Dalam waktu dekat Kementerian Pertahanan dikabarkan akan kembali mengakuisisi jet tempur baru untuk mengisi hanggar Skadron Udara 14, yang sebentar lagi ditinggalkan jet pencegat F-5E/F Tiger II.
Salah satu kandidatnya adalah Eurofighter Typhoon, yang belakangan
gencar ditawarkan pihak Airbus Defence & Space. Bagi Angkasa,
kemunculan pesawat ini terbilang menarik, setidaknya oleh karena dua
hal. Pertama adalah karena pesawat ini sejatinya dibuat berdasarkan
filosofi atau kebutuhan khusus untuk sistem pertahanan udara Eropa. Dan
kedua, karena pesawat ini ditawarkan dengan paket transfer teknologi
yang bisa digunakan untuk masa depan industri kedirgantaraan Indonesia.
Keunggulan yang ditawarkan Typhoon ada pada dua dapur pacu Eurojet
EJ200 berkekuatan masing-masing 13.490 pon dengan thrust-weight ratio
1,15 untuk menjamin kemampuannya mengejar dan menaklukkan lawan secara
cepat di udara. Dengan sepasang canard yang terpasang di depan, pesawat
sayap delta ini dijamin mampu melakukan gerakan menekuk dengan angle of
attack yang jauh lebih impresif dibanding jet tempur pada umumnya.
Gerakan menekuk amat diperlukan karena langit negara Eropa terbilang
sempit.
Angkasa mencatat, Typhoon telah dirancang sejak 1980-an – ketika
banyak negara Eropa tengah dihantui ekses Perang Dingin – namun baru
bisa diterbangkan untuk pertama kali pada 1994 atau empat tahun setelah
Perang Dingin usai. Manuverabilitas yang tinggi jadi persyaratan utama
karena jet tempur ini akan digunakan sebagai tulang tombak penghadangan
jet-jet tempur Uni Sovyet yang umumnya dirancang untuk menembus
pertahanan udara lawan dan melakukan pemboman masif.
Penggarapan pesawat ini dipecah di empat pabrikan yang terletak di
Jerman (DASA), Inggris (BAe), Italia (Aeritalia), dan Spanyol (CASA)
yang pengintegrasiannya dikendalikan secara terpusat oleh Eurofighter
Jagdflugzeug GmbH. Oleh sebab restrukturisasi yang diberlakukan Uni
Eropa, pembuatan dan komersialisasinya kini dilimpahkan kepada BAE
System, Alenia Aermacchi dan Airbus Defence & Space.
Nah, karena kewenangan penjualan atas segala produk Airbus DS untuk
Indonesia dan sekitarnya kerap dilimpahkan kepada PT Dirgantara
Indonesia, upaya penjualan Typhoon di wilayah ini pun dititipkan kepada
manajemen pabrik pesawat yang ada di Bandung tersebut.
Sedang Dikaji
Pihak Kementerian Pertahanan dan KKIP (Komite Kebijakan Industri Pertahanan) sendiri memastikan bahwa Typhoon sudah masuk sebagai kandidat. Bersama Sukhoi Su-35 (Rusia), Dassault Rafale (Perancis), Saab Jas-39 Gripen (Swedia), Boeing F/A-18E/F Super Hornet (AS) dan Lockheed Martin F-16 Block 62, pesawat ini akan segera diseleksi menurut kebutuhan operasional (ops-req) yang diajukan TNI AU.
Pihak Kementerian Pertahanan dan KKIP (Komite Kebijakan Industri Pertahanan) sendiri memastikan bahwa Typhoon sudah masuk sebagai kandidat. Bersama Sukhoi Su-35 (Rusia), Dassault Rafale (Perancis), Saab Jas-39 Gripen (Swedia), Boeing F/A-18E/F Super Hornet (AS) dan Lockheed Martin F-16 Block 62, pesawat ini akan segera diseleksi menurut kebutuhan operasional (ops-req) yang diajukan TNI AU.
“Pesawat-pesawat itu kini sedang dikaji. Keputusan baru akan diambil
setelah pemerintahan baru berkuasa. Kita tunggu saja” ujar sebuah
sumber. Pernyataan ini serta-merta mementahkan berita online yang
menyatakan bahwa Pemerintah telah menyatakan positif membeli dan tengah
menunggu pengirimannya.
Lalu seperti apa persisnya transfer teknologi yang ditawarkan? Belum
ada rincian pasti. Namun, seperti diungkap Vice President Bisnis dan
Pemerintahan PT Dirgantara Indonesia, Irzal Rinaldi Zailani, transfer
teknologi yang ditawarkan bisa mengarah ke teknologi atau elemen yang
diperlukan dalam perancangan jet tempur KFX/IFX. Oleh karena proses
perakitannya bisa dilakukan di Bandung, enjinir PT DI juga bisa ikut
menyerap ilmu dalam pembuatan jet tempur.
KFX/IFX adalah prototipe jet tempur masa depan yang tengah dirancang
Korea Selatan bersama Indonesia. Merujuk Angkasa (Februari 2014), meski
telah menuntaskan tahapan Pengembangan Teknologi pada akhir 2012,
pemenuhan standar generasi 4,5 yang diharapkan masih menemui sejumlah
kendala. Pesawat ini diantaranya belum menemukan mitra yang benar-benar
mau “berbagi” teknologi radar penjejak sasaran multi-fungsi (AESA) dan
mesin pendorong berkekuatan besar.
Dari tiga gambaran mesin yang dinilai cocok, yakni Eurojet EJ200,
General Electric F-414 dan General Electric F-414 baru pihak Eurojet-lah
yang menawarkan diri. Di lain pihak General Electric (AS) menyatakan
berat untuk berbagi mesin yang kini menjadi andalan F/A-18E/F Super
Hornet itu, namun tidak dengan GE F-100 yang selama ini dipakai F-16
versi awal.
“Kami tak mau pakai F-100, karena daya dorongnya terlalu kecil. Kami
tetap pada prinsip bahwa jet tempur yang dihasilkan harus yang unggul.
Kalau seadanya, itu sama saja cari mati,” ujar Dr Rais Zain, M.Eng,
KFX/IFX Configuration Design Leader kepada Angkasa.
Selain itu, kedua pihak juga masih mencari sistem persenjataan yang bisa disimpan dalam internal weapon bay, sistem data-link yang bisa mengacak komunikasi darat-udara dan perangkat anti-jamming.
Selain itu, kedua pihak juga masih mencari sistem persenjataan yang bisa disimpan dalam internal weapon bay, sistem data-link yang bisa mengacak komunikasi darat-udara dan perangkat anti-jamming.
(Angkasa Magazine, No 12/XXIV, September 2014)