Selasa, 07 Juli 2015

Pembelian Alutsista Utama TNI Tak Dipublikasikan

Panglima TNI Jenderal Moeldoko tinjau pasukan
Panglima TNI Jenderal Moeldoko tinjau pasukan

Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal Moeldoko mengatakan, pembelian alat-alat tempur utama tidak dapat dipublikasikan ke masyarakat. Meski demikian ia menjamin pengadaan alutsista TNI tersebut tetap dilaksanakan melalui mekanisme lelang.
“Ada hal-hal yang memang dibuka melalui elektronik, tapi khusus alutsista tidak boleh. Yang jelas, semua proses berjalan sesuai aturan perpres,” ujar Moeldoko saat dijumpai di Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta, Senin (6/7).
Jenderal bintang empat itu memaparkan, institusinya tidak dapat membeberkan jenis dan jumlahnya alutsista yang dibeli setiap tahunnya. Ia beralasan, TNI menerapkan kebijakan tersebut atas dasar asas kerahasiaan.
Pengadaan barang dan jasa di lingkungan institusi negara diatur pada Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010. Sekitar empat bulan setelah dilantik menjadi presiden, Joko Widodo mengeluarkan perubahan keempat perpres tersebut.
Berdasarkan aturan itu, Moeldoko berkata TNI tidak dapat menentukan sendiri pabrikan yang akan menyediakan alutsista untuk institusinya. “Tidak boleh tunjuk kanan-kiri, semua harus melalui tender terbuka,” ucapnya.
Sementara itu anggota Komisi I DPR Tantowi Yahya mengatakan, selama ini alokasi anggaran untuk pembelian dan perawatan alat tempur utama TNI hanyalah 30 persen dari total anggaran pertahanan nasional. Rendahnya alokasi dana tersebut, menurutnya, memaksa TNI membeli alutsista bekas ataupun menanti hibah dari negara lain.
Presiden Joko Widodo pekan lalu telah memerintahkan Moeldoko dan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu untuk merombak manajemen alutsista secara mendasar. Perintah ini keluar setelah pesawat Hercules C-130 yang dioperasikan Skuadron Udara 32 jatuh di Medan.
Tak melulu membeli alutsista dari pabrikan luar negeri, Jokowi mendesak dua petinggi sektor pertahanan itu untuk ikut serta mengembangkan industri pertahanan dalam negeri dalam rangka memodernisasi alutsista TNI.
Sebagai panglima tertinggi TNI, Jokowi mendesak zero accident di lingkungan TNI. Ia berkata, jatuhnya Hercules C-130 di Medan tidak boleh terulang kembali.

CNN Indonesia

A-400M Atlas atau Antonov An-70 Pengganti Hercules

  A-400M Atlas
A-400M Atlas

Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara berencana mengganti pesawat angkut berat Hercules C-130 yang sudah uzur. Menurut Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Agus Supriatna, kajian mengenai calon pengganti Hercules itu sudah dikirim ke Kementerian Pertahanan.
“Sudah kami kirim jauh-jauh hari sebelum kecelakaan Hercules A-1310 di Medan pekan lalu,” kata Agus kepada Tempo di Markas Besar TNI AU, akhir pekan lalu.
Dalam kajian yang dikirim ke Kementerian Pertahanan, TNI AU mengincar dua jenis pesawat angkut kelas berat, yakni Airbus A400M Atlas dan Antonov An-70. Soal harga masing-masing merupakan ranah Kementerian Pertahanan.
Asisten Perencanaan KSAU Marsekal Muda M. Syafii mengatakan penggantian pesawat Hercules masuk program modernisasi alat utama sistem persenjataan TNI bertajuk “Minimum Essential Force” (MEF). “Seharusnya masuk dalam rencana strategis pengadaan 2015-2019,” kata Syafii.
Marsekal Agus Supriatna berharap pemerintah memprioritaskan rencana pembelian pesawat angkut berat tersebut, terlebih setelah jatuhnya Hercules di Medan. Kecelakaan pesawat buatan 1964 itu merenggut 33 nyawa personel TNI AU dan enam anggota TNI AD serta 83 warga sipil yang ikut menumpang.
TNI AU menduga Hercules tipe B buatan pabrik Lockheed Martin, Amerika Serikat, itu jatuh karena salah satu mesinnya rusak dan tumbukan dengan menara radio Joy FM yang terpancang dalam radius 15 derajat dari ujung landasan Pangkalan Udara Suwondo, Medan.
Agus mengatakan pesawat angkut berat merupakan salah satu alat utama sistem persenjataan (alutsista) penting untuk TNI AU. Pesawat jenis ini tidak hanya digunakan untuk misi militer, tetapi juga untuk misi kemanusiaan, seperti mengirim bantuan bila ada bencana alam. Selama ini TNI AU hanya mengandalkan 24 unit Hercules tipe B dan H, yang tersimpan di dua lokasi, yakni di Skuadron 31 Halim Perdanakusuma, Jakarta, dan Skuadron 32 Abdulrachman Saleh, Malang.
“Tipe B dibuat tahun 1964, sementara tipe H tahun 1978-1982,” kata Agus.
Dia pun meminta pemerintah tidak membeli atau menerima hibah pesawat bekas dari negara asing karena bisa membahayakan pilot dan teknisi. TNI AU juga tak punya riwayat teknis pesawat bekas tersebut. “Berbahaya sekali kalau kami tak tahu pesawat itu pernah rusak apa saja. Berbeda kalau beli baru, kami tahu catatan kerusakan pesawat, jadi kami tahu cara perawatannya,” ujar Agus.
Antonov An 70
Antonov An 70

Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan Letnan Jenderal Ediwan Prabowo menyatakan kementeriannya setuju dengan rencana TNI AU itu. Sayangnya, Ediwan enggan menyebut besaran dana yang akan diupayakan pemerintah. “Yang jelas, pembelian tersebut masuk rencana strategis MEF 2016-2019,” kata Ediwan, kemarin.
Parlemen memberi lampu hijau. Wakil Ketua Komisi I DPR Tantowi Yahya mengatakan jika pemerintah mengajukan pembelian pesawat pengganti Hercules dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2016, DPR tidak akan menolak. “Asalkan dananya tersedia dan pemerintah membeli alutsista baru,” ujar Tantowi. “Sudah bukan saatnya lagi beli alutsista bekas.”

Tempo.co

Presiden Tambah Anggaran Alutsista Rp 120 Triliun

image

Presiden Joko Widodo memutuskan untuk menambah anggaran pembelian dan pemeliharaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) sebesar Rp 120 triliun. Pemerintah memutuskan untuk tidak lagi menerima hibah alutsista dan memilih membeli alutsista baru.
“Rata-ratanya sekitar Rp 120 triliun (kenaikannya),” ujar Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (6/7/2015).
Ryamizard mengungkapkan, saat ini anggaran Kementerian Pertahanan hanya berkisar Rp 400 miliar. Dari alokasi dana itu, sebanyak 40 persen digunakan untuk gaji pegawai. Sementara sisanya digunakan untuk kegiatan operasional, pemeliharaan, hingga pembelian alutsista.
Menurut Ryamizard, jumlah itu masih jauh dari ideal sehingga pemerintah memutuskan untuk meningkatkan angaran pembelian alutsista pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016.
Dengan anggaran yang ada saat ini, pemerintah hanya mampu membeli alutsista bekas ataupun menerima hibah dari luar negeri. Namun, rata-rata umur alutsista itu relatif tua. Alutsista milik Angkatan Udara, diakui Ryamizard, memiliki jangkauan usia alutsista paling tua.
“Pesawat 30 tahun ke atas sudah harus diganti,” ucap mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat itu.
Ke depan, Ryamizard mengatakan, pemerintah akan lebih sedikit melakukan pembelian alutsista.
“Kita beli sedikit-sedikit, tapi baru semua,” ujar Ryamizard.
Peristiwa kecelakaan pesawat Hercules C-130 buatan tahun 1961 membuat banyak pihak mendesak pemerintah untuk segera melakukan modernisasi alutsista.
Presiden Jokowi sudah menginstruksikan dilakukannya perombakan sistem pengadaan alutsista sehingga tidak membahayakan prajurit.

Kompas.com

Jika ada ancaman dari luar, TNI pasti akan langsung menyerang

  tni-3
Kapuspen TNI Mayjen TNI Fuad Basya membantah, jika konsep pertahanan Indonesia pasif. Dia menegaskan, tentara Indonesia bersifat aktif. Jika ada ancaman dari luar, TNI pasti akan langsung menyerang.
Menurutnya, jika TNI sudah mengetahui suatu negara akan menyerang Indonesia maka TNI langsung akan menghabisi musuh di tempat. “Kita bukan pasif, konsep pertahanan kita defensif aktif,” ujar Fuad dalam diskusi Polemik Sindo Trijaya di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (4/7/2015).
“Kalau kita sudah mengetahui suatu negara mengancam kita, maka kita akan hancurkan di tempatnya itu kita hancurkan di depannya. Itu konsep yang pertama itu,” imbuhnya.
Kemudian lanjut Fuad, yang kedua adalah jika musuh berada di tengah lautan atau tidak berjalan, maka TNI akan langsung hancurkan dari lautan.
“Itu memang fungsi dari (TNI) Angkatan Laut ya,” jelasnya.
Fuad mengungkapkan, TNI juga memiliki berbagai macam strategi untuk melakukan penyerangan. Salah satunya melakukan strategi pengepungan di pantai-pantai yang berada di Indonesia.
“Tapi kalau ternyata dia sangat, sangat kuat, maka kita akan adakan perang berlarut. Ini yang terjadi juga di Vietnam pada saat perang, konsep perang gerilya kita pakai. Akibat perang berlanjut ini, banyak yang tidak bertahan (musuh-musuh). Ini konsep kita, kita bukan pasif, tapi defensif aktif,” tandas Fuad.

Sindonews.com

Hawk 209: Lightweight Multirole Fighter Penantang F/A-18 Hornet

297500_218355338228295_100001614907975_603005_524021265_n
Meski di dapuk sebagai jet tempur lapis kedua, tapi merupakan pilihan yang ‘berani’ bagi Indonesia untuk mengakuisisi Hawk 209 pada tahun 1992, dan akhirnya tiba secara bergelombang bersama Hawk 109 di tahun 1997. Dibanding jet tempur TNI AU lainnya, Hawk 209 terbilang hasil rancangan gress yang belum menyandang predikat battle proven. Meski akhirnya pada 16 September 1999, dua Hawk 209 terlibat dogfight dengan F/A-18 Hornet AU Australia di udara Kupang, NTT.
Bagi negara berkembang dengan budget alutsista ngepas, hadirnya Hawk 209 besutan British Aerospace ibarat angin segar. Label generiknya adalah Hawk 1200, oleh pihak pembuatnya, yakni British Aerospace (BAe), Hawk Indonesia diberi kode 9. Hingga penulisannya sah-sah saja menjadi Hawk 209 untuk menyebut varian Hawk yang dibeli Indonesia. Inggris sebagai negara asal Hawk 200, tidak menjadikan jet ini sebagai arsenal kekuatannya. Selain Indonesia, Hawk 200 digunakan oleh Oman dan Malaysia.
Pihak pabrikan, menobatkan Hawk 209 sebagai lightweight multirole fighter dengan single seat. Embel-embel lightweight dikarenakan rancang bangun Hawk 209 yang bermesin tungggal mengacu pada keluarga jet Hawk, bobot kosong pesawat ini pun hanya 4.450 kg. Dirunut dari sejarahnya, program Hawk 200 pertama kali diperkenalkan dalam ajang Farnborough, September 1984. Sementara prototipe demonstator diterbangkan pertama kali pada 19 Mei 1986. Hanya dalam tempo dua bulan setelah itu, prototipe pesawat ini jatuh dan menewaskan test pilot Jim Hawkins. Kemudian prototipe kedua diluncurkan pada 29 April 1987.
Versi demo Hawk 200.
Versi demo Hawk 200.
Hawk 209 mendarat dengan drag chute.
Hawk 209 mendarat dengan drag chute.

Hawk 209 dan Hawk 109.
Hawk 209 dan Hawk 109.
Kamuflase Hawk 209.
Kamuflase baru Hawk 209.
Meski menyandang gelar multirole fighter untuk misi air defence dan ground attack, Hawk 209 serupa dengan Hawk 109, yakni tidak dilengkapi dengan kanon internal, karena keterbatasan ruang. Untuk menjawab ketiadaan kanon internal, Hawk 209 dipasangi kanon eksternal ADEN 30 mm pada centerline hardpoints. Konfigurasi hardpoints Hawk 209 serupa dengan Hawk 109, total ada tujuh hardpoints, termasuk bekal rudal udara ke udara AIM-9 Sidewinder pada masing-masing ujung sayap. Walau jumlah hardpoints setara dengan Hawk 109, tapi pilihan senjata yang dapat dibawa lebih lengkap. Hawk 209 bisa membawa rudal udara ke udara AIM-120 AMRAAM, dan Sky Flash. Rudal udara ke permukaan AGM-65 Maverick, dan rudal anti kapal Sea Eagle, hingga bisa menggotong torpedo Sting Ray buatan Marconi. Pilihan bom yang dibawa mencakup 9 x 240 kg bombs, 9 x 113 kg bombs, dan 5 x 540 kg bombs. Sementara untuk mendukung misi khusus, Hawk 209 dapat dipasang reconnaissance pod.
Beberapa varian senjata Hawk 200.
Beberapa varian senjata Hawk 200.
Hawk 200 milik AU Malaysia.
Hawk 200 milik AU Malaysia.
Hawk 209 TNI AU ketika berada di Inggris.
Hawk 209 TNI AU ketika berada di Inggris.

Dengan hidung yang terlihat lebih bongsor, Hawk 209 mengusung radar multi gelombang pada bagian hidung yang telah mengalami modifikasi bentuk. Tipe radar yang dipasang adalah AN/APG-66H buatan Westinghouse. Radar jenis ini juga terpasang pada jet tempur F-4EJ Phantom milik AU Jepang dan modifikasi A-4K Kahu AU Selandia Baru. Radar AN/APG-66H merupakan derivatif dari radar yang biasa dipakai F-16 A/B. Radar ini terbilang ampuh, pasalnya dapat mendeteksi 10 target di permukaan serta sembilan target di udara secara bersamaan. Jarak sapuan radar bisa mencapai 35 mil. Pada pilihan menu (mode) tertentu, target udara yang bermanuver dapat diakuisisi secara otomatis.
Bedanya dengan Hawk 109, pada Hawk 209 dilengkapi dengan perangkat pengisian bahan bakar di udara (air refuelling), alatnya dinamakan air refuelling probe. TNI AU hingga saat ini masih mengandalkan pesawat tanker KC-130B Hercules dari Skadron Udara 32, Lanud Abdurahman Saleh, Malang, Jawa Timur. TNI AU punya dua unit KC-130B Hercules yang di datangkan sejak tahun 1960, satu unit diantaranya, yakni A-1310 jatuh di Medan pada 30 Juni 2015 lalu. Sehingga kini untuk misi air refuelling, TNI AU hanya mengandalkan satu unit KC-130B Hercules dengan nomer A-1309.
Hawk 209 dengan AIM-9 Sidewinder.
Hawk 209 dengan AIM-9 Sidewinder.
hawk200-120110608_Hawk_200_Tergelincir_di_Skadron_Udara_Pekanbaru
Hawk 209 dan Hawk 109 mengusung jenis mesin yang sama, yakni Turboméca Adour Mk.871 yang punya daya dorong 6.000 pon. Dari mesin ini, dapat dicapai kecepatan maksimum hingga Mach 1.2 pada ketinggian diatas 17.000 kaki, jarak tempuh feri 3.610 km dengan tiga drop tanks, serta daya angkut senjata maksimal 3.500 kg. Kapasitas bahan bakar internal 1.361 kg dan kapasitas bahan bakar eksternal dengan drop tanks 2 x 864 liter.
Untuk memudahkan navigasi, seluruh data ditampilkan pada sebuah layar multifungsi. Atau lebih sering disebut MPD (Multi Purpose Display). Tugas pilot masih dipermudah dengan perangkat HUD (Head up Display). Punya peran sebagai layar proyeksi sebagai info vital saat berlangsungnya dog fight, dengan HUD maka pilot Hawk 109 TNI AU tak perlu lagi melongok ke panel pada dashboard kokpit. Perangkat HUD ini juga disematkan pada kursi kedua.
Standar fitur canggih khas jet tempur papan atas juga hadir dengan kelengkapan HOTAS (Hands on Throttle and Stick). HOTAS beda dengan tongkat kemudi biasa, tiap tombol pada HOTAS punya tekstur permukan berbeda-beda . Alhasil cukup dengan menghafalkan tipikal permukaan tombol, maka tangan sang pilot sudah bisa bekerja secara otomatis. Untuk bekal keselamatan pilot, Hawk 109 dilengkapi kursi lontar (ejection seat) jenis Martin Baker MK.10. Kursi lontar ini dapat beraksi dalam kondisi zero-zero. (Prap)

Spesifikasi Hawk 209
– Crew : 1
– Panjang dengan probe : 12,07 meter
– Rentang sayap dengan rudal : 9,94 meter
– Tinggi : 4,16 meter
– Berat kosong : 4.450 kg
– Berat max take off : 9.100 kg
– Kecepatan max : Mach 1.2
– Ketinggian max : 13.715 meter
– Mesin : Turboméca Adour Mk.871
– Jarak tempuh : 2.428 km
– Jarak tempuh dengan drop tanks : 3.610 km

Hawk 109: Lead In Fighter Trainer dengan Peran Tempur Taktis

Dari segi tampilan, Hawk 109 yang berkursi tandem identik sebagai pesawat latih lanjut untuk calon penerbang tempur TNI AU. Keberadaannya yang mirip, plus berasal dari pabrikan yang sama, kerap dipandang sebagai pengganti Hawk MK.53, meski pada kenyataan Hawk 109 tak pernah menjadi arsenal Skadron Udara 15 yang bercirikan peran pengenalan penerbang jet.
Sebaliknya Hawk 109 bersama dengan Hawk 209 sedari awal langsung di daulat masuk ke skadron full kombatan tempur taktis, yakni di Skadron Udara 1 dan Skadron Udara 12. Bagi TNI AU, kehadiran duo Hawk 109/Hawk 209 punya arti tersendiri, pasalnya inilah alutsista jenis jet tempur yang dibeli paling akhir sebelum lengsernya pemerintahan Presiden Soeharto. Label generiknya adalah Hawk 100/200, oleh pihak pembuatnya, yakni British Aerospace (BAe), Hawk Indonesia diberi kode 9. Hingga penulisannya sah-sah saja menjadi Hawk 109 dan Hawk 209 untuk menyebut varian Hawk yang dibeli Indonesia. Dirunut dari kedatangannya, setelah kontrak pembelian ditandatangani pada tahun 1993, armada Hawk dari Inggris resmi diserahkan ke TNI AU pada Mei 1997.
hawk-100
Meski digadang sebagai penempur lapis kedua, TNI AU pernah amat mengandalkan Hawk 109/Hawk 209, terutama saat terjadinya kriris pasca jejak pendapat di Timor Timur pada tahun 1999. Bersama dengan saudaranya, Hawk 209, Hawk 109 punya rekam jejak operasi yang lumayan tinggi, diantaranya seperti mendukung operasi darurat militer di Aceh, dan hingga kini diandalkan sebagai elemen CAP (combat air patrol) mengawal perbatasan RI – Malaysia di Pulau Kalimantan. Formasi awal armada Hawk TNI AU terdiri dari 32 unit Hawk 209 dan 8 unit Hawk 109. Konfigurasi armada Hawk kemudian dipecah ke dalam dua Skadron, Skadron Udara 12 yang ber-home base di Pekanbaru, dan Skadron Udara 1 yang ber-home base di Pontianak.
Hawk_Indonesia_4hawk-100
F-5E-Tiger-595x279
Khusus bicara tentang Hawk 109, varian awalnya Hawk 100 dirancang sebagai lead in fighter trainer. Terbang perdana pada 1 Oktober 1987, dan sebagai negara pengguna pertama adalah Abu Dhabi. Jika disandingkan dengan saudara tuanya, Hawk MK.53 eks penghuni Skadron Udara 15, maka Hawk 109 sudah full digital, plus bisa melontarkan rudal, baik rudal udara ke udara Sidewinder dan rudal udara ke permukaan, AGM-65 Maverick. Tapi ada kesamaan antara Hawk MK.53 dan Hawk 109, yakni dari segi persenjataan sama-sama tidak dibekali kanon internal. Untuk urusan kanon, memang Hawk 109, Hawk MK.53, bahkan Hawk 209, semua mempercayakan kanon eksternal ADEN 30 mm yang dipasang di bawah bodi.
145422_620hawk-mk-35hawk-100
Hawk 109 punya kemampuan melontarkan rudal udara ke udara AIM-9 Sidewinder dengan bergantung pada sejumlah komponen. Pertama adalah perangkat pengolah data (databus) berteknologi digital, MIL-STD-1558. Sementara panel kontrol senjata (weapon control panel) merupakan komponen untuk memandu pelontaran senjata. Semua aktivitas juga di dukung tampilan layar multifungsi. Hawk 109 punya lima cantelan (hard point) senjata plus dua peluncur rudal udara ke udara pada ujung-ujung sayap utama.
Pada bagian sirip ekor terdapat sistem peringatan bahaya RWR (Radar Warning Receiver). Perangkat ini menempel pada bagian ekor mengadap kedepan. Dengan demikian, semua pancaran gelombang radar lawan bisa disasap.Tipe RWR yang digunakan pada Hawk 109 adalah jenis Sky Guardian 200 buatan GEC-Marconi, Inggris.
Komponen elektronik pada bagian hidung terbilang padat, sebut saja ada sensor penjejak laser (laser range finder) besutan Ferranti. Masih di lokasi yang sama, ada bekal perangkat FLIR (Forward Looking Infra Red) buatan Marconi. Konfigurasi laser range finder dan FLIR menjadi keunggulan tersendiri dari Hawk 109, sementara kedua komponen tadi tidak terdapat pada hidung Hawk 209, pasalnya pada hidung Hawk 209 tertanam radar APG-66H.
Beginilah tampilan kokpit Hawk 100 yang full digital.
Beginilah tampilan kokpit Hawk 100 yang full digital.
Penerbangan perdana Hawk 100 pada 1 Oktober 1987.
Penerbangan perdana Hawk 100 pada 1 Oktober 1987.

Untuk bagian kokpit, jangan samakan Hawk 109 dengan Hawk MK.53 yang masih analog. Semua panel indikator analog telah diganti dengan sistem digital di Hawk 109. Artinya semua info macam ketinggian, posisi, arah terbang, hingga situasi di depan pesawat langsung disajikan dalam bentuk angka atau grafik. Agar sang pilot tak kesulitan menyimak satu per satu, seluruh data ditampilkan pada sebuah layar multifungsi. Atau lebih sering disebut MPD (Multi Purpose Display).
Sebagai jet transisi yang canggih, tugas pilot masih dipermudah dengan perangkat HUD (Head up Display). Punya peran sebagai layar proyeksi sebagai info vital saat berlangsungnya dog fight, dengan HUD maka pilot Hawk 109 TNI AU tak perlu lagi melongok ke panel pada dashboard kokpit. Perangkat HUD ini juga disematkan pada kursi kedua.
Standar fitur canggih khas jet tempur papan atas juga hadir dengan kelengkapan HOTAS (Hands on Throttle and Stick). HOTAS beda dengan tongkat kemudi biasa, tiap tombol pada HOTAS punya tekstur permukan berbeda-beda . Alhasil cukup dengan menghafalkan tipikal permukaan tombol, maka tangan sang pilot sudah bisa bekerja secara otomatis. Untuk bekal keselamatan pilot, Hawk 109 dilengkapi kursi lontar (ejection seat) jenis Martin Baker MK.10. Kursi lontar ini dapat beraksi dalam kondisi zero-zero.
Di lingkup penugasan, TNI AU mempercayakan Hawk 109 sebagai jet tempur taktis, dengan penekanan pada misi ground attack. Selain bekal kanon ADEN 30 mm, rudal AGM-65 Maverick dan rudal AIM-9 Sidewinder. Jet tempur bermesin tunggal ini dapat membawa kombinasi bom dan roket FFAR (Folding Fin Aerial Rocket). Seperti formasi empat bom berbobot 450 kg dan formasi delapan bom berbobot 250 kg. Sudah barang tentu, formasi bom akan berpengaruh pada radius tempur pesawat.
Dapur pacu Hawk 109 dipasok mesin tunggal Turboméca Adour Mk.871 yang punya daya dorong 6.000 pon. Dari mesin ini, dapat dicapai kecepatan maksimum hingga Mach 1.2 pada ketinggian diatas 17.000 kaki, jarak tempuh feri 2.594 km, serta daya angkut senjata maksimal 3.000 kg. Kapasitas bahan bakar internal 1.304 kg dan kapasitas bahan bakar eksternal dengan drop tanks 2 x 864 liter.
Sayangnya, beberapa Hawk 109 TNI telah mengalami crash, seperti pada tahun 2000 ada dua Hawk 109 jatuh, lalu Oktober di tahun yang sama, Hawk 109 mengalami crash di Lanud Supadio, Pontinak, dan pada Juni 2002, sebuah Hawk 109 tergelincir di Medan.
Spesifikasi Hawk 109
Crew : 2
 
Panjang dengan probe : 12,42 meter
Rentang sayap dengan rudal : 9,94 meter
Tinggi : 3,99 meter
Berat kosong : 4.400 kg
Berat max take off : 9.100 kg
Kecepatan max : Mach 1.2
Ketinggian max : 13.545 meter
Mesin : Turboméca Adour Mk.871
Jarak tempuh : 2.428 km
Jarak tempuh dengan drop tanks : 2.594 km

Kamis, 02 Juli 2015

Negara Besar Senjata Uzur

Negara Besar Senjata Uzur
Sejumlah pesawat TNI AU melakukan atraksi udara saat upacara peringatan Hari Angkatan Udara ke-66 tahun 2012 di Jakarta, Senin (9/4/2012). (VIVAnews/ Muhamad Solihin)
 
Sebuah jet tempur F-16 milik TNI Angkatan Udara terbakar setelah gagal lepas landas di Pangkalan Udara (Lanud) Halim Perdanakusuma di Jakarta pada Kamis pagi, 16 April 2015. Tak ada korban jiwa dalam peristiwa itu. Sang pilot, Letnan Kolonel Penerbang Firman Dwi Cahyono, selamat dan hanya mengalami luka ringan.

Insiden itu dianggap peristiwa kecil, barangkali karena tak ada korban jiwa. Para kritikus hanya mengingatkan bahwa pesawat itu adalah satu dari 24 pesawat bekas; bekas militer Amerika Serikat yang kemudian dihibahkan kepada Indonesia. Pesawat buatan tahun 1980 itu bekas dipakai Amerika untuk perang di Irak.

Amerika sudah memperbarui dan meningkatkan kapasitas (up grade) pesawat itu dengan teknologi terbaru sebelum dihibahkan kepada Indonesia. Tapi, kata para kritikus, bekas tetaplah bekas.

Lebih dua bulan setelah kejadian itu, kecelakaan pesawat TNI Angkatan Udara kembali terjadi. Pesawat angkut Hercules jenis C130 jatuh dan menimpa permukiman di Kota Medan, Sumatera Utara, pada Senin siang, 30 Juni 2015. Sebanyak 141 orang tewas (per 1 Juli 2015) tewas dalam insiden itu, termasuk para prajurit TNI dan warga sipil di pesawat itu serta warga kota yang tertimpa.

Peristiwa itu barulah menggugah kesadaran Presiden Joko Widodo. Kepala Negara segera memberikan arahan tentang pola pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI. Soalnya pesawat nahas itu sudah sangat uzur dan disebut hasil hibah dari Australia pada tahun 1961. Artinya, pesawat itu sudah beroperasi selama 54 tahun.

"Sistem pengadaan alutsista harus diubah, ini momentum. Tidak boleh lagi hanya membeli senjata tetapi juga bergeser ke modernisasi sistem persenjataan," kata Presiden di sela-sela peringatan Hari Ulang Tahun ke-69 Polri di Lapangan Markas Komando Brimob, Depok, Jawa Barat, Rabu, 01 Juli 2015.

Pola pengadaan alutsista TNI secara menyeluruh, menurut Presiden, harus diarahkan tidak hanya demi mengurangi tingkat kecelakaan, pada kemandirian industri pertahanan dalam negeri. "Agar kita bisa sepenuhnya mengendalikan kesiapan alutsista," katanya.

Menurut Presiden, semua alutsista harus selalu dalam kesiapan operasional tinggi. Pesawat tempur, pesawat angkut, kapal perang, kapal selam, hingga helikopter, serta perwira dan prajurit TNI yang mengawakinya harus berada dalam kesiapan operasional tinggi.

Bekas dan uzur

Catatan kecelakaan alutsista TNI itu hanya sebagian kecil dari sejarah insiden sejenis sepanjang republik ini berdiri. Kecelakaan pesawat jenis Hercules saja sudah empat kali, yakni pada 20 November 1985, 5 Oktober 1991, 20 Mei 2009, dan termutakhir pada 30 Juni 2015. Belum dihitung kecelakaan helikopter dan pesawat jenis lain.

Barang bekas dan uzur sering dituding sebagai biang insiden-insiden itu. Itu tak hanya terjadi pada alutsita TNI Angkatan Udara, melainkan pada Angkatan Laut dan Angkatan Darat.

Sejumlah kapal perang (KRI) pun ada yang eks Angkatan Laut negara-negara besar. Misalnya, KRI Slamet Riyadi dan lima kapal tipe fregat sejenis adalah bekas pakai Angkatan Laut Kerajaan Belanda, yang telah dimutakhirkan atau diperbarui dan ditingkatkan kapasitasnya (up grade).
KRI Kapitan Pattimura dan 14 kapal jenis korvet kelas Parchim serupa pun bekas milik Angkatan Laut Jerman Timur yang dibeli pemerintah Indonesia pada 1990-an. Begitu juga dengan KRI Pulau Romang dan sembilan kapal kelas kondor sejenis yang merupakan bekas militer Jerman Timur.

Sebanyak 104 tank Leopard 2 untuk TNI Angkatan Darat pun merupakan tank tempur utama bekas pakai Angkatan Darat Jerman. Leopard 2 adalah tank tempur utama (main battle tank, MBT) Jerman yang dikembangkan pada awal 1970-an dan mulai digunakan pada 1979. Artinya, tank itu sudah berusia lebih 30 tahun.

Pemutakhiran

Panglima TNI, Jenderal Moeldoko, pernah mengatakan bahwa penggunaan peralataan persenjataan utama bekas yang telah lebih dahulu dimutakhirkan memang bagian dari skenario besar modernisasi alutsista TNI tahun 2015 sampai 2030. Kala itu dia mengungkapkan, dalam konteks pemutakhiran kapal-kapal milik TNI Angkatan Laut yang akan menjalani pembaruan yang disebut mid-life update pada 2015 hingga 2019.

Mid-life update adalah pemeliharaan atau renovasi yang dirancang untuk memperluas kegunaan dan kemampuan alat utama sistem persenjataan militer. Biasanya hampir semua instrumen kapal perang digantikan, CMS (command management system) maupun sistem pendorong.

Biasanya dalam program mid-life update di banyak Angkatan Laut dunia, kapal yang menjalani fase itu akan mendapatkan teknologi CMS yang setara dengan kapal perang yang lebih baru. Pertimbangannya adalah agar lebih menguntungkan dari sisi logistik dalam hal pemeliharaan, juga lebih memudahkan dalam interoperabilitas.

Kementerian Pertahanan telah mencanangkan program jangka menengah sistem pertahanan nasional yang meliputi alutsista. Program itu disebut Minimum Essential Force (MEF) atau pemenuhan kekuatan pokok minimum pertahanan/militer. Program itu dibagi dalam tiga tahap rencana strategis (renstra) yang dimulai tahun 2011 sampai 2024, yakni renstra I (2011-2014), renstra II (2015-2019), renstra III (2020-2024).

Sesuai targetnya, pada 2024, MEF terpenuhi, dan setelahnya, postur militer Indonesia berbicara tataran ideal, bukan minimum lagi. Sekarang baru memasuki renstra II dan masih di awal. Artinya, untuk memenuhi target minimum -belum target maksimum/ideal- saja masih butuh waktu sembilan tahun lagi. TNI masih harus bersabar lebih lama dengan kondisi sebagian alutsista yang bekas dan uzur atau bekas dan uzur tetapi teknologinya sudah dimutakhirkan.

Tentu tidak semua alutsista TNI adalah barang bekas. Banyak pula yang dibeli baru maupun persenjataan generasi terbaru. Bahkan ada pula alutsista yang diproduksi Indonesia atau dialihteknologikan dari negara tertentu kepada Indonesia.

Misalnya, 26 pesawat tempur keluarga Sukhoi buatan Rusia yang, di antaranya, jenis Su-27 dan Su-30. Ada kapal buatan dalam negeri, misalnya, KRI Tombak yang merupakan kapal cepat rudal. Kapal itu diproduksi atau dibangun oleh PT PAL. KRI Clurit, yang juga kapal cepat rudal, dibuat galangan lokal PT Palindo.

Panser Anoa yang merupakan salah satu alutsista andalan militer Indonesia adalah kendaraan militer lapis baja buatan PT Pindad (Persero). Malaysia, Brunei Darussalam, dan Oman, bahkan telah memiliki panser Anoa yang dibeli dari Indonesia.

Anggaran cekak

Pemerintah maupun TNI tentu menginginkan alutsista yang baru tetapi terkendala keterbatasan anggaran. Sejak dibelit krisis moneter tahun 1997, kekuatan TNI hampir compang-camping. Sistem persenjataan Indonesia tertinggal semenjak 15 tahun terakhir sehingga kalah bersaing dengan sistem persenjataan negara-negara tetangga seperti Singapura atau Malaysia.

Kondisi itu juga tak terlepas dari prioritas lain yang lebih diperhatikan pemerintah, terutama sektor ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Di samping itu, dipengaruhi juga sumber daya manusia yang masih terbatas, finansial yang cekak, dan industri pertahanan domestik yang belum berkembang.

Masalah-masalah itu telah disiasati dengan meningkatkan anggaran pertahanan nasional. Namun itu pun belum memadai. Pada 2015, Kementerian Pertahanan menerima anggaran Rp95 triliun; naik 11,4 persen atau Rp11,6 triliun dari anggaran tahun 2014 yang sebesar Rp83,4 triliun.

Dalam sepuluh tahun terakhir, anggaran pertahanan Indonesia meningkat 400 persen; dari Rp21,42 triliun pada 2004 menjadi Rp84,47 triliun pada 2013.

Pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah dihitung angka ideal untuk anggaran pertahanan, termasuk modernisasi alutsista, yakni sekitar Rp170 triliun per tahun atau setara dengan 1,5 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Angka itu diharapkan tercapai pada tahun 2024, sesuai target pencapaian Minimum Essential Force.

Tetapi angka itu pun masih lebih rendah dibanding total belanja alutsista Singapura dan Malaysia yang berkisar 2-3 persen dari total produk domestik bruto.

Malaysia dan Singapura disebut telah memenuhi standard minimum dalam hal anggaran pertahanan yang mencakup kepentingan nasional di sektor ekonomi, perdagangan, dan diplomasi. Rata-rata negara yang berkekuatan pertahanan andal memang memiliki anggaran pertahanan sebesar 2-3 persen.

Sedangkan anggaran pertahanan Indonesia yang disebut mencapai angka ideal Rp170 triliun per tahun itu hanya 1,5 persen dari APBN. Ditambah wilayah Indonesia yang sangat luas dan terdiri dari ribuan pulau yang dipisahkan laut.

Contoh paling nyata tentang kebutuhan mendesak Indonesia pada alutsista yang memadai ialah kapal patroli untuk menjaga laut. Kementerian Perikanan mencatat potensi kehilangan atau kerugian pendapatan negara hingga Rp30 triliun per tahun dari kasus pencurian ikan di laut perbatasan saja. Soalnya sampai 2012 Indonesia baru punya 24 kapal patroli yang memadai.

Kepala Staf TNI Angkatan Laut, Laksamana Ade Supandi, mengeluhkan keterbatasan alutsista, terutama untuk mendukung program poros maritim pemerintahan Presiden Joko Widodo.

TNI akan mengkaji ulang seberapa besar kecukupan yang dimiliki Angkatan Laut sekarang, seperti kebutuhan kapal patroli, kebutuhan bahan bakar, serta alat-alat pendukung kegiatan pengawasan yang tidak bisa dilakukan melalui satelit.

Ade Supandi menambahkan bahwa kapal patroli yang ada pun banyak yang tak bisa beroperasi karena terkendala kurang stok bahan bakar minyak (BBM) akibat keterbatasan anggaran. Banyak kapal asing leluasa berlayar memasuki wilayah laut dan yurisdiksi Indonesia untuk mencuri ikan.

Menurutnya, anggaran BBM untuk TNI Angkatan Laut selama setahun tidak cukup untuk mengoperasikan kapal patroli. Pada 2014, TNI Angkatan Laut membutuhkan anggaran Rp5,6 triliun dari angka ideal Rp6,1 triliun hanya untuk BBM bagi kapal-kapal patroli. Tapi cuma 28 persen sampai 29 persen yang dipenuhi.

Masalah-masalah itu baru untuk kepentingan nasional. Padahal kekuatan militer sebuah negara juga dituntut juga untuk berperan atau terlibat aktif dalam menjaga stabilitas kawasan dan misi perdamaian dunia. Kawasan Asia Tenggara sangat strategis sekaligus berpotensi besar terjadi perselisihan atau pun gangguan keamanan.