PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) menjadi ujung tombak TNI dalam
gelaran unsur pemukul infanteri secara massif yang dapat dihadirkan
dalam tempo singkat lewat platform lintas udara (linud) atau kondang
dengan istilah airborne. Karena sifatnya yang reaksi cepat, elemen
Batalyon Infanteri Linud diharuskan mampu diterjunkan di setiap titik
wilayah Tanah Air sejak 24 jam perintah operasi dikeluarkan oleh
Panglima TNI.
Guna mewujudkan perintah operasi linud, PPRC jelas butuh wahana yang
tak lain adalah pesawat angkut berat, dalam hal ini merujuk ke jenis
C-130 Hercules yang dinaungi Skadron Udara 31 dan Skadron Udara 32. Bisa
disebut, identitas pasukan linud TNI memang identik dengan sosok C-130
Hercules. Sejarahnya lekatnya pasukan linud TNI dan C-130 Hercules sudah
cukup lama mengakar. Meski di tahun 70-an belum ada istilah PPRC, namun
penyerjunan pasukan payung besar-besaran telah dilakukan TNI AD dan
Paskhas TNI AU dalam babak pembukaan operasi Seroja tahun 1975, sebagai
target kala itu untuk menguasai obyek-obyek vital di kota Dili, Timor
Timur.
Dalam konteks saat ini, PPRC dalam satu sortir dapat menerjunkan sekitar 560 paratroopers dari sepuluh unit C-130 Hercules.
Tentu saja jumlah pasukan yang diterjunkan bisa berkurang bila ada
pesawat yang mengalami kendala teknis. Memang masih ada unsur bantuan,
semisal dari armada CN-235 dan C-295
yang berasal dari Skadron Udara 2, namun dalam skenario operasi PPRC
dukungan dari kedua pesawat tersebut jarang dilibatkan secara maksimal.
Pelibatan pesawat angkut dalam jumlah cukup banyak juga mengundang
kerawanan, belum lagi gelaran pesawat dalam jumlah banyak dipandang
kurang efisien dari segi biaya operasional.
Kiprah C-130 Hercules tentu
masih sangat diunggulkan, dan tidak ada yang meragukannya. Namun, dalam
konteks gelar dan pergeseran pasukan, idealnya TNI AU minimal punya
lima skadron angkut berat. Maklum, peran pesawat angkut berat terbilang
strategis di Republik ini, tak hanya handal untuk misi milter, kiprahnya
juga sangat dominan dalam operasi militer bukan perang.
Melihat peluang kebutuhan TNI akan hadirnya pesawat angkut berat yang
punya volume lebih besar dari C-130 Hercules, mendorong Airbus Military
cukup serius menawarkan jagoannya yakni Airbus A400M Atlas ke
Indonesia. Hingga kini Airbus A400M masih dalam kajian Kemenhan untuk
opsi pembelian. Mengutip dari Tempo.co (18/4/2012), mantan Menteri
Pertahanan Purnomo Yusgiantoro menyatakan Indonesia tidak akan membeli
pesawat Airbus Military A400M hingga 2015. “Kalaupun ada pembelian,
tidak dengan anggaran sampai 2015,” kata Purnomo. Pesawat Airbus A400M
akan diteliti kemampuan dan kapabilitasnya. Setelah 2015, barulah
Indonesia akan menentukan apakah akan membeli pesawat ini atau tidak.
Pihak Airbus Military memang lumayan gencar mengadakan pendekatan,
beberapa kali A400M hadir di Tanah Air. Pertama kalinya mendarat di
Lanud Halim Perdanakusuma pada 18 April 2012. Dan, belum lama juga hadir
menyertai rombongan pesawat demo Rafale pada 23 Maret 2015 lalu di Lanud Halim Perdanakusuma.
Pihak pabrikan yang dimotori militer Perancis terbilang gencar
melibatkan promo A400M dalam dukungan beberapa operasi militer Perancis,
seperti di kawasan Afrika.
Airbus A400M Atlas
Ditilik dari kemampuan angkut dan jangkauan, Airbus A400 berada di antara pesawat angkut strategis C-17 Globemaster III dan C-130J Hercules. Dari sisi teknologi, Atlas punya inovasi tinggi dengan adopsi sistem kemudi fly by wire yang memudahkan penerbangan, sistem forward facing crew cockpit yang membuat operasi penerbangan efisien, dan ruang kabin terbesar yang memungkinkan peberbangan jarak jauh menjadi lebih hemat. Karena sudah serba terkomputerisasi, A400M hanya membutuhkan tiga awak, yakni pilot, kopilot dan loadmaster.
Ditilik dari kemampuan angkut dan jangkauan, Airbus A400 berada di antara pesawat angkut strategis C-17 Globemaster III dan C-130J Hercules. Dari sisi teknologi, Atlas punya inovasi tinggi dengan adopsi sistem kemudi fly by wire yang memudahkan penerbangan, sistem forward facing crew cockpit yang membuat operasi penerbangan efisien, dan ruang kabin terbesar yang memungkinkan peberbangan jarak jauh menjadi lebih hemat. Karena sudah serba terkomputerisasi, A400M hanya membutuhkan tiga awak, yakni pilot, kopilot dan loadmaster.
Sebagai pesawat angkut berat, A400M punya ruang kargo dengan lebar 4
meter, tinggi 3,85 meter, dan panjang 17,71 meter, pesawat ini mampu
mengangkut kargo dalam berukuran besar seperti helikopter NH90 atau
CH-470 Chinook atau dua buah kendaraan pengangkut infanteri Stryker.
A400M juga bisa mengangkut truk semitrailer dengan peti kemas berukuran
6,906 meter. Kapasitas muatan keseluruhan mencapai 37 ton.
Nah, guna mendukung operasi linud PPRC, ruang kabin A400M bisa dimuati hingga 160 560 paratroopers.
Sementara bila digunakan untuk misi medical evacuation (Medevac), A400M
bisa memuat 66 usungan dengan membawa 25 tenaga medis. Keunggulan
lainnya, A400M dilengkapi perangkat air refuelling (isi bahan bakar di
udara), dan pesawat ini juga dapat disulap sebagai pesawat tanker.
Airbus A400M sejatinya adalah sebuah proyek Future International
Military Airlifter yang dicanangkan Aerospatiale, Britih Aerospace,
Lockheed, dan Messerschmitt Bolkow Blohm, untuk menggantikan C-130
Hercules dan C-160 Transall. Pesawat ini diyakini bisa menggaet customer
yang merasa berat jika harus membeli C-17 tapi merasa nanggung jika
harus memilih C-130.
Dengan seabreg kemampuannya, wajar bila Airbus A400M banyak membuat
calon operator kepincut. Tapi sayang banyak keinginan pembeli pupus
lantaran harga A400M yang sangat mahal. Sebagai perbandingan, C-130J
dibanderol US$62 juta, sementara A400M ada di kisaran US$175 juta per
unit. Tentu saja pihak Airbus berdalih, harga bergantung pada opsi yang
dipesan setiap customer. Hingga kini, 174 unit A400M telah di order dan
beberapa sudah mengudara. Yang cukup mengejutkan, Malaysia sudah memesan
4 unit A400M, dengan pengiriman unit perdananya dikirim pada Januari
2015. (Gilang Perdana)