Minggu, 14 September 2014

55 Tahun Satuan Kapal Selam TNI AL

nanggala
Sejarah lahirnya Satuan Kapal Selam TNI AL pada awal mulanya didahului dengan pengiriman dua grup/ crew calon awak Kapal Selam Indonesia untuk tugas belajar di Gdinia-Oksiwi-Polandia. Pada tanggal 5 Agustus 1958 dua regu crew calon awak Kapal Selam Indonesia di bawah pimpinan Mayor (Pel) R.P. Poernomo berangkat dari Surabaya dengan kapal berbendera Denmark “HEINRICH JESSEN” menuju Rijeka-Yugoslavia, untuk selanjutnya menggunakan perjalanan darat menuju Gedinia Oksiwi-Polandia. Selama setahun mereka digembleng di sana dan pada tanggal 5 Agustus 1959 calon awak Kapal Selam Indonesia yang pertama ini kembali ke tanah air dari Polandia dengan menggunakan Kapal RI. Morotai.
image001
Tidak lama setelah itu, pada tanggal 7 September 1959, Dua buah Kapal Selam berbendera Uni Soviet yang akan diserahkan kepada pemerintah Indonesia merapat di dermaga ujung Surabaya. Yang kemudian kedua Kapal Selam tersebut diserahkan secara resmi dari pemerintah Uni Soviet kepada Pemerintah Indonesia pada tanggal 12 September 1959, yang diwakili oleh KASAL saat itu, Kolonel (Pel). RE. Martadinata. Kedua Kapal Selam itu di beri nama : RI TJAKRA dengan Komandan Mayor.(Pel).R.P. Purnomo, dan RI NANGGALA dengan Komandan Mayor.(Pel).O.P. Koesno. Hari yang bersejarah ini kemudian setiap tahun diperingati sebagai “HARI LAHIR KORPS HIU KENCANA. setelah sehari sebelumya yaitu pada tanggal 11 September 1959 dilakukan Penyematan Brevet Hiu Kencana tanda Brevet Kapal Selam yang Pertama kali kepada semua awak Kapal Selam yang baru menyelesaikan pendidikannya di Polandia.
Kemudian pada tanggal 14 September 1959, dengan surat keputusan Men/ KASAL No. A. 4/ 2/ 10 diresmikan berdirinya “DIVISI KAPAL SELAM” disingkat DIVKASEL dalam tubuh Komando Armada. Sebagai Komandan Divkasel yang pertama adalah Mayor.(Pel).R.P. Poernomo dan pada tanggal 1 November 1959, dengan surat keputusan Men/ KASAL No. A. 19/ 4/ 1 diresmikan berdirinya “SEKOLAH KAPAL SELAM ANGKATAN LAUT” disingkat SEKASAL dan berkedudukan di Surabaya, dengan Komandannya yang pertama adalah Mayor (Pel).R.P. Poernomo.
Pada tanggal 25 Maret 1961, Dengan kapal berbendera Uni Soviet, KESATUAN LATIHAN KAPAL SELAM disingkat KELAKAS di bawah pimpinan Mayor.(Pel).A.T. Wingjoprajitno berangkat menuju ke Wladiwostok–Uni Soviet untuk mengikuti pendidikan Kapal Selam selama 9 (sembilan) bulan, KELAKAS yang diberangkatkan terdiri dari personil calon Awak Kapal Selam dan personil calon tenaga perbaikan Kapal Selam.
Di tengah-tengah pelatihan tersebut pada akhir tahun 1961, dua buah Kapal Pungut Terpedo Cather Boat/TCB yang dibeli pemerintah Indonesia dari Pemerintah Uni Soviet juga tiba di Indonesia dan diberi nama : RI BUAYA dan RI BIYAWAK.
Pada tanggal 12 Januari 1962, Para personil KELAKAS kembali dari pendidikan dan tiba kembali di Tanah Air dan kedatangannya sangat tepat karena saat itu Negara membutuhkan tenaga mereka dalam rangka Operasi “TRIKORA”, dimana tidak lama sesudahnya pada tanggal 29 Januari 1962, pemerintah Indonesia kembali menerima 4 (empat) unit Kapal Selam Type Whiskey Class type RI Nagabanda dari Pemerintah Uni Soviet yang diberi nama : RI Nagabanda, RI Tjandrasa, RI Trisula dan RI Nagarangsang.
Dengan semakin banyaknya Kapal Selam yang dioperasikan, untuk menunjang tugas-tugas operasinya pada tanggal 10 Agustus 1962, bertempat di Dermaga Madura Ujung Surabaya dilakukan Upacara serah terima sebuah Kapal Tender Kapal Selam dari Pemerintah Uni Soviet kepada Pemerintah Indonesia yang kemudian diberi nama RI Ratulangi. Dan tidak hanya itu, pada tanggal 15 Desember 1962 pemerintah Indonesia kembali menerima Kapal Tender Kapal Selam yang kedua yang diberi nama RI Thamrin, selain itu diserahkan juga 6 (enam) Kapal Selam Whiskey class Type RI Wijayadanu yang kemudian diberi nama : RI Wijayadanu, RI Hendrajala, RI Bramastra, RI Pasopati, RI Tjundamani dan RI Alugoro.
Tanpa membuang waktu armada bawah air TNI AL ini terlibat dalam berbagai macam operasi “TRIKORA” dengan salah satu keberhasilannya adalah RI Tjandrasa karena keberaniannya yang luar biasa dalam melaksanakan tugas dalam Operasi Tjakra – II yang telah berhasil menerobos pertahanan Belanda dan mendaratkan regu RPKAD di pantai Irian Barat. Atas keberhasilan ini seluruh awak Kapal Selam RI Tjandrasa pada tanggal 12 April 1963 bertempat di Dermaga Madura Ujung Surabaya oleh Panglima Armada selaku Wakil Panglima Tertinggi menerima penyematan Bintang Sakti.
image003
Kalau Warjagers pernah memasuki sarang Hiu Kencana, pasti menemukan Relief Hiu Kencana, dimana dulu peresmian Relief Hiu Kencana ini dilakukan oleh MENPANGAL saat itu Laksamana Madya (Laut) R.E Martadinata yang bertindak selaku Irup dan Ny. R.E Martadinata berkenan menggunting pita peresmian Relief di WISMA HIU KENCANA.
Sejumlah kegiatan untuk meningkatkan kualitas Korps Hiu Kencana ini pun terus dilakukan, selain kembali mengirim sejumlah Perwira, Bintara dan Tamtama ke Waldiwostok Uni Soviet untuk belajar menjadi instruktur dan tenaga ahli perawatan Kapal Selam pada tahun 1966 juga, diresmikan Ruang latihan serangan torpedo. Ruang latihan ini dipergunakan untuk memahirkan para Komandan, Palaksa dan Perwira navigasi Kapal Selam dalam melakukan serangan torpedo. Dan pada tahun itu juga pada tanggal 9 Desember dilakukan juga Peresmian Stasion Bantu Kapal Selam alias (SIONBAN KS) diresmikan oleh MEN/PANGAL Laksamana. Muljadi. Sionban ini berfungsi sebagai Eselon pelayanan terhadap KS dalam hal pengisian Baterei, aliran listrik dari darat, air suling dan udara tekanan tinggi. Sementara pada tanggal 13 Maret 1967, Berdasarkan Surat Keputusan Pangarsam No. KOARSAM : 5401.1 th. 1967. DINAS PERAWATAN KAPAL SELAM (DISPENKAP) ditingkatkan menjadi Komando Perawatan Kapal Selam (KOWATAKASEL).
Mengutip kata-kata Komandan Satkasel pertama Kolonel (laut) R.P. Purnomo saat terah terima jabatan Komandan KONJENKASEL kepada Letnan Kolonel (Pel). L.M Abdul Kadir pada tanggal 30 September 1963, “Panta Rei, segala-galanya mengalir. Juga sejarah KONJENKASEL akan mengalir terus, mengalir menuju ke muara kejayaan”. (by Pocong Syereem).
Dirgahayu Satkasel.
“Wira Ananta Rudhiro”
“Jalesveva Jayamahe”

Penerbangan Pertama R80

 BJ Habibie bersama miniatur R80
BJ Habibie bersama miniatur R80

Presiden RI ke-3 yang juga mantan Menteri Riset dan Teknologi, BJ Habibie merencanakan pesawat Regio Prop 80 (R80) rancanangannya menjalani penerbangan pertama (first flight) di Bandara Kertajati, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat.
Pesawat berkapasitas 80 penumpang tersebut ditargetkan rampung pada 2017 atau 2018. Jadwal ini bersamaan dengan operasional awal bandara yang kini tahap pembangunan.
“Kita 2017 atau 2018 akan first flight dan akan mendapatkan sertifikasi udara. Saya mendengar pemberitaan Jabar sedang mempersiapkan lapangan terbang di Majalengka (Kertajati). InsyaAllah akan mendarat di Majalengka” ujar Habibie usai menemui Gubernur Jabar Ahmad Heryawan di Gedung Pakuan, Jalan Otto Iskandar Dinata, Kota Bandung, Rabu, 10 September 2014.
Atas rencana Presiden periode 1998-1999 itu, Gubernur Jabar menyambut baik. Menurutnya, jika rencana Habibie direalisasikan, maka hal ini menjadi sejarah baru bagi Jabar.
Gubernur yang akrab disapa Aher itu menambahkan dunia dirgantara salah satu cermin kemajuan bangsa. Karenanya, kata Aher, pengembangan R80 harus sukses. “Kita mendukung program R80, dan ini klop dengan Bandara Kertajati yang mulai beroperasi 2017. Ada bandara baru dan penerbangan (R80) diuji coba di Kertajati,” papar Aher.
Pesawat R-80 dengan kapasitas 80 penumpang (Photo : Bisnis)
Pesawat R-80 dengan kapasitas 80 penumpang (Photo : Bisnis)

Pengembangan N250
R80 adalah pengembangan pesawat N250 buatan IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara) –kini PT Dirgantara Indonesia. Sama berpenumpang 80 orang, namun R80 mengusung mesin turbo dengan baling-baling (turbo propeller).
Mesin jenis tersebut lebih efisien sehingga biaya operasionalnya lebih murah dibandingkan jet. Namun kecepatan yang dihasilkan sedikit lebih lambat dibandingkan mesin jet.
Penerbangan pesawat bermesin jet dari Jakarta-Surabaya, misalnya, membutuhkan 1,5 jam. Pesawat turbo baling-baling sekitar dua jam, namun operasionalnya setengah lebih hemat. R80 akan lebih efisien saat harga bahan bakar terus meroket.
R80 sudah dipesan maskapai NAM Air, anak perusahaan Sriwijaya Air. NAM Air memesan 100 unit R80. (binesia.com).

Penerbang TNI AU di ANG Tucson

 
dispen-Batch-II
Pelatihan penerbang F-16 TNI AU di Wing Tempur 162, Pangkalan Air National Guard, Tucson Arizona (photo: Dispenau)

TNI AU kembali mengirim para penerbang tempurnya ke Amerika Serikat terkait program pengadaan pesawat tempur F-16 C/D 52ID “Peace Bima Sena II”.
Sejak 26 Agustus 2014 hingga 13 September 2014, enam penerbang F-16 dari Skadron Udara 3 Lanud Iswahjudi mengikuti latihan konversi “Differential Training Batch II”, untuk mendapatkan kualifikasi penerbang F-16 C/D 52ID.
Latihan diselenggarakan di Wing Tempur 162 yang berada dibawah Pangkalan Air National Guard di Tucson AFB Arizona.
Keenam penerbang TNI AU yang berlatih di Arizona adalah Mayor.Pnb.Nur “Racer” Alimi (36), Mayor. Pnb.Agus “Wolverine” Dwi Aryanto (33), Kapt.Pnb.Gigih “Badger” Pratama (28), Kapt.Pnb.Yunianto “Wolfhound” Wibowo (29), Lettu.Pnb.Ferry “Fierce” Rahman (29) dan Lettu.Pnb.Yususf “Adder” Atmaraga (27).
Dalam latihan ini para penerbang kita hanya menjalani Ground Training karena sudah memiliki jam terbang cukup banyak di pesawat F-16 Block 15 OCU TNI AU, selanjutnya untuk latihan terbang dengan pesawat F-16 C/D 52ID akan dilaksanakan di Lanud Iswahyudi Madiun.
Tucson AFB merupakan markas dari Fighter Wing 162 yang membawahi tiga skadron tempur yang terdiri dari Fighter Squadron 148, 152 dan 195 yang selain menjadi skadron National Guard juga bertugas menyelenggarakan kursus transisi serta konversi bagi para calon penerbang F-16 C/D di jajaran Air National Guard dan AU Internasional.
Seperti enam penerbang F-16 TNI AU terdahulu maka para penerbang kali ini juga tidak mengikuti pelajaran “basic system” pesawat karena dasar sistem pesawat Block 25 yang menjadi “bahan dasar” F-16 52ID hampir sama dengan pesawat block 15 kita. Para penerbang lebih memperdalam penguasaan system avionic dan taktik penggunaan system persenjataan yang sebagian cukup berbeda antara system avionic 52ID dengan pesawat block 15 OCU. Para penerbang juga melaksanakan latihan simulator untuk mempelajari “switchology” pesawat, emergency procedures serta beberapa taktik dan tehnik dasar penggunaan peralatan avionic dan senjata udara modern yang bisa diangkut F-16 C/D 52ID.
Pesawat Tempur F-16 block 25 TNI AU
Pesawat Tempur F-16 block 25 TNI AU

Kelebihan F-16 C/D 52ID
Perbedaan yang sangat mendasar dengan pesawat F-16 A/B adalah pesawat F-16 C/D 52ID dilengkapi sistem MMC 7000A (Modular Mission Computer) Tape 5 sekelas Block 52+ sebagai jantung dan otak avionic pesawat, disamping Multi Function Display berwarna, Data link 16, Radar, Stores Management System terbaru, system Embedded GPS & INS yang canggih dan memungkinkan pesawat melepas bom JDAM dengan kendali GPS, Radio Have Quick II untuk kerahasiaan komunikasi dan data, Missile Warning System, Jammer System dan Electronic Warfare System modern untuk misi SEAD (Suppression Of Enemy Air Defence) terhadap radar dan rudal pertahanan udara lawan. Pesawat F-16 C/D Block 52ID ini memungkinkan kita untuk sanggup bertempur siang dan malam disegala kondisi cuaca dan segala macam sasaran, dengan hampir semua senjata udara ke udara dan udara ke darat canggih barat saat ini.
Pesawat F-16 C/D 52ID TNI AU dalam program “Peace Bima Sena II” adalah pesawat F-16 Block 25 USAF yang telah menjalani program “The Common Configuration Implementation Program” (CCIP) seperti yang dijalani semua pesawat F-16 CD Blok 40/42/50/52 milik USAF agar sesuai standar terbaru Blok-50/52+ USAF. Semua pesawat F-16 52ID TNI AU juga menjalani penguatan struktur rangka pesawat dengan program Falcon STAR (Structural Augmentation Roadmap) sehingga umur rangka pesawat bertambah menjadi lebih dari 10.000 jam, sehingga pesawat bisa dipakai selama minimal 10 tahun lagi. Setelah itu pesawat bisa menjalani Service Life Extension Program (SLEP) yang akan menambah umur rangka pesawat sekitar 2000 jam atau 10 tahun masa pakai. Pada saat usia pakai F-16 C/D 52 ID berakhir maka pengalaman, taktik dan tehnik yang didapat bisa dimanfaatkan untuk mengoperasikan armada pesawat tempur modern generasi 4.5 atau generasi ke 5 masa depan kita.
Sebelumnya tiga pesawat F-16 C/D 52ID sudah melakukan penerbangan dari Anderson AFB Guam ke Lanud Iswahjudi Madiun dan mendarat dengan selamat pada hari Kamis tanggal 24 Juli 2014 silam. Selanjutnya meskipun jajaran F-16 “dual seat” seluruh dunia sedang mengalami permasalahan pada struktur “longeron” cockpit namun pesawat kita sudah menjalani perbaikan dan diharapkan pada akhir September dua pesawat lagi akan tiba di Lanud Iswahjudi bersamaan dengan rencana peresmian Skadron Udara 16 di Lanud Rusmin Nuryadin Pekanbaru.
Armada baru pesawat F-16 C/D 52ID merupakan jembatan untuk membawa kekuatan udara Indonesia selangkah lebih maju, mampu menghasilkan penerbang dan tehnisi yang mahir menguasai pesawat dengan generasi lebih maju, dan juga membawa segenap jajaran Angkatan Udara kita menguasai tehnologi, manajemen dan taktik pertempuran udara modern. Dengan kemampuan yang canggih memungkinkan kekuatan udara siap menjadi bagian dari operasi gabungan TNI untuk beroperasi di darat, laut dan udara. Kehadiran skadron F-16 C/D 52ID ini akan peningkatan kemampuan Air Power atau Kekuatan Dirgantara agar mampu melindungi Keamanan Nasional Indonesia. (tni-au.mil.id).

Sabtu, 13 September 2014

KRI Sorong 911: Kapal Tanker Pendukung Operasi Pendaratan Amfibi di Dili

911
Sebagai kekuatan laut yang memiliki armada dengan jumlah kapal perang ratusan, sudah barang tentu TNI AL punya elemen kapal-kapal tanker untuk menunjang beragam misinya. Disamping urusan jumlah kapal yang bejibun, luas wilayah lautan Indonesia yang mencapai 2/3 luas lautan di Asia Tenggara, mengharuskan sebaran armada kapal tanker yang memadai. Dan bicara tentang kapal tanker milik TNI AL, ada nama KRI Balikpapan 901, KRI Sambu 902, KRI Arun 903, KRI Sungai Gerong 906, dan KRI Sorong 911.
Dibanding elemen kekuatan armada TNI AL lainnya, unsur kapal tanker atau disebut kapal jenis BCM (Bantuan Cair Minyak) terbilang luput dari program update. Kapal-kapa tanker kepunyaan TNI AL umumnya merupakan produksi tahun 60-an. Sebagai flagship armada tanker TNI AL adalah KRI Arun 903, yang merupakan bekas pakai AL Inggris (Royal Navy) dan mulai memperkuat TNI AL sejak 1992. Tapi jauh sebelum kedatangan KRI Arun yang punya panjang 140,6 meter, TNI AL mengandalkan KRI Sorong 911 sebagai unit tanker terbesar sejak era tahun 60-an. Bila KRI Arun 903 yang tadinya bernama RFA Green Rover, merupakan pengadaan dari bekas pakai, maka KRI Sorong 911 didatangkan secara gress, alias dibeli baru pada tahun 1965. KRI Sorong 911 yang punya dimensi 112,17 x 15,4 x 6,6 meter dibangun oleh galangan SY Trogir dari Yugoslavia.
Meski negara Yugoslavia telah bubar, toh hingga kini KRI Sorong masih tetap eksis dalam beragam operasi yang dijalankan TNI AL. Sebagai kapal tanker, KRI Sorong 911 masuk dalam Satual Kapal Bantu (Satban) Komando Armada Timur TNI AL. Dalam hal kemampuan, KRI Sorong mampu menampung kapasitas bahan bakar hingga 3.000 ton dan 300 ton stok air tawar. Jelas kapal ini punya peran strategis baik di masa perang dan masa damai, selain mendukung misi tempur jarak jauh, keperluan logistik seperti air tawar menjadi poin keunggulan tersendiri dari kapal ini.
KRI Sorong tidak punya tampilan sangar, karena misinya bukan untuk bertempur, keberadaan kapal ini justru harus mendapat kawalan dari kapal cepat, kapal korvet atau bahkan frigat. Tidak ada bekal senjata yang deteren, kapal ini hanya dibekali 4 pucuk SMB (senapan mesin berat) kaliber 12,7 mm, terhitung lumayan untuk misi pertahanan udara dan permukaan secara terbatas. Dalam kondisi kosong, bobot kapal mencapai 4.090 ton, dan bobot penuh hingga 5.100 ton. Dalam kondisi tertentu, kapal bisa mencapai bobot 8.700 ton dengan kargo seberat 3.300 ton.
Kapal tanker ini diawaki oleh 110 personel dengan dikomandani perwira menengah berpangkat Letnan Kolonel. Dengan ditenagai 1 unit mesin diesel Deutz berpropeler satu, kapal dapat melaju hingga kecepatan maksimum 15 knots.
kri-sorong-911

Pendaratan di Dili dalam Operasi Seroja
KRI Sorong 911 mencatatkan sejarah karena tergabung dalam Gugus Tempur operasi pendaratan amfibi untuk merebut kota Dili di Timor Timur pada 6 Desember 1975. Peran KRI Sorong tentu tidak melakukan bantuan tembakan kapal, sesuai kodratnya KRI Sorong menjadi kapal tanker untuk mendukung operasional KRI Ratulangi 400, KRI Barakuda 817, KRI Martadinata 342, LST KRI Teluk Bone 511, dan KRI Jaya Wijaya 921.
Kapal ini sanggup melakukan Replenishment At Sea (RAS) atau pembekalan di laut, merupakan cara pengisian/pengiriman logistik maupun personil dari kapal ke kapal yang dilaksanakan sambil berlayar dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Kegunaan RAS dalam suatu operasi untuk memperpanjang kehadiran unsur di laut, kerahasiaan serta efisiensi waktu. Dalam penugasan saat ini, KRI Sorong 911 juga mempunya peran lain, yakni sebagai kapal markas bagi Gugus Keamanan Laut. Berbeda dengan KRI Arun 903, sayangnya KRI Sorong 911 tidak punya bekal helipad. (Gilang Perdana)

Spesifikasi KRI Sorong 911
Jenis : Kapal tanker
Pembuat : SY Trogir, Yugoslavia
Dimensi : 112,17 x 15,4 x 6,6 meter
Bobot mati : 4.090 ton
Bobot penuh : 8.700 ton
Kapasitas bahan bakar : 3.000 ton
Kapasitas air tawar : 300 ton
Mesin : 1 Deutz diesel, 1 shaft
Kecepatan maksimum : 15 knots
Awak : 110

KRI Teluk Bone 511: Terlibat Dua Momen Pendaratan Amfibi Bersejarah

Genderang program MEF (minimum essential force) telah berkumandang, kemudian diwujudkan dengan update beragam alutsista baru, tapi pada kenyataan bukan berarti alat perang tua langsung disingkirkan. Sepanjang esensi dan fungsionalitas alat perang masih aman, beberapa masih terus di lestarikan. Di lini armada LST (landing ship tank), masih ada kapal yang tergolong amat sepuh, bila ditakar usianya sudah jauh lebih tua dari anggota TNI AL aktif paling senior sekalipun.
Yang dimaksud adalah LST 542 Class buatan AS. Di awal tahun 60-an, khususnya dalam menyongsong operasi Trikora, TNI AL mulai kebanjiran LST untuk menunjang misi pendaratan amfibi. Berlanjut di awal Orde Baru, LST 542 yang menjadi pemain di banyak laga Perang Dunia II dan Perang Vietnam kembali berdatangan memperkuat Satuan Kapal Amfibi TNI AL. Diantaranya ada KRI Teluk Langsa 501, KRI Teluk Bayur 502, KRI Teluk Amboina 503 (buatan Sasebo – Jepang), KRI Teluk Kau 504, KRI Teluk Menado 505, KRI Teluk Tomini 508, KRI Teluk Ratai 509, KRI Teluk Saleh 510, dan KRI Teluk Bone 511. Kecuali KRI Teluk Amboina, kesmua LST diatas merupakan veteran Perang Dunia II, terutama dalam perannya saat operasi pendaratan pasukan Sekutu di pantai Normandia, Perancis di 1944. Beberapa diantara LST tadi juga ada yang mampir untuk terlibat dalam operasi AS di Vietnam pada periode 1967 – 1970. Sebagai informasi, bila identitas LST di TNI AL ditandai dengan nama Teluk, maka di AL AS, identitas LST diawali dengan nama County, seperti USS Solano County LST-1128, yang kemudian berganti nama jadi KRI Teluk Langsa 501.
bone
Embarkasi pasukan TNIAD ke LST KRI Teluk Bone 511.
Tank Scorpion keluar dari ramp KRI Teluk Bone.
Tank Scorpion keluar dari ramp KRI Teluk Bone

Kini setelah 70 tahun berlalu, sebagian besar LST 542 Class yang sempat menjadi tulang punggung armada LST sudah dihapus dari inventaris armada TNI AL. Merujuk informasi di situs Wikipedia, masih ada empat unit LST 542 Class yang dioperasikan Komando Lintas Laut Militer (Kolinlamil), yaitu KRI Teluk Bayur 502, KRI Teluk Amboina 503, KRI Teluk Ratai 509 dan KRI Teluk Bone 511. Dari keempat LST tersebut, hanya KRI Teluk Amboina yang masih agak aman dari rencana pensiun, selebihnya sudah digadang untuk masuk masa purna tugas dalam waktu dekat.

KRI Teluk Bone 511
Selain keterlibatan armada LST 542 Class dalam laga di Normandia, kesemua LST 542 milik TNI AL pernah disatukan dalam operasi militer terbesar TNI, yakni operasi Seroja di Timor Timur. Dalam tulisan ini, sedikit dipetik keterlibatan salah satu LST tersebut yang kini masih aktif beroperasi, yaitu KRI Teluk Bone 511.
Merujuk dari sejarahnya, KRI Teluk Bone yang masuk LST 542 Class bisa digolongkan sebagai light LST, pasalnya bobot mati kapal ini hanya 1.651 ton, sementara untuk bobot muatan penuhnya bisa mencapai 4.145 ton. Sebagai perbandingan, LST Frosch class I bobot normalnya 1.744 ton dan LST Frosch-II bobot normalnya 1.530 ton. Sementara LST terbaru TNI AL, KRI Teluk Bintuni 520, bobot matinya 2.300 ton. Kapal ini punya panjang 100 meter dan lebar 15 meter. Dapur pacu kapal ini dipercayakan pada 2 unit mesin diesel General Motors 12-567 900HP dengan dua bilah propeller dan dua kemudi. Dari mesin tersebut, dapat dicapai kecepatan maksimum hingga 12 knots (setara 22 km per jam). Soal jarak tempuh, dalam kondisi normal Teluk Bone bisa menjelajah sampai 24.000 mil (38.624 km), pada kondisi tersebut kecepatan kapal dipatok 9 knots dengan bobot penuh 3.960 ton
Sebagai kapal pendarat amfibi, KRI Teluk Bone dibekali dengan kemampuan angkut cargo. Selain bisa dimuati 17 unit tank pada tank deck (dek bagian bawah), dek utama (dek bagian atas) juga dapat diakses untuk keluar masuk kendaraan, hal ini dimungkinkan berkat adanya elevator forward setelah pintu pada ramp. Dalam gelar operasi, dek utama kerap ditempati kendaraan pendukung seperti truk, artileri, jip, dsb. Soal kapasitas muatan bergantung pada jenis misi yang diembannnya, secara umum LST 542 class bisa dimuati beban antara 1.600 ton hingga 1.900 ton.
Tampilan bagian anjungan.
Tampilan bagian anjungan.
USS Iredell_County LST-839 dalam operasi di Vietnam.
USS Iredell_County LST-839 dalam operasi di Vietnam. Tampak kanon laras ganda kaliber 40 mm pada ujung haluan.
1016083905
Tampilan bagian buritan.
Tampilan bagian buritan.

Tak hanya menghantarkan tank, KRI Teluk Bone juga dapat mengakut pasukan Marinir yang terdiri dari 16 perwira dan 147 prajurit. Untuk tugas pendaratan pasukan ke bibir pantai, tersedia dua unit LCVP (Landing, Craft, Vehicle and Personnel). Lalu bagaimana dengan persenjataannya? Kapal ini dirancang lebih pada kebutuhan peran dari PSU (penangkis serangan udara), ada dua pucuk kanon twin kaliber 40 mm (di haluan dan di buritan), empat pucuk kanon 40 mm laras tunggal, dan 12 pucuk kanon 20 mm laras tunggal. Kesemuanya dioperasikan secara manual. Kapal perang ini secara keseluruhan diawaki oleh 7 perwira dan 104 anak buah kapal. Sampai saat ini, KRI Teluk Bone 511 dikomandani oleh perwira menengah berpangkat Letnan Kolonel. Sebagai wujud orisinalitas, corong komunikasi dari bridge (anjungan) ke kamar mesin masih menggunakan pipa dan bukan radio seperti kapal militer masa kini. Jam, lonceng, instrumen, bahkan lambang kapal asli dari AS masih ada di beberapa kapal-kapal LST eks Perang Dunia II ini.

Aksi Pendaratan di Timor Timur
Saat masih menjadi milik AL AS dengan nama USS Iredell County (LST-839), kapal ini telah berlaga pada kancah Perang Dunia II, tapi bukan aksi melawan NAZI Jerman, melainkan disiapkan untuk berlaga di palagan Pasifik dalam perang melawan Jepang. Salah satu aksi USS Iredell County yakni ikut menunjang pendaratan pasukan amfibi Marinir AS dalam serbuah ke Pulau Okinawa pada bulan April 1945. Kiprah kapal ini kemudian berlanjut dalam laga AS dalam Perang Vietnam, USS Iredell County dilibatkan secara aktif dalam misi angkutan logistik dari basis AL AS di Filipina dan Jepang ke Vietnam.
USS Iredell_County LST-839
USS Iredell_County LST-839
Kanon kaliber 40 mm laras tunggal.
Kanon kaliber 40 mm laras tunggal.
KRI Teluk Kau 504
KRI Teluk Kau 504
KRI Teluk Tomini 508
KRI Teluk Tomini 508
Tampak pansam BTR-50P di depan ramp KRI Teluk Bone 511.
Tampak pansam BTR-50P di depan ramp KRI Teluk Bone 511 pada saat operasi Seroja.
Pasukan TNI berjalan di pinggir pantai Dili, dengan latar KRI Teluk Bone.
Pasukan TNI berjalan di pinggir pantai Dili, dengan latar KRI Teluk Bone.

Setelah jadi milik Indonesia, debutnya setelah berganti nama jadi KRI Teluk Bone 511 adalah pada operasi Seroja. Seperti dalam petikan berikut ini:
Tanggal 6 Desember 1975, Batalyon 403/Raiders Kostrad tiba di lepas pantai Tailaco dengan LST KRI Teluk Bone 511. Sore harinya BTP (Batalyon Tim Pendarat)-5/Infanteri Brigade-1/Pasrat Marinir turun dari Atabae dan segera masuk ke dalam LST untuk persiapan pendaratan amfibi di Dli pada pukul 05.00 keesokan harinya. Tank PT-76 dan pansam BTR-50P yang baru selesai digunakan untuk melancarkan penyerangan ke Atabae dari Palaka melalui medan pegunungan yang sulit ditempuh dan tanjakan tajam, hingga mengakibatkan mesin ranpur tersebut melampaui suhu normal.
Pada tanggal 6 Desember 1975 malam, LST KRI Teluk Bone 511 yang sudah mengangkut BTP-5/Infanteri Marinir menjadi salah satu kapal perang dalam Komando Tugas Amfibi Operasi Seroja di bawah komandan Kolonel Laut (P) Gatot Soewardi. Dalam gugus tugas tersebut terdapat lima kapal peran lain, yakni kapal tender kapal selam KRI Ratulangi 400, bertindak sebagai kapal komando, korvet KRI Barakuda 817, frigat KRI Martadinata 342, kapal perbengkelan dan perbekalan KRI Jaya Wijaya 921, dan kapal tanker KRI Sorong 911 buatan Yugoslavia yang punya kapasitas angkut 3.000 ton bahan bakar dan 300 ton air tawar.
LST lain yang terlibat dalam operasi pendaratan di Dili adalah KRI Teluk Langsa 501, LST yang setipe dengan KRI Tekuk Bone ini mengangkut satu Batalyon Marinir dari Brigade-2/Pasrat di bawah pimpinan Letkol (Mar) Suparmo. Lepas dari misi pendaratan di Dili, pada 9 Desember malam, unsur Brigade-2/Pasrat Marinir kembali naik ke LST KRI Teluk Langsa 501 yang berlambuh di lepas pantai Dili untuk melakukan pendaratan amfibi di Laga, sekitar 20 km Timur Baucau.
Proses pendaratan amfibi di pantai Dili di dahului dengan serangkaian penembakan ke bibir pantai, hal ini dimaksudkan untuk menurunkan moril pasukan lawan dan mengangkat moril pasukan pendarat Marinir. Dalam rangkaian tembakan, KRI Ratulangi menembak dengan kanon 57 mm, KRI Barakuda dan KRI Martadinata menembak dengan kanon 76 mm. KRI Jaya Wijaya menembakkan 4 kanon laras ganda Bofors 40 mm dengan proyektil HE seberat 0,96 kg. Menjadi sasaran tembakan adalah wilayah pendaratan dan markas Fretilin.
KRI Teluk Langsa 501
KRI Teluk Langsa 501
KRI Teluk Amboina 503.
KRI Teluk Amboina 503.
Masih aktif dalam pergeseran pasukan.
Masih aktif dalam pergeseran pasukan.

Sekilas KRI Teluk Bone 511
KRI Teluk Bone-511 dibuat di galangan kapal American Bridge Company, Ambridge, Pennsylvania, Amerika Serikat, dan resmi meluncur pada 25 September 1944. Pada bulan Juli 1970 USS Iredell County dijual kepada Pemerintah Republik Indonesia, dan kemudian pada 12 Desember 1970 memperkuat jajaran armada TNI AL dengan nama KRI Teluk Bone-511, dengan komandan pertama Mayor Laut (P) M.H. Poerbosisworo. Pada tanggal 1 Januari 1990 KRI Teluk Bone-511 dialihbinakan ke Kolinlamil. Nama Teluk Bone diambil dari nama sebuah teluk yang berada di sebelah Selatan Pulau Sulawesi.
Keberadaan KRI Teluk Bone yang masih eksis dan tetap dapat beroperasi hingga saat ini tidak terlepas dari upaya-upaya TNI AL dalam rangka mempertahankan kesiapan teknis KRI melalui program Perpanjangan Usia Pakai (PUP). Selama lebih dari 40 tahun setelah memperkuat jajaran kapal perang TNI AL, kapal perang ini banyak dilibatkan dalam operasi militer, baik Operasi Militer Perang (OMP) maupun Operasi Militer Selain Perang (OMSP).
BRP Sierra Madre, salah satu LST 542 class milik Filipina yang dikaramkan di kawasan konflik dengan Tiongkok.
BRP Sierra Madre, salah satu LST 542 class milik Filipina yang dikaramkan di kawasan konflik dengan Tiongkok.
3zgdaul
Selain Indonesia, LST 542 class lungsuran Perang Dunia II juga sempat digunakan oleh AL Singapura dan AL Filipina. Bahkan, kiprah kapal ini belum lama membuat gempar di kawasan Laut Cina Selatan, tak lain setelah AL Filipina dengan sengaja menanfaatkan bangkai kapal BRP Sierra Madre yang karam di laut dangkal sebagai basis pangkalan apung Marinir Filipina di kawasan Ayungin Shoal, suatu area yang ikut disengketakan antara Filipina dan Tiongkok. (Gilang Perdana)

Spesifikasi KRI Teluk Bone 511
Class : LST-542
Bobot Mati : 1.625 ton
Bobot Penuh : 4.146 ton
Dimensi : 100 x 15,24 x 4,29 meter
Mesin : 2 × General Motors 12-567 diesel engines, two shafts, twin rudders
Kecepatan max : 12 knots (22 km/h)
Craft carried: 2 × LCVPs
Troops: 16 officers, 147 enlisted men (total bisa dimuati 264 prajurit)
Awak : 7 officers, 104 enlisted men

Helikopter Penerbad PT DI

Helikopter Fennec / Ecureuil (ARC.web.id)
Helikopter Fennec / Ecureuil (ARC.web.id)

Sebuah helikopter mungil berkelir loreng hijau tampak lincah terbang di area PT. Dirgantara Indonesia. Inilah dia helikopter terbaru milik TNI Angkatan Darat, yaitu Eurocopter Fennec.
Menurut catatan ARC, total Kementerian Pertahanan memesan 12 unit heli ini untuk melengkapi Korps Penerbangan TNI-AD. Konon nantinya heli ini juga akan menggantikan NBO-105 yang telah lama mengabdi.
Helikopter Fennec / Ecureuil (ARC.web.id)
Helikopter Fennec / Ecureuil (ARC.web.id)

Namun menilik dari registrasinya, yaitu HX-3501, bisa diduga heli ini merupakan varian sipil dari Fennec yaitu Ecureuil. Dan memang dalam catatan ARC juga telah disebutkan bahwa Indonesia memesan 3 varian Fennec. Yaitu 6 unit AS-555, 5 unit AS-550 serta 1 unit AS-350.
Helikopter Fennec / Ecureuil (ARC.web.id)
Helikopter Fennec / Ecureuil (ARC.web.id)

Selain sebagai pengganti NBO-105, Fennec dan variannya memiliki sejumlah fungsi. Diantaranya sebagai heli serba guna, heli serang hingga heli intai. Dan bisa diduga, kedatangan Fennec juga berguna sebagai mata dan telinga helikopter serang TNI-AD.
Helikopter Fennec sendiri merupakan salah satu helikopter terlaris di dunia. Versi militer dari heli ini mampu dilengkapi dengan Rudal anti tank, Roket hingga Senapan mesin berat. Konon gosipnya, TNI juga memesan pod senapan mesin berat untuk mempersenjatai heli ini buatan FN Herstal Belgia. (ARC.WEB.ID).

Saatnya TNI AU Menunjukkan Tajinya


Selain memamerkan kekuatannya, ini juga menjadi tanda perpisahan bagi Presiden SBY.

Hampir seminggu sebelum peringatan hari kemerdekaan Indonesia ke-69, Terminal Selatan atau biasa dikenal dengan Terminal Haji Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur mulai disibukkan dengan kehadiran mesin perang milik TNI AU. Betapa tidak, dalam ulang tahun Indonesia kali ini, beragam pesawat lintas generasi berkumpul di Jakarta untuk melintas di hadapan kepala negara beserta seluruh peserta upacara di Istana Merdeka, Jakarta.

Pesawat era 90-an Hawk 100/200 dan F-16 Fighting Falcon bersanding dengan jet tempur abad 21 seperti Sukhoi Su-27 Flanker dan pesawat multiperan T50i Golden Eagle. Tak hanya itu, pesawat tempur paling gres yang belum genap sebulan umurnya di Indonesia, F-16 C/D 52ID pun ikut bergabung bersama para seniornya. Penggabungan kekuatan udara ini merupakan terbang lintas terbesar yang pernah digelar dalam rangka peringatan hari kemerdekaan Indonesia.

Misi bertajuk Foxtrot Flight ini dibagi ke dalam dua formasi arrow besar, dimana dalam tiap formasinya terdapat dua jenis pesawat. Dalam skenarionya, 10 pesawat T50i akan bergabung dengan enam Hawk 100/200. Sedangkan delapan Sukhoi Su-27 bergabung dengan delapan F-16.

Lepas landas satu per satu dari Halim Perdanakusuma, menurut rencana penerbangan yang dibuat, T50i dan Hawk 100/200 melakukan holding di Teluk Jakarta pada ketinggian sekitar 3.000 kaki atau sekitar 900 m di atas permukaan laut. Sedangkan F-16 dan Su-27/30 berkumpul di lokasi yang sama dengan ketinggian sekitar 10.000 hingga 12.000 kaki (3.000-3.600 m). Di rendezvous itulah mereka membentuk formasi yang telah direncanakan. Dengan taktik ini diharapkan mereka bisa melintas di atas lapangan upacara di waktu yang tepat.

Kondisi ini membuat jantung kru di darat betul-betul berdebar kencang. Bagaimana tidak, mereka harus menyelaraskan waktu melintasnya pesawat dengan upacara di Istana Negara. Jika ke-32 pesawat melintas terlalu lama setelah para pengibar bendera melaksanakan tugasnya maka akan ada jeda waktu yang kosong cukup panjang. Dari sisi pertunjukkan tentu hal ini kurang baik. Sebaliknya, jika mereka melintas sebelum pasukan pengibar bendera menunaikan tugasnya, bisa dibilang misi Foxtrot Flight gagal.

“Hitungannya bukan menit lagi, tapi detik. Semua harus pas, meleset sedikit bisa habis kami,” ujar salah satu kru darat yang terus memantau radio komunikasi di Terminal Selatan saat gladi bersih 15 Agustus lalu. (Remigius Septian)