Mencermati perkembangan situasi politik beberapa waktu terakhir, tergelitik rasa keinginan menjawab pertanyaan pokok dalam konteks terkait intelijen pengamanan. Yaitu, apakah ada upaya berupa sebuah konspirasi untuk menjatuhkan Jokowi sebagai presiden?
Dalam mencermati fungsi intelijen Lid, Pam dan Gal, maka pembacaan situasi harus di dasari dari pertanyaan, fakta atau indikasi upaya conditioning (penggalangan) berupa penciptaan kondisi terkait pertanyaan tersebut diatas. Ini sangat penting bagi timsus inner circle Jokowi, untuk dapat dilakukannya tindakan penyelidikan lebih lanjut serta langkah pengamanan atau counter yang harus dilakukan. Siapa inner circlenya? Dalam masalah politik dan hukum, Menko Polhukkam justru dimusuhi banyak pihak.
Inti pertanyaan, dimana kekuatan Jokowi hingga menarik simpati konstituen pada saat pilpres? Titik ini yang akan diserang dengan paket wajar tetapi menghancurkan dan mematikan. Kekuatan pokok Jokowi diharapkan rakyat akan membawa perubahan berupa kebaikan dan kemajuan kehidupan berbangsa, karena kejujurannya. Kemudian semuanya dikemas, maka menanglah dia. Nah, kini untuk menghancurkannya, yang harus diwaspadai adalah serangan di titik kejujuran itu. Apabila diterjemahkan, komitmennya dalam pemberantasan korupsi harus tetap kuat, jangan sampai cacat. Terlepas dari dinamika politik yang menyebut adanya upaya kriminalisasi dan dinamika hukum yang menyebut politisasi, kekuatannya ada di rakyat, tetapi lawan yang mematikannya ada di Senayan.
Pemakzulan Gus Dur
(Sebagai BDI) BDI (Basic Descriptive Intelligence) adalah sebuah informasi dasar atau bisa disebut sebagai “the past”, yaitu kejadian masa lalu yang biasa dipergunakan oleh analis intelijen sebagai dasar analisa, dikaitkan dengan kejadian masa kini, agar analis dapat membuat sebuah ramalan intelijen (the future). Semua hanya disampaikan kepada user disamping disampaikannya juga saran tindakan atau counter yang harus diambil. Pemakzulan terhadap Gus Dur sebagai presiden adalah kejadian penting bagi Presiden Jokowi yang perlu dicermati, untuk menghindarkan dirinya dijatuhkan sebagai presiden. Mari kita bahas.
Beberapa bulan lalu penulis diundang ke BIN (Badan Intelijen Negara), diminta untuk mengkritisi buku yang ditulis oleh Kepala BIN (Letjen Pur Marciano Norman), yang berjudul “Mengawal Transformasi Indonesia Menuju Demokrasi Yang Terkonsolidasi.” Penulis menilai buku tersebut (Intelijen Dari Masa Ke Masa) adalah karya tulis yang sangat baik untuk dibaca masyarakat karena diterbitkan oleh pimpinan Badan Intelijen Negara. Akurasinya sangat tinggi. Dari buku tersebut, penulis tertarik fakta terkait pelengseran Gus Dur yang ditulis oleh Marciano. Setelah Habibie jatuh (oleh DPR), KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kemudian yang terpilih menjadi presiden. Tokoh ini didukung oleh poros tengah yang mampu menumbangkan dominasi perolehan suara oleh PDIP yang saat itu sebenarnya berpeluang besar menang. Megawati akhirnya gagal menjadi presiden, dan kemudian menjadi Wapres bukan karena dicalonkan oleh PDIP, tetapi oleh Ketua Umum PKB (Alm.Matori Abdul Djalil), yang pasang badan dan kemudian bahkan dipecat oleh Gus Dur Ketua Dewan Syura PKB.
Pada awalnya Gus Dur, yang memiliki latar belakang personifikasi yang beragam yaitu sosok agamawan, budayawan, intelektual, reformis, dan lain-lain, ketika menempati posisinya sebagai pemegang tertinggi kekuasaan eksekutif negara, mempunyai keinginan kuat untuk mereformasi sektor keamanan di Indonesia. Pada saat yang sama ia harus menghadapi sekian tantangan hingga tekanan dari sebagian pimpinan militer yang berusaha untuk menghambat reformasi politik total yang ingin diperjuangkannya.
Salah satu langkah penting yang dilakukan oleh Presiden Gus Dur di lingkungan intelijen dan militer Indonesia adalah menempatkan pejabat militer reformis di kalangan militer. Akibatnya Gus Dur menjadi kurang populer bahkan dimusuhi oleh sebagian perwira militer. Upaya Gus Dur untuk merealisasikan niatnya dalam melakukan perubahan fundamental dalam organisasi TNI berhadapan dengan resistensi yang kuat oleh aliansi kelompok nasionalis di parlemen dan kalangan militer yang tidak senang dengan campur tangannya dalam upaya realisasi reformasi total. Dalam waktu bersamaan Gus Dur juga menghadapi eskalasi konflik di Aceh, Maluku, dan Poso, dimana timbul kerusuhan dan konflik.
Dengan menggunakan teori nalar konflik dan nalar konspirasi, saat itu muncul dugaan yang berkembang di kalangan kritis bahwa kerusuhan dan konflik itu sebenarnya telah di-setting pihak tertentu yang ingin Indonesia tidak stabil. Dalam keadaan seperti ini nyaris tidak ada catatan impresif dalam masalah keamanan di masa pemerintahan Gus Dur.
Gus Dur harus menghadapi kenyataan politik dimana ia harus lengser dari jabatannya karena tekanan-tekanan berat yang dilakukan oleh faksi-faksi di parlemen yang menghendaki pelengserannya. Sebagai penggantinya sebagai presiden, Megawati Soekarnoputri kemudian dilantik, yang sebelumnya adalah wakil presiden. Intinya Gus Dur yang demikian popular dimata rakyat, akhirnya lengser karena keputusannya menyentuh titik rawan terlalu dalam.
Indikasi dan Sarana Konspirasi Masa Kini
Secara umum teori konspirasi atau persekongkolan (conspiracy theory) adalah teori-teori yang berusaha menjelaskan bahwa penyebab tertinggi dari satu atau serangkaian peristiwa (pada umumnya peristiwa politik, sosial, atau sejarah) adalah suatu rahasia, dan seringkali memperdaya, direncanakan diam-diam oleh sekelompok rahasia orang-orang atau organisasi yang sangat berkuasa atau berpengaruh. Banyak teori konspirasi yang mengklaim bahwa peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah telah didominasi oleh para konspirator belakang layar yang memanipulasi kejadian-kejadian politik (Wiki).
Konspirasi adalah bagian dari sebuah operasi penggalangan, merupakan ilmu intelijen yang memerlukan beberapa sarana. Penggalangan (conditioning) menggunakan beberapa sarana seperti sabotase, riot (kerusuhan), teror yang melaksanakan aksinya secara klandestin (tertutup). Dimana tujuan akhirnya untuk merubah dan menciptakan opini, agar target mau berfikir, berbuat dan memutuskan seperti apa yang dikehendakinya.
Dari perkembangan politik yang berlaku, dimana dalam kasus kemelut penggantian Kapolri, proses hukum kini justru menjadi sentral kerawanan presiden, di titik inilah Jokowi harus hati-hati dan waspada terhadap upaya pelengseran. Apakah kasus pemilihan Komjen Pol Budi Gunawan oleh Jokowi merupakan awal dari pelemahan KPK?
Pembacaannya rasanya bukan seperti itu. Dimainkannya isu Komjen Budi Gunawan sebagai calon Kapolri yang tidak bersih, munculnya laporan tidak bersihnya para pimpinan KPK serta penetapan sebagai tersangka hanyalah sebagai trigger. Ini entry point yang akan menyudutkan presiden kearah pengambilan keputusan berbahaya dengan istilah “maju kena, mundur kena.”Institusi Polri, KPK dan DPR hanya dipergunakan sebagai sekedar alat yang tanpa mereka sadari akan merusak kredibilitas Jokowi sebagai Presiden.
Dinilai dari BDI, Polri dan KPK sudah dua kali terlibat konflik, mereka emosional, suka berebut pengaruh, mudah digosok. DPR yang heterogen banyak diterjemahkan merupakan kumpulan politisi yang lebih sering mementingkan kelompok atau pribadinya. Kini citra Jokowi sebagai pemimpin yang kurang bermutu (maaf), kurang pandai, kurang pantas, tergantung, dan banyak penjatuhan nilainya, itulah sasarannya. Beberapa keputusan sulit memang di setting merupakan keputusannya.
Pembacaannya dari sisi “sense of intelligence” sederhana. Indikasi pertama, dari penjelasan Ketua Tim Independen, Buya Syafii Maarif, di Istana Negara, Jakarta, Rabu (28/1) menyatakan pencalonan BG bukan atas inisiatif Jokowi. "Jujur, itu sebetulnya pengajuan BG bukan inisiatif presiden. Ini benar, saya mendapat informasi yang cukup bagus," tegasnya. Buya menolak menyebut inisiator pencalonan. "Saya tak mau menyebut nama. Itu sudah rahasia umum, Anda harus tahu itu, kata Buya.
Indikasi kedua, yaitu proses fit and proper test BG di DPR. Fraksi PDIP mendukung proses uji kelayakan BG di Komisi III dan paripurna DPR RI. Anggota Komisi III DPR Fraksi PDIP Junimart Girsang (ahli hukum) menyatakan di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (13/1/2015), "Fit and proper test tidak ada hubungannya dengan penetapan tersangka.” Junimart mengingatkan seluruh pihak untuk mengedepankan azaz praduga tidak bersalah. "Sampai nanti ada keputusan hakim," katanya. Sementara KPK pada hari yang sama menetapkan BG sebagai tersangka kasus Tipikor.
Indikasi ketiga, suksesnya uji kelayakan BG di DPR, Rabu (14/1/2015) tanpa banyak masalah. Dalam rapat pleno Komisi III, Ketua Komisi III, Aziz Syamsuddin menyatakan Komisi III secara aklamasi menyetujui pengangkatan Budi Gunawan sebagai Kapolri. Selanjutnya Komisi III menyetujui untuk memberhentikan Kapolri Jenderal Sutarman. Dalam rapat paripurna DPR yang dilaksanakan hari Kamis (15/1/2015), yang dihadiri 411 anggota DPR (PDIP 80 anggota, Golkar 65, Gerindra 57, Demokrat 41, PAN 35, PKB 35, PKS 27, PPP 25, NasDem 34, dan Hanura 12). Dari 10 fraksi di DPR, hanya Demokrat yang menolak Budi Gunawan menjadi Kapolri.
Indikasi keempat, munculnya laporan terhadap komisioner KPK. Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Mabes Polri. BW sempat ditangkap untuk diperiksa kemudian dilepaskan. BW dijerat kasus pengarahan pemberian kesaksian palsu di sengketa pilkada Kotawaringin, Kalimantan Tengah.
Selain BW, sisa tiga pimpinan KPK lainnya juga dilaporkan ke Mabes Polri. Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja dilaporkan karena kasus pengambilan secara ilegal saham sebuah perusahaan daerah. Kemudian menyusul Ketua KPK Abraham Samad dan Wakil Ketua KPK Zulkarnain. Indikasi lain yang memperkuat, elit PDIP, Effendi Simbolon, menegaskan, saat ini merupakan waktu yang tepat untuk melakukan pemakzulan (impeachment) terhadap Presiden Jokowi. "Jika ingin melakukan impeachment sekaranglah saatnya. Karena banyak celah yang bisa dilakukan (untuk memakzulkan Presiden)," katanya saat diskusi publik bertajuk Evaluasi 100 Hari Pemerintahan Jokowi-JK di Jakarta, Senin, 26 Januari 2015.
Efendi menegaskan di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (27/1/2015), "Kalau seperti ini keadaannya dan dia tidak membenahi, ini jadi peluang lawan politiknya, bisa didorong untuk dijatuhkan. Maksud saya, saya tidak rela kalau hanya Jokowi yang jatuh. Dua-duanya. Saya ingatkan, ini politik lho. Mana mungkin kelompok tertentu nunggu 5 tahun,” tegasnya. Kritik-kritik ini, sambung Effendi, bukan karena sakit hati. Bukan juga karena suruhan Megawati. Dia menganggap Jokowi belum berpengalaman sehingga belum memberikan kinerja maksimal.
Dia juga mengkritik perekrutan menteri Jokowi yang dianggap tidak sesuai sistem. Wapres JK pernah tersentuh dalam menilai Jokowi, dalam wawancara yang ditayangkan di Youtube 25 Mei 2014. Saat ditanya soal capres muda dan kaitannya dengan Jokowi, JK menjelaskan, Presiden Republik Indonesia cuma satu. Bangsa ini 240 juta. Jangan presiden itu dipilih karena pikiran mau uji coba, dengan pikiran karena umur. Harus karena kemampuan. Ada kemampuan, dengan kemampuan itu, hampir semua kemampuan itu diperoleh dengan pengetahuan dan pengalaman. Jokowi adalah Gubernur DKI, Tapi jangan tiba-tiba karena dia terkenal di Jakarta tiba-tiba dicalonkan presiden. Bisa hancur negeri ini, bisa masalah negeri ini (republika.co.id). Saat itu JK meragukan dan mengkhawatirkan bila Jokowi menjadi presiden. Nah, dari beberapa indikasi yang diantaranya dapat dinilai sebagai fakta, jelas harus diuji oleh inner circle presiden, terlihat bahwa ada arah yang menyudutkan dan menurunkan kredibilitas serta citra Jokowi sebagai presiden. Jokowi bukan diuji dalam pengambilan keputusan, tetapi dia harus mengambil keputusan berbahaya karena menghadapi pressure beberapa pihak yang mana dukungan politik terhadap dirinya semakin menurun.
Analisis dan Kesimpulan
Dari beberapa analisis indikasi serta fakta diatas, sangat terasa bahwa bau konspirasi tercium semakin menyengat untuk melengserkan Jokowi. Konflik Polri-KPK hanya dipergunakan sebagai awal penurunan kredibilitas dan citranya.
Pengajuan Komjen Budi Gunawan yang informasinya bukan kebijakannya, pelemparan bola panas keputusan DPR ke tangannya, dukungan tidak realistis parpol pendukung, ungkapan impeachment dari kader tempat dia bernaung, keputusan penerbitan kepres pemberhentian komisioner KPK, semuanya hanya mengarahkan Jokowi ke jurang dalam dan gelap yang suatu saat akan sulit ditolong. Sebuah pertanyaan dan indikasi, apakah mulai terbentuk kolaborasi antara elit KMP dengan elit KIH (terbatas) tentang penilaian terhadap Jokowi? Jokowi yang terpaksa menunjuk tim Sembilan untuk membantu memecahkan masalah konflik Polri-DPR akan dinilai banyak pihak sebagai pemimpin yang lemah, tidak tegas dan kurang smart. Dalam teori konspirasi pengalangan, konspirator sadar bahwa dukungan rakyat terhadap Jokowi kuat, masih diatas 50 persen.
Ini langkah awal yang harus dirusaknya. Oleh karena itu kini dia meyakinkan bahwa Jokowi ternyata sosok yang salah untuk di dukung. Kesalahan mencalonkan Kapolri yang tersentuh masalah tipikor merupakan titik rawan dan fatalnya. Si perencana kini menggunakan pakem intelijen penggalangan yang sangat terkenal “Let them think, let them decide.” Yang pengertiannya, biarlah rakyat berfikir dan biarkan rakyat memutuskan. Nah, kini mulai muncul demo skala kecil tetapi menggigit, survey negative, dan semua akan mengarah ke satu titik, rakyat dibuat berfikir, memang Jokowi pantas di impeach.
Apabila mereka memakzulkan dia, rakyat akan tidak keberatan. Itulah jahatnya sebuah tindak konspirasi, pihak yang menjadi sasaran dan target utama biasanya tidak menyadarinya. Menyesal setelah terjadi. Solusi penyelamatan Jokowi, hanya satu. Jokowi mesti berani agak nekat, seperti perintahnya “tenggelamkan kapal pencuri ikan”, “tidak akan mengampuni hukuman mati bandar narkoba.” Daripada jatuh memalukan nanti seperti Gus Dur dilengserkan DPR, Jokowi bisa nekat sedikit, batalkan pelantikan Budi Gunawan, tata kembali institusi Polri, tunjuk Kapolri baru, selesaikan masalah komisioner KPK. Intinya Jokowi harus menunjukkan sikap pro pemberantasan korupsi.
Blusukan adalah masa lalu, kini rakyat membutuhkan keputusan Jokowi yang berpihak kepada mereka dan menenteramkan situasi. Tidak usah ragu Pak Presiden, bapak adalah Kepala Negara, Kepala Pemerintahan, Panglima Tertinggi Angkatan Perang. Jabatan hebat yang kalau tegas akan di dukung rakyat. Kalau sudah berniat baik membangun negara dan mensejahterakan rakyat, lurus, anti korupsi, masih tetap mau di lengserkan DPR, ya dipastikan Senayan akan di geruduk rakyat. Coba saja kalau berani itu DPR. Sebagai penutup, “Kemana saja itu wapres dan pembantu-pembantu presiden? Kesannya Jokowi hanya solo karir!.” Atau memang konspirasi itu semakin kuat?
Penulis : Marsda TNI (Pur) Prayitno Ramelan, Pengamat Intelijen www.ramalanintelijen.net