Segmen senjata anti tank punya tempat tersendiri dalam kelompok
senjata bantu infanteri. Dibuktikan dengan keragaman jenis senjata anti
tank yang dimiliki infanteri TNI AD, mulai dari jenis roket C90-CR,
Armburst, dan LRAC 89. Kemudian ada jenis rudal NLAW dan FGM-148
Javelin. Sementara dari segi fungsionalitas, senjata anti tank dapat
dipiliah berdasarkan tipe peluncur, ada yang disposable, alias sekali pakai buang, dan peluncur reusable, artinya tabung peluncur dapat digunakan berulang-ulang.
Nah, untuk segmen senjata anti tank dengan peluncur reusable,
infanteri TNI AD kini punya alutsista baru yang berasal dari Cina. Yakni
(Type 98) PF-98 Queen Been, jenis roket anti tank yang dapat disiapkan
untuk menghancurkan aneka target dengan varian hulu ledak. Dari segi
operasional, PF-98 Queen Bee sekilas mirip dengan LRAC 89 yang telah
digunakan TNI AD sejak awal tahun 80-an. Mungkin karena usia LRAC (Lance
Roquette Antichar/Peluncur Roket Anti Tank) 89 sudah tak muda lagi,
maka hadirnya PF-98 Queen Been buatan manufaktur Norinco.
PF-98 juga dapat ditembakan dengan cara dipanggul.
Salah satu pose duduk sembari memanggul.
Sebagai senjata anti tank yang reusable, tabung peluncur PF-98
terbuat dari bahan fiberglass padat dengan bobot dibawah 10 kg. Resminya
PF-98 ditawarkan dalam dua varian, company dan batalion, kedua varian
ini sama-sama dilengkapi fasilitas night vision. Waktu reaksi yang
dibutuhkan sejak target terbidik adalah 10 detik. Pada PF-98 varian
batalion, fire control dilengkapi optical sight dengan fitur night
vision dengan jangkauan bidik hingga 500 meter. Pemindaiain target
dilakukan berdasarkan sinergi dari fire control computer, laser range
finder, dan LED display. Sistem di PF-98 dapat secara otomatis
mementukan jarak dan perhitungan balistik yang kesemuanya dapat
ditampikan dalam LED display. Segala kecanggihan ini membuat reaksi
penembakan dapat dipercepat, sementara target dapat dihantam dengan
tingkat akurasi tinggi.
Proses loading amunisi.
Siap ditembakkan.
Dan roket pun telah lepas dari tabung peluncur.
PF-98 Queen Bee yang diopersikan antara 1 – 2 awak ini dilengkapi
lensa bidik teleskopik optical sight dengan pembesaran 4x. Dengan
dukungan tripod, varian batalion dapat meluncurkan roket pada ketinggian
30 derajat hingga -6 derajat. Sementara sudut putarnya dapat di set 360
derajat.
Bagaimana dengan kemampuan hulu ledaknya? PF-98 Queen Bee dengan
kaliber 120 mm dapat melontarkan proyektil dengan hulu ledak HET (High
Explosive Anti Tank) dan tandem HET dengan pemicu elektronik. Tandem HET
digadang Norinco dapat menembus triple armour berstandar NATO dengan
ERA (Explosive Reactive Armour). Dengan kemampuan hulu ledak ini,
diyakni segala jenis ranpur lapis baja ringan dan sedang dapat dilumat
habis.
Jenis amunisi lainnya ada thermobaric, ini merupakan bahan peledak
yang memanfaatkan udara sebagai bahan bakarnya. Sehingga jika
thermobaric terbakar/meledak di area yang banyak udara (O2), maka daya
ledaknya pun semakin membesar. Thermobaric diciptakan untuk merusak
struktur, bunker, dan pastinya menjadi momok yang menakutkan bagi
pasukan infanteri. Ada lagi jenis amunisi multipurpose high explosive
yang memuat hulu ledak berisi 120 bola baja dan bahan pembakar. Selain
mampu merobek pertahana infanteri, amunisi ini juga mampu menembus
lapisan baja 400 mm pada sudut tembakan 55 derajat.
Dilihat dari cara pengoperasiannya, PF-98 Queen Bee dapat menjelma
sebagai senjata anti tank yang dipanggu di pundak. Namun agar lebih
stabil, senjata ini dapat pula dipasang pada tripod. Jarak tembak
maksimum senjata ini ada di rentang 1.800 – 2.000 meter.
Dirunut dari sejarahnya, PF-98 diciptakan sebagai pengembangan dari
senjata anti tank Type 78 pada tahun 1990. Keberadaan PF-98 pertama kali
terlihat saat digunakan oleh unit garnisun pasukan Cina yang bertugas
di Macao pada tahun 1999. Dikutip dari Wikipedia.com, selain Cina dan
Indonesia, PF-98 Queen Bee juga digunakan oleh negara-negara berkocek
pas-pasan, yakni Bangladesh dan Zimbabwe. (Gilang Perdana)
Spesifikasi PF-98 Queen Bee
– Tipe: Roket anti tank
– Manufaktur: Norinco
– Panjang: 1.191 mm
– Kaliber: 120 mm
– Sudut elevasi: 30 sampai -6 derajat
– Kecepatan tembak: 4-6 proyektil per menit
– Jarak tembak max: 800 meter (amunisi HEAT) dan 1.800 meter (amunisi HE)
IED (Improvised Explosive Device) kian menjadi momok menakutkan bagi
laju pasukan infanteri dan kavaleri. Ambil contoh, ribuan pasukan AS dan
koalisinya tewas di laga Irak dan Afghanistan dikarenakan tebaran IED,
meski tak sedikit pula infanteri yang meregang nyawa akibat tembakan
sniper. Popularitas IED kemudian mendorong hadirnya ranpur
berkualifikasi Mine-Resistant Ambush Protected (MRAP). Jenis ranpur yang
juga tak asing digunakan Korps Baret Merah Kopassus TNI AD.
Sebelum masuk ke bahasan tentang jammer anti IED, terlebih dulu perlu
diingat bahwa IED adalah peledak kecil yang ditambahi beberapa komponen
agar ledakannya bisa lebih terarah dan mematikan. Di dalamnya,
ditambahi sebuah ponsel murah, kabel-kabel, sekering, baterai (tipe AA
atau 9 volt), selotip listrik, dan sebuah thyristor. Semua komponen ini
dirangkai sedemikian rupa dengan memanfaatkan mekanisme kerja getaran
ponsel. Dari getaran ponsel ketika dilakukan panggilan inilah nantinya
komponen listrik yang telah dirangkai terhubung dan mampu meledak sesaat
setelahnya.
Karena membutuhkan ponsel lain untuk menghidupkannya, maka IED mampu
dikendalikan dari jarak jauh. Hanya dibutuhkan sinyal dan jaringan yang
bagus untuk mengaktifkannya. Dengan sekali panggilan, maka IED pun
langsung meledak.Karena murah dan mudah dirakit, IED populer saat
Amerika Serikat melakukan invasi ke Irak dan Afganistan. Para gerilyawan
biasanya membuat IED untuk menghadang laju serangan pasukan darat
AS.Hanya saja, tingkat kerusakan yang dihasilkan IED tidak separah bom
kelas C4. Oleh karenanya, IED seringkali dipasang dalam sebuah mobil
atau benda lain untuk meningkatkan efek dari kehancuran yang
ditimbulkan.
Meski kebanyakan IED diledakan dengan trigger sinyal ponsel, namun
sejatinya IED dapat diledakan lewat frekuensi radio, Bluetooth, dan
Infrared. Nah, berangkat dari kasus diatas, munculah teknologi jammer
anti IED. Di medan tempur seperti Irak dan Afghanistan, keberadaan
jammer anti IED sudah lumrah dalam tiap operasi rutin.
Beginilah efek ledakan dari IED.
Wujudnya bisa dalam model vehicle mounting jammer atau model backpack
jammer. Fungsi keduanya sama, yakni mengacaukan frekuensi radio di area
sasaran. Yang membedakan lebih kepada coverage jammer, vehicle mounting
dengan dukungan power supply lebih besar bisa menjangkau area lebih
luas. Sementara backpack jammer lebih fleksibel dengan tas ransel, ideal
digunakan oleh unit infanteri.
Jammer Anti IED dari Dislitbangal – PT Inti
Meski pasukan TNI belum menghadapi ancaman langsung dari IED, namun
Dinas Penelitian dan Pengembangan Angkatan Laut (Dislitbangal) TNI AL
dan BUMN PT Inti (Industri Telekomunikasi Indonesia) sudah berhasil
mengembangkan prototipe jammer anti IED dalam model backpack. Karena
dikembangkan oleh Dislitbangal, besar kemungkinan proyeksi alat ini
untuk kebutuhan pasukan marinir kedepan. Sementara peran PT Inti sebagai
pendukung sistem elektronik dan teknologi dari jammer anti IED
tersebut.
Inilah anti jammer IED yang dikembangkan Dislitbangal dan PT Inti.
Pasukan AS sedang mempersiapkan jammer anti IED.
“Jangkauan jammer anti IED yang kami kembangkan bisa mencapai radius
satu kilometer. Perangkat ini juga dapat menjalankan jamming multi
frekuensi, mulai dari frekuensi CDMA, PCS, WCDMA, GSM 1800/1900, WiFi
2.4Ghz, Bluetooth, dan GPS,” ujar Yudi Limbar Yasik, Kepala Divisi (EGM)
Corporate Planning PT Inti. Soal jangkauan sebenernya bisa disesuaikan,
bergantung pada power supply. Sementara banyaknya antena pada backpack
bergantung pula pada banyaknya sasaran frekuensi yang mau di jamming.
Untuk backpack jammer anti IED rancangan Dislitbangal dan PT Inti,
kabarnya dapat mengadopsi empat band frekuensi, dengan output max per
band 20W, sehingga total ada output 80W. Sebagai sumber tenaga
menggunakan baterai lithium polymer/DC 48V. Dengan kondisi empat band
frekuensi diaktifkan, masa aktif baterai bisa mencapai 1 jam. Guna
mencegah panas berlebih pada komponen, pada backpack juga disertakan fan cooling.
Kinerja tim penjinak ranjau sangat terbantu dengan jammer anti IED.
Prototipe backpack jammer anti IED ini diberi model number GM-20MP,
dan punya ukuran panjang 500 mm, lebar 375 mm dan tinggi 185 mm. Untuk
bobotnya sekitar 23 kg, bergantung pada pilihan komponen di dalamnya.
Dari segi ukuran, sekilas mirip dengan radio panggul PRC-77. Sayangnya,
implementasi perangkat ini bukan tanpa tantangan, mengingat operasional
jammer memerlukan ijin frekuensi dari Ditjen Postel.
Salah satu mobil patwal VIP yang dilengkapi perangkat jammer.
Snapshot dari tayangan TV ini memperlihatkan vehicle mounting jammer yang digunakan Paspampres.
Mobil mewah pun bisa dipasangi antena jamming.
Keberadaan jammer anti IED boleh dibilang sangat penting, selain jadi
‘perisai’ pasukan infanteri, perangkat ini juga banyak gunanya di masa
damai. Ambil contoh penggunaan jammer anti IED dalam proteksi VIP (very
important person). Di Indonesia,penggunaan jammer untuk beragam peran
lumrah dilakukan oleh Paspampres (Pasukan Pengawal Presiden). Umumnya
dalam iring-iringan kendaraan pengawal kepresidenan terdapat unit
vehicle mounting jammer. Dengan hadirnya alat ini, ancaman teror bom
yang dipicu frekuensi radio dapat dinetralisir, namun sebagai dampaknya
mungkin sinyal ponsel warga di sekitaran akan ikut terganggu. (Haryo Adjie)
Pabrikan pembuat helikopter asal Amerika
Serikat, Sikorsky, berharap Pemerintah Indonesia melanjutkan rencana
pembelian helikopter UH-60 Black Hawk buatannya. Rencana pembelian
helikopter utilitas militer legendaris ini pernah digagas Tentara
Nasional Indonesia Angkatan Darat pada 2013.
Menurut Christophe A Nurit, Wakil Presiden Penjualan dan Pemasaran
Sikorsky Asia Pasifik, belum ada lanjutan tentang rencana tersebut. Yang
ia ketahui, Indonesia sempat menunda rencana pembelian tersebut karena
ada kendala anggaran.
“Saya mendengar telah ada pembicaraan antar pemerintah (Indonesia dan
AS). Namun, kami belum mendapat kabar terbarunya hingga saat ini,” kata
Nurit kepada wartawan di Singapura, Kamis (12/11), yang dihadiri
wartawan Kompas, Dahono Fitrianto.
Dalam catatan Kompas, rencana pembelian helikopter Black Hawk ketika
itu dilontarkan oleh Kepala Staf TNI AD Jenderal Pramono Edhie Wibowo di
Banda Aceh, Aceh, pada 11 Februari 2013. Saat itu, Pramono Edhie Wibowo
mengatakan, TNI AD ingin membeli 20 unit Black Hawk di samping 24
helikopter Bell 412.
Menurut Nurit, helikopter Black Hawk sangat sesuai dengan kebutuhan
Indonesia. Selain bisa digunakan untuk mengangkut pasukan, helikopter
tersebut juga terbukti sangat berguna untuk dalam operasi kemanusiaan.
“Selain itu, Indonesia akan memiliki peluang untuk berlatih bersama
negara-negara lain yang sudah banyak mengoperasikan Black Hawk,” tutur
Nurit.
Ia mengatakan, ada potensi besar untuk kerja sama antara Sikorsky dan
PT Dirgantara Indonesia (Persero) di Bandung, Jawa Barat. “Saya sudah
berkunjung ke sana dan saya lihat sumber dayanya bagus. Ada potensi
sangat besar,” ujarnya.
Jika rencana pembelian ini jadi diwujudkan, helikopter Black Hawk
akan melengkapi armada helikopter TNI AD yang sudah dioperasikan.
Sebelumnya, TNI AD juga telah membeli sejumlah helikopter serbu AH-64E
Apache buatan Boeing dari AS. Di kategori helikopter utilitas, TNI juga
sudah mengoperasikan Bell 412 buatan AS serta dan Mi-17 dan Mi-35 buatan
Rusia.
Helikopter Black Hawk selama ini menjadi tulang punggung angkatan
bersenjata AS untuk fungsi utilitas medium dalam berbagai misi, seperti
mengangkut pasukan, persenjataan, logistik, dan evakuasi medis.
Menurut Shane G Eddy, Presiden Commercial System and Services
Sikorsky, pihaknya telah memproduksi sedikitnya 4.000 helikopter Black
Hawk dari berbagai varian untuk tiga matra angkatan bersenjata AS.
Peremajaan
Di Jakarta, Kepala Dinas Penerangan TNI AD Brigadir Jenderal M Sabrar
Fadhilah mengatakan, peremajaan helikopter memang sedang dilakukan.
“Tetapi, kalau jenis Black Hawk buatan Sikorsky, kami belum mendengar
kabar pastinya,” ujarnya.
Sabrar menambahkan, helikopter baru untuk TNI AD yang didatangkan tahun depan adalah helikopter serbu AH-64 Apache.
Adapun Kepala Dinas Penerangan TNI AU Marsekal Pertama Dwi
Badarmanto, yang dihubungi terpisah, mengatakan, peremajaan helikopter
kepresidenan di Skuadron 17 VVIP sedang diajukan. “Ada usulan pengadaan
dua unit helikopter AW-101 Agusta untuk pengganti helikopter Super Puma.
Kalau jadi, itu diadakan tahun depan,” kata Dwi Badarmanto.
Interoperability menjadi kata yang kerap mudah diucapkan dalam
bahasan dunia militer. Indikator kemajuan militer suatu negara, salah
satunya dapat diukur dari kemampuan membangun data link dan
interoperability diantara perangkat alutsista yang dioperasikan. Tapi
faktanya, mewujudkan interoperability adalah sebuah tantangan besar,
terlebih bila sedari awal perangkat yang digunakan berasal dari beberapa
vendor berbeda. Hal inilah yang menjadi pekerjaan rumah bagi TNI untuk
bisa dicarikan solusinya.
Berangkat dari kasus diatas, Universitas Pertahanan (Unhan), sebagai
lembaga pendidikan dibawah Kementerian Pertahanan (Kemhan) RI,
bekerjasama dengan Saab, manufaktur elektronik dan persenjataan global
dari Swedia, dari tanggal 10 – 11 November 2015 menggelar seminar dengan
tema “Achieving National Information Superiority through The Mastery of Defense Technology.”
Saab yang punya pengalaman dalam membangun data link, menghadirkan Bo
Granbom, Director Air Communication Solutiuons Program Manager Saab, dan
Roland Heicker, professor bidang Cyber Defence dari Royal Institute of
Technology di Stockholm, Swedia.
Antara Unhan dan Saab sebelumnya telah melakukan penandatanganan
kerjasama pendidikan di Stockholm bulan Juni lalu. Didukung PT Inti dan
ITB (Institut Teknologi Bandung), nantinya akan dirumuskan solusi
interoperability dan data link yang terbaik untuk dapat diadopsi oleh
ketiga matra TNI. “Selama ini interoperability masih menjadi masalah
yang cukup signifikan bagi operasional TNI, salah satu faktornya karena
penggunaan beberapa perangkat (jaringan komunikasi) yang berbeda antar
satuan, sehingga menjadi persoalan dalam lingkup kodal (komando dan
pengendalian),” ujar Marsekal Muda TNI Suparman, Pembantu Rektor III
Unhan.
Dalam diskusi seminar yang digelar di Hotel LorIn, Sentul, terungkap
bahwa komunikasi antar Puskodal (Pusat Komando Pengendalian) matra TNI
menggunakan saluran yang berbeda, sehingga penyampaian pesan dan
informasi mengalami tantangan pada standarisasi. Suparman yang telah
lama berkarir di Satuan Radar (Satrad) Kohanudnas menyebut keragaman
jenis radar bisa menjadi contoh. Sejak awal radar Kohanudnas memang
sudah punya jenis yang berbeda-beda, dan menjadi masalah dalam hal
interoperability antar jenis radar. Tapi lewat inovasi teknisi dalam
negeri, persoalan itu kini telah bisa dipecahkan.
Ilustrasi ruang Kodal.
Saab menawarkan stem radar airborne Erieye dalam paket integrasi pertahanan udara.
Saab yang kampiun dalam teknologi data link dan interoperability
antar perangkat tempur, mendukung penuh implementasi teknologi strategis
ini di Indonesia. Dalam paparan seminar, Saab juga menjelaskan
keunggulan Multilink-S yang mengusung interoperability pada elemen
tempur pertahanan udara dan national tactical data link system. “Kami
disini menawarkan solusi yang terintegrasi untuk membangun data link
diantara beberapa perangkat komunikasi dari jenis berbeda yang digunakan
TNI,” ujar Örjan Borgefalk, Vice President Industrial Cooperation Saab
Asia Pacific kepada Indomiliter. (Haryo Adjie)
Bandung — Pesawat baru produksi PT Dirgantara
Indonesia (Persero), yakni N-219, diminati sejumlah perusahaan
penerbangan baik di dalam negeri maupun luar negeri. Pemesanan sudah
mulai dilakukan meski saat ini PT DI sedang dalam tahap perakitan akhir
untuk pembuatan prototipe pesawat tersebut.
“Ada beberapa perusahaan penerbangan swasta yang ingin langsung
melakukan kontrak dengan memesan sekitar 30 pesawat. Kami belum dapat
memutuskan. Kami harus berkonsultasi dulu dengan Kementerian Badan Usaha
Milik Negara, apakah hal ini diperbolehkan. Sebab, kalau satu
perusahaan penerbangan memesan beberapa pesawat dalam sekian tahun, maka
perusahaan lain, yang juga ingin membeli, tidak bisa memperolehnya.
Mereka bisa saja memprotes karena dinilai telah terjadi monopoli,” kata
Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia (DI) Budi Santoso, Kamis
(12/11/2015), di Bandung, Jawa Barat.
Budi mengemukakan hal itu seusai acara syukuran atas Pencapaian Tahap
Validasi Rekayasa Rancang Bangun Struktur N-219 Hasil Kerja Sama PT DI
dengan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) di hanggar
N-219, Bandung.
Pesawat itu telah selesai dirancang dan dibangun strukturnya secara
utuh berbentuk pesawat asli, dan direncanakan diresmikan Presiden Joko
Widodo. Pesawat komuter berkapasitas 19 penumpang dengan dua mesin
turboprop dan bernilai investasi sekitar 50 juta dollar AS itu
direncanakan pula dapat terbang perdana pada tahun 2016.
Sejumlah perusahaan penerbangan yang berminat membeli N-219 di
antaranya Aviastar dan Trigana Air. Perusahaan ini telah menandatangani
nota kesepahaman dengan PT DI.
Selain itu, sejumlah negara juga telah menyatakan minatnya untuk
membeli pesawat angkut ringan yang dapat beroperasi di daerah
penerbangan perintis ini, yaitu Kroasia, Laos, dan Thailand. Thailand
yang pernah membeli pesawat NC-212 dan CN 235 itu ingin membeli N-219
untuk kegiatan menurunkan hujan buatan guna mendukung pertaniannya.
“Kanada juga menawarkan kerja sama untuk produksi N-219,” ujar Budi.
Pesawat N219
PT DI menargetkan produksi N-219 pada 2017 rata-rata 6 unit per
tahun, lalu pada 2018 sebanyak 10 unit per tahun, dan pada 2019
ditingkatkan sebanyak 18 unit per tahun, dan maksimal adalah 20 unit per
tahun dengan melihat pula kebutuhan pasar.
Budi mengemukakan, pihaknya optimistis pesawat N-219 mampu menguasai
pasar pesawat terbang di kelasnya. Harga jual pesawat ini juga
diupayakan berkisar 5 juta – 6 juta dollar AS per unit. Harga ini
relatif lebih murah dibandingkan dengan kompetitor, yakni pesawat Twin
Otter buatan Kanada yang dijual sekitar 7 juta dollar AS per unit.
Pesawat N-219 juga memiliki sejumlah keunggulan, di antaranya dapat
lepas landas dan mendarat dalam jarak pendek di landasan sepanjang 600
meter, dapat lepas landas dan mendarat di landasan yang tidak beraspal,
mudah dioperasikan di beberapa daerah terpencil, kabin terluas di
kelasnya, serta biaya operasional yang kompetitif.
“Pesawat N-219 juga unggul karena desainnya mengacu pada teknologi
tahun 2000-an, sedangkan kompetitor desainnya adalah teknologi tahun
1960-an. Pesawat ini juga dapat dikendalikan dengan kecepatan rendah,
yaitu 59 knot. Itu sebabnya pesawat ini dapat mendarat dalam jarak
pendek di landasan sepanjang 600 meter. Dengan demikian, pesawat ini
sangat cocok untuk melayani penerbangan perintis dengan kondisi bandara
di daerah- daerah terpencil, yang umumnya kondisi landasan pendek dan
tidak beraspal,” tutur Budi.
Budi juga menjelaskan, pesawat N-219 dapat digunakan untuk menjangkau
seluruh daerah penerbangan perintis di Indonesia yang tersebar di 21
provinsi, meliputi 170 rute penerbangan. Rute penerbangan perintis
terbanyak adalah di kawasan Sulawesi dan Papua.
“Paling tidak dengan 100 unit pesawat N-219 sudah dapat melayani semua rute penerbangan perintis,” ujarnya.
Chief Engineering N-219 PT DI Palmana Bhanadhi mengatakan, pesawat
N-219 juga dapat difungsikan untuk kegiatan militer, patroli maritim,
ataupun evakuasi di daerah bencana. Palmana menyinggung pula, mesin
N-219 menggunakan PT6-42A, 850 shaft horse power (shp) buatan Kanada,
dan baling-baling Hartzell buatan AS.
“Untuk sistem avionik, kami menggunakan Garmin 1000 buatan AS. Dalam
pemilihan mesin ini, kami tidak pilih satu perusahaan, tetapi melalui
seleksi pada sejumlah perusahaan. Kami juga beraudiensi dengan customer,
dan mereka lebih menyukai mesin dari Kanada ini yang reputasinya
dikenal bagus. Mesin ini telah digunakan lebih dari 2.500 pesawat.
Dengan begitu, harganya tidak mahal, pemeliharaan dan suku cadang juga
mudah diperoleh,” katanya.
(Photo: Pesawat MIG Indonesia di era Tahun 60-an )
Kalau kita mengingat ke masa lalu sungguh indah negeri ini dengan
segala alutsista yang menggetarkan Asia, bahkan dunia. Dengan peralatan
perang tercanggih di masanya terutama TNI AU, Indonesia menjadi macan di
Asia. Yang menarik adalah keberadaan sederetan pesawat tempur seri MIG
yang lengkap dan menjadi andalan di udara NKRI yang kita cintai. Era
tahun 60-an adalah era kehebatan angkatan udara Indonesia dengan lebih
dari 120 pesawat tempur MIG seri mulai dari MIG 15, MIG 17, MIG 19 dan
yang paling tercanggih pada masanya MIG 21 bersama puluhan pesawat
pembom kelas berat made in Uni Soviet (Rusia).
Setelah jatuhnya rezim Soekarno (Orde Lama), digantikan dengan rezim
baru Soeharto (orde baru), pelan-pelan taring macan tersebut mulai
tumpul bahkan menjadi macan ompong. Saat orde baru haluan alutsista kita
lebih menjorok ke barat, alusista made in Uni soviet (Rusia) diberangus
habis tak tersisa seiring dengan memburuknya hubungan bilateral
Indonesia – Soviet. Sampai saat ini kehebatan persenjataan matra udara
kita belum mampu memecahkan rekor kehebatan di tahun 60-an.
Perlahan tapi pasti setelah jatuhnya rezim Soeharto (orde baru )
hubungan bilateral dengan Rusia mulai diperbaiki dengan diawali
pembelian 4 sukhoi SU 27/30. Rasa optimis untuk mengencangkan otot matra
udara kita semakin menguat dengan keadaan kondisi ekonomi Indonesia
yang semakin membaik.
Indonesia mulai menata kembali persenjataan segala matra terutama
matra udara dengan memperbaharui dan melengkapi pesawat tempurnya dengan
menambah pesawat SU 27/30 menjadi 1 Skuadron, pembelian pesawat latih
Grob dan TA/FA50i, pesawat anti gerilya, pesawat angkut dan yang paling
menghebohkan kawasan adalah rencana Indonesia untuk bisa mandiri dalam
mebuat pesawat tempur dengan melakukan kerjasama dengan Korea Selatan
dengan Program IFX/KFX.
Belum lama ini kita mendengar beberapa isu mengenai pesawat KFX/IFX
hasil kerjasama Indonesia dengan Korea Selatan di mana dalam
perjalanannya mengalami beberapa hambatan. Yang terakhir mengenai isu
gagalnya Transfer Of Technology ( TOT ) LM untuk 4 teknologi inti yang
dapat menghambat program IFX/KFX dan membuat Korea Selatan berpikir
keras untuk mendapatkan 4 teknologi inti: radar AESA , Infrared Search
and Track System, Electronic Optics Targeting Pod dan Radio Frequency
Jammer. Ssebagai solusinya Korea Selatan mencoba menjalin kerjasama
dengan negara pihak ketiga yang mau berbagi teknologi yang dibutuhkan
untuk memenuhi kebutuhan pesawat IFX/KFX . Keterikatan Korea Selatan dan
Amerika Serikat sebagai salah satu sekutu dekatnya di Asia akan
mempersulit Korea Selatan bekerjasama dengan perusahaan dari negara lain
selain LM dan Boeing.
Di sinilah peran Indonesia dibutuhkan, Indonesia sebagai negara Non
Blok kemungkinan masih dengan bebas bisa memilih kerjasama dengan pihak
ketiga dalam hal pengembangan teknologi pesawat tempur dengan dalih
untuk mengganti pesawat tempur yang sudah lawas dengan syarat TOT.
Sejauh ini yang secara vulgar dan terang-terangan siap berbagi teknologi
pesawat tempur baru adalah Typhoon dan Gripen NG. Akan tetapi yang jadi
pertanyaan, apakah TOT yang diberikan bisa menutupi kekurangan dalam
program IFX/KFX. Apabila kesulitannya adalah dana ada baiknya pemerintah
melobi Korea Selatan dan membuat perjanjian tertutup dimana Korea
selatan untuk ikut sharing dana agar indonesia mendapatkan TOT yang
dibutuhkan, kemudian berbagi ilmu dengan Korea Selatan dari hasil TOT
tersebut untuk digunakan dalam pengembangan pesawat IFX.
(Photo: Pesawat MIG 35 dan Pesawat IFX/LFX )
Dengan semakin membaiknya hubungan Indonesia – Rusia tidak ada
salahnya pemerintah melalui Kemenhan dan TNI AU sebagai User mencoba
alternatif lain dari Rusia dengan melakukan pembelian pesawat tempur
secara G to G untuk pengembangan Pesawat Tempur IFX. Yaitu dengan
mengakusisi Sukhoi SU 35 dan MIG 35 dengan perbandingan 1 berbanding 2
dalam pembeliannya misalkan dengan 1 Skuadron SU 35 dan 2 Skuadron MIG
35 di mana syarat transfer teknologi harus diberikan MIG 35 jika pihak
sukhoi tidak bisa memberikan TOT yang dibutuhkan Indonesia. Karena dua
pesawat tersebut dari kelas yang berbeda maka TNI/Kemenhan harus
mengakusisi dua pesawat tersebut untuk bisa saling melengkapi satu sama
lain dan dari segi harga juga MIG 35 Lebih murah dibanding SU 35. Dimana
pesawat tempur SU 35 sebagai pengganti Pesawat F-5E yang sudah uzur
sedangkan MIG 35 sebagai penambahan Skuadron baru.
Dengan harga MIG 35 yang terbilang murah (± USD 35 – 40 Juta) kita
bisa mendapatkan 2 Skuadron sekaligus sebagai penambahan skuadron baru,
di mana pemerintah Indonesia dalam program MEF nya sampai 2024 akan ada
penambahan skuadron baru. Pesawat multirole yang mampu terbang di
landasan pendek, berkecepatan tinggi, bermanuver dengan baik,
berkemampuan tempur BVR dan punya daya jelajah yang jauh.
Saat ini yang tersemat dalam teknologi Pesawat MIG 35 bisa menjadi
alternatif karena karakteristik pesawatnya hampir sama dengan karakter
pesawat IFX yang sedang dikembangkan Indonesia. Seperti halnya SU 35,
pesawat MIG 35 hanyalah jembatan menuju pesawat generasi 5 dan masih ada
kemungkinan dikembangkan bersama dengan PT DI jika pemerintah serius
ingin membangun industri pesawat tempur. Mengingat MIG sendiri sedang
membutuhkan dana untuk program pesawat selanjutnya. Jumlah pesawat di
atas juga masih ada kemungkinan bertambah hingga tahun 2024 yaitu
sekitar 180 pesawat tempur seperti yang tercanang hingga program MEF 3
selesai.
(Photo: Pesawat MIG 35 pengembangan dari MIG 29 )
Belum lama ini pemerintah Rusia pun telah menyatakan siap untuk
bekerjasama dengan Indonesia dalam bidang pertahanan, baik melalui
lisensi produk pertahanan atau bekerjasama dalam pengembangan produk
pertahanan terbaru. Jika pemerintah Indonesia jeli dan peka dalam
menyambut sikap Rusia terhadap sistem pertahanan Indonesia, maka akan
menjadi langkah positif dan kemajuan tersendiri dalam teknologi di
bidang pertahanan udara dan kedirgantaraan negara kita. Bukan tidak
mungkin pada tahun 2030 nanti era kejayaan kita pada tahun 60-an akan
terulang kembali menjadi Macan Asia.
Kemenangan gemilang pasukan Sekutu, khususnya Inggris diuji di
Surabaya. Saat menghadapi tentara Jerman dalam Perang Dunia II, Inggris
tak pernah sekalipun kehilangan jenderalnya. Namun di Kota Surabaya,
kenyataan terbalik 180 derajat.
Seperti dikutip dari Wikipedia,
ketika pasukan Inggris tiba di Surabaya, lima hari kemudian atau
tepatnya pada 30 Oktober 1945 seorang jenderalnya terbunuh, yaitu
Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern (AWS) Mallaby.
Brigjen
Mallaby tiba dengan pasukannya pada 25 Oktober 1945 di Surabaya.
Pasukannya dikenal dengan Brigade 49 yang jumlah sekitar 6.000 pasukan.
Brigade 49 juga bagian Divisi 23 pasukan Inggris yang dikenal dengan
'The Fighting Cock', yang memiliki pengalaman mengalahkan tentara Jepang
di hutan Burma (sekarang bernama Myanmar). Termasuk front pertempuran
di Semenanjung Malaya serta memenangkan perang melawan tentara Jerman di
Afrika utara.
Mallaby adalah seorang perwira muda eksekutif Kerajaan Inggris dengan karier terbilang cemerlang. Lahir pada 12 Desember 1899, Brigjen Mallaby
harus menutup usianya menjelang ulang tahunnya yang ke-46 di Jembatan
Merah, Surabaya dalam latar belakang kondisi yang sangat pelik saat itu.
Ia
sangat terampil dalam menjalankan segala macam penugasan, sehingga pada
usia 42 tahun mendapat promosi jenderal berbintang satu. Selama PD II,
Mallaby menjabat perwira staf kepercayaan Laksamana Mountbatten,
panglima tertinggi atas Komando Asia Tenggara (South East Asia
Command/SEAC).
Saat penugasan di Surabaya, Mallaby dan pasukannya merupakan bagian
dari Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI). Ini adalah pasukan
Sekutu yang dikirim ke Indonesia setelah selesainya PD II untuk melucuti
persenjataan balatentara Jepang dan membebaskan tawanan perang Dai
Nippon. Serta, mengembalikan Indonesia kembali menjadi Hindia Belanda
kekuasaan Belanda di bawah administrasi NICA (Netherlands Indies Civil
Administration).
Niat tersebut seperti tertulis dalam buku Batara R Hutagalung yang bertajuk 10 November 1945: Mengapa Inggris Membom Surabaya?
Disebutkan, sebagai salah satu pemenang PD II, Inggris bertujuan untuk
melucuti senjata pasukan Jepang yang masih berada di Indonesia.
Mengutip Wikipedia,
Mallaby memimpin pasukannya memasuki Surabaya pada 25 Oktober 1945
untuk melucuti tentara Jepang sesuai dengan isi Perjanjian Yalta. Tujuan
ini mendapat perlawanan dari pasukan Indonesia karena AFNEI menuntut
mereka menyerahkan senjata-senjata yang telah dirampas pihak Indonesia
terlebih dahulu dari Jepang.
Timbullah beberapa konflik
bersenjata antara kedua pasukan, yang salah satunya terjadi pada 30
Oktober 1945 di dekat Jembatan Merah, Surabaya. Mobil Buick yang
ditumpangi Mallaby dicegat oleh pasukan dari pihak Indonesia sewaktu
hendak melintasi jembatan.
Mallaby Tewas
Dan
terjadilah baku tembak yang berakhir dengan tewasnya Mallaby oleh
tembakan pistol seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang tidak
diketahui identitasnya, dan terbakarnya mobil Mallaby akibat ledakan
sebuah granat yang menyebabkan jenazah Mallaby sulit dikenali. Mallaby
tewas pada 30 Oktober 1945 pukul 20.30 WIB.
Kematian Mallaby
menyebabkan Mayor Jenderal EC Mansergh, pengganti Mallaby, mengeluarkan
ultimatum kepada pasukan Indonesia di Surabaya pada 9 November 1945
untuk menyerahkan senjata tanpa syarat. Pada 10 November 1945, pecahlah
Pertempuran 10 November karena pihak Indonesia tidak menghiraukan
ultimatum ini.
Namun pada 20 Februari 1946, Tom Driberg anggota
Parlemen Inggris dari Partai Buruh Inggris dalam perdebatan di Parlemen
Inggris (House of Commons) meragukan tuduhan dan dugaan Inggris bahwa
baku tembak ini dimulai oleh pasukan pihak Indonesia dan Mallaby dibunuh
secara licik.
Driberg menyampaikan bahwa insiden tersebut timbul
karena kesalahpahaman 20 anggota pasukan India pimpinan Mallaby yang
memulai baku tembak dengan pasukan pihak Indonesia, di mana mereka tidak
mengetahui bahwa gencatan senjata sedang berlaku karena mereka terputus
dari kontak dan telekomunikasi dari Mallaby.
Menurut Tom Driberg
dalam debatnya di Parlemen Inggris: "Setelah memerintahkan penghentian
baku tembak oleh pasukan India tersebut, dalam satu titik dalam diskusi
gencatan senjata, Mallaby kembali memerintahkan untuk memulai tembakan
kembali."
"Hal ini berarti gencatan senjata telah pecah karena perintah Mallaby
dan Mallaby tewas dalam aksi pertempuran, bukan dibunuh secara licik,"
lanjut Driberg.
Bagi pihak Indonesia, keberhasilan menewaskan
seorang jenderal yang memiliki jam terbang tinggi pengalaman memimpin
pasukan berperang adalah sesuatu hal membanggakan. Namun terbunuhnya
Mallaby justru memantik rasa ingin tahu siapa orang yang berhasil
menewaskan Mallaby dan lantas meledakkan mobilnya.
Misteri Kematian Mallaby
Beberapa
pelaku sejarah pun tidak pernah tahu siapa yang menewaskan Mallaby.
Termasuk salah satunya almarhum Roeslan Abdulgani dan beberapa pelaku
sejarah lainnya. "Siapa yang menewaskan hingga sekarang tidak ada yang
tahu," ujar almarhum Roeslan dalam sebuah kesempatan.
Sejarawan
Surabaya, Suparto Brata juga mengatakan, hingga detik ini siapa yang
menewaskan Mallaby tetap menjadi misteri. "Tidak ada yang tahu atau
saksi mata yang melihat siapa yang membunuh Mallaby," ujar Suparto
Brata, seperti dikutip dari Wikipedia.
Dalam ceritanya
yang dituangkan dalam sebuah buku, Roeslan Abdulgani juga menuturkan,
pertempuran di depan Gedung Internatio, Surabaya dipicu oleh tentara
Inggris yang terkurung di dalam gedung melakukan tembakan membabi buta
ke arah para pejuang.
"Namun siapa yang membunuh, belum pernah ada saksi mata," ujar Roeslan.
Versi lain menyebutkan Mallaby terbunuh oleh tentara Inggris yang salah sasaran. Des Alwi dalam buku bertajuk Pertempuran Surabaya, November 1945 menyebutkan kemungkinan Mallaby mati akibat tembakan salah sasaran (friendly fire) dari tentara Inggris.
Hal
ini menurut Des Alwi, berdasarkan kesaksian dari Muhamad, tokoh pemuda
yang ikut masuk ke Gedung Internatio untuk mendinginkan suasana. Di
dalam gedung tersebut, Muhamad melihat sendiri tentara Inggris telah
menyiapkan mortir yang diarahkan ke kerumunan massa yang mengelilingi
mobil Mallaby.
Dia juga mendengar sendiri hubungan telepon antara
Kapten Shaw dan komandannya di Westerbeuitenweg di Pelabuhan Tanjung
Perak, Surabaya. Rencananya, jika kerumunan rakyat dihujani dengan
mortir, maka mereka akan kocar-kacir. Kesempatan tersebut kemudian akan
digunakan tentara Inggris yang terkepung di Gedung Internatio untuk
meloloskan diri.
"Karena pintu kamar tetap dibiarkan terbuka,
maka saya bisa menduga, bahwa mortir di depan jendela tersebut akan
ditujukan kepada sederetan mobil yang sedang berhenti di dekat Jembatan
Merah. Mungkin dengan perhitungan, bila peluru yang ditembakkan mengenai
sasaran, rakyat akan menjadi panik sehingga memberi kesempatan kepada
Brigadir Jenderal Mallaby lari melepaskan diri. Ternyata, dugaan saya
tidak keliru. Sebab mobil Residen Soedirman terbakar habis, tepat kena
tembakan mortir," tulis Des Alwi mengutip Muhamad.
"Tetapi yang
terjadi kemudian adalah ledakan yang tidak diketahui asalnya, yang
menghancurkan mobil Mallaby. Hal ini memicu kekacauan, yang berlanjut
pada kerusuhan yang tak terkendali," sambung Des Alwi.
"Sementara
itu ada beberapa pemuda yang dapat menyelamatkan diri dari hujan
tembakan pasukan Inggris. Seseorang meloncat ke pinggir Kali Mas, sampai
di dekat kita, kemudian berbisik:
'Pak, sudah beres.' 'Lho, apanya yang sudah beres?' tanya Doel Arnowo. 'Jenderalnya Inggris, Pak, yang tua itu. Mobilnya meledak dan dia sudah mati terbakar.' 'Siapa meledakkan?' tanya kita serentak. Dia
segera menjawab, 'Tidak tahu. Tiba-tiba saja ada granat meledak dari
dalam mobil. Tetapi, memang dari pihak kita, juga ada yang menembak ke
arah mobil tersebut.' Begitu penjelasannya." "Kami semua sangat
kaget. Maka saya langsung mengingatkan pemuda itu, 'Sudahlah kamu diam
saja. Jangan bercerita pada orang lain." Demikian penuturan Muhamad yang
dikutip Des Alwi dalam bukunya tersebut. Jenazah Mallaby yang
hangus terbakar akhirnya dikembalikan kepada pasukan Inggris seminggu
kemudian. Tanpa sempat mengecek apakah jenazah tersebut benar Mallaby
atau bukan, karena pertempuran segera berkobar, pasukan Inggris segera
mengubur jenazah tersebut di kawasan Tanjung Perak. Setelah
tembak-menembak mereda, jenazah Mallaby dipindahkan ke pemakaman Kembang
Kuning, Surabaya, Jawa Timur. Beberapa bulan kemudian sekali lagi
jenazah tersebut dipindahkan di Commonwealth War Cemetary, Menteng Pulo,
Jakarta, hingga sekarang. Misteri kematian Brigjen Mallaby pun belum terungkap jelas hingga kini.