Maaf ini tulisan lama Pak Chappy, banyak yang teriak-teriak soal PT DI. Mari kita kenali dulu sejarahnya :
Bila browsing di internet dengan mengklik PTDI, tampilan yang muncul
adalah PTDI,Professional Truck Driver Institute. Padahal, yang ingin
dibahas bersama di sini adalah tentang PT Dirgantara Indonesia.
Membingungkan? Sekarang mari kita berkunjung ke website-nya PT
Dirgantara Indonesia yang ternyata tertera di sana,mungkin untuk
konsumsi global, PTDI dipromosikan dengan nama Indonesian Aerospace Inc.
Tercatat didirikan pada 26 April 1976 bernama IPTN dengan N untuk
Nurtanio dan pada 11 Oktober 1985 diubah dengan IPTN yang N-nya sudah
menjadi Nusantara,serta pada 24 Agustus 2000 berubah lagi menjadi
PT Dirgantara Indonesia / Indonesian Aerospace Inc.
Inilah pabrik pesawat terbang termegah di belahan bumi selatan yang
sangat sibuk dengan kegiatan utamanya, yaitu gonta- ganti nama dan tenar
dengan tagline-nya Tetuko! (sing teko ora tuku-tuku dan sing tuku ora
teko-teko) Sementara itu, dalam catatan sejarah yang agak sulit untuk
dihapus begitu saja, pada 1940-an Wiweko Supono, Nurtanio
Pringgoadisurjo,dan Yum Soemarsono bersama dengan Tossi, Ahmad,dan
kawan-kawan sudah merintis upaya pembuatan pesawat terbang walau
terbatas pada jenis pesawat tidak bermotor.
Berikutnya kemudian dikenal pula rintisan pesawat bermotor yang
menggunakan mesin Harley Davidson dengan kode WEL-X/RI–X yang merupakan
ujud dari pesawat bermesin pertama karya anak bangsa. Tahun 1954,
Nurtanio membuat rancangan pesawat terbang ”Si-Kumbang”. Tidak berhenti
di situ,pada 1957–1958 Nurtanio mengembangkan desain pesawat lainnya
dengan nama “Belalang” dan “Si Kunang”.
Semua dikerjakan sendiri tanpa adanya kucuran dana dari pemerintah, proyek yang hanya berlandaskan idealisme dan jiwa patriot murni dari sang prajurit udara.
Kerja yang jauh dari kegiatan seremonial apalagi dengan hal yang glamor
serta luxurious sifatnya. Pada tahun 1976, seluruh kegiatan yang
patriotik itu distop dan hanggar eksperimen serta kawasan di sekitarnya
diambil alih untuk didirikan IPTN yang megah dan meriah.
Secara bertahap, para personel Angkatan Udara dieliminasi secara
sistematis, dan puncaknya pada 1985 nama pahlawan kebanggaan Angkatan
Udara yang sangat dihormati, Nurtanio, dicoret dan diganti dengan
Nusantara. Berlanjut kemudian pada tahun 2000 menjadi PTDI.
Harapan?
Kini PTDI, di tengah kelesuan dari production line-nya, bertiup angin
segar dari pemerintah. Dengan menyandang bendera industri strategis
pertahanan, kelihatannya ada keinginan untuk menghidupkan ulang PTDI
sebagai pabrik pesawat terbang. Proyek C-295 dan N-219 konon sudah
nongkrong di depan pintu untuk digarap.
Kabar ini tiba-tiba saja muncul sebagai pembawa “angin surga”,
pengembangan industri pertahanan dalam negeri yang akan segera tampil ke
pentas global. Harus diingatkan selalu bahwa keinginan yang patut
dihargai sebagai langkah berani untuk kembali ke jalan yang benar ini,
janganlah sampai menjadi tidak lebih dari pepesan kosong belaka.
Sekat feodalistis telah menjadi barrier yang sangat ampuh dalam
menghambat aliran informasi ke meja “Big Boss”. Ide-ide cemerlang
hendaknya jangan dibiarkan melayang di atas awan. Ide-ide dengan
proyek-proyek besar seyogianya dibawa untuk “down to earth” terlebih
dahulu, diajak untuk melihat realita yang ada di PTDI. Realita yang
selalu saja sulit untuk bisa sampai di meja kerja sang pemimpin.
Dari kenyataan yang ada,PTDI masih berhadapan dengan begitu banyak PR
yang harus diselesaikan dulu sebelum dapat diajak untuk mengerjakan
proyek-proyek sekelas C-295 dan atau N-219. PR yang pertama adalah bahwa
PTDI masih menghadapi masalah serius tentang keuangan bernilai lebih
dari satu triliun, berkait dengan manajemen dana pensiun dari para
pegawainya.
Di samping itu, PTDI juga berhadapan dengan masalah kaderisasi SDM
terutama menyangkut produktivitas dan kapabilitas perancangan yang
membutuhkan waktu lama untuk dapat memenuhinya. Sebagian besar telah
mencapai usia 50 tahun. Hal sangat penting lainnya adalah menyamakan
persepsi tentang pabrik atau industri pesawat terbang yang tidak bisa
dan atau tidak mungkin berdiri sendiri.
Almarhum Dr Said Jenie mengatakan tentang mutlaknya dibangun tiga
pilar industri penerbangan nasional di bawah asuhan pemerintah, sebagai
“konduktornya”. Ketiga pilar itu adalah Angkatan Udara, Pabrik Pesawat, dan Perguruan Tinggi. Bila tidak ada long term strategic planning yang mapan serta dukungan dana yang konsisten, akan sia-sialah apa pun yang dikerjakan.
Harus ada proyek-proyek pesawat militer jangka panjang yang dapat
dikonversikan juga sebagai pesawat angkutan udara sipil yang menjadi
program terpadu,lengkap dengan ditopang oleh kegiatan penelitian dan
pengembangan. Karena pada hakikatnya, untuk bersaing di panggung global
tanpa pijakan pasar di dalam negeri, pasti akan langsung menjadi pungguk
yang merindukan sang bulan.
Pola Kerja Sama
Khusus untuk proyek C-295 (sebenarnya adalah merupakan pesaing dari
N-250) telah mengembalikan posisi PTDI persis seperti pada waktu
mengerjakan C-212. Bila tidak ada hero dari pihak ketiga, “local
content” 50% tidak akan pernah bisa tercapai. Lebih-lebih (mungkin saja
terjadi) data engineering-nya tidak diberikan.
Kalau saja hal ini dipaksakan juga, peran PTDI nantinya tidak akan
optimal. Memang ada pilihan lain yang lebih realistis mungkin, yaitu
PTDI beralih untuk lebih banyak berkonsentrasi pada industri komponen,
seperti yang selama ini dilakukan dalam konteks survival.
Namun, harus digarisbawahi bahwa added value yang akan diperoleh
sangat rendah, karena akan berperan sebagai yang sering diselorohkan
sebagai “tukang obras”. Di sini hanya dibutuhkan tenaga STM dan
politeknik saja. Tidak dibutuhkan para sarjana. Nah, itulah semua apa
adanya di PTDI, sebuah pabrik pesawat yang tengah kehilangan nyawanya,
kehilangan spiritnya sebagai akibat dari antara lain,melenyapkan nama
besar
Nurtanio sebagai perintis industri penerbangan di Indonesia. Sebuah
ironi dari balada industri pesawat terbang yang didirikan dengan
pendekatan kekuasaan belaka. Menggunakan kawasan orang lain dengan
sekaligus menghapus sejarah dan nama besar pemiliknya.
Masih besar harapan untuk bangkit kembali, dengan syarat
menyelesaikan terlebih dahulu beberapa PR yang kini tengah dihadapi
sebelum bergulir dengan proyek-proyek besar seperti C-295 dan atau
N-219.
Mudah-mudahan, kebanggaan Indonesia tidak berhenti hanya kepada para
SDM-nya yang kini berkiprah di hampir seluruh pabrik pesawat di muka
bumi ini,Insya Allah.
Jakarta 18 Nopember 2011
CHAPPY HAKIM Komisaris Utama PTDI 2002–2005,
Chairman CSE Aviation