Jarum jam menunjuk ke pukul
15.07 waktu Singapura, 10 Maret 1965. The Hongkong and Shanghai Bank
yang berada di dalam Gedung MacDonald House di Orchard Road sudah tutup 7
menit sebelumnya, namun 150 karyawannya masih sibuk mencatat transaksi
hari itu.
Tiba-tiba, ledakan kuat terjadi, merobek pintu lift, menghancurkan
dinding dan tangga lantai mezzanine, meruntuhkan pilar-pilar bangunan
serta mempertontonkan kerangka baja di dalamnya. Kaca-kaca jendela di
bangunan berjarak 100 meter hancur. Dampak bom juga merusak nyaris semua
mobil yang terparkir di depan gedung.
Bom juga merusak kantor Komisi Tinggi Australia (Australian High
Commission) yang juga ada di dalam bangunan. Para saksi mata mengaku
melihat kilatan cahaya sebelum suara ledakan menggelegar memekakkan
telinga.
“Pemeriksaan pada bangunan menunjukkan, 9 hingga 11 kilogram bahan
peledak nitrogliserin yang digunakan dalam pemboman,” demikian
Liputan6.com kutip dari situs Singapore Infopedia.
Dua karyawan bank tewas seketika dalam kejadian tersebut: Elizabeth
(Suzie) Choo, sekretaris berusia 36 tahun dan asistennya yang baru
berusia 23 tahun Juliet Goh. Korban jiwa ketiga adalah Mohammed Yasin
bin Kesit, seorang sopir berusia 45 tahun. Korban terakhir menderita
koma selama beberapa hari sebelum dinyatakan meninggal dunia.
Sebanyak 33 orang lainnya juga mengalami cedera akibat insiden
tersebut. Deputi Perdana Menteri Toh Chin Chye mengutuk serangan
tersebut dan menyebutnya sebagai ‘kekejaman yang tak masuk akal’.
Singapura menyebutnya, aksi terorisme. Sebaliknya, bagi Indonesia, itu adalah aksi heroik.
Kisah Usman dan Harun
Pagi jelang siang, 10 Maret 1965, Harun Said dan Usman Bin Hj Mohd
Ali tiba di Singapura. Menyamar sebagai orang biasa, 2 prajurit Korps
Komando Operasi (KKO) sebutan untuk pasukan Marinir pada zaman Presiden
Sukarno memasuki MacDonald House.
Masing-masing meletakkan bahan peledak di tangga lantai mezzanine,
dekat area lift. Setelah memasang timer, mereka meninggalkan bangunan
sekitar pukul 15.00, menggunakan bus.
Seorang saksi mata mengaku melihat tas bepergian berbahan kanvas
bertuliskan ‘Malayan Airways’ di lantai mezzanine yang menghasilkan
suara mendesis serta kepulan asap.
Tindakan tersebut mereka lakukan atas nama negara. Kala itu,
pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Sukarno menentang penggabungan
Federasi Tanah Melayu, Singapura, Brunei, Serawak, dan Sabah ke dalam
satu Malaysia.
Tiga hari setelah kejadian, Usman dan Harun ditangkap saat berusaha melarikan diri dari Singapura. Lewat jalur laut.
Pada 20 Oktober 1965, Usman dan Harun dinyatakan bersalah atas kasus
pengeboman MacDonald House yang menyebabkan 3 orang tewas. Kasasi mereka
ditolak Pengadilan Federal Malaysia pada 5 Oktober 1966. Permintaan
terbuka presiden kala itu Soeharto kepada Lee Kuan Yew untuk memberikan
keringanan hukuman kepada dua anggota KKO tersebut juga ditepis.
Keduanya lalu dieksekusi gantung pada 17 Oktober 1968.
Penolakan Singapura tersebut memicu kemarahan di Indonesia.
Kepulangan jenazah kedua personel KKO itu ke Tanah Air disambut secara
besar-besaran.
Ketegangan hubungan antara Indonesia dan Singapura mencapai klimaks.
Kedutaan Besar Singapura di Jalan Indramayu, Menteng, Jakarta, diserbu
dan dirusak massa yang membawa bambu runcing.
Tiga tahun setelah insiden itu, Lee Kuan Yew merencanakan kunjungan
ke Indonesia. Soeharto lantas mengajukan syarat: Lee harus menaburkan
bunga di makam Harun dan Usman di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Hal itu
disetujui Lee.
“Namun entah dengan pertimbangan apa, PM Lee setuju meletakkan
karangan bunga di makam Usman dan Harun,” ujar Abdul Rachman Ramly,
liason officer RI pada kasus Usman-Harun, dalam buku Pak Harto The
Untold Story. Hubungan Indonesia dan Singapura pun akhirnya pulih.
Persoalan Usman Harun kembali jadi kontroversi dua negara pada tahun
2014. Gara-garanya, Tentara Nasional Indonesia (TNI) menamakan kapal
perang terbarunya sebagai KRI Usman Harun.
Singapura mengajukan protes. Menteri Luar Negeri Singapura K.
Shanmugam dalam pernyataan tertulisnya menyebut, “tindakan tersebut akan
mengorek kembali luka lama warga Singapura, terutama keluarga para
korban.”
Namun, Indonesia bergeming. Tak mau ganti nama. “Saya tidak terima
kalau Usman-Harun itu dinyatakan sebagai teroris. Mereka (Usman dan
Harun) Marinir kok,” kata Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko.
Selain pengeboman MacDonald House Singapura, tanggal 10 Maret juga
menjadi momentum sejumlah peristiwa penting dunia. Pada 1876, Alexander
Graham Bell melakukan panggilan telepon pertamanya. Sebuah upaya yang
berhasil.
Panggilan telepon perdana itu ditujukan pada Thomas Watson. Ini yang ia ucapkan. “Watson, come here. I need you.”
Sementara, pada 1945, pesawat-pesawat pengebom B-29 menyerang Toyi,
Jepang. Menewaskan sekitar 100.000 jiwa. Insiden itu menjadi salah satu
aksi bombardir paling mematikan sepanjang sejarah.
Pada 10 Maret 1969 dinyatakan bersalah atas kasus pembunuhan Dr. Martin Luther King. Ia divonis 99 tahun bui. (Liputan6)