Selain kondang karena reputasi tempurnya, Korps Marinir TNI AL juga
menjadi elemen komando utama (kotama)TNI yang unik bila dicermati dari
sisi arsenal alutista yang dimilikinya. Keberadaan alutsista tua,
seperti tank PT-76 dan pansam BTR-50, memang menjadi trade mark yang
melekat kuat di mata masyarakat Indonesia. Tapi bila mau dibedah, bukan
hanya tank/panser amfibi, meriam, dan KAPA (kendaraan amfibi pengangkut
artileri) yang asli produk Uni Soviet, dan masih digunakan hingga
cukup lama, masih ada satu alutsista lain yang namanya tak begitu
nyaring didengar, tapi punya kontribusi besar dalam operasi militer di
Tanah Air, yang dimaksud adalah BM (Boyevaya Mashina )-14/17.
BM-14/17 adalah jenis self propelled MLRS (multiple launch rocket
system) yang pertama kali digunakan oleh TNI. Sejak tahun 1961, atau
bertepatan dengan masa operasi Trikora, Korps Marinir membentuk batalyon
Artileri Bantuan Jarak Dekat yang berbasis di Surabaya. Modal utama
batalyon tersebut pastinya senjata besutan Uni Soviet, yakni peluncur
roket BM-14/17. Seiring waktu berjalan, satuan ini berganti nama menjadi
batalyon artileri medan, dan kemudian dimekarkan menjadi batalyon
Howitzer dan batalyon roket. Dan mengikuti reorganisasi Korps Marinir
masa kini, dibentuk Batalyon Roket Pasmar (Pasukan Marinir)-1 di
Surabaya, dan Batalyon Roket Pasmar-2 di Jakarta. Untuk komposisi
kekuatannya, satu baterai (setingkat kompi) dilengkapi 6 peluncur BM-14.
Dimana dalam satu batalyon artileri umumnya terdapat 3 baterai.
BM-14 sebagai sistem peluncur roket terdiri dari 2 baris rangkaian
tabung peluncur. Roketnya mengusung kaliber 140mm, totalnya ada 16
peluncur roket. Unjuk kebolehan senjata ini memang sangat dahsyat, dapat
menggasak banyak sasaran dalam waktu singkat. Dibanding jenis meriam,
MLRS dapat memuntahkan beberapa proyektil ke sasaran sekaligus dalam
tempo singkat, daya hancurnya pun lebih menakutkan ketimbang Howitzer.
Untuk BM-14/17 mempunyai jangkauan tembak hingga 9.810 meter. Soal
kecepatan tembak, BM-14/17, mampu melontarkan 2 roket per detik dengan
kecepatan luncur roket 400 meter per detik. Alhasil 16 roket akan
meluncur hanya dalam waktu 8 detik. Kecepatan pembakaran roketnya pun
sungguh luar biasa, yakni 1 hingga 0,5 detik. Performa maksimum tersebut
dapat dicapai pada rentang temperatur suhu -40 hingga 50 derajat
celcius.
Berat total system peluncur BM-14/17 mencapai 2120Kg, untuk
menghantam sasaran, peluncur dapat digerakan dengan sudut elevasi 0
hingga 50 derajat. Untuk roketnya sendiri, masing-masing punya berat
total 39,6Kg dengan 4,2Kg hulu ledak. Salah satu kelemahan dari BM-14
yakni pengisian amunisi masih menggunakan cara manual, sehingga
berpotensi membayakan keselamatan awaknya.
Senjata dengan daya getar tinggi tentu harus ditunjang dengan platform
kendaraan pembawa yang memadai. Sebagai self propelled MLRS, BM-14/17
dipasang pada truk jens Gaz-66. Meski wujudnya jadul, Gaz-66 sudah
berpenggerak roda 4×4, sehingga sanggup melaju di medan off road. Gaz-66
menyedian 4 kursi untuk awak BM-14 (posisi 2×2) dan satu tambahan kursi
pada kompartemen pengemudi. Gaz-66 dapat melaju hingga kecepatan 60Km
per jam, dan jarak tempuhnya bias mencapai 600Km.
BM-14 dirancang Uni Soviet selepas perang dunia kedua, versi awalnya
adalah RPU-14 dengan kaliber 140mm, konsep rancangan senjata ini sudah
dimulai sejak tahun 1952. Dari yang awalnya mengandalkan system tarik
(towed), kemudian RPU-14 dipasangkan pada platform truk, dan jadikan
wujud BM-14. Roket ini terbilang laris manis diadopsi oleh negara-negara
sekutu Rusia/Uni Soviet, dan Indonesia patut bersyukur karena sempat
membuktikan BM-14 dalam ajang peperangan yang sesungguhnya, yakni pada
masa operasi Seroja di tahun 1970-an.
Bagi banyak kalangan militer, jangkauan tembak dan daya gempur BM-14
masih dirasa kurang. Untuk mengakalinya, dirancanglah roket dengan
caliber yang diperkecil, tujuannya agar roket bisa terbang lebih lincah,
jarak tempuhnya dapat lebih jauh, dan roket yang dimuntahkan bisa lebih
banyak. Pemikiran inilah yang kemudian memunculkan versi baru self
propelled MLRS, seperti BM-21 Grad yang muncul tahun 1964 dengan caliber
122mm – 40 peluncur roket. Dan melewati jalannya waktu, diadopsi oleh
RM 70 Grad, self propelled MLRS milik Korps Marinir, pengganti BM-14
yang dibeli dari Cekoslovakia pada tahun 2003.
Meski belum ada informasi resmi, kini BM-14 sudah di grounded pada
awal tahun 2000. Selain karena usia, untuk roket caliber 140mm juga
sudah tak diproduksi lagi di negara asalnya. Beberapa kali BM-14 tampil
di muka umum, salah satunya pernah penulis lihat pada HUT ABRI ke 50
pada tahun 1995 di Lanud Halim Perdanakusumah. Dalam gelar tempurnya,
BM-14 disiapkan sebagai unsur bantuan tembakan artileri bagi pasukan
infantri dan kavaleri yang pertama kali melakukan pendaratan, dan
selanjutnya melakukan penetrasi ke target di pedalaman. Karena Gaz-66
tak punya kemampuan amfibi, untuk menuju daratan, alutisista ini bisa
diangkut menggunakan KAPA.
Inilah sekilas legenda alutsista TNI yang pernah membuat angkatan
bersenjata Indonesia begitu kuat di Asia Tenggara. Jalesu Bhumyamca
Jayamahe. (Haryo Adjie Nogo Seno)
Spesifikasi BM-14/17 :
Negara asal : Rusia/Uni Soviet
Jenis : multiple launch rocket system dengan 2 baris rak
Peluncur : 16 tabung
Kaliber : 140mm
Berat roket (total) : 39,6Kg
Hulu ledak : 4,2Kg
Panjang : 1.085mm
Jarak tembak max : Mendekati 10Km
Kecepatan roket : 400 meter/detik
Rentang Salvo : 2 roket/detik
Platform : truk Gaz-66 4×4
Negara asal : Rusia/Uni Soviet
Jenis : multiple launch rocket system dengan 2 baris rak
Peluncur : 16 tabung
Kaliber : 140mm
Berat roket (total) : 39,6Kg
Hulu ledak : 4,2Kg
Panjang : 1.085mm
Jarak tembak max : Mendekati 10Km
Kecepatan roket : 400 meter/detik
Rentang Salvo : 2 roket/detik
Platform : truk Gaz-66 4×4