Jumat, 01 Januari 2016

Len VDR10-MP: Military Tactical Radio Manpack Produksi BUMN Strategis

radio2

Kemandirian industri pertahanan tak hanya berkutat pada pemenuhan kebutuhan alutsista, sektor lain seperti sistem komunikasi juga ikut mengambil peran penting, mengingat sistem komunikasi yang handal, aman dan mandiri menjadi kunci keberhasilan operasi tempur. Di lingkup operasi taktis yang melibatkan unsur tempur, adanya tactical radio menjadi suatu keharusan, terutama bagi unit infanteri yang dikenal sebagai Queen of The Battle.

Sebagai elemen komunikasi wajib, prajurit TNI dalam setiap operasi tempur selalu dibekali dengan tactical radio, karena umumnya dirancang manpack, maka pengguna terbesarnya adalah satuan infanteri, seperti di level pleton. Tactiral radio lumrah digunakan sebagai media komunikasi antar unit tempur pleton dan regu ke tingkat posko (pos komando). Saat Perang Vietnam, tactitcal radio digunakan sebagai komunikasi antar pos-pos pertahanan pasukan AS. Begitu juga saat TNI (d/h ABRI) berlaga dalam Operasi Seroja di Timor-Timur. Dengan bekal radio PRC-77, infanteri TNI juga melaksanakan peran sebagai pemandu tembakan dari pesawat tempur. Istilah dalam militer disebut sebagai ground FAC (forward air control). Hal ini tergambar jelas dari paduan komunikasi antara pesawat OV-10F Bronco dengan unit infanteri TNI AD yang membutuhkan bantuan tembakan ke permukaan.

radio-e1448892236668

Salah satu keunggulan penggunaan pesawat tempur OV-10F Bronco yang dijuluki sebagai Kuda Liar ialah memiliki frekuensi VHF (very high frequency)-FM standar pasukan TNI AD dan Marinir TNI AL, sehingga pesawat dapat melakukan komunikasi langsung dengan ground FAC yang menggunakan radio PRC-77 tanpa melalui stasiun relay.

PRC-77 memang legendaris, tapi perangkat berbasis radio analog tersebut tentu sudah usang dan ketinggalan jaman. Sebagai gantinya, TNI AD kemudian mengusung tactical radio TR2400 yang punya kemampuan hybrid analog digital. Dari golongannya, TR2400 masuk dalam segmen HF (high frequency) transceiver yang berjalan di frekuensi 1,6 – 30 Mhz. Tactical radio ini menawarkan teknologi digital signal processing (DSP) untuk frekuensi tinggi hopping. Namun, perlu dicatat, baik PRC-77 dan TR2400 adalah produk impor. Bila PRC-77 buatan JETDS (Joint Electronics Type Designation System) dari AS, sementara TR24000 adalah buatan Grintek Communication Systems dari Afrika Selatan.

Bila pesawat, kapal perang, dan panser dapat diproduksi dalam negeri, lantas bagaimana dengan radio taktis ini? Apakah harus selalu impor?

Len VDR10-MP
PT Len Industri, sebagai BUMN (Badan Usaha Milik Negara) Strategis nyatanya telah berhasil memproduksi tactical radio manpack untuk kebutuhan infanteri. Diberi label VDR10-MP, ini merupakan tactical radio digital yang berjalan di frekuensi VHF (Very High Frequency). Oleh PT Len, VDR10-MP disebut sebagai first Indonesian Integrated Secure Communication Radio dengan software fefined radio, Frequency Hopping, Encryption Algorithm dan ISCOP100 (Intergrated Secure Communication Protocols).

VDR10MP

LenVDR10-MP memiliki beberapa kelebihan antara lain: Sistem komunikasi digitalnya didesain dan dibuat sendiri algoritmanya oleh Len. Kemudian diperkuat dengan sistem keamanan baik dari segi transec (transceiver security) maupun comsec (communication security) yang telah dikembangkan sendiri sejak lama oleh para injiner Len.

Dari segi transec, LenVDR10-MP sudah menerapkan teknologi hopping 100 hop/sec, artinya dalam 1 detik komunikasi terjadi perubahan frekuensi 100 kali. Sedangkan dari segi comsec, LenVDR10-MP telah menggunakan enkripsi data berbasis AES 128. Frekuensi Hopping adalah teknik lama yang diperkenalkan pertama kali dalam sistem transmisi militer untuk menjamin kerahasiaan komunikasi dan jamming tempur.

radio1

Sebagai produk dalam negeri, LenVDR10-MP memiliki tingkat kandungan lokal (local content) yang sangat tinggi, karena semua desain telah dilakukan secara mandiri. Untuk segi mekanikal, seperti casing dan tas, Len tidak melakukan kerja sama dengan pihak luar namun masih dari pihak lokal/dalam negeri.

Yang cukup menarik, produski tactical radio ini sudah menggunakan mesin SMT (Surface Mount Technology) atau sering disingkat dengan sebutan SMT adalah teknologi terkini yang digunakan untuk memasangkan komponen elektronika ke permukaan PCB.Dengan teknologi SMT, peralatan atau gadget elektronik saat ini sudah dapat didesain dengan ukuran yang lebih kecil, karena mesin SMT memiliki kemampuan yang dapat memasangkan komponen chip yang berukuran sangat kecil hingga 0,4mm X 0,2mm (Chip SMD resistor 0402) dengan kecepatan yang sangat tinggi.

Kepercayaan TNI pada LenVDR10-MP terbilang besar, dibuktikan order yang cukup besar pada radio taktis ini. Mengutup siaran pers dari PT Len, disebutkan 734 unit radio ini berikut perlengkapannya akan dikirimkan ke semua batalyon di Indonesia dari Aceh hingga Papua, dan para engineer Len akan men-training para tentara yang menjadi user di 13 Kodam di tubuh TNI Angkatan Darat. Pengerjaan kontraknya membutuhkan waktu sekitar tujuh bulan sejak bulan Mei 2015 hingga November 2015. (Gilang Perdana)

Spesifikasi LenVDR10-MP:
– Technology Base : Software Based Radio
– Security System Bas : ISCOP100 (Intergrated Secure Communication Protocols)
– Modulation Mode : AFM (Analog FM), DFM (Digital FM), BSK or QPSK
– Encryption Algorithm : AES 128
– RF Output Power : Max 20W PEP
– Sensitivity : -110 dBm @12dB SINAD
– Frequency Stability : 2ppm
– Channel Capacity : 100 programmable Channel
– Antenna : Whip 1.5m & Whip 3m
– Frequency Range : 30-88 Mhz
– Channel Capacity : 100 programmable Channel
– Data Rate : 16 kbps
– Supply Voltage : 11.1 – 12.6 VDC
– Average Battery Life : 24 hour
– Temperature Range : -10C – 65C
– IP Rating : IP67
– Vibration : Ground Tactical
– Immertion : 1 meter under water for 1 hour
– Standard : MIL-STD-810F shock, vibration, dust & spray
– Dimension : 250mm (w) x 90mm(d) x 250mm(h)
– Weight : 2.5 Kg (- baterry); 4.5 Kg ( + battery)
 

WiMax, Teknologi Jaringan Dibalik Battlefield Management System TNI AD

629476_6dafb5e13d324e4b8db2c6b71b9cef1b

Dalam konsep peperangan modern, Battlefield Management System (BMS) kini jadi suatu kebutuhan, terlebih bila yang dihadapi operasi tempur berskala besar. Menyambung tulisan di Indomiliter.com sebelumnya, “Cegah Friendly Fire, Kavaleri TNI AD Adopsi Battlefield Management System Produksi Dalam Negeri,” maka yang tak bisa dilupakan dari hadirnya BMS adalah jaringan komunikasi wireless dengan tolok ukur dalam standar militer pada ketersediaan jaringan komunikasi yang aman dan mandiri.

Terkait jaringan aman dan mandiri, memang jadi elemen penting dari BMS sebagai solusi. Menyorot kata mandiri, bisa diartikan sistem komunikasi yang terpisah dari jaringan publik, sehingga meminimalkan interferensi. Sementara kata aman, mengedepankan kehadiran hardware, software, dan enkripsi dengan protokol khusus. Inilah solusi yang ditawarkan PT Hariff Daya Tunggal Engineering (DTE), perusahaan swasta nasional yang ber-homebase di Bandung, Jawa Barat, dalam konstruksi BMS yang ditawarkan ke pihak TNI AD.

Andalkan Broadband Wireless Access (BWA)
BMS lewat unit terminal berbasis tablet Android menawarkan beberapa keunggulan, mulai dari monitoring keberadaan konvoi tempur via digital map, informasi sisa amunisi ranpur, sisa bahan bakar, dan temperatur suhu serta kelembaban. Kesemua parameter tadi dapat di share secara realtime dalam komunikasi berbasis data, baik antar unit dalam pertempuran (antar tank/infanteri), antar unit tempur dan posko, dan komunikasi ke level atas di Puskodal (Pusat Komando dan Pengendalian).

Bagaimana BMS bisa melakukan semua itu? Resepnya tak lain adalah penggunaan akses broadband. Dan yang diusung PT Hariff DTE yakni platform Broadband Wireless Access berbasis WiMax (Worldwide Interoperability for Microwave Access). Gaung WiMax sendiri sempat populer di sekitaran tahun 2006, namun belakangan layu sebelum berkembang tergeser adopsi 4G LTE (Long Term Evolution). Padahal WiMax yang kini jaringannya melayani segmen korporat di Tanah Air, punya keunggulan komparatif dibanding 4G LTE.

Battlefield Management System adalah bagian dari sistem JAM (Jaringan Aman dan Mandiri) rancangan PT Hariff DTE.
Battlefield Management System adalah bagian dari sistem JAM (Jaringan Aman dan Mandiri) rancangan PT Hariff DTE.

Unit ranpur komando dipasangi repeater WiMax dalam gelar operasi tempur berbasis BMS.
Unit ranpur komando dipasangi repeater WiMax dalam gelar operasi tempur berbasis BMS.

Dalam gelar formasi tempur kompi kavaleri, ada satu panser atau tank komando yang diberi peran sebagai pengusung repeater WiMax. Sehingga panser/tank komando ini dapat menjadi hub yang memonitor pergerakan unit tempur yang ada di medan perang, baik itu keterlibatan elemen kavaleri, artileri, dukungan udara dan infanteri yang juga dibekali BMS. Dari panser/tank komando tersebut, komunikasi berupa data diteruskan ke tingkat posko, dan level Puskodal yang lokasinya bisa saja berada di area yang jauh dari hiruk pikuk peperangan, seperti misalnya di Ibukota.

Guna mewujudkan desain diatas, keberadaan data link system dan backbone komunikasi juga telah dipikirkan. Bila jalur BMS dengan WiMax bisa dilakukan secara mandiri, maka saat koneksi ke Puskodal jalur yang digunakan sampai saat ini belum bisa mandiri, mengingat pemerintah belum menyediakan satelit khusus militer, begitu pun jaringan fiber optics masih bercampur dengan kegunaan komersial. “Mungkin saja data yang dikirim via satelit dapat diambil oleh pihak lawan, tapi yang kami kedepankan disini adalah data itu tidak dapat dibaca oleh mereka, karena kami mengembangkan enkripsi dengan algoritma khusus,” ujar Dadang Yuhana, direktur teknik PT Hariff DTE kepada Indomiliter saat menjelaskan seputar sistem JAM (Jaringan Aman dan Mandiri).

ok
M1A1 Abrams yang rontok akibat friendly fire saat Perang Teluk I tahun 1991.

Jalur komando dan pengendalian BMS militer AS.
Jalur komando dan pengendalian BMS militer AS.

Bagaimana dengan performa WiMax untuk misi tempur? Mengingat medan operasi di Indonesia yang beda dengan di Timur Tengah, maka yang cocok digunakan adalah model near Line of Sight. Semisal menghadapi kontur medan berbukit, WiMax di 2 Mhz masih dapat mendukung komunikasi data dan voice secara optimal.

Hebatnya, BMS karya Anak Bangsa hasil kerjasama dengan litbang Dithubad (Direktorat Perhubungan Angkatan Darat) dirancang untuk beroperasi secara interoperability dengan alat komunikasi lain yang telah digunakan TNI, baik di frekuensi HF, VHF, dan UHF. Ketika komunikasi suara menjadi sangat intensif pada situasi pertempuran, maka alat komunikasi yang ada akan tetap menjadi voice high priority, sementara solusi BMS yang mengedepankan basis data akan tetap berjalan mulus berkat teknologi Hot Redudancy Data Communication System (HRDCS).

Sekilas WiMax
Teknologi Worldwide Interoperability for Microwave Access (WiMAX) merupakan pengembangan dari teknologi WiFI yang sudah biasa kita gunakan sehari-hari, salah satunya sebagai wireless pada komputer atau laptop. Secara umum dikenal dua jenis WiMAX, yaitu WiMAX untuk jaringan tetap atau disebut Fixed WiMAX dan WiMAX untuk jaringan bergerak atau sering disebut Mobile WiMAX.

Fixed WiMAX mampu mendukung kecepatan transfer data sampai 75 Mbps dengan jangkauan sampai 50 km. Sedangkan Mobile WiMAX mampu mencapai kecepatan transfer data hingga 15 Mbps dengan jangkauan 20-50 km. Dengan kemampuan tersebut, WiMAX disebut sebagai jaringan generasi keempat (4G), meskipun sebetulnya kemampuan ini belum memenuhi standar 4G yang ditetapkan IMT-Advanced. Teknologi WiMAX lebih tepat disebut sebagai jaringan 3.9G.

Lantas mengapa WiMax tidak populer di Indonesia? Paling tidak ada tiga alasan penting seperti berikut. Pertama, kebijakan lisensi Fixed WiMAX. Pada awalnya lisensi yang ditender pemerintah adalah Fixed WiMAX. Padahal pada saat yang sama standar Mobile WiMAX telah diterbitkan dan siap komersial. Para pemegang lisensi tampak ragu-ragu menggelar Fixed WiMAX, khawatir layanannya tidak mampu bersaing dengan Mobile WiMAX yang tentu lebih digemari pasar. Meskipun pada akhirnya sikap pemerintah melunak, dengan mengijinkan pemegang lisensi menggelar Mobile WiMAX, namun respon tersebut dianggap terlambat.

Kedua, kebijakan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN). Pemerintah mensyaratkan TKDN minimal 30 persen untuk perangkat dan 40 persen untuk base station. Maksud kebijakan tersebut sangat baik, yaitu membangkitkan industri lokal dan transfer teknologi. Sehingga munculah produsen perangkat lokal, diantaranya adalah PT Hariff DTE. Namun konsekuensinya, harga perangkat menjadi relatif lebih mahal karena skala ekonominya yang masih terbatas. (Haryo Adjie)
 

Cegah Friendly Fire, Kavaleri TNI AD Adopsi Battlefield Management System Produksi Dalam Negeri

P_20151206_220323

Friendly fire hingga kini masih jadi momok menakutkan dalam tiap pertempuran, terkena peluru dari tembakan kawan sendiri adalah bukti bahwa unsur komando dan pengendalian masih harus terus dibenahi. Seperti pada Perang Teluk I di tahun 1991, sekalipun dibekali perangkat perang super canggih, nyatanya MBT (Main Battle Tank) M1A1 Abrams AD AS masih jadi korban salah tembak. Begitu pun, prajurit infanteri TNI pernah pula merasakan pahitnya friendly fire dalam Operasi Seroja di Timor Timur.

Menghadapi ilustrasi diatas, maka elemen tempur yang terlibat dalam suatu operasi perlu dibekali teknologi Battlefield Management System (BMS), suatu sistem command and control system yang terintegrasi ke dalam pos komando dan kendali taktis di lapangan. Bicara tentang BMS, di lingkup TNI khususnya Kavaleri TNI AD, BMS baru mulai diterapkan guna memenuhi kebutuhan satuan setingkat batalyon. Dan yang membanggakan, BMS dirancang dan dikembangkan murni oleh injiner dalam negeri dari PT Hariff Daya Tunggal Engineering (DTE), perusahaan swasta nasional yang ber-homebase di Bandung, Jawa Barat.

Apa solusi yang ditawarkan dari BMS? Kembali lagi menjawab tantangan di paragraf awal, dengan BMS dapat dihindari terjadinya friendly fire. Pasalnya, para komandan tank dan juruk tembak (gunner) dapat mengetahui posisi keberadaan di suatu medan tempur. Wujudnya di visualkan pada layar yang disematkan pada konsol tablet. Dengan demikian, di tengah adrenalin tinggi pada peperangan, masing-masing unit dapat mengetahui keberadaan kawan di tengah gencarnya desingan tembakan lawan. Peran BMS tambah terasa maksimal saat perang di malam hari, dengan minimnya cahaya maka disorientasi kerap melanda prajurit.

P_20151208_110004P_20151208_110035

BMS hasil karya PT Hariff DTE dan kerjasama dengan Dithubad (Direktorat Perhubungan Angkatan Darat) telah dipamerkan di hadapan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu pada 7 Desember 2015 lalu di Bandung. Modul BMS yang disematkan di dalam ranpur dan rantis terdiri dari unit kontrol K220 dan unit terminal K230. Unit kontrol berperan sebagai hub dari beberapa sensor dan sistem di dalam ranpur. Sementara unit terminal adalah perangkat monitoring dan kendali.

P_20151207_114725
Berbasis tablet Android, unit terminal dapat diakses dengan touch screen.

Android di Ranpur Kavaleri
Uniknya unit terminal menggunakan hardware berupa tablet Android, namun telah dibungkus casing besi yang nampak kokoh. Selain mampu menampilkan posisi dan formasi tempur pasukan dan ranpur dalam wujud digital map. Layar tablet ini juga dapat menginformasikan jumlah sisa bahan bakar, sisa amunisi, temperatur di dalam kabin, dan kadar kelembaban. Unit terminal ini terhubung ke unit kontrol.

Beragam pilihan fitur pada BMS.
Beragam pilihan fitur pada BMS.

Pengembangan prototipe BMS sejatinya telah dimulai sejak tahun 2012, dan terus disempurkan hingga tahun 2014, dan pada tahun 2015 ini telah memasuksi tahap produksi. BMS telah sukses diujicobakan di ranpur tank MBT Leopard 2A4, IFV Marder 1A3, tank ringan Scorpion dan panser Anoa buatan PT Pindad.

BMS sejatinya sebuah aplikasi launcher, dengan demikian tablet bisa berpindah ke tampilan default Android.
BMS sejatinya sebuah aplikasi launcher, dengan demikian tablet bisa berpindah ke tampilan default Android.

Dirancang dengan balutan case besi yang kokoh.
Dirancang dengan balutan case besi yang kokoh.

Alasan dipilihnya modul dari tablet Android terkait kemudahan suku cadang dan ketersediaan pasokan, mengingat tablet Android mudah didapat dipasaran. Dari sisi penggunaan, adopsi tablet Android juga memudahkan operator, mengingat OS Android cukup akrab digunakan banyak orang. Untuk menjadikan tablet Android siap tempur, cukup di install aplikasi dalam format apk. Uniknya visual layar pada tablet dicitrakan menggunakan gaya OS Windows, sementara sistem operasi komputer secara keseluruhan mengusung OS Linux.

Smartphone Android Untuk Infanteri
Sementara unit pasukan infanteri juga dirancang menggunakan BMS, bedanya prajurit tidak menenteng konsol unit terminal K230, melainkan unit terminal yang digunakan berupa smartphone Android dengan spesifikasi outdoor yang tahan banting dan anti air. Bekal smartphone ini disematkan di lengan prajurit menggunakan armband. Data visual yang ditampilkan pun serupa dengan unit terminal K230 yang ada di ranpur.

Smartphone Caterpillar B15Q dengan armband sebagai unit terminal BMS infanteri.
Smartphone Caterpillar B15Q dengan armband sebagai unit terminal BMS infanteri.

Dalam live demo di kantor pusat PT Hariff DTE, yang digunakan adalah smartphone Caterpillar B15Q dengan OS Android 4.4.2. Menurut seorang staf PT Hariff, selain Caterpillar juga digunakan seri Sony Xperia outdoor.

Meski smartphone punya kemampuan koneksi 3G dan 4G, namun koneksi smartphone dalam konsep BMS hanya menggunakan jalur WiFi (wireless fidelity), dalam artian koneksi dari smartphone tetap harus ke unit kontrol via WiFi. Bedanya dalam infanteri, unit kontrol dirancang dengan model manpack ala radio taktis.

“Kedepan di tahun 2016 kami akan mengembangkan BMS untuk diterapkan pada elemen artileri dan dukungan udara bagi Puspenerbad. Sehingga diharapkan dapat terjalin koordinasi dan komunikasi yang optimal antara infanteri, kavaleri, artileri, dan dukungan udara dalam suatu operasi,” ujar Adi Nugroho, direktur PT Hariff DTE. (Haryo Adjie)

Indomil.

Senin, 30 November 2015

Seribu Anak Bangsa Bisa Hidup dari Helikopter Lokal

Seribu Anak Bangsa Bisa Hidup dari Helikopter Lokal
Seorang teknisi menyelesaikan proses produksi Helikopter jenis Superpuma SA 332 C1A dan Cougar E725 di hanggar PT Dirgantara Indonesia (DI), Bandung, Jawa Barat, Rabu (25/11/2015) (ANTARA FOTO/Novrian Arbi)
 
Rencana TNI Angkatan Udara mendatangkan helikopter Kepresidenan jenis Agustawestland (AW)-101 dari luar negeri, masih menuai banyak kritikan.

Padahal, jika membeli helikopter lokal, maka uang rakyat yang digunakan bisa kembali ke negara. Seperti diketahui, PT Dirgantara Indonesia memiliki helikopter yang juga canggih.

"Lebih 1.000 anak-anak bangsa bisa melanjutkan hidupnya dari perusahaan (PT DI) ini," kata anggota Komisi I DPR RI Sukamta, Senin 30 November 2015.

Jika pemerintah harus menggunakan produk luar negeri, menurutnya, harus ada kewajiban berbagi teknologi, dengan cara bekerja sama dengan industri alutsista lokal.

"Saya berharap, kita tidak mengambil opsi itu (beli dari luar). Majunya industri pertahanan ini membutuhkan komitmen bersama semua anak bangsa," ujar Sukamta.

Sukamta menyampaikan, dalam Pasal 43 ayat 5 mengenai Industri Pertahanan, pemerintah harus memanfaatkan industri pertahanan dan teknologi dalam negeri.

"Kami meminta TNI AU tetap konsisten menggunakan produk dalam negeri sesuai dengan Undang-undang No 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan," kata politisi PKS ini. 

Polemik Helikopter Kepresidenan, Nasionalisme Diuji

Polemik Helikopter Kepresidenan, Nasionalisme Diuji
Helikopter AgustaWestland (AW-101) (agustawestland.com)

Rencana TNI Angkatan Udara untuk mendatangkan helikopter kepresidenan jenis AgustaWestland (AW)-101 sepertinya tak akan berjalan mulus. Bahkan, rencana tersebut terancam batal menyusul banyaknya kritikan yang datang bertubi-tubi.

Begitu banyaknya kritikan membuat pemerintah berencana membahas rencana pembelian helikopter VVIP buatan perusahaan Inggris dan Italia itu. Rencana pembahasan ini diungkapkan Wakil Presiden Jusuf Kalla usai mengantar Presiden Joko Widodo di Lanud Halim Perdanakusuma Jakarta, Minggu 29 November 2015.

"Anggaran TNI, tapi nanti kami bahas setelah Presiden pulang," kata Kalla saat dikonfirmasi mengenai dana pembelian helikopter super mahal tersebut. 
Di tempat yang sama, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Luhut Binsar Pandjaitan, juga mengatakan hal serupa. Apakah memang helikopter Super Puma yang selama ini digunakan akan diganti, menurut Luhut, akan diputuskan setelah Jokowi kembali ke Tanah Air.

Termasuk opsi, agar helikopter VVIP lebih baik menggunakan produksi dalam negeri, dalam hal ini buatan PT Dirgantara Indonesia (DI). "Saya enggak mau berspekulasi (gunakan helikopter buatan PT DI), tapi kami akan lihat helikopter Presiden perlu diganti atau tidak. Nanti kami rapatin setelah Presiden pulang," kata Luhut.

Kritikan mengenai rencana membeli helikopter AgustaWestland (AW)-101 ini memang datang bertubi-tubi sejak pertama kali dicetuskan TNI AU. Bahkan, saat beberapa kalangan berdalih faktor keamanan yang menjadi prioritas dari rencana pembelian helikopter super mewah ini.

Beberapa waktu lalu, TNI AU lewat Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal TNI Agus Supriatna begitu pede akan memboyong tiga helikopter AgustaWestland (AW)-101 dalam rencana strategis (renstra) 2015-2019 yang sudah dilayangkan kepada Kementerian Pertahanan Republik Indonesia dan disampaikan pula ke Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

"Jadi, ini hasil dari kajian satuan bawah dari Skuadron VVIP, kami kaji di Mabes. Akhirnya, saya putuskan untuk renstra 2015-2019 kami beli untuk memenuhi Skuadron VVIP," kata Agus kepada VIVA.co.id beberapa waktu lalu
Tuai Kritikan
Selain dana yang tak sedikit, pembelian helikopter jenis AgustaWestland (AW)-101 menuai banyak kritikan, karena berkaitan dengan helikopter yang bakal digusurnya yakni Super Puma yang selama 13 tahun telah menjadi kendaraan kepresidenan.


Ya, helikopter ini memang rakitan dari putra-putri terbaik bangsa yang berada di PT Dirgantara Indonesia (PTDI), meski secara lisensi milik Prancis. Kondisi ini yang memicu reaksi dari berbagai kalangan, termasuk dari politisi PDIP yang juga anggota Komisi I DPR, Tubagus Hasanuddin.

"Siapa lagi yang mau menggunakan produk dalam negeri, kalau bangsa sendiri tidak mau menggunakannya," kata Hasanuddin.

Padahal, menurut dia, pembelian dari industri dirgantara lokal seperti PT Dirgantara Indonesia (DI) akan memberikan keuntungan bagi negara dan juga PT DI. Dengan membeli dari PT DI, maka 30 persen dari uang rakyat itu akan kembali ke negara.

"Setidaknya dalam bentuk pembelian bahan baku lokal dan 700 teknisi anak bangsa bisa melanjutkan hidupnya dari perusahaan ini," ujarnya.

Tubagus melanjutkan, dalam peraturan perundangan yang berlaku, pemerintah wajib memaksimal produk industri pertahanan dalam negeri.

“Jenis ini, (Super Puma) juga bagus dan sudah dipakai oleh 32 kepala negara dan raja di dunia. Harganya US$35 juta, bandingkan dengan AgustaWestland AW101 yang mencapai harga US$55 juta,” tutur Tubagus.


Tak kalah terkejut, pengamat penerbangan, Alvin Lie, juga melayangkan kritikan. Terlebih, TNI AU sebagai pengguna, sama sekali tidak pernah melakukan sosialisasi. Apalagi, pemerintah maupun DPR juga sekadar merespons pembelian tersebut.

"Kali ini rencana peremajaan (helikopter) tidak ada sosialisasi. TNI AU mendadak membeli AW-101, ini kejutan bagi kami," kata Alvin Lie dalam perbincangan di program "Apa Kabar Pagi" tvOne, Jumat 27 November 2015.

Alvin menyayangkan, pembelian helikopter tersebut dilakukan di saat PT Dirgantara Indonesia sudah mampu memproduksi sendiri Helikopter Super Puma, yang kualitasnya tidak kalah dengan AW-101 yang justru hanya dikendarai empat kepala negara saat ini.

"Ini berbeda ketika SBY beli Boeing untuk pesawat kepresidenan, karena PT DI tidak membuat itu," ujarnya.

Masih menurut Alvin, secara politik, rencana membeli helikopter AgustaWestland (AW)-101 ini juga sebagai betuk mosi tidak percaya terhadap produk perusahaan yang dikelola pemerintah. Ironis memang.

Poin penting lain yang juga menjadi sorotan Alvin adalah catatan kelam India saat menjadikan AW-101 ini sebagai helikopter VVIP. Ternyata, pembelian unit helikopter super canggih ini diwarnai dengan skandal memalukan.

"Helikopter AW-101 ini pernah dibeli India untuk pesawat VVIP, namun pada 2013 terungkap bahwa pembelian itu terdapat skandal penyuapan," kata Alvin.

Skandal tersebut terungkap setelah parlemen India mempelajari proses pembelian 12 unit helikopter AW-101 dengan kontrak senilai US$540 juta. Sejumlah politisi dan pejabat militer India dituduh menerima suap dari AgustaWestland untuk memenangkan pengadaan 12 helikopter.

"Setelah dipelajari parlemen, ada unsur penyuapan. Pada 12 Februari 2013 direktur Mekanika, perusahaan induk Agusta dan CEO-nya ditangkap," ujarnya.

Setelah penangkapan petinggi AgustaWestland, giliran pejabat senior dan pejabat militer Angkatan Udara India diperiksa terkait skandal penyuapan dalam pengadaan 12 helikopter AW-101 itu. "Pada Januari 2014, pemerintah India membatalkan kontrak tersebut," papar Alvin.

Peristiwa ini, Alvin melanjutkan, diharapkan menjadi pembelajaran bagi pemerintah Indonesia agar proses pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) dilakukan secara transparan dan akuntabel.
Nasionalisme Diuji

Sindiran juga diberikan politisi Partai Gerindra yang juga anggota Komisi I DPR, Elnino M Husein Mohi. Menurut Elnino, Presiden Jokowi seharusnya tetap menggunakan Super Puma dibanding helikopter AW-101, terlebih dikaitkan dengan nasionalisme yang selalu didengungkan sang Presiden.


"Saya yakin, Presiden RI Jokowi konsisten dan akan pakai Puma sebagaimana dulu pernah pakai mobil Esemka atas nama nasionalisme," kata Elnino, dalam siaran pers, Minggu 29 November 2015.


Saat menjadi wali kota Solo, Jokowi memang cukup populer dengan manuvernya menggunakan mobil Esemka sebagai kendaraan dinasnya. Hingga akhirnya, ia terpilih menjadi gubernur DKI dan menang di Pilpres 2014. Ironisnya, nasib Esemka kini tak jelas.


Sebagai Presiden, masih menurut Elnino, seharusnya memang melindungi produk-produk dalam negeri. Apalagi, untuk helikopter VVIP, anggota Komisi yang membidangi pertahanan keamanan ini, mengaku PT DI bisa memproduksi helikopter yang berkualitas dan teruji.


Kritikan yang tak kalah tajam datang dari anggota Komisi I DPR dari Partai  Persatuan Pembangunan (PPP), Syaifullah Tamliha. Ia khawatir dengan rencana pembelian helikopter Kepresidenan yang baru ini akan menggunakan pinjaman luar negeri.


“Saya khawatir pembelian pesawat Italia itu menggunakan pinjaman luar negeri, pastilah itu berbentuk valas. Kalau itu pinjaman luar negeri, saya belum tahu ya karena belum dibahas di Komisi I. Pinjaman luar negeri itu membebani utang negara dan mengubah postur anggaran APBN 2016,” kata Tamliha.


Tamliha juga tidak yakin jika Presiden Jokowi nantinya akan memilih jenis AgustaWestland AW-101 sebagai helikopter barunya. Terlebih dengan komitmen Jokowi yang selalu mengedepankan hasil karya anak negeri.


"Saya tidak yakin Jokowi membutuhkan heli itu. Saya mendengar persis di KIH itu salah satu pointer penting. Waktu pertemuan KIH pertama dengan Pak Jokowi adalah dia akan memberdayakan hasil karya anak negeri ini, termasuk hasil dari PT Dirgantara Indonesia,” ungkapnya.

Buatan Anak Bangsa Tak Kalah



Banyak pihak mengatakan, helikopter buatan PT DI juga tidak kalah dengan jenis AW-101 yang diusulkan ingin dibeli pemerintah. Helikopter modern EC-725 Combat SAR produksi PT DI, memiliki teknologi canggih, tetapi lebih terjangkau harganya ketimbang heli dengan kelas serupa, Agusta Westland AW-101.


"Saya tidak ingin bicara harga pesawat orang lain. Tapi, untuk EC-725, satu unitnya 25 ribu sampai 26 ribu euro. Kalau mau dilengkapi jadi VVIP dengan berbagai kelengkapan, total maksimum 30 ribu sampai 35 ribu euro," kata Direktur Niaga dan Restrukturisasi PT DI, Budiman Saleh.


Budiman mengatakan, sejauh ini pihaknya masih memperkenalkan EC-725. Menurut dia, belum ada pembicaraan serius dengan pemerintah, terkait pengadaan. "Kami cooling down dulu, karena proses tender ini belum terjadi," dia menambahkan.


Walau pemerintah tidak dilarang untuk membeli pesawat dari luar negeri, namun peraturan perundang-undangan mengenai industri pertahanan menyebutkan, pemerintah sudah seharusnya memelihara kemandirian industri dalam negeri.


"Undang-undang itu mengajarkan pentingnya kemandirian industri pertahanan dan sustainability industri pertahanan dalam negeri," lanjut Budiman.


Seperti diketahui, helikopter EC-725 Combat SAR disertai dengan teknologi-teknologi supermodern. Helikopter ini antipeluru, perahu karet, Forward Looking Infrared (FLIR) dan teknologi canggih lainnya. "Teknologi hampir sama (dengan AgustaWestland AW-101)," kata Direktur Produksi PT DI, Arie Wibowo.


Dan yang tak kalah penting, karena buatan lokal, maka perawatan dan suku cadang Super Puma lebih terjamin, berbeda dengan suku cadang AW-101 yang lebih mahal dalam status impor serta tidak ada jaminan tidak diembargo. 

Viva. 

Jumat, 27 November 2015

Ironis, Pemerintah Tak Percaya Helikopter Buatan Anak Negeri

Ironis, Pemerintah Tak Percaya Helikopter Buatan Anak Negeri
Helikopter AgustaWestland (AW-101) (agustawestland.com)
TNI Angkatan Udara telah memutuskan untuk membeli helikopter Kepresidenan baru jenis Agusta Westland AW-101 untuk menggantikan helikopter Kepresidenan yang lama, Super Puma.
Rencananya, helikopter baru tersebut akan tiba di Tanah Air pada pertengahan 2016 mendatang.

Dipilihnya AW-101 sebagai helikopter yang akan digunakan Presiden atau Wakil Presiden dan tamu VVIP diklaim sebagai helikopter canggih dan memiliki tingkat keamanan, serta kenyamanan yang baik. Helikopter ini pun didesain antipeluru.

Pengamat Penerbangan, Alvin Lie, mengaku terkejut dengan rencana pembelian helikopter kepresidenan buatan Inggris-Italia itu. Pasalnya, TNI AU sebagai user, sama sekali tidak pernah melakukan sosialisasi. Apalagi, pemerintah maupun DPR juga hanya sekedar merespons pembelian tersebut.

"Kali ini rencana peremajaan (helikopter) tidak ada sosialisasi. TNI AU mendadak membeli AW-101, ini kejutan bagi kami," kata Alvin Lie dalam perbicangan di program "Apa Kabar Pagi" tvOne, Jumat, 27 November 2015.

Alvin menilai, pembelian helikopter tersebut dilakukan di saat PT Dirgantara Indonesia (DI) sudah mampu memproduksi sendiri Helikopter Super Puma, yang kualitasnya tidak kalah dengan AW-101.
"Ini berbeda ketika SBY beli Boeing untuk pesawat kepresidenan, karena PT DI tidak membuat itu," ujarnya.

Nyatanya, pemerintah lebih memilih membeli helikopter jenis AW-101, ketimbang menggunakan helikopter buatan dalam negeri. Padahal, Super Puma buatan PT DI sudah terbukti kualitasnya, dan digunakan oleh negara lain.

"Secara politik ini adalah mosi tidak percaya terhadap produk (yang dihasilkan) perusahaan yang dikelola oleh pemerintah, dan itu ironis," tegas mantan anggota DPR RI ini.

Sebelumnya, Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU), Marsekal TNI Agus Supriatna, menegaskan pembelian Helikopter AW-101 sebagai helikopter kepresidenan yang baru sudah melalui tahapan dan kajian mendalam TNI AU.

Menurut Agus, alasan membeli pesawat helikopter AW-101, lantaran dirinya benar-benar mengetahui helikopter mana yang benar-benar canggih dan lebih layak digunakan oleh kepala negara.

"Saya tahu betul, pengalaman bagaimana mengoperasikan pesawat-pesawat yang sekarang ada. Bagaimana servisnya, bagaimana kita mencari suku cadang," kata Agus Supriatna di Wisma Angkasa, Jalan Wijaya, Jakarta Selatan, Selasa, 24 November 2015.

Tentunya, pembelian pesawat helikopter bagi Presiden, Wakil Presiden dan VVIP, berdasarkan hasil kajian dan penelitian yang lebih serius.
"Jadi, jangan dibuat seperti ini. Segala sesuatu, saya tahu betul, kenapa saya enggak memilih ini, pasti ini karena hasil kajian," ujar Agus.

Viva. 

PTDI Lamban Rampungkan Pesanan Helikopter

super puma

Lambatnya penyelesaian pesanan oleh PTDI menjadi salah satu alasan mengapa TNI AU tidak memesan helikopter untuk pejabat penting negara (VVIP) ke BUMN yang bermarkas di Bandung, Jawa Barat, itu.

Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal Agus Supriatna mengatakan, tahun 2012 TNI AU pernah memesan sejumlah helikopter EC725 Caracal alias Super Cougar dari PT Dirgantara Indonesia, namun helikopter-helikopter pesanan itu tidak datang sesuai waktu yang disepakati.

“Kontrak diteken tahun 2012. Rencananya pembuatan helikopter selesai dalam 38 bulan. Seharusnya pesanan itu sudah datang Mei 2015. Tapi perjanjiannya diamandemen sehingga mundur,” kata Marsekal Agus di Jakarta, Kamis (26/11).

Helikopter Super Cougar yang dipesan tak kunjung selesai karena terdapat pending item.

Super Puma
Super Puma

Implementasi jual beli antara TNI AU dengan PTDI yang tak sesuai tenggat waktu bukan hanya pada perjanjian helikopter Super Cougar itu saja, tapi juga pada kontrak pembelian helikopter NAS 332 Super Puma.

“Kami punya pengalaman kontrak Super Puma yang juga pending item, sampai sekarang belum bisa dioperasikan,” ucap KSAU.


Berkaca pada dua pengalaman berbisnis dengan PTDI itu, KASAU memutuskan tidak membeli helikopter baru dari PTDI untuk saat ini.

Helikopter VVIP pilihan TNI jatuh pada AgustaWestland AW101 buatan Italia-Inggris. Satu unit telah dipesan Juni tahun lalu, dan kini telah memasuki perakitan tahap akhir di Italia untuk kemudian dikirim ke Indonesia tahun depan.

AW101 akan diberikan kepada Skadron Udara 45 yang bertugas mengoperasikan transportasi udara bagi pejabat dan tamu negara sekelas presiden dan wakil presiden.

Agusta Westland 101
Agusta Westland 101

Sebelumnya Direktur Utama PTDI Budi Santoso berharap helikopter rakitan perusahaannya dipilih menjadi kendaraan VVIP. “Mudah-mudahan Presiden mau menggunakan produk kami. Ini akan menjadi iklan terbaik bagi kami, untuk menjual ke negara-negara lain,” kata Budi di Bandung.

KASAU yang juga menjabat Komisaris Utama PTDI sejak Oktober 2014, bertekad memperbaiki kinerja perusahaan pelat merah itu. Posisi Komisaris Utama PTDI merupakan jabatan yang melekat (ex officio) pada KSAU.

“Saya ingin PTDI berkembang dengan baik. Step by step akan saya perbaiki,” ujar Marsekal Agus.

PTDI sejak awal tahun 90-an telah merakit helikopter-helikopter Airbus Helicopters, divisi manufaktur helikopter dari Airbus Group yang bermarkas di Prancis. Sebelum merakit Super Cougar, PTDI juga merakit Super Puma. Tak hanya merakit, beberapa bagian helikopter seperti badan dan ekor pesawat juga diproduksi PTDI.

CNN Indonesia