Tindakan pemerintah Indonesia dengan memanggil pulang
duta besar dan menghentikan beberapa kerja sama militer dengan Australia
sebagai respons atas penyadapan yang dilakukan intelijen "negeri
kanguru" terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dinilai tepat.
"Sikap pemerintah Indonesia sudah tepat karena secara diplomatik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghendaki hubungan baik dan tidak saling mencurigai," kata pengamat politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Bambang Cipto di Yogyakarta, Sabtu.
Menurut dia, tindakan pemerintah Indonesia merupakan sebuah bentuk penyesalan atas tindakan penyadapan yang dilakukan Australia dan bukan untuk memusuhi. Indonesia tidak mengusir duta besar Australia.
"Kerja sama yang dihentikan Indonesia secara sepihak membuat pemerintah Australia secara resmi mengungkapkan penyesalan itu merupakan bentuk perasaan takut mereka kepada Indonesia," kata Rektor UMY itu.
Ia mengatakan, Indonesia merupakan negara yang penting bagi Australia. Hubungan kedua negara yang tidak sekali mengalami ketegangan diplomatik tersebut merupakan suatu dinamika hubungan antarnegara yang bertetangga.
"Australia dan Indonesia tidak bisa lepas dari fakta bahwa kedua negara bertetangga dan akan masih ada hubungan yang panjang ke depan. Hal itu semacam bumbu dalam hubungan diplomatik, tidak mungkin hubungan mulus-mulus saja," katanya.
Menurut dia, Indonesia tidak memiliki permusuhan yang fundamental dengan Australia sehingga hubungan kedua negara tidak akan putus begitu saja.
"Kasus penyadapan tersebut tidak akan mengganggu para pelajar Indonesia yang sedang belajar di negeri kanguru," katanya.
Adanya wacana untuk mendatangkan mantan kontraktor untuk National Security Agency (NSA) yang menginformasikan penyadapan Australia, Edward Snowden, ia mengatakan hal itu tidak perlu dilakukan karena akan memperlebar masalah.
"Saya rasa hal itu tidak perlu dilakukan. Masalah tidak perlu diperpanjang," kata Guru Besar Hubungan Internasional UMY itu.