. Malaysia menurut penulis telah beberapa kali diserang dengan proxy war (kasus MH370 dan MH17), serta upaya menurunkan PM Najib, diantaranya dengan membuka dosa korupsi dan aibnya. Pertanyaannya pola apa yang akan dipakai menyerang Jokowi? Sisi lain yang harus diwaspadai pemerintah Indonesia adalah masalah tax amnesty. Kini mulai muncul penolakan RUU Tax Amnesty baik di DPR maupun parpol. Upaya serta konsep dahsyat presiden ini diperkirakan akan menarik uang Indonesia yang tercecer dan disimpan di luar negeri. Tidak terbayangkan berapa uang orang Indonesia yang mengendap di negara tetangga misalnya. Apabila uang tersebut pulang kandang, maka negara-negara tersebut akan bergetar dan beberapa bank diperkirakan bisa saja colaps. Ini jelas tidak diinginkan. Penulis memonitor adanya informasi upaya gratifikasi sangat tertutup dari luar negeri untuk menghalangi pengesahan RUU Tax Amnesty. Bila plan A tersebut gagal akan dilanjutkan kepada serangan nilai kurs rupiah, dan plan C adalah penurunan Jokowi (info yang perlu pendalaman).
Oleh karenanya, penulis memperkirakan bahwa isu diangkatnya masalah kebangkitan PKI juga merupakan bagian dari proxy, dimana mereka yang terlibat umumnya tidak sadar adanya operasi conditioning. Tujuan dari isu ini adalah untuk memecah belah dan mengadu domba, menimbulkan perang saudara. Konflik sudah mulai memercik baik dikalangan grass root maupun midle class, yang berbahaya terjadi dikalangan purnawirawan yang pengaruhnya masih besar. Ingat perang saudara di Ambon dan Poso, baru dapat diselesaikan berapa tahun kemudian. Oleh karena itu, marilah kita bersama-sama kembali merenungkan dan memikirkannya. Kesimpulan penulis, munculnya kasus-kasus tersebut merupakan bagian dengan target akhir yang besar, yaitu menurunkan presiden. Presiden Jokowi yang demikian terkenal justru dinilai sebagai ancaman serius oleh beberapa negara. Secara konstitusi jelas sulit menurunkan Jokowi yang karena belum ada dosa politiknya. Oleh karenanya menurunkan presiden yang populis ini oleh penulis terbaca konsepnya mengarah penciptakan chaos, perang saudara, melemahkan perekonomian dan menghancurkan citra dan kredibilitas. Itulah target utamanya, yang lainnya adalah sasaran antara dalam rangka mematangkan kondisi. Kira-kira begitulah akhir analisis.