Akibat perbedaan pemikiran
yang frontal antara Perdana Menteri Soetan Sjahrir (EYD: Sutan Syahrir)
dengan kelompok oposisi “Persatuan Perjuangan” (PP) pimpinan Tan Malaka,
terjadi insiden penculikan hingga upaya kudeta Kabinet Sjahrir II pada
medio 1946.
Kronologinya berawal dari penangkapan Tan Malaka dan para
pengikutnya, seperti Achmad Soebardjo dan Sukarni pada 23 Maret ‘46,
dengan tuduhan merencanakan penculikan Sjahrir. Hal itu benar-benar
terjadi empat hari kemudian.
Penculikan itu bahkan lebih dulu dilengkapi surat penangkapan dari
Jenderal Soedarsono, Komandan Batalyon 63 dan juga “di-acc” Panglima
Divisi IV, Kolonel Sutarto. Berbekal surat itulah A.K. Yusuf tak menemui
halangan berarti dari Kepolisian Solo.
Kepala Polisi, Domopranoto sedianya ingin mengklarifikasi pada
Jenderal Soedirman dan Presiden Soekarno. Tapi kelompok Jenderal Sutarto
bersikeras bahwa surat ini sudah resmi tanpa harus diklarifikasi.
Dengan begitu, terbuka lebar jalan A.K. Yusuf dan Sutarto menculik
Sjahrir di Hotel Merdeka, sekira pukul 01.00.
Anggota polisi pengawal Sjahrir pun bergeming ketika dibawa komplotan
PP itu setelah melihat surat printah penangkapan. Seperti dalam buku
“Peristiwa 3 Juli 1946: menguak kudeta pertama dalam sejarah Indonesia”,
Penculikan terjadi tanpa kekerasan. Sjahrir juga dibawa dengan sopan,
tidak selayaknya orang yang tengah diculik.
“Saudara mesti saya tangkap,” tutur A.K. Yusuf sembari menyodorkan
surat penangkapan. Lantas Sjahrir menjawab, “Bagaimana ini, saya masih
dibutuhkan oleh rakyat,”. Meski begitu, Sjahrir pun akhirnya menuruti
Yusuf.
Sementara itu ada dua anggota kabinet Sjahrir, yakni Dr. Sudarsono
dan Subadio, berhasil lolos dengan menyeberangi sungai kecil di belakang
hotel. Sementara itu, Sjahrir dibawa ke Kasunanan Paras, Boyolali, di
mana Sjahrir dijaga Komandan Batalyon Paras, Mayor Soekarto.
Soal keterlibatan Tan Malaka sendiri dalam penculikan ini sedianya
masih jadi perdebatan. Pada 28 Juni, Presiden Soekarno mengeluarkan
Maklumat No.1 tahun 1946, untuk sementara mengambil kekuasaan penuh dan
menggulirkan sistem presidensiil.
“Berhubung dengan kejadian-kejadian dalam negeri yang membahayakan
keselamatan Negara dan perjuangan kemerdekaan kita, maka kami Presiden
Republik Indonesia dengan persetujuan Kabinet dalam sidangnya pada
tanggal 28 Juni 1946 mengambil kekuasaan pemerintah sepenuhnya untuk
sementara waktu sampai keadaan biasa yang memungkinkan kabinet dan
lain-lain badan resmi bekerja sebagaimana mestinya” bunyi isi maklumat
Soekarno.
Selang kemudian pada 3 Juli ’46, Mayjen R.P. Sudarsono yang merupakan
dalang penculikan yang sepaham dengan PP, menghadap presiden untuk
meminta tanda tangan atas penyodoran maklumat yang meminta Presiden
memberhentikan Kabinet Sjahrir II, Presiden menyerahkan kewenangan
sosial, politik dan ekonomi pada Dean Pimpinan Politik.
Dua isi maklumat lainnya yakni meminta presiden mengangkat 10 anggota
Dewan Pimpinan Politik yang diketuai Tan Malaka bersama Mohammad Yamin,
Achmad Soebardjo, Buntaran Martoatmodjo, Sundoro Budhyarto, Sukarni,
Chaerul Saleh, Sudiro, dan Iwa Kusuma Sumantri. Terakhir, mereka meminta
presiden mengangkat 13 menteri negara yang dari nama-nama dalam
pencantuman maklumat.
Sayangnya maklumat itu ditolak mentah-mentah. Bahkan, Soekarno
langsung memerintahkan penangkapan pada para komplotan “Kudeta 3 Juli
‘46” yang juga jadi kup pertama dalam sejarah Indonesia itu dan diajukan
ke Mahkamah Tentara Agung. Sementara itu pada, Sjahrir akhirnya
dibebaskan dan Tan Malaka Cs masuk jeruji besi di Penjara Wirogunan,
Yogyakarta. (Okezone)