Minggu, 14 September 2014

SUPER TUCANO siap dikirim ke Indonesia

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhJmcSVv1k5LC2iKF5rYIWgJpA1tJ26O8-NNSLpGeTi6Wm0XcJCoZ6v3vZSmEVouqmyVZDNJ3U4VCBjMesRogJlkyv_lGDB_s3ktUUOdJq-oBw5lHFohDgU0aC6p1sH1Cgt_LwrVcz-IUDW/s1600/10450261_10201858750989420_4985779183560193968_o.jpg
(photo 1)
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiKRJBwGy3wMgJIUYqP1JTi6D1Zg9YZPAb4ciPacGYuYf0nCkc9dDSA56hrLzYvQE9sRN-uLkpxD6_Fn5YhpqldbvuuN-cXAHTI9ZDX8O04yrnzRQhsZJHRXjEwE9CsJdC81uDLY4RjKtVJ/s1600/10655339_10201858750789415_6726798552510680662_o.jpg
(photo 2)
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjCFEOg1Q4YSWkB-XP5QYGMzY5-DgZS-v-MYqnQ0OaEaIlgveaKK5Vm99YJ0h9etIndFpyHTzh5doj4sNuJEUPw7QRkYsECENsw-ytEoSx864tU6eqkfNoVVCP5Qy48shIkBJJs8zCNem_-/s1600/10679531_10201858750909418_4002049987976119207_o.jpg
(photo 3)
PHOTO: NEWMAN HOMRICH
Sumber : poaspotter.blogspot.com

Menang Tak Dibilang Gugur Tak Dikenang

Kisah Pasukan M ALRI, Menang Tak Dibilang Gugur Tak Dikenang


image003
Ketika Ir. Soekarno dan Drs. Muhammad Hatta selesai mengumumkan proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945, maka keesokan harinya di depan sidang PPKI, para pemimpin kita, menegakkan sebuah negara Republik Indonesia dengan Presiden dan Wakilnya Ir. Soekarno dan Drs. Muhammad Hatta.
Namun, bangsa-negara yang baru merdeka ini, justru menghadapi langkah ketidakadilan berlanjut dari kolonialis Belanda yang telah menjajah bangsa dan tanah air Indonesia puluhan tahun lamanya.
Pemerintah kolonial Belanda menolak mengakui kemerdekaan bangsa Indonesia yang telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 dan juga menolak mengakui kedaulatan Negara Kesatuan RepubliK Indonesia (NKRI) yang dibentuk-tegakkan pada 18 Agustus 1945.
Singkatnya pemerintah kerajaan Belanda tidak menganggap adanya sebuah bangsa-negara Indonesia yang merdeka, dan karena itu, pemerintah kerajaan kolonialis itu tetap menganggap NKRI sebagai Nederlandsch-Indie (Hindia-Belanda). Bangsa kolonialis itu tetap merasa dan berkehendak mengembalikan sistem pemerintahan kolonialismenya ke tengah-tengah bangsa-negara Indonesia (NKRI) yang telah merdeka.
Untuk melaksanakan tujuan kolonialismenya, van Mook-Letnan Gubernur Jenderal, pimpinan pemerintah Belanda yang lari ke Australia –tentu saja atas perintah kerajaan Belanda di Den Haag– melaksanakan suatu perang kolonialis kepada bangsa Indonesia selama kurang lebih empat tahun, 1945-1949.
Pemaksaan perang kolonialis oleh pemerintah kerajaan Belanda dihadapi oleh bangsa-negara Indonesia dalam bentuk “Perang (Mempertahankan) Kemerdekaan” dalam periode yang sama sebagaimana yang disebut di atas.
Dengan demikian, dalam perang yang dipaksakan itu, berhadapan dua kekuatan yang menerjuni perang itu dengan tujuan yang berbeda. Di satu pihak, bangsa-negara Indonesia menerjuni perang yang dipaksakan itu dengan tujuan mempertahankan kemerdekaan bangsa-negarany. Sebaliknya, pemerintah kerajaan kolonialis Belanda mengadakan peperangan itu untuk mengembalikan sistem pemerintahan kolonialismenya ke tengah-tengah bangsa-negara Indonesia yang telah merdeka.
Dalam menerjuni perang mempertahankan kemerdekaan yang dipaksan oleh pemerintah kolonialisme Belanda itu, tentu saja pemerintah, pemimpin bangsa-negara Indonesia berusaha sekuat tenaga, sebaik-baiknya, untuk mempertahankan proklamasi kemerdekaan. Bagi pemimpin bangsa kita, mempertahankan kemerdekaan tentu saja merupakan “tugas dan kewajiban”, bahkan dianggap sebagai sesutau yang memiliki “makna suci”. Karena itu, dalam perang mempertahankan kemerdekaan itu, kita sering mendengar teriakan dan tulisan pamflet : “merdeka atau mati!!!!”.
Anak-anak usia muda yang masih sekolah –pelajar– meninggalkan bangku sekolahnya dan ikut dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan itu; entah karena kemauan sendiri atau ikut dengan kawan-kawannya, bersama membentuk suatu kelompok dan menjadi satu organisasi yang digunakan untuk mengatur dan melakukan perlawanan melawan pasukan kolonialis Belanda.
Dalam menerjuni perang-termasuk dalam perang mempertahankan kemerdekaan itu-tampillah “beberapa” orang yang kemudian hari setelah perang usai, dikategorikan sebagai “pahlawan”, karena selama perang kemerdekaan berlangsung memperlihatkan/menunjukkan “kelebihan” tertentu jika dibandingkan dengan orang lain pada umumnya. Orang yang dianggap mempunyai sikap khas di tengah krisis itu, diberi sebutan pahlawan. Apakah pahlawan itu? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) –Balai Pustaka, 1991, pahlawan disebutkan sebagai “orang yang menonjol” karena keberanian dan pengorbanan di dalam membela kebenaran; disebut juga pejuang yang gagah berani.
Sejak 1960-an, pemerintah NKRI melakukan kebijakan untuk memberikan anugerah, gelar, kepahlawanan kepada seseorang yang dianggap mempunyai sikap, tindakan yang luar biasa, yang melebihi dari warga negara lainnya, dengan tindakan luar biasa itu, orang yang bersangkutan diberi galar “pahlawan nasional”. Untuk pengusulan seseorang menjadi pahlawan nasional harus melalui mekanisme tertentu sesuai dengan prosedur yang ditentukan oleh Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah.
Laskar Sunda Kecil sedang melakukan pawai
Laskar Sunda Kecil sedang melakukan pawai

Bali-Sunda Kecil: Ancaman Kolonialis Belanda
Setelah proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia, 17 Agustus 1945, dan menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 18 Agustus 1945, maka menyebarlah berita proklamasi dan pembentukan NKRI itu ke seluruh wilayah Republik, dari Sabang sampai Merauke, dari wilayah pantai-pantai sampai ke gunung-gunung dan segeralah para pemimpin, tokoh, dan masyarakat umum di daerah-daerah memberikan dukungannya –walau tentu saja ada juga sejumlah kecil warga yang tetap memberikan dukungannya kepada pemerintah kolonial kerajaan Belanda– kepada Presiden dan pemerintah NKRI.
Sesuai dengan keadaan transportasi dan peralatan komunikasi yang sederhana dan medan wilayah NKRI pada 1945 itu, terdengar dan sampainya berita proklmasi kemerdekaan itu tidak bersamaan ke seluruh wilayah NKRI. Namun demikian, setelah mendengar berita proklamasi kemerdekaan dan terbentuknya NKRI itu, masyarakat memberi dukungan dan mempersiapkan diri untuk membela dan mempertahankan kemerdekaan bangsa dan negaranya, NKRI. Demikian pula halnya dengan keadaan di Bali-Sunda Kecil.
Perkembangan kegiatan membela dan mepertahankan (proklamasi) kemerdekaan bangsa-negara, NKRI tentu sesuai dengan situasi obyektif yang ada di Bali-Sunda Kecil pada periode 1945-1949 itu. Keadaan di Bali-Sunda Kecil pada waktu itu terbagi atas delapan kerajaan, dan pada umumnya “memihak” kepada kekuasaan kerajaan Belanda. Hanya ada satu raja yang dapat dianggap betul-betul memihak kepada Republik, yaitu Puri Satrya, Raja Badung. Namun demikian, dengan bantuan dukungan masyarakat yang pro republik, akhirnya pemerintah Jepang menyerahkan kekuasaannya kepada Gubernur Bali, Ktut Pudja pada 8 Oktober 1945. Susunan badan-badan perjuangan pun makin diperbaiki untuk melakukan kegiatan mempertahankan kemerdekaan, bendera Merah Putih mulai berkibar di gedung-gedung pemerintahan. Beberapa kapal kayu dagang milik Jepang diambil alih oleh pemuda dan kelasi berkebangsaan Jepang ditampung oleh pemerintah. BKR juga terbentuk dengan komandannya I Made Putu.
Untuk melakukan konsolidasi perlawanan mempertahankan kemerdekaan di Bali-Sunda Kecil, diadakanlah suatu rapat di Puri Raja Badung, Denpasar, yang merupakan rapat pertama yang dihadiri oleh utusan-utusan dari daerah atau kerajaan yang merupakan keluarga dari raja-raja kerajaan yang ada du Bali. Dalam rapat pertama ini diputuskan markas TKR Sunda Kecil berkedudukan di Denpasar. Rapat kedua, telah mengambil keputusan untuk memilih pimpinan dan staf TKR Sunda Kecil, yang terdiri dari:
Pimpinan TKR : I Gusti Ngurah Rai
Barisan Penggempur/Operasi : I Gusti Putu Wisnu
Kepala Staf : I Wayan Ledang
Dalam perkembangannya, pasukan Belanda pun berusaha menduduki Bali dengan cara membonceng pasukan Sekutu-Inggris yang datang untuk menggantikan posisi pasukan pendudukan Jepang.

Pasukan M-Markadi: Pasukan Bantuan Perjuangan di Bali
Sebagian anggota Pasukan-M pada tahun 1946.
Sebagian anggota Pasukan-M pada tahun 1946.

Keadaan masyarakat Bali – Sunda Kecil dan pendukung NKRI dalam menghadapi kekuatan imperialis Balenda dalam situasi kritis. Masyarakat Bali yang measih berada di bawah kekuasaan sistem pemerintahan feodalistik kerajaan-kerajaan, tidak dapat mengembangkan kekuatan perlawanannya sebagaimana yang diharapkan. Untuk mendukung perlawanan perjuangan di Bali-Sunda Kecil, diperlukan usaha untuk memberikan bantuan pasukan dari Pulau Jawa. Dalam rangka itulah kemudian suatu pasukan yang akan dikirimkan ke Bali dibentuk, yaitu pasukan yang dipimpin oleh Kapten Markadi atau sesuai dengan huruf awal nama komandannya itu, disebut “Pasukan M”. Kapten Markadi semula adalah Komandan Kompi Tentara Laut Resimen II TRI Laut Malang, yang kemudian ditugaskan untuk membentuk unit pasukan kecil yang akan dikirim ke Bali dengan tugas utama menghimpun informasi intelijen yang akan digunakan untuk melakukan pelbagai operasi yang terkait dengan pengambilalihan persenjataan Jepang; senjata-senjata rampasan Jepang itu dimaksudkan untuk memperkuat kekuatan para pejuang di Bali-Sunda Kecil.
Kapten Markadi diberi tugas intelijen – yang tentu tidak mudah – ke Bali itu tentu karena dianggap mempunyai kemampuan berdasar pengalaman yang telah dimilikinya sebelum penugasan itu. Ia sudah pernah mendapat tugas mendampingi Kolonel Prabowo dan Kolonel Moenadji untuk mengambilalih persenjataan Jepang di Bali. Sementara itu, situasi di Bali-Sunda Kecil makin kritis karena kegagalan gerakan pemuda republiken untuk merebut senjata Jepang pada peristiwa 13 Desember 1945.
Walaupun begitu, usaha-usaha para pejuang patriotik Bali-Sunda Kecil yang dipimpin oleh Letkol I Gusti Ngurah Rai tidaklah surut. Selama periode Januari-Maret 1946, Letkol I Gusti Ngurah Rai bersama Kolonel Prabowo, Kolonel Moenadji dan didampingi oleh Kapten Markadi menemui pimpinan TNI di Markas Besar TRI di Yogyakarta untuk meminta bantuan kekuatan guna menguatkan semangat dan kekuatan perjuangan yang makin kritis dalam mepertahankan kemerdekaan di Bali-Sunda Kecil.
i-gusti-ngurah-rai
Letkol I Gusti Ngurah Rai beserta teman-temannya, termasuk Kapten Markadi berhasil memperoleh dukungan dari Markas Besar TRI melalui Jenderal Urip Sumoharjo. Adanya dukungan Markas Besar TRI itu mempercepat usaha membangun kekuatan pasukan yang akan dikirim ke Bali-Sunda Kecil. Dalam kaitan itulah, Kapten Markadi – karena tetap ditugaskan untuk memimpin pasukan bantuan perjuangan ke Bali – segera berusaha membangun pasukannya, Pasukan M, agar segera siap diberangkatkan ke Bali. Ia berhasil membentuk pasukan yang berkekuatan empat seksi, yaitu tiga seksi pasukan tempur dan satu seksi pasukan khusus diberi nama CIS (Combat Intelligence Section) yang personilnya berasal dari para pelajar berbagai Sekolah Menengah Atas yang telah mendapatkan pelatihan tempur dan intelijen.
Setelah pelbagai persiapan yang dianggap cukup, dengan menggunakan kendaraan laut tradisional yang tersedia ketika itu – berupa perahu-perahu dari pelbagai jenis – mereka pun berangkat untuk menjalankan tugas dengan segala resiko yang mungkin dapat menimpa mereka. Kapten Markadi bersama pasukannya dengan menaiki sejumlah perahui berangkat ke Bali.
Tetapi, dalam perjalanan itu, saat fajar 5 April 1946, dua perahu Madura yang ditumpangi Kapten Markadi bersama pasukannya yang sudah hampir mencapai pantai Bali “kepergok” oleh dua kapan Angkatan Laut Belanda yang sedang menjalankan tugas patroli. Kedua kapal musuh, Angkatan Laut Belanda itu melihat dan mendatangi perahu para pejuang itu. Kapten Markadi berusaha melakukan tindakan “kamuflase” untuk mengelabui Angkatan Laut Belanda itu, tetapi gagal. Kapal Angkatan Laut Belanda itu pun akhirnya tahu bahwa orang-orang yang ada di kedua perahu Madura itu dan berusaha segera menangkap mereka. Dengan itu pertempuran pun tak dapat dihindarkan. Dari buku tulisan Iwan Santoso dan Wenri Wanhar, peristiwa itu digambarkan:
“Kapten Markadi yang mengerti bahasa Belanda langsung melempar tali seraya memberi perintah menembak dan langsung menceburkan diri ke laut. Pertempuran laut pertama dalam sejarah RI seketika pecah di Selat Bali. Tidak semua awak perahu itu ikut bertempur. Beberapa orang hanya tiarap karena tidak memiliki senjata. Pelaut Belanda membalas serangan Pasukan M dengan intraliur berat jenis Browning kaliber 12,7mm. Namun, karena terlalu dekat dengan posisi LCM lebih tinggi dari perahu Madura, sehingga senapan mesin berada dalam sudut mati dan tembakan prajurit Belanda hanya mengenai tiang layar karena perahu yang ditumpangi Markadi ini berada dalam posisi sangat rendah. Kapten Markadi yang tadi terjun menyelam di lambung sebelah kanan perahu, muncul di lambung sebelah kiri dan dengan dibantu anak buahnya naik lagi ke perahu
Dalam menghadapi perlawanan para pejuang NKRI yang dipergokinya itu, awak kapal patroli Belanda itu nyaris putus asa karena tembakannya tidak mengenai sasarannya. Dalam keputusasaannya itu,
“…, kemudian menabrakan LCM nya ke perahu Kapten Markadi. Mereka berharap perahu pejuang akan tenggelam. Beberapa orang yang berada di perahu tersebut jatuh ke laut. Tapi mereka kembali naik lagi ke perahu dengan bantuan personel lainnya, LCM tersebut beberapa kali menabrak perahu. Saat tabrak-tabrakan itulah Kapten markadi memerintahkan Pasukan M serempak melemparkan granat ke arah dua LCM Belanda.
Tak lama kemudian terdengar granat meledak di atas sebuah LCM Belanda dan diperkirakan menewaskan empat orang awaknya, segera LCM lainnya melarikan diri dengan keadaan terbakar pada bagian dek dan lambung kapal. Sambil mundur ke arah Gilimanuk, LCM itu terus menembak, akan tetapi tidak ada yang kena sasaran. Menurut laporan Angkatan Laut Belanda, LCM tersebut dikabarkan kembali beroperasi setelah dilakukan perbaikan.
image001
Pertempuran yang berlangsung ±15 menit itu disebut-sebut sebagai pertempuran laut pertama yang dimenangi Angkatan Perang Indonesia setelah proklamasi, di awal kemerdekaan bangsa dan tegaknya negara Republik Indonesia. Dalam pertempuran itu, pasuka M kehilangan seorang warganya atas nama Sumeh Darsono dan seorang terluka tembak, Tamali.
Walaupun dalam pertempuran itu Pasukan M dapat dikatakan memperoleh “kemenangan kecil” tetapi ia dan pasukannya tidak mau menyenangkan diri. Segera ia memerintahkan kedua perahu pasukannya untuk memutar haluan dan kembali ke Banyuwangi dengan alasan menengedepankan keselamatan seluruh pasukan. Sebab setelah peristiwa pertempuran yang menghadapi sejumlah kecil pejuang NKRI yang “mengalahkannya” mungkin saja melahirkan perasaan malu besar pada pimpinan Angkatan Laut Belanda dan mungkin saja pimpinan Angkatan Perang Belanda mengirimkan pesawat tempurnyan untuk menghancurkan para pejuang yang baru saja mengalahkan mereka di Selat Bali itu.
Walaupun mendapatkan “kemenangan” dalam pertempuran laut pertama bagi republik merdeka ini, namun tujuan utamanya untuk mendarat di Bali justru “gagal”. Karena itu, dalam waktu singkat, Kapten Markadi kembali merencanakan usaha penyebrangan yang kedua kalinya. Setelah melakukan evaluasi terhadap persiapan, peralatan pada usaha penyebrangan yang pertama kalinya – antara lain mengganti perahu Madura yang lamban dengan perahu Mayang yang lebih cepat – dilakukanlah penyebrangan yang kedua. [penyebrangan yang kedua ini berlangsung dengan baik dan Kapten Markadi bersama Pasukan M-nya berhasil mendarat di Bali dan memberikan bantuan – sebagaimana tujuan utama mereka ditugaskan ke Bali – untuk memperkuat pasukan perlawanan pejuang NKRI di daerah ini.
“Selanjutnya, Pasukan M beroperasi di balik garis belakang pertahanan Belnda di Bali membantu pasukan Ciung Wanara pimpinan Letkol I Gusti Ngurah Rai. Tidak terlalu lama, Pasukan M dan para pejuang dari Jawa sudah bergerilya di pelbagai wilayah Bali termasuk di Tabanan yang berbatasan dengan Badung-Denpasar, pusat kekuasaan pemerintah Belanda.

Kapten Markadi berhasil Menjalankan Tugas Pengabdiannya
Kolonel (pur) Markadi
Kolonel (pur) Markadi

Kapten Markadi dengan Pasukan M nya berhasil menjalankan tugasnya untuk memberi bantuan kepada salah satu wilayah, bagian strategis dari wilayah NKRI yang oleh pemerintah kerajaan Belanda tidak diakui kemerdekaan dan kedaulatannya. Belanda hendak memutar jarum sejarah, bahkan dengan memaksakan perang kolonialismenya. Bangsa-negara Indonesia yang sudah merdeka dan berdaulat harus menghadapi perang kolonialis yang dipaksakan demi mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatnnya. Perang ini berlangsung selama ± 4 tahun, 1945-1949. Kapten Markadi setelah berada di Bali, ia dan pasukan M nya telah menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan bangsa-negara Indonesia demi keutuhan NKRI. Kapten Markadi dengan Pasukan M nya telah memberikan sesuatu bentuk pengabdian dengan menjalankan penugasan yang diberikan negara kepadanya. Apakah dengan itu, beliau patut diberikan penghargaan lebih oleh pemerintah berupa Pahlawan nasional?

55 Tahun Satuan Kapal Selam TNI AL

nanggala
Sejarah lahirnya Satuan Kapal Selam TNI AL pada awal mulanya didahului dengan pengiriman dua grup/ crew calon awak Kapal Selam Indonesia untuk tugas belajar di Gdinia-Oksiwi-Polandia. Pada tanggal 5 Agustus 1958 dua regu crew calon awak Kapal Selam Indonesia di bawah pimpinan Mayor (Pel) R.P. Poernomo berangkat dari Surabaya dengan kapal berbendera Denmark “HEINRICH JESSEN” menuju Rijeka-Yugoslavia, untuk selanjutnya menggunakan perjalanan darat menuju Gedinia Oksiwi-Polandia. Selama setahun mereka digembleng di sana dan pada tanggal 5 Agustus 1959 calon awak Kapal Selam Indonesia yang pertama ini kembali ke tanah air dari Polandia dengan menggunakan Kapal RI. Morotai.
image001
Tidak lama setelah itu, pada tanggal 7 September 1959, Dua buah Kapal Selam berbendera Uni Soviet yang akan diserahkan kepada pemerintah Indonesia merapat di dermaga ujung Surabaya. Yang kemudian kedua Kapal Selam tersebut diserahkan secara resmi dari pemerintah Uni Soviet kepada Pemerintah Indonesia pada tanggal 12 September 1959, yang diwakili oleh KASAL saat itu, Kolonel (Pel). RE. Martadinata. Kedua Kapal Selam itu di beri nama : RI TJAKRA dengan Komandan Mayor.(Pel).R.P. Purnomo, dan RI NANGGALA dengan Komandan Mayor.(Pel).O.P. Koesno. Hari yang bersejarah ini kemudian setiap tahun diperingati sebagai “HARI LAHIR KORPS HIU KENCANA. setelah sehari sebelumya yaitu pada tanggal 11 September 1959 dilakukan Penyematan Brevet Hiu Kencana tanda Brevet Kapal Selam yang Pertama kali kepada semua awak Kapal Selam yang baru menyelesaikan pendidikannya di Polandia.
Kemudian pada tanggal 14 September 1959, dengan surat keputusan Men/ KASAL No. A. 4/ 2/ 10 diresmikan berdirinya “DIVISI KAPAL SELAM” disingkat DIVKASEL dalam tubuh Komando Armada. Sebagai Komandan Divkasel yang pertama adalah Mayor.(Pel).R.P. Poernomo dan pada tanggal 1 November 1959, dengan surat keputusan Men/ KASAL No. A. 19/ 4/ 1 diresmikan berdirinya “SEKOLAH KAPAL SELAM ANGKATAN LAUT” disingkat SEKASAL dan berkedudukan di Surabaya, dengan Komandannya yang pertama adalah Mayor (Pel).R.P. Poernomo.
Pada tanggal 25 Maret 1961, Dengan kapal berbendera Uni Soviet, KESATUAN LATIHAN KAPAL SELAM disingkat KELAKAS di bawah pimpinan Mayor.(Pel).A.T. Wingjoprajitno berangkat menuju ke Wladiwostok–Uni Soviet untuk mengikuti pendidikan Kapal Selam selama 9 (sembilan) bulan, KELAKAS yang diberangkatkan terdiri dari personil calon Awak Kapal Selam dan personil calon tenaga perbaikan Kapal Selam.
Di tengah-tengah pelatihan tersebut pada akhir tahun 1961, dua buah Kapal Pungut Terpedo Cather Boat/TCB yang dibeli pemerintah Indonesia dari Pemerintah Uni Soviet juga tiba di Indonesia dan diberi nama : RI BUAYA dan RI BIYAWAK.
Pada tanggal 12 Januari 1962, Para personil KELAKAS kembali dari pendidikan dan tiba kembali di Tanah Air dan kedatangannya sangat tepat karena saat itu Negara membutuhkan tenaga mereka dalam rangka Operasi “TRIKORA”, dimana tidak lama sesudahnya pada tanggal 29 Januari 1962, pemerintah Indonesia kembali menerima 4 (empat) unit Kapal Selam Type Whiskey Class type RI Nagabanda dari Pemerintah Uni Soviet yang diberi nama : RI Nagabanda, RI Tjandrasa, RI Trisula dan RI Nagarangsang.
Dengan semakin banyaknya Kapal Selam yang dioperasikan, untuk menunjang tugas-tugas operasinya pada tanggal 10 Agustus 1962, bertempat di Dermaga Madura Ujung Surabaya dilakukan Upacara serah terima sebuah Kapal Tender Kapal Selam dari Pemerintah Uni Soviet kepada Pemerintah Indonesia yang kemudian diberi nama RI Ratulangi. Dan tidak hanya itu, pada tanggal 15 Desember 1962 pemerintah Indonesia kembali menerima Kapal Tender Kapal Selam yang kedua yang diberi nama RI Thamrin, selain itu diserahkan juga 6 (enam) Kapal Selam Whiskey class Type RI Wijayadanu yang kemudian diberi nama : RI Wijayadanu, RI Hendrajala, RI Bramastra, RI Pasopati, RI Tjundamani dan RI Alugoro.
Tanpa membuang waktu armada bawah air TNI AL ini terlibat dalam berbagai macam operasi “TRIKORA” dengan salah satu keberhasilannya adalah RI Tjandrasa karena keberaniannya yang luar biasa dalam melaksanakan tugas dalam Operasi Tjakra – II yang telah berhasil menerobos pertahanan Belanda dan mendaratkan regu RPKAD di pantai Irian Barat. Atas keberhasilan ini seluruh awak Kapal Selam RI Tjandrasa pada tanggal 12 April 1963 bertempat di Dermaga Madura Ujung Surabaya oleh Panglima Armada selaku Wakil Panglima Tertinggi menerima penyematan Bintang Sakti.
image003
Kalau Warjagers pernah memasuki sarang Hiu Kencana, pasti menemukan Relief Hiu Kencana, dimana dulu peresmian Relief Hiu Kencana ini dilakukan oleh MENPANGAL saat itu Laksamana Madya (Laut) R.E Martadinata yang bertindak selaku Irup dan Ny. R.E Martadinata berkenan menggunting pita peresmian Relief di WISMA HIU KENCANA.
Sejumlah kegiatan untuk meningkatkan kualitas Korps Hiu Kencana ini pun terus dilakukan, selain kembali mengirim sejumlah Perwira, Bintara dan Tamtama ke Waldiwostok Uni Soviet untuk belajar menjadi instruktur dan tenaga ahli perawatan Kapal Selam pada tahun 1966 juga, diresmikan Ruang latihan serangan torpedo. Ruang latihan ini dipergunakan untuk memahirkan para Komandan, Palaksa dan Perwira navigasi Kapal Selam dalam melakukan serangan torpedo. Dan pada tahun itu juga pada tanggal 9 Desember dilakukan juga Peresmian Stasion Bantu Kapal Selam alias (SIONBAN KS) diresmikan oleh MEN/PANGAL Laksamana. Muljadi. Sionban ini berfungsi sebagai Eselon pelayanan terhadap KS dalam hal pengisian Baterei, aliran listrik dari darat, air suling dan udara tekanan tinggi. Sementara pada tanggal 13 Maret 1967, Berdasarkan Surat Keputusan Pangarsam No. KOARSAM : 5401.1 th. 1967. DINAS PERAWATAN KAPAL SELAM (DISPENKAP) ditingkatkan menjadi Komando Perawatan Kapal Selam (KOWATAKASEL).
Mengutip kata-kata Komandan Satkasel pertama Kolonel (laut) R.P. Purnomo saat terah terima jabatan Komandan KONJENKASEL kepada Letnan Kolonel (Pel). L.M Abdul Kadir pada tanggal 30 September 1963, “Panta Rei, segala-galanya mengalir. Juga sejarah KONJENKASEL akan mengalir terus, mengalir menuju ke muara kejayaan”. (by Pocong Syereem).
Dirgahayu Satkasel.
“Wira Ananta Rudhiro”
“Jalesveva Jayamahe”

Penerbangan Pertama R80

 BJ Habibie bersama miniatur R80
BJ Habibie bersama miniatur R80

Presiden RI ke-3 yang juga mantan Menteri Riset dan Teknologi, BJ Habibie merencanakan pesawat Regio Prop 80 (R80) rancanangannya menjalani penerbangan pertama (first flight) di Bandara Kertajati, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat.
Pesawat berkapasitas 80 penumpang tersebut ditargetkan rampung pada 2017 atau 2018. Jadwal ini bersamaan dengan operasional awal bandara yang kini tahap pembangunan.
“Kita 2017 atau 2018 akan first flight dan akan mendapatkan sertifikasi udara. Saya mendengar pemberitaan Jabar sedang mempersiapkan lapangan terbang di Majalengka (Kertajati). InsyaAllah akan mendarat di Majalengka” ujar Habibie usai menemui Gubernur Jabar Ahmad Heryawan di Gedung Pakuan, Jalan Otto Iskandar Dinata, Kota Bandung, Rabu, 10 September 2014.
Atas rencana Presiden periode 1998-1999 itu, Gubernur Jabar menyambut baik. Menurutnya, jika rencana Habibie direalisasikan, maka hal ini menjadi sejarah baru bagi Jabar.
Gubernur yang akrab disapa Aher itu menambahkan dunia dirgantara salah satu cermin kemajuan bangsa. Karenanya, kata Aher, pengembangan R80 harus sukses. “Kita mendukung program R80, dan ini klop dengan Bandara Kertajati yang mulai beroperasi 2017. Ada bandara baru dan penerbangan (R80) diuji coba di Kertajati,” papar Aher.
Pesawat R-80 dengan kapasitas 80 penumpang (Photo : Bisnis)
Pesawat R-80 dengan kapasitas 80 penumpang (Photo : Bisnis)

Pengembangan N250
R80 adalah pengembangan pesawat N250 buatan IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara) –kini PT Dirgantara Indonesia. Sama berpenumpang 80 orang, namun R80 mengusung mesin turbo dengan baling-baling (turbo propeller).
Mesin jenis tersebut lebih efisien sehingga biaya operasionalnya lebih murah dibandingkan jet. Namun kecepatan yang dihasilkan sedikit lebih lambat dibandingkan mesin jet.
Penerbangan pesawat bermesin jet dari Jakarta-Surabaya, misalnya, membutuhkan 1,5 jam. Pesawat turbo baling-baling sekitar dua jam, namun operasionalnya setengah lebih hemat. R80 akan lebih efisien saat harga bahan bakar terus meroket.
R80 sudah dipesan maskapai NAM Air, anak perusahaan Sriwijaya Air. NAM Air memesan 100 unit R80. (binesia.com).

Penerbang TNI AU di ANG Tucson

 
dispen-Batch-II
Pelatihan penerbang F-16 TNI AU di Wing Tempur 162, Pangkalan Air National Guard, Tucson Arizona (photo: Dispenau)

TNI AU kembali mengirim para penerbang tempurnya ke Amerika Serikat terkait program pengadaan pesawat tempur F-16 C/D 52ID “Peace Bima Sena II”.
Sejak 26 Agustus 2014 hingga 13 September 2014, enam penerbang F-16 dari Skadron Udara 3 Lanud Iswahjudi mengikuti latihan konversi “Differential Training Batch II”, untuk mendapatkan kualifikasi penerbang F-16 C/D 52ID.
Latihan diselenggarakan di Wing Tempur 162 yang berada dibawah Pangkalan Air National Guard di Tucson AFB Arizona.
Keenam penerbang TNI AU yang berlatih di Arizona adalah Mayor.Pnb.Nur “Racer” Alimi (36), Mayor. Pnb.Agus “Wolverine” Dwi Aryanto (33), Kapt.Pnb.Gigih “Badger” Pratama (28), Kapt.Pnb.Yunianto “Wolfhound” Wibowo (29), Lettu.Pnb.Ferry “Fierce” Rahman (29) dan Lettu.Pnb.Yususf “Adder” Atmaraga (27).
Dalam latihan ini para penerbang kita hanya menjalani Ground Training karena sudah memiliki jam terbang cukup banyak di pesawat F-16 Block 15 OCU TNI AU, selanjutnya untuk latihan terbang dengan pesawat F-16 C/D 52ID akan dilaksanakan di Lanud Iswahyudi Madiun.
Tucson AFB merupakan markas dari Fighter Wing 162 yang membawahi tiga skadron tempur yang terdiri dari Fighter Squadron 148, 152 dan 195 yang selain menjadi skadron National Guard juga bertugas menyelenggarakan kursus transisi serta konversi bagi para calon penerbang F-16 C/D di jajaran Air National Guard dan AU Internasional.
Seperti enam penerbang F-16 TNI AU terdahulu maka para penerbang kali ini juga tidak mengikuti pelajaran “basic system” pesawat karena dasar sistem pesawat Block 25 yang menjadi “bahan dasar” F-16 52ID hampir sama dengan pesawat block 15 kita. Para penerbang lebih memperdalam penguasaan system avionic dan taktik penggunaan system persenjataan yang sebagian cukup berbeda antara system avionic 52ID dengan pesawat block 15 OCU. Para penerbang juga melaksanakan latihan simulator untuk mempelajari “switchology” pesawat, emergency procedures serta beberapa taktik dan tehnik dasar penggunaan peralatan avionic dan senjata udara modern yang bisa diangkut F-16 C/D 52ID.
Pesawat Tempur F-16 block 25 TNI AU
Pesawat Tempur F-16 block 25 TNI AU

Kelebihan F-16 C/D 52ID
Perbedaan yang sangat mendasar dengan pesawat F-16 A/B adalah pesawat F-16 C/D 52ID dilengkapi sistem MMC 7000A (Modular Mission Computer) Tape 5 sekelas Block 52+ sebagai jantung dan otak avionic pesawat, disamping Multi Function Display berwarna, Data link 16, Radar, Stores Management System terbaru, system Embedded GPS & INS yang canggih dan memungkinkan pesawat melepas bom JDAM dengan kendali GPS, Radio Have Quick II untuk kerahasiaan komunikasi dan data, Missile Warning System, Jammer System dan Electronic Warfare System modern untuk misi SEAD (Suppression Of Enemy Air Defence) terhadap radar dan rudal pertahanan udara lawan. Pesawat F-16 C/D Block 52ID ini memungkinkan kita untuk sanggup bertempur siang dan malam disegala kondisi cuaca dan segala macam sasaran, dengan hampir semua senjata udara ke udara dan udara ke darat canggih barat saat ini.
Pesawat F-16 C/D 52ID TNI AU dalam program “Peace Bima Sena II” adalah pesawat F-16 Block 25 USAF yang telah menjalani program “The Common Configuration Implementation Program” (CCIP) seperti yang dijalani semua pesawat F-16 CD Blok 40/42/50/52 milik USAF agar sesuai standar terbaru Blok-50/52+ USAF. Semua pesawat F-16 52ID TNI AU juga menjalani penguatan struktur rangka pesawat dengan program Falcon STAR (Structural Augmentation Roadmap) sehingga umur rangka pesawat bertambah menjadi lebih dari 10.000 jam, sehingga pesawat bisa dipakai selama minimal 10 tahun lagi. Setelah itu pesawat bisa menjalani Service Life Extension Program (SLEP) yang akan menambah umur rangka pesawat sekitar 2000 jam atau 10 tahun masa pakai. Pada saat usia pakai F-16 C/D 52 ID berakhir maka pengalaman, taktik dan tehnik yang didapat bisa dimanfaatkan untuk mengoperasikan armada pesawat tempur modern generasi 4.5 atau generasi ke 5 masa depan kita.
Sebelumnya tiga pesawat F-16 C/D 52ID sudah melakukan penerbangan dari Anderson AFB Guam ke Lanud Iswahjudi Madiun dan mendarat dengan selamat pada hari Kamis tanggal 24 Juli 2014 silam. Selanjutnya meskipun jajaran F-16 “dual seat” seluruh dunia sedang mengalami permasalahan pada struktur “longeron” cockpit namun pesawat kita sudah menjalani perbaikan dan diharapkan pada akhir September dua pesawat lagi akan tiba di Lanud Iswahjudi bersamaan dengan rencana peresmian Skadron Udara 16 di Lanud Rusmin Nuryadin Pekanbaru.
Armada baru pesawat F-16 C/D 52ID merupakan jembatan untuk membawa kekuatan udara Indonesia selangkah lebih maju, mampu menghasilkan penerbang dan tehnisi yang mahir menguasai pesawat dengan generasi lebih maju, dan juga membawa segenap jajaran Angkatan Udara kita menguasai tehnologi, manajemen dan taktik pertempuran udara modern. Dengan kemampuan yang canggih memungkinkan kekuatan udara siap menjadi bagian dari operasi gabungan TNI untuk beroperasi di darat, laut dan udara. Kehadiran skadron F-16 C/D 52ID ini akan peningkatan kemampuan Air Power atau Kekuatan Dirgantara agar mampu melindungi Keamanan Nasional Indonesia. (tni-au.mil.id).

Sabtu, 13 September 2014

KRI Sorong 911: Kapal Tanker Pendukung Operasi Pendaratan Amfibi di Dili

911
Sebagai kekuatan laut yang memiliki armada dengan jumlah kapal perang ratusan, sudah barang tentu TNI AL punya elemen kapal-kapal tanker untuk menunjang beragam misinya. Disamping urusan jumlah kapal yang bejibun, luas wilayah lautan Indonesia yang mencapai 2/3 luas lautan di Asia Tenggara, mengharuskan sebaran armada kapal tanker yang memadai. Dan bicara tentang kapal tanker milik TNI AL, ada nama KRI Balikpapan 901, KRI Sambu 902, KRI Arun 903, KRI Sungai Gerong 906, dan KRI Sorong 911.
Dibanding elemen kekuatan armada TNI AL lainnya, unsur kapal tanker atau disebut kapal jenis BCM (Bantuan Cair Minyak) terbilang luput dari program update. Kapal-kapa tanker kepunyaan TNI AL umumnya merupakan produksi tahun 60-an. Sebagai flagship armada tanker TNI AL adalah KRI Arun 903, yang merupakan bekas pakai AL Inggris (Royal Navy) dan mulai memperkuat TNI AL sejak 1992. Tapi jauh sebelum kedatangan KRI Arun yang punya panjang 140,6 meter, TNI AL mengandalkan KRI Sorong 911 sebagai unit tanker terbesar sejak era tahun 60-an. Bila KRI Arun 903 yang tadinya bernama RFA Green Rover, merupakan pengadaan dari bekas pakai, maka KRI Sorong 911 didatangkan secara gress, alias dibeli baru pada tahun 1965. KRI Sorong 911 yang punya dimensi 112,17 x 15,4 x 6,6 meter dibangun oleh galangan SY Trogir dari Yugoslavia.
Meski negara Yugoslavia telah bubar, toh hingga kini KRI Sorong masih tetap eksis dalam beragam operasi yang dijalankan TNI AL. Sebagai kapal tanker, KRI Sorong 911 masuk dalam Satual Kapal Bantu (Satban) Komando Armada Timur TNI AL. Dalam hal kemampuan, KRI Sorong mampu menampung kapasitas bahan bakar hingga 3.000 ton dan 300 ton stok air tawar. Jelas kapal ini punya peran strategis baik di masa perang dan masa damai, selain mendukung misi tempur jarak jauh, keperluan logistik seperti air tawar menjadi poin keunggulan tersendiri dari kapal ini.
KRI Sorong tidak punya tampilan sangar, karena misinya bukan untuk bertempur, keberadaan kapal ini justru harus mendapat kawalan dari kapal cepat, kapal korvet atau bahkan frigat. Tidak ada bekal senjata yang deteren, kapal ini hanya dibekali 4 pucuk SMB (senapan mesin berat) kaliber 12,7 mm, terhitung lumayan untuk misi pertahanan udara dan permukaan secara terbatas. Dalam kondisi kosong, bobot kapal mencapai 4.090 ton, dan bobot penuh hingga 5.100 ton. Dalam kondisi tertentu, kapal bisa mencapai bobot 8.700 ton dengan kargo seberat 3.300 ton.
Kapal tanker ini diawaki oleh 110 personel dengan dikomandani perwira menengah berpangkat Letnan Kolonel. Dengan ditenagai 1 unit mesin diesel Deutz berpropeler satu, kapal dapat melaju hingga kecepatan maksimum 15 knots.
kri-sorong-911

Pendaratan di Dili dalam Operasi Seroja
KRI Sorong 911 mencatatkan sejarah karena tergabung dalam Gugus Tempur operasi pendaratan amfibi untuk merebut kota Dili di Timor Timur pada 6 Desember 1975. Peran KRI Sorong tentu tidak melakukan bantuan tembakan kapal, sesuai kodratnya KRI Sorong menjadi kapal tanker untuk mendukung operasional KRI Ratulangi 400, KRI Barakuda 817, KRI Martadinata 342, LST KRI Teluk Bone 511, dan KRI Jaya Wijaya 921.
Kapal ini sanggup melakukan Replenishment At Sea (RAS) atau pembekalan di laut, merupakan cara pengisian/pengiriman logistik maupun personil dari kapal ke kapal yang dilaksanakan sambil berlayar dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Kegunaan RAS dalam suatu operasi untuk memperpanjang kehadiran unsur di laut, kerahasiaan serta efisiensi waktu. Dalam penugasan saat ini, KRI Sorong 911 juga mempunya peran lain, yakni sebagai kapal markas bagi Gugus Keamanan Laut. Berbeda dengan KRI Arun 903, sayangnya KRI Sorong 911 tidak punya bekal helipad. (Gilang Perdana)

Spesifikasi KRI Sorong 911
Jenis : Kapal tanker
Pembuat : SY Trogir, Yugoslavia
Dimensi : 112,17 x 15,4 x 6,6 meter
Bobot mati : 4.090 ton
Bobot penuh : 8.700 ton
Kapasitas bahan bakar : 3.000 ton
Kapasitas air tawar : 300 ton
Mesin : 1 Deutz diesel, 1 shaft
Kecepatan maksimum : 15 knots
Awak : 110

KRI Teluk Bone 511: Terlibat Dua Momen Pendaratan Amfibi Bersejarah

Genderang program MEF (minimum essential force) telah berkumandang, kemudian diwujudkan dengan update beragam alutsista baru, tapi pada kenyataan bukan berarti alat perang tua langsung disingkirkan. Sepanjang esensi dan fungsionalitas alat perang masih aman, beberapa masih terus di lestarikan. Di lini armada LST (landing ship tank), masih ada kapal yang tergolong amat sepuh, bila ditakar usianya sudah jauh lebih tua dari anggota TNI AL aktif paling senior sekalipun.
Yang dimaksud adalah LST 542 Class buatan AS. Di awal tahun 60-an, khususnya dalam menyongsong operasi Trikora, TNI AL mulai kebanjiran LST untuk menunjang misi pendaratan amfibi. Berlanjut di awal Orde Baru, LST 542 yang menjadi pemain di banyak laga Perang Dunia II dan Perang Vietnam kembali berdatangan memperkuat Satuan Kapal Amfibi TNI AL. Diantaranya ada KRI Teluk Langsa 501, KRI Teluk Bayur 502, KRI Teluk Amboina 503 (buatan Sasebo – Jepang), KRI Teluk Kau 504, KRI Teluk Menado 505, KRI Teluk Tomini 508, KRI Teluk Ratai 509, KRI Teluk Saleh 510, dan KRI Teluk Bone 511. Kecuali KRI Teluk Amboina, kesmua LST diatas merupakan veteran Perang Dunia II, terutama dalam perannya saat operasi pendaratan pasukan Sekutu di pantai Normandia, Perancis di 1944. Beberapa diantara LST tadi juga ada yang mampir untuk terlibat dalam operasi AS di Vietnam pada periode 1967 – 1970. Sebagai informasi, bila identitas LST di TNI AL ditandai dengan nama Teluk, maka di AL AS, identitas LST diawali dengan nama County, seperti USS Solano County LST-1128, yang kemudian berganti nama jadi KRI Teluk Langsa 501.
bone
Embarkasi pasukan TNIAD ke LST KRI Teluk Bone 511.
Tank Scorpion keluar dari ramp KRI Teluk Bone.
Tank Scorpion keluar dari ramp KRI Teluk Bone

Kini setelah 70 tahun berlalu, sebagian besar LST 542 Class yang sempat menjadi tulang punggung armada LST sudah dihapus dari inventaris armada TNI AL. Merujuk informasi di situs Wikipedia, masih ada empat unit LST 542 Class yang dioperasikan Komando Lintas Laut Militer (Kolinlamil), yaitu KRI Teluk Bayur 502, KRI Teluk Amboina 503, KRI Teluk Ratai 509 dan KRI Teluk Bone 511. Dari keempat LST tersebut, hanya KRI Teluk Amboina yang masih agak aman dari rencana pensiun, selebihnya sudah digadang untuk masuk masa purna tugas dalam waktu dekat.

KRI Teluk Bone 511
Selain keterlibatan armada LST 542 Class dalam laga di Normandia, kesemua LST 542 milik TNI AL pernah disatukan dalam operasi militer terbesar TNI, yakni operasi Seroja di Timor Timur. Dalam tulisan ini, sedikit dipetik keterlibatan salah satu LST tersebut yang kini masih aktif beroperasi, yaitu KRI Teluk Bone 511.
Merujuk dari sejarahnya, KRI Teluk Bone yang masuk LST 542 Class bisa digolongkan sebagai light LST, pasalnya bobot mati kapal ini hanya 1.651 ton, sementara untuk bobot muatan penuhnya bisa mencapai 4.145 ton. Sebagai perbandingan, LST Frosch class I bobot normalnya 1.744 ton dan LST Frosch-II bobot normalnya 1.530 ton. Sementara LST terbaru TNI AL, KRI Teluk Bintuni 520, bobot matinya 2.300 ton. Kapal ini punya panjang 100 meter dan lebar 15 meter. Dapur pacu kapal ini dipercayakan pada 2 unit mesin diesel General Motors 12-567 900HP dengan dua bilah propeller dan dua kemudi. Dari mesin tersebut, dapat dicapai kecepatan maksimum hingga 12 knots (setara 22 km per jam). Soal jarak tempuh, dalam kondisi normal Teluk Bone bisa menjelajah sampai 24.000 mil (38.624 km), pada kondisi tersebut kecepatan kapal dipatok 9 knots dengan bobot penuh 3.960 ton
Sebagai kapal pendarat amfibi, KRI Teluk Bone dibekali dengan kemampuan angkut cargo. Selain bisa dimuati 17 unit tank pada tank deck (dek bagian bawah), dek utama (dek bagian atas) juga dapat diakses untuk keluar masuk kendaraan, hal ini dimungkinkan berkat adanya elevator forward setelah pintu pada ramp. Dalam gelar operasi, dek utama kerap ditempati kendaraan pendukung seperti truk, artileri, jip, dsb. Soal kapasitas muatan bergantung pada jenis misi yang diembannnya, secara umum LST 542 class bisa dimuati beban antara 1.600 ton hingga 1.900 ton.
Tampilan bagian anjungan.
Tampilan bagian anjungan.
USS Iredell_County LST-839 dalam operasi di Vietnam.
USS Iredell_County LST-839 dalam operasi di Vietnam. Tampak kanon laras ganda kaliber 40 mm pada ujung haluan.
1016083905
Tampilan bagian buritan.
Tampilan bagian buritan.

Tak hanya menghantarkan tank, KRI Teluk Bone juga dapat mengakut pasukan Marinir yang terdiri dari 16 perwira dan 147 prajurit. Untuk tugas pendaratan pasukan ke bibir pantai, tersedia dua unit LCVP (Landing, Craft, Vehicle and Personnel). Lalu bagaimana dengan persenjataannya? Kapal ini dirancang lebih pada kebutuhan peran dari PSU (penangkis serangan udara), ada dua pucuk kanon twin kaliber 40 mm (di haluan dan di buritan), empat pucuk kanon 40 mm laras tunggal, dan 12 pucuk kanon 20 mm laras tunggal. Kesemuanya dioperasikan secara manual. Kapal perang ini secara keseluruhan diawaki oleh 7 perwira dan 104 anak buah kapal. Sampai saat ini, KRI Teluk Bone 511 dikomandani oleh perwira menengah berpangkat Letnan Kolonel. Sebagai wujud orisinalitas, corong komunikasi dari bridge (anjungan) ke kamar mesin masih menggunakan pipa dan bukan radio seperti kapal militer masa kini. Jam, lonceng, instrumen, bahkan lambang kapal asli dari AS masih ada di beberapa kapal-kapal LST eks Perang Dunia II ini.

Aksi Pendaratan di Timor Timur
Saat masih menjadi milik AL AS dengan nama USS Iredell County (LST-839), kapal ini telah berlaga pada kancah Perang Dunia II, tapi bukan aksi melawan NAZI Jerman, melainkan disiapkan untuk berlaga di palagan Pasifik dalam perang melawan Jepang. Salah satu aksi USS Iredell County yakni ikut menunjang pendaratan pasukan amfibi Marinir AS dalam serbuah ke Pulau Okinawa pada bulan April 1945. Kiprah kapal ini kemudian berlanjut dalam laga AS dalam Perang Vietnam, USS Iredell County dilibatkan secara aktif dalam misi angkutan logistik dari basis AL AS di Filipina dan Jepang ke Vietnam.
USS Iredell_County LST-839
USS Iredell_County LST-839
Kanon kaliber 40 mm laras tunggal.
Kanon kaliber 40 mm laras tunggal.
KRI Teluk Kau 504
KRI Teluk Kau 504
KRI Teluk Tomini 508
KRI Teluk Tomini 508
Tampak pansam BTR-50P di depan ramp KRI Teluk Bone 511.
Tampak pansam BTR-50P di depan ramp KRI Teluk Bone 511 pada saat operasi Seroja.
Pasukan TNI berjalan di pinggir pantai Dili, dengan latar KRI Teluk Bone.
Pasukan TNI berjalan di pinggir pantai Dili, dengan latar KRI Teluk Bone.

Setelah jadi milik Indonesia, debutnya setelah berganti nama jadi KRI Teluk Bone 511 adalah pada operasi Seroja. Seperti dalam petikan berikut ini:
Tanggal 6 Desember 1975, Batalyon 403/Raiders Kostrad tiba di lepas pantai Tailaco dengan LST KRI Teluk Bone 511. Sore harinya BTP (Batalyon Tim Pendarat)-5/Infanteri Brigade-1/Pasrat Marinir turun dari Atabae dan segera masuk ke dalam LST untuk persiapan pendaratan amfibi di Dli pada pukul 05.00 keesokan harinya. Tank PT-76 dan pansam BTR-50P yang baru selesai digunakan untuk melancarkan penyerangan ke Atabae dari Palaka melalui medan pegunungan yang sulit ditempuh dan tanjakan tajam, hingga mengakibatkan mesin ranpur tersebut melampaui suhu normal.
Pada tanggal 6 Desember 1975 malam, LST KRI Teluk Bone 511 yang sudah mengangkut BTP-5/Infanteri Marinir menjadi salah satu kapal perang dalam Komando Tugas Amfibi Operasi Seroja di bawah komandan Kolonel Laut (P) Gatot Soewardi. Dalam gugus tugas tersebut terdapat lima kapal peran lain, yakni kapal tender kapal selam KRI Ratulangi 400, bertindak sebagai kapal komando, korvet KRI Barakuda 817, frigat KRI Martadinata 342, kapal perbengkelan dan perbekalan KRI Jaya Wijaya 921, dan kapal tanker KRI Sorong 911 buatan Yugoslavia yang punya kapasitas angkut 3.000 ton bahan bakar dan 300 ton air tawar.
LST lain yang terlibat dalam operasi pendaratan di Dili adalah KRI Teluk Langsa 501, LST yang setipe dengan KRI Tekuk Bone ini mengangkut satu Batalyon Marinir dari Brigade-2/Pasrat di bawah pimpinan Letkol (Mar) Suparmo. Lepas dari misi pendaratan di Dili, pada 9 Desember malam, unsur Brigade-2/Pasrat Marinir kembali naik ke LST KRI Teluk Langsa 501 yang berlambuh di lepas pantai Dili untuk melakukan pendaratan amfibi di Laga, sekitar 20 km Timur Baucau.
Proses pendaratan amfibi di pantai Dili di dahului dengan serangkaian penembakan ke bibir pantai, hal ini dimaksudkan untuk menurunkan moril pasukan lawan dan mengangkat moril pasukan pendarat Marinir. Dalam rangkaian tembakan, KRI Ratulangi menembak dengan kanon 57 mm, KRI Barakuda dan KRI Martadinata menembak dengan kanon 76 mm. KRI Jaya Wijaya menembakkan 4 kanon laras ganda Bofors 40 mm dengan proyektil HE seberat 0,96 kg. Menjadi sasaran tembakan adalah wilayah pendaratan dan markas Fretilin.
KRI Teluk Langsa 501
KRI Teluk Langsa 501
KRI Teluk Amboina 503.
KRI Teluk Amboina 503.
Masih aktif dalam pergeseran pasukan.
Masih aktif dalam pergeseran pasukan.

Sekilas KRI Teluk Bone 511
KRI Teluk Bone-511 dibuat di galangan kapal American Bridge Company, Ambridge, Pennsylvania, Amerika Serikat, dan resmi meluncur pada 25 September 1944. Pada bulan Juli 1970 USS Iredell County dijual kepada Pemerintah Republik Indonesia, dan kemudian pada 12 Desember 1970 memperkuat jajaran armada TNI AL dengan nama KRI Teluk Bone-511, dengan komandan pertama Mayor Laut (P) M.H. Poerbosisworo. Pada tanggal 1 Januari 1990 KRI Teluk Bone-511 dialihbinakan ke Kolinlamil. Nama Teluk Bone diambil dari nama sebuah teluk yang berada di sebelah Selatan Pulau Sulawesi.
Keberadaan KRI Teluk Bone yang masih eksis dan tetap dapat beroperasi hingga saat ini tidak terlepas dari upaya-upaya TNI AL dalam rangka mempertahankan kesiapan teknis KRI melalui program Perpanjangan Usia Pakai (PUP). Selama lebih dari 40 tahun setelah memperkuat jajaran kapal perang TNI AL, kapal perang ini banyak dilibatkan dalam operasi militer, baik Operasi Militer Perang (OMP) maupun Operasi Militer Selain Perang (OMSP).
BRP Sierra Madre, salah satu LST 542 class milik Filipina yang dikaramkan di kawasan konflik dengan Tiongkok.
BRP Sierra Madre, salah satu LST 542 class milik Filipina yang dikaramkan di kawasan konflik dengan Tiongkok.
3zgdaul
Selain Indonesia, LST 542 class lungsuran Perang Dunia II juga sempat digunakan oleh AL Singapura dan AL Filipina. Bahkan, kiprah kapal ini belum lama membuat gempar di kawasan Laut Cina Selatan, tak lain setelah AL Filipina dengan sengaja menanfaatkan bangkai kapal BRP Sierra Madre yang karam di laut dangkal sebagai basis pangkalan apung Marinir Filipina di kawasan Ayungin Shoal, suatu area yang ikut disengketakan antara Filipina dan Tiongkok. (Gilang Perdana)

Spesifikasi KRI Teluk Bone 511
Class : LST-542
Bobot Mati : 1.625 ton
Bobot Penuh : 4.146 ton
Dimensi : 100 x 15,24 x 4,29 meter
Mesin : 2 × General Motors 12-567 diesel engines, two shafts, twin rudders
Kecepatan max : 12 knots (22 km/h)
Craft carried: 2 × LCVPs
Troops: 16 officers, 147 enlisted men (total bisa dimuati 264 prajurit)
Awak : 7 officers, 104 enlisted men