Belakangan nama KT-1B Wong Bee banyak diperbincangkan publik, selain
kiprahnya sebagai pesawat andalan JAT (Jupiter Aerobatic Team) yang
banyak menampilkan atraksi memukau dalam beberapa perhelatan, dua
pesawat Wong Bee belum lama ini mengalami musibah tabrakan di udara saat
persiapan LIMA (Langkawi International Maritime & Aerospace)
Exhibition 2015 di Malaysia (15/3).
Insiden di Malaysia tersebut, jadi kali kedua KT-1B mengalami naas di
udara. Di Lanud Ngurah Rai, Bali, pada 24 Juni 2010, Wong Bee yang di
piloti Letkol Pnb Ramot Sinaga dan penumpang Mayor Jenderal Rachmad
Budianto (Panglima Kodam IX/Udayana) juga mengalami total lost.
Saat itu, Rachmad Budianto menarik tuas kursi lontar setelah sebelumnya
Ia merasa mendengar adanya gangguan pada pesawat. Pilot pesawat yang
tidak siap untuk melakukan lompatan terluka parah akibat benturan.
Secara resmi Panglima TNI menyatakan pesawat jatuh karena gangguan
mesin. Berbeda dengan penyebab jatuhnya dua Wong Bee di Malaysia yang
lebih terkesan karena kesalahan manuver. Tapi ada satu simpul yang
menyatukan dari kedua insiden Wong Bee, yakni kehandalan sistem kursi
lontar (ejection seat) yang mengadopsi Martin Baker MK.16.
Serempetan di udara pesawat Wong Bee Jupiter Aerobatic Team di Langkawi, Malaysia.
Kursi lontar Martin Baker MK.16 dari KT-1B Wong Bee TNI AU.
Di lingkungan TNI AU, Wong Bee menjadi arsenal Skadron Pendidikan (Skadik) 102 yang ber-home base
di Lanud Adisutjipto, Yogyakarta. Merujuk informasi dari Wikipedia.com,
Indonesia membeli tujuh pesawat plus spare part pada akhir 2003 dengan
nilai kontrak US$60 juta. Dan, pada tahun 2006 Indonesia kembali membeli
12 unit Wong Bee. Sementara informasi dari situs Koreaaero.com
menyebutkan Indonesia membeli 17 unit.
Dengan cat warna merah putih yang khas, Wong Bee lebih dikenal
khalayak sebagai pesawat JAT. Namun, sejatinya KT-1B Wong Bee mengemban
peran sebagai pesawat latih dasar. Debutnya di TNI AU hadir untuk
menggantikan pesawat T-34 Charlie yang usianya sudah uzur. Meski
kodratnya sebagai pesawat latih dasar, Wong Bee punya beberapa
kelebihan, diantaranya instrumen kokpit yang sudah mengintegrasikan
antara sistem analog dan digital, sedangkan sistem avionik disokong
teknologi EHSI (Electronic Horizontal Situation Indicator), EADI
(Electronic Attitude Director Indicator), EEI, TACAN (Tactical Air
Navigation), AHRS (Attitude Heading Reference System), radio UHF/VHF
hingga IFF (Identification Friend or Foe). Singkat kata, Wong Bee
menjadi wahana yang ideal guna melatih pilot guna kelak transisi ke jet
tempur.
Display kokpit KT-1B.
Tapi bagi penulis, yang lebih menarik adalah rancangan desainnya yang identik dengan pesawat tempur taktis COIN (Counter Insurgency)
andalan Skadron Udara 21 EMB-314 Super Tucano. Secara keseluruhan
desain antara Wong Bee dan Super Tucano memang sangat mirip, terlebih
pada rancangan bagian depan (mesin) dan area kokpit. Wong Bee punya
panjang body 10,3 meter dan lebar sayap 10,3 meter. Sedangkan Super Tucano punya panjang body 11,3 meter dan lebar sayap 11,14 meter.
EMB-314 Super Tucano
Kemiripan antara Wong Bee dan Super Tucano juga menyerempet ke soal
mesin. KT-1B Wong Bee menggunakan mesin mesin turboprop
Pratt&Whitney Canada PT6A-62 dengan tenaga 950 tenaga kuda yang
mampu mendorong pesawat samapi kecepatan 648 Km per jam serta dapat
menjelajah sejauh 1.700 Km tanpa mengisi ulang bahan bakar. Sementara
Super Tucano yang buatan Embraer, Brazil ditenagai mesin yang sama,
dengan kecepatan maksimum 593 Km per jam dan jarak jelajah hingga 1.500
Km.
KT-1B sejatinya adalah label yang disematkan oleh Korea Aerospace
Industries (KAI) untuk varian ekspor KT (Korean Trainer)-1.
Pengembangannya dimulai pada 1988 dibawah program KTX untuk Angkatan
Udara Korsel. Pesawat ini adalah pesawat pertama dikelasnya yang
dirancang menggunakan program computer CATIA. Sembilan buah prototype
berhasil dibuat pada Juni 1991 dan penerbangan pertama dilakukan pada
November 1991 untuk uji statis dan kelelahan metal (fatigue).
Pada 1995 proyek ini secara resmi dinamakan Wong Bee. Di tahun 1999
kontrak pembelian 85 pesawat dan 20 pesawat tambahan ditandatangai oleh
pemerintah Korea selatan dan Korea Aerospace . Pesawat KT-1A pertama
diserahkan kepada AU Korsel pada tahun 2000 dan 85 pesawat lengkap
terkirim pada tahun 2002. Selain ke Indonesia, KT-1 juga di ekspor untuk
AU Turki (KT-1C) sebanyak 40 unit.
Aura Tempur Taktis
Melihat kembarannya EMB-314 Super Tucano berhasil digadang sebagai
pesawat tempur taktis, maka pihak KAI juga tak mau ketinggalan untuk
menyulap KT-1 dengan atribut tempur. Dengan dalih menggantikan peran
pesawat intai Cessna O-2 Skymaster, KAI kemudian menghadirkan KA-1 yang
di dapuk sebagai airfield control aircraft. Bekal senjatanya
memang tak segarang Super Tucano, maklum peran KA-1 hanya untuk light
attact dan sebagai pemandu bagi jet tempur untuk meluncurkan rudal udra
ke permukaan.
KA-1
Dengan atribut tempurnya, KA-1 disokong elemen tambahan yang tak ada di KT-1, diantaranya HUD (Head up Display), flight and navigantion display, weapon release cues, dan weapon station display. Untuk bekal senjatanya peluncur roket FFAR LAU-131, gun pod HMP kaliber 12,7 mm,
dan ada bekal tanki bahan bakar ekstra (2×50 galon) yang bisa di
jatuhkan. Selain digunakan AU Korsel, KA-1 kini sudah digunakan AU Peru
dengan label KA-1P sebanyak 17 unit. Disayangkan, KA-1 tak dibekali
internal gun, juga belum disiapkan untuk dipasangi rudal, baik rudal
udara ke udara atau rudal udara ke permukaan. Sementara Super Tucano
dapat dipasangi rudal udara ke udara AIM-9L Sidewinder atau MAA-A1 Piranha, dan rudal udara ke permukaan Maverick. (Haryo Adjie)
Spesifikasi KT/KA-1
– Panjang body : 10,3 meter
– Lebar sayap : 10.3 meter
– Tinggi : 3,7 meter
– Berat full : 2,54 ton
– Berat kosong : 1,91 ton
– Mesin : Pratt&Whitney Canada PT6A-62
– Kecepatan max : 648 Km per jam
– Jarak jelajah : 1.700 Km
– G-limit : -3.5/+7