B-26 Invader. ©repro buku Baret Jingga
Tahun 1965, Inggris
membangun pangkalan utama di Singapura. Pangkalan Udara Militer Tengah
Air Force Base menjadi markas jet tempur Inggris.
Saat itu hubungan Indonesia dan Malaysia sedang memburuk. Malaysia
meminta bantuan Inggris, Australia dan Selandia Baru. Bantuan langsung
datang. Pesawat jet, kapal perang, hingga pasukan elite mereka
disiagakan di perbatasan dengan Indonesia.
TNI AU melihat Pangkalan Udara Inggris di Singapura sebagai ancaman.
Komando Mandala Siaga (Kolaga) merancang rencana untuk mengebom
pangkalan tersebut.
Panglima Komando Operasi Komodor Leo Watimena memimpin briefing di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma.
“Pangkalan Udara Militer Tengah Air Force Base dijaga dengan radar
dan misil anti serangan udara. Bukan tugas mudah untuk menyerang dan
menghancurkannya,” kata Komodor Leo Watimena.
Dia melihat para komandan skadron di depannya. “Siapa di antara kalian yang siap berjibaku menghancurkan tengah ABF?” tanya Leo.
“Saya siap Panglima!” teriak seorang perwira senior.
Tantangan itu dijawab dengan gagah oleh Komandan Skadron I Pembom
Taktis Kolonel (Oedara) Pedet Soedarman. Dia merasa perlu mengobarkan
semangat anak buahnya dalam konfrontasi melawan Malaysia dan sekutunya.
Pedet Soedarman pilot berpengalaman. Dia kenyang pengalaman
menerbangkan pesawat jenis B-25 Mitchel dan B-26 Invander dalam menumpas
berbagai penumpasan pemberontakan yang terjadi di tanah air.
Maka saat merencanakan mengebom Tengah ABF, 2 pesawat itu juga yang
akan digunakannya. Demikian dikisahkan Pedet Soedarman dalam buku
Pengalaman Heroik Penerbang Bomber tahun 2003.
“Direncanakan 50 persen bom yang dijatuhkan dari pesawat itu akan
mampu menghancurkan landasan sekaligus mencegah musuh melakukannya,”
kata Pedet.
Rencana dan persiapan terus dilakukan. Moril para anggota TNI AU tinggi untuk melaksanakan tugas itu.
Namun angin berubah cepat. Peristiwa G30S mengubah peta politik
Indonesia. Presiden Soekarno jatuh dan penggantinya, Presiden Soeharto
memutuskan untuk mengakhiri konflik dengan Malaysia.
Dalam waktu singkat pula TNI AU menderita akibat pemerintah Orde Baru
memutus semua kerja sama dengan Rusia dan China. Pesawat-pesawat paling
canggih milik TNI AU tak bisa terbang gara-gara kekurangan suku cadang.
Berakhirlah era Macan Terbang Asia.
Misi mengebom pangkalan jet tempur itu tak pernah digelar. (Merdeka)