Ilustrasi
Bentrok TNI vs Polri, Mapolres OKU Dibakar (Foto: lensaindonesia.com)
Kembali
terjadi bentrok antara anggota TNI dengan Polri, mewarnai awal dari era
kepemimpinan Presiden Jokowi. Kali ini bentrok yang terjadi di Batam sejak Rabu
(19/11) hingga Kamis (20/11) dini hari, antara anggota Yonif 134/Tuah Sakti
dengan anggota Brimob dan mengakibatkan satu anggota TNI, Praka Jack Marpaung
tewas tertembak dan seorang warga masayarakat mengalami luka tembak.
Bentrok dari
dua kesatuan aparat pertahanan dan keamanan itu jelas membuat presiden khawatir
dan prihatin, karena mereka menggunakan senjata api dengan peluru tajam.
Disebutkan oleh Sekretaris Kabinet Andi Wijayanto di Kantor Presiden, Jakarta,
Kamis (20/11), bahwa presiden terus memantau hingga pukul 01.30 dini hari.
Presiden Jokowi memerintahkan pimpinan Polri dan TNI untuk turun mendamaikan
dan memberi sanksi bagi para pelaku.
Apapun
alasannya dan arah tembakan, terbukti dalam bentrok ini telah jatuh korban
tewas dari anggota batalyon tempur TNI AD saat mereka mendatangi markas Brimob,
ini yang memprihatinkan. Menurut Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan
Keamanan, Laksamana TNI (Pur) Tedjo Edhy Purdijatno, penyerbuan Markas Brimob
Batam merupakan dendam lama. Bentrokan dipicu karena saling pandang antar-anggota
di Pom bensin. "Kejadian di Batam ini adalah ada sengketa dari penanganan
yang lalu, kasus bulan September," kata Tedjo di Kompleks Istana, Kamis
(20/11)
Kapolri dan
Kasad segera menuju ke TKP Batam dalam rangka mengecek kejadian,
mengklarifikasi, menenteramkan dan mendamaikan hati yang panas. Penulis tidak
membahas latar belakang terjadinya bentrok, karena perlu menunggu rilis dari
tim investigasi yang dibentuk. Berita yang berkembang di media sangat perlu
disaring, karena penyebab kasus tidak cukup dari informasi yang berkembang,
tetapi informasi yang sudah berupa intelijen dari hasil pemerikssaan saksi dan
interogasi mereka yang terlibat.
Yang menjadi
pertanyaan, mengapa masih saja terjadi bentrok antara anggota TNI dengan Polri?
Penulis mencoba mengaitkan dengan pengalaman saat masih bertugas sebagai Kepala
Dinas Pengamanan dan Sandi TNI-AU (Kadispamsanau) selama tiga tahun pada tahun
90-an. Salah satu tugas yang diemban adalah melakukan pengamanan personil,
dimana satuan yang penulis pimpin melakukan penyelidikan, interogasi,
penelitian serta memberikan saran tindakan kepada pimpinan TNI AU terhadap
setiap kasus pelanggaran disiplin tentara, dan juga bentrok yang terjadi
sebelum menyerahkannya kepada POM-AU.
Dalam kasus
bentrok seperti yang terjadi di Batam, itu bukan kejadian pertama, sebelumnya
ada anggota TNI yang terkena tembakan tidak hanya di Batam, juga di Papua
misalnya. Penggunaan senjata api untuk saling menyerang kedua belah pihak baik
TNI maupun Polri jelas merupakan pelanggaran yang sangat berat, ini jelas
difahami para anggota tersebut, lantas mengapa mereka masih 'menenteng' senjata
kalau ribut? Jelas ini terkait dengan emosi, serta rasa esprit de corps yang
mereka benarkan dan mereka manipulasikan.
Emosi dan Esprit de Corps
Apabila diteliti,
dalam beberapa kasus bentrok, yang terlibat adalah para anggota dengan pangkat
rendah (tingkat Prajurit dan Brigadir). Mereka umumnya masih muda-muda dan
setelah lulus SMA, masuk pendidikan selama beberapa bulan, dilatih dan
digembleng bersama, diajari cara menggunakan senjata, dilatih bertempur (bagi
TNI) dan penanganan masalah pelanggaran hukum (bagi Polri). Dari pengamatan
penulis saat bertugas, nampak dari beberapa pendidikan (obyek penelitian di
Kodik TNI AU), bahwa bagi mereka yang nanti dalam penugasannya dipercaya selalu
memegang senjata api harus diberikan stressing yang lebih dibandingkan mereka
yang penugasannya dari segi tehnis lainnya. Bagi anggota yang dijuruskan
menjadi anggota Polisi Militer, pasukan, intelijen perlu diberikan kurikulum
khusus. Pertanyaannya mengapa? Para prajurit tersebut berasal dari lulusan SMA,
terlepas dimanapun mereka berada. Bagi mereka yang berasal dari kota-kota besar
khususnya, mereka dalam beberapa tahun di SMA, bahkan SMP sering terlibat dalam
'tawuran.'
Mereka-mereka
itu yang harus diawasi dengan ketat, agar virus tawuran dalam benaknya yang
selama ini bebas merdeka, tidak ada yang ditakuti, kemudian bisa menjadi lebih
"jago" karena dipegangi senjata. Dari pengalaman interogasi, penulis
menjumpai bahwa virus kebandelan anak-anak ini sangat sulit dihilangkan. Oleh
karena itu penulis saat itu benar-benar tidak ada kompromi dalam mengawasi dan
mengarahkan mereka setelah masuk ke satuan kerja. Kordinasi dengan komandan
satuan terus dilakukan, sekali terjadi pelanggaran disiplin berat, maka
komandan (secara berjenjang) termasuk yang akan diberikan sangsi.
Penulis
selalu mengingatkan para komandan satuan, sekali mereka kurang perhatian dan
kurang disiplin mengawasi anak buahnya, maka satuan tersebut akan menjadi gerombolan
bersenjata resmi (berpakaian dinas dengan mental gerombolan). Kejadian
insubordinasi telah terjadi saat konflik di Batam, menurut para pejabat, gudang
senjata mereka bongkar dan senjata dibawa serta dipergunakan untuk berkonflik.
Hal lain
yang juga penulis perhatikan adalah masalah Esprit de Corps di kalangan
anggota. Pengertian esprit de corps bisa diartikan sebagai, "Rasa
persatuan dan kepentingan serta tanggung jawab bersama yang dikembangkan di
antara sekelompok orang yang terkait erat dalam tugas." Ada juga
mengartikan sebagai persahabatan, ikatan, dan solidaritas. Ditinjau sebagai
kata benda, bisa diartikan sebagai kesadaran dan kebanggaan yang merupakan
milik kelompok tertentu, memiliki rasa dengan tujuan bersama dan persekutuan.
Menurut Collins English Dictionary, Esprit de Corps adalah perasaan
persahabatan di antara anggota kelompok atau organisasi. Sebagai contoh
terbentuknya esprit de corps misalnya, "Dengan berkemah bersama selama
satu minggu saja, sekelompok orang akan sudah terikat oleh esprit de corps yang
kuat."
Nah, bagi
para anggota pasukan militer yang digembleng bersama di sebuah lembaga
pendidikan dasar, pada umumnya dilatih untuk selalu bekerja sama karena mereka
dipersiapkan untuk menghadapi musuh yang pilihannya adalah antara hidup dan
mati. Pendidikan dasar pada umumnya keras dan tegas dengan norma-norma serta
budaya khusus, dimaksudkan untuk merubah mentalitas seorang sipil menjadi
militer dengan disiplin yang tegas dan jelas. Sebagai contoh dalam sumpah
prajurit ke tiga disebutkan "Bahwa saya akan tunduk kepada atasan tanpa
membantah perintah atau putusan."
Anggota
militer (TNI) dibentuk dengan dasar Sapta Marga, Sumpah Prajurit dan Delapan
Wajib TNI. Karena itu anggota militer sebenarnya dikunci sikap, perilaku dan
mentalitasnya dengan aturan-aturan yang sudah baku. Mereka bisa terkena
Peraturan Disiplin Tentara, Hukum Disiplin Militer. Oleh karena itu dengan
dasar yang sudah kuat serta aturan baku, diharapkan Indonesia mempunyai anggota
militer yang kerkualitas serta menjadi contoh dan tauladan yang baik. Demikian
juga dengan para anggota Polri dikalangan yang berpangkat Brigadir misalnya,
mereka dipersiapkan sebagai abdi hukum yang taat dalam melakukan tugasnya
sesuai dengan hukum yang berlaku.
Nah,
pertanyaannya, mengapa dengan aturan yang jelas, penggemblengan yang keras,
setelah para anggota itu bertugas, mereka ada yang masih terlibat dalam
bentrokan. Bentrok sebenarnya tidak jauh-jauh dengan pengertian tawuran,
bedanya kalau dahulu hanya menggunakan batu, gir sepeda serta rantai, kini
mereka bisa secara tidak resmi membawa senjata api. Rasa percaya diri jelas
semakin tinggi. Dengan ditambah esprit de corps serta emosi muda dan pengalaman
tawuran, maka lengkaplah seseorang anggota militer ataupun Polri di kelompok
tamtama itu menjadi alat pembuat kericuhan.
Apakah hanya
itu penyebabnya? Jelas tidak. Seperti keterangan yang diberikan Kapuspen TNI
Mayjen Fuad Basya, saat konflik pertama anggota Yon 134 dengan anggota Polri
berawal di lokasi penimbunan BBM ilegal. Dikatakan beberapa anggota TNI itu
tidak tahu bahwa itu tempat penampungan BBM ilegal. Mereka tahunya hanya
diminta sebagai tenaga pengamanan. Karena itu saat digerebeg pada bulan
September 2014, terjadi keributan diantara mereka dan mengakibatkan 4 anggota
TNI AD tertembak. Demikian juga misalnya dengan kasus anggota Brimob dengan TNI
AD di Wamena, keributan berawal dari penyetopan anggota TNI yang membawa kayu
dan semuanya berakhir setelah seorang perwira pertama (Komandan Pos) mengalami
luka tembak di paha.
Nah, banyak
kisah tentang keributan anggota TNI dengan Polri yang berawal dari rasa
cemburu, upaya hukum dari Polri yang akhirnya menyentuh anggota TNI.
Dibelakangnya adalah masalah pendapatan ekstra belaka. Disini yang berbicara
masalah kesejahteraan, jaman dan harga-harga semakin sulit dan tinggi. Gajih
para anggota TNI kelompok Tamtama yang hanya sekitar Rp.1.330.000/bulan dapat
dikatakan tidak mencukupi. Disinilah kemudian muncul kecemburuan sosial
terhadap anggota Polri yang mereka lihat lebih banyak memiliki peluang.
Anggota
militer setiap hari hanya berlatih dan hidup di dalam kestarian atau markas,
berbeda dengan anggota Polri yang banyak bertugas di lapangan, bersentuhan
dengan masyarakat. Jelas kejenuhan anggota TNI dengan penghasilan yang dinilai
kurang, bisa menimbulkan pemikiran upaya mencari tambahan. Pada tahun 2001 saat
penulis mendampingi Menhan meninjau salah satu kesatuan di daerah Cilodong,
pimpinan TNI AD menyatakan bahwa jangan kaget kalau diluar jam kerja ada
anggota yang menjadi tukang ojek.
Jadi masalah
bentrokan sebaiknya dapat dilihat lebih komprehensif, karena berbagai macam
sebab seperti yang penulis sampaikan diatas. Jadi bagaimana kesimpulannya?
Pimpinan satuan sebaiknya memahami dan meluruskan pengertian esprit de corps
dikalangan anggotanya. Selain itu masing-masing komandan sebaiknya mengetahui
siapa anggotanya itu, siapa yang mempunyai sejarah kelam dan tukang bikin
ribut. Penulis percaya ada jeger-jeger yang dahulu jagoan sewaktu SMA dan
setelah menjadi anggota TNI/Polri tetap saja sifat dan karakter jegernya
muncul. Dia pada umumnya mereka mampu memprovokasi anggota lainnya.
Tetapi yang
terpenting dari semuanya itu, baik pimpinan TNI maupun Polri penulis pandang
perlu kembali meninjau kurikulum pendidikan dasar prajurit. Indikasi pemahaman
kerasnya kehidupan militer dan polisi tetapi tetap dengan budi pekerti yang
baik sebaiknya mulai diterapkan di pendidikan dasar saat mentalitas sipil si
calon mulai dirubah menjadi sikap mental TNI dan Polri. Mereka harus mampu
membedakan mana yang musuh dan mana yang bukan, serta diberi pelajaran
bagaimana mengambil sebuah keputusan. Pelatihan keputusan yang dibuat dengan
pemikiran, dan bukan dengan emosi serta manipulasi esprit de corps.
Penulis kira
inilah sebagian wawasan sederhana yang perlu disampaikan, memang kehidupan
prajurit itu keras dan pemberontakan bisa muncul sewaktu-waktu, oleh karena itu
si Komandan satuan jelas harus lebih lihai dan dewasa sebagai pemimpin yang
diandalkan. Perlu segera dilakukan penilaian kasus, tidak cukup hanya didamaikan,
saling bertemu gendong dan berpelukan. Akar masalah harus dilakukan, intinya
berada pada masing-masing institusi. Sebagai penutup, jelas pemerintah
sebaiknya memikirkan peningkatan kesejahteraan prajurit. Semoga bermanfaat.