Prajurit TNI AD memperagakan demo Yongmoodo
saat Peringatan HUT ke-70 TNI di Dermaga Indah Kiat, Merak, Cilegon,
Banten, Senin (5/10/2015) (ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma)
Kementerian Pertahanan mencanangkan program pendidikan dan pelatihan
bagi 4.500 warga sipil di 45 kabupaten/kota dalam kegiatan pendidikan
dan pelatihan kader pembina bela negara.
Sebanyak 100 juta warga negara ditargetkan akan menjadi kader dalam
proyek yang akan dibuka resmi secara serentak pada 19 Oktober 2015
tersebut.
"Ini bukan wajib militer. Pembentukan ini untuk melahirkan warga negara yang siap guna menyongsong Indonesia yang kuat di tengah kompleksitas berbagai bentuk ancaman nyata," kata Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu di Kantor Kementerian Pertahanan, Senin 12 Oktober 2015.
Gagasan ini pun tak pelak menuai kontroversi. Sejumlah pihak banyak menyamakan bila konsep ini mirip dengan wajib militer dan sebagian lagi menilainya sebagai sebuah kebijakan yang belum patut menjadi prioritas.
Ide Lama
Sekadar mengingatkan, hampir tiga tahun silam. Dewan Perwakilan Rakyat memang tengah menggodok sebuah Rancangan Undang-Undang bernama Komponen Cadangan Negara.
Dalam RUU itu mencantumkan perihal wajib militer bagi seluruh masyarakat Indonesia. Hajriayanto Thohari, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat periode 2009-2014, kala itu menyambut baik RUU tersebut.
Hal itu menurutnya memang sudah termaktub dalam Tap MPR Nomor VI/MPR/2000 dan Tap MPR Nomor VII/MPR/2000. "Setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam bela negara," kata Hajriyanto saat itu. [Baca Juga: Pimpinan MPR Setuju Wajib Militer]
Dalam konsepnya,RUU Komponen Cadangan Negara ini merencanakan agar ada pendidikan selama lima tahun bagi seluruh warga yang diikutsertakan. Praktiknya, para peserta akan dibekali dengan ilmu ketentaraan dan doktrin-doktrin yang berkaitan dengan ketahanan negara.
Selama beberapa waktu, para peserta akan dibekali dengan sejumlah pelatihan. Seluruh biaya dan segala operasional yang keluar dari peserta seluruhnya akan menjadi tanggungan negara.
Singkatnya, seluruh warga sipil ini hendak dicetak menjadi cadangan militer saat terjadi perang. Atau dengan kata lain menjadi kelompok yang sewaktu-waktu bisa dimobilisasi oleh presiden dengan status sebagai kombatan di tiga matra (Angkatan Darat, Udara dan Laut).
""Karena keberadaan mereka (peserta wajib militer) memiliki efek gentar bila jumlah pasukan kita besar," kata Direktur Jenderal Potensi Pertahanan Kementerian Pertahanan M Hutabarat kala itu.
Hak dan Kewajiban
Tahun ini, wacana 'wajib militer' atau dengan bahasa kekiniannya Bela Negara kembali didengungkan oleh pemerintah. Meski masih terus menuai kritik, wacana ini akan terus digulirkan.
Ryamizard mengklaim konsepsi bela negara yang digulirkannya tak sesempit yang diperkirakan banyak pihak. Menurutnya ini bukan cuma soal mengangkat senjata, namun juga kepada upaya membangun dan menumbuhkan sikap disiplin nasional.
Meningkatkan motivasi, menggalang solidaritas dalam menghadapi bencana dalam skala kecil maupun besar, meningkatkan kualitas kebersamaan dan mengurangi potensi konflik.
"Pancasila menjadi pilar utamanya. (Karena itu) Semuanya perlu ditata tentang bagaimana hidup berbangsa dan bernegara. Untuk itulah dibentuk kader bela negara," kata Ryamizard. [Baca juga: Bela Negara Akan Masuk Kurikulum Sekolah]
Secara keseluruhan konsepsi bela negara yang digaungkan di pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Jusuf Kalla tahun ini, akan disasarkan kepada seluruh rakyat Indonesia.
Namun porsi dan teknis pendidikan bela negaranya akan disesuaikan dengan peserta pendidikan. Di tingkat sekolah hingga universitas, komponen bela negara akan dicantumkan dalam kurikulum pendidikan dengan bentuk berupa materi ajar yang berkaitan dengan kenegaraan dan doktrin nasionalisme ke-Indonesia-an.
Menurut Direktur Bela Negara Direktorat Jenderal Potensi Pertahanan Kemhan Laksamana Pertama Muhammad Faizal mengutip dalam konstitusi melalui pasal 27 ayat 3 UUD 1945 memang mengatur setiap warga negara untuk berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.
Implementasinya seperti dijabarkan dalam UU nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dapat diwujudkan dalam empat cara yakni pendidikan kewarganegaraan, pelatihan dasar kemiliteran, pengabdian secara sukarela oleh prajurit TNI dan pengabdian sesuai profesi masing-masing warga.
"(Jadi) Ini bukan wajib militer. Ini hak dan kewajiban (warga negara)," kata Rizal.
Belum Prioritas
Sejauh ini, diskusi publik perihal 'wajib militer' berbaju 'bela negara' ini terus mengalir di ruang-ruang publik.
Di meja parlemen, usulan program bela negara tak luput dari kritik tajam. Sejumlah anggota DPR menyoroti ketentuan hukum yang memayungi ide tersebut.
Maklum, proyek pembentukan 100 juta kader selama 10 tahun tersebut jelas berkaitan dengan anggaran. Dan tentu saja, DPR yang menguasai ranah ini untuk memutuskannya atau pun tidak.
"Idenya bagus. Tapi harus disiapkan payung peraturannya dulu agar jelas aturan main, program dan anggarannya," kata Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq, Selasa 13 Oktober 2015.
Tubagus Hasanuddin, Wakil Ketua Komisi I DPR, mengaku hingga kini belum ada rincian jelas perihal anggaran program tersebut. Sementara merujuk ke target yang hendak dicapai, sebanyak 100 juta orang akan dijadikan subyek sekaligus obyek dari program Bela Negara.
Menurutnya, saat ini saja kebutuhan Alat Utama Sistem Pertahanan Senjata TNI masih kekurangan sebesar Rp36 triliun. Sebab itu, jika pun dipaksakan program Bela Negara di tahun ini, maka besar kemungkinan realisasi kekuatan persenjataan minimal TNI baru akan tercapai pada 2019.
Jika diasumsikan per orang, menurut Hasanuddin, dibutuhkan biaya minimal Rp10 juta. Maka dibutuhkan anggaran lebih dari Rp500 triliun hanya untuk penyiapan 50 juta kader bela negara.
“Menurut hemat saya, perlu kita diskusikan ulang, ketika uang negara semakin terbatas kita harus lebih jeli menentukan prioritas mana yang paling utama demi kepentingan bangsa dan Negara,” katanya.
Degradasi Nasionalisme
Terlepas dari perdebatan itu. Saat ini Indonesia perlahan namun pasti sedang dibawah ancaman degradasi nasionalisme. Konflik etnik, aksi teror, perkelahian antar desa, mahasiswa, pelajar ataupun hal lain yang mengkhawatirkan merebak dengan begitu kuatnya.
Sejumlah generasi muda kini disibukkan dengan hal-hal yang berbau teknologi dan serba cepat. Sehingga tidak sedikit yang keropos pemahamannya tentang kebangsaan.
Jejalan sinetron dan tayangan kekerasan yang berbau konflik membekap anak-anak muda. Semua nyaris tak tersadar, jika disintegrasi bangsa semakin mengemuka.
Tiga bulan lalu, di Papua merebak tragedi Tolikara. Ratusan warga muslim diusir paksa oleh massa gereja yang menolak penyelenggaraan salat Idul Fitri di dekat gereja mereka.
Masjid pun dibakar sementara sejumlah orang terluka. Lalu di Poso, teror jaringan terduga teroris dari Mujahidin Indonesia Timur terus merangsek masuk menekan warga. Tiga warga dilaporkan tewas dalam keadaan mengenaskan. Polisi pun seolah dibuat tak berdaya.
Belum kasus Salim Kancil di Lumajang Jawa Timur. Dengan mengenaskan, Salim Kancil dibantai brutal oleh warga desanya sendiri lantaran menolak aktivitas tambang pasir di desa mereka.
Tak cuma itu, entah kini berapa orang Indonesia yang kabarnya sudah menjadi simpatisan dari kelompok Islam radikal di Suriah atau ISIS. Sungguh sebuah ironi ditengah nama besar Bhineka Tunggal Ika yang sudah menjadi jargon Indonesia sejak didirikan.
"Perang sudah berkembang tidak hanya simetris tapi juga asimetris. Sementara jati diri kebangsaan dan rasa nasionalisme sepertinya sudah pudar, khususnya di kalangan muda," kata Anggota Komisi I DPR Sukamta.
Hanya saja yang jelas, sebuah gagasan yang baik maka sudah seharusnya juga dibarengi dengan konsep dan payung hukum yang baik. Sehingga, sebuah gagasan yang mengatasnamakan kebangsaan tersebut tak menjadi sia-sia dan tetap bisa sesuai dengan harapan yang diinginkan.
"TNI kita masih perlu alutsista. Menurut saya lebih bagus untuk menjadikan TNI yang modern," kata Wakil Ketua DPR RI, Agus Hermanto.
Viva.