Kesiapan tempur satuan dijajaran TNI AD khususnya batalyon Infanteri
dipengaruhi oleh kesiapan alut sista dan fasilitas pendukung yang
dibekalkan serta profesionalisme prajurit yang dimilikinya, oleh sebab
itu kemampuan alut sista dan fasilitas pendukung yang digunakan harus
benar-benar diyakini kemampuannya, kehandalan dan kemudahan operasional
oleh prajurit yang menggunakannya.
Rencana kebutuhan Teropong Bidik Senapan Malam (TBSM) Satuan TNI AD yang dituangkan dalam program Minimum Essential Force (MEF)
tahun 2010 s/d 2029 sebanyak 15.773 unit, untuk mengisi satuan
pembangunan baru dan validasi Batalyon infanteri menjadi Batalyon
mekanis. Jajaran satuan TNI AD sebagai pengguna teropong Bidik senapan
malam terdiri dari: 13 Yon Raider, 19 Yon diperkuat, 9 Yon Linud
Kostrad, 9 Yon Kostrad, 1 Yon Mekanis, 1 Yon Roi 2000 dan 45 Yon Roi
2009. Untuk dapat memenuhi teropong bidik senapan malam sesuai MEF
tersebut tentu membutuhkan anggaran yang besar, oleh karena harga yang
sangat mahal dan selama ini pengadaannya berasal dari produk luar negeri
yang harganya minimal 8 – 9 kali harga senapan SS2-V1.
Sementara Teropong Bidik Senapan Malam (TBSM) yang saat ini berada
dijajaran satuan TNI AD baru berjumlah 973 unit (Tahun 2012),
sehingga masih kurang 14800 unit. Namun Teropng Bidik Senapan Malam
(TBSM) yang ada saat ini dijajaran satuan TNI AD belum 100%, baru
berjumlah 973 unit atau 6.2%, inipun kondisinya masih belum standar
masih sangat variatif baik jenis, teknologi, maupun spesifikasinya,
serta masih tidak bersifat interchangeability antara senjata satu dengan
senjata lainnya. Dengan demikian,untuk memenuhi tuntutan pengguna
dilapangan, tentunyaTeropong Bidik Senapan Malam (TBSM) harus dapat
memenuhi kriteria spesifikasi teknis yang diinginkan oleh pengguna, yang
disesuaikan juga dengan jenis senjata yang dimiliki oleh satuan TNI AD
(Produk PT.Pindad).
Namun teropong bidik senapan malam yang ada saat ini belum memenuhi
kebutuhan ditinjau dari aspek taktis dan teknis sesuai tuntutan dan
kebutuhan prajurit dilapangan. Tuntutan dan kebutuhan tentunya harus
disesuaikan dengan senapan serbu standar yang dimiliki TNI AD.
Instrumentasi optik dalam hal ini TBSM (night vision riflescope)
merupakan instrumen yang memungkinkan pemakainya melihat dalam keadaan
gelap di malam hari, di dalam hutan, dengan hanya diterangi temaramnya
cahaya bintang di langit. Instrumen semacam ini akan sangat diperlukan
pada keadaan dimana daya lampu dan cahaya tidak dimungkinkan, atau tidak
diizinkan. Misalnya untuk keperluan militer, dalam melaksanakan operasi
malam hari, adanya cahaya harus dihilangkan sedapat mungkin, untuk
tidak membahayakan keselamatan sendiri. Secercah cahaya yang sesuram
apapun, harus dimanfaatkan untuk mengendarai kendaraan-kendaraan
militer, untuk membidik dan menembak atau bahkan untuk melihat keadaan
di tempat yang jauh.
Tidaklah mengherankan bahwa instrumen yang sangat penting ini bagi
keperluan militer, mendapatkan perhatian khusus di negara-negara maju,
misalnya angkatan bersenjata Amerika Serikat telah menggunakan biaya
yang sangat besar untuk memenuhi alat-alat night vision ini. Jenis-jenis
instrument ini sampai sekarang masih merupakan produk-produk teknologi
tinggi dalam peralatan-peralatan militer.
Instrumen-instrumen ini tentu saja sangat mahal, tapi walau
bagaimanapun, alat instrument ini merupakan suatu peralatan yang tak
boleh ketinggalan, dilain pihak kemampuan dan ketersediaan di dalam
negeri memungkinkan perancangan dan pembuatan instrument-instrumen
seperti ini. Dari permasalahan di atas maka sejak 2012 Balitbang Kemhan
melaksanakan rancang bangun teropong bidik senapan malam agar dapat
diproduksi di dalam negeri. Untuk itu diperlukan sinergitas stake holder
termauk KKIP dalam mendukung dan mengawasi kemandirian alutsista dalam
negeri sehingga tidak mendatangkan dari luar negeri.
Pada tahun 2011 melalui program PKPP Kemenristek dilakukan rancang
bangun TBSM oleh Balitbang Kemhan dan dibantu tenaga ahli dari PT.
Pindad dan salah satu Intitut di Bandung. Dilakukanlah beberapa studi
agar bisa menguasai teknologi seperti Manufaktur, Lensa, Image
Intenfier, dan Elektronik). Setelah melakukan studi dan penelitian,
hingga kini sudah tidak ada kabar lagi terkait pengembangan tersebut. Semoga dana penelitian tersebut tidak dijadikan ajang memperkaya kantong pribadi.
Berbeda dengan Balitbang Kemhan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) sudah sejak 2010 membuat TBSM yang dibuat oleh para ahlinya di
Pusat Penelitian Kalibrasi, Instrumentasi, dan Metrologi (Puslit KIM)
LIPI. Menurut Ahmad Harimawan, Peneliti Instrumentasi di Puslit KIM
LIPI, TBSM ini dirancang khusus untuk membidik/menembak tepat dan
pengamatan pada malam hari. TBSM ini terdiri dari rumah utama (housing)
yang didalamnya terpasang unit lensa objektif, Image Intensifier
generasi 2 yang digabungkan dengan sumber tegangan, dan unit Ocular.
Alat ini memiliki kemampuan untuk melihat obyek yang berada pada sumber
cahaya yang sangat minim sekalipun, pemakai dapat melihat dan mengamati
sasaran tanpa menggunakan bantuan cahaya buatan sehingga tidak mudah
terdeteksi oleh musuh.
TBSM ini terutama dirancang untuk digunakan pada senapan infantri TNI
seperti type SS1 yang sudah diproduksi 120 unit untuk digunakan di
Papua pada thn 2004 dengan senapan mesin dan adaptor yang sesuai. Kalau
untuk kalangan Sipil digunakan untuk survey dan penelitian pada waktu
malam hari. TBSM sudah teruji kehebatannya. Kemampuan jarak pandang
tergantung cuaca alam sekitar. Mis. Kalau ada binatang, bisa dideteksi
hingga 300 meter.
LIPI juga sudah membuat Teropong Bidik Siang, dan saat ini sedang
mengembangkan teropong bidik generasi keempat yang sudah dibuat para
ahli di Puslit KIM LIPI. Generasi pertama dari Teropong Bidik Malam ini,
sudah terbukti ketangguhannya ketika TNI berperang melawan Fretlin di
Timor-Timur. Yang membanggakan, lensa optik yang digunakan pada TBSM ini
benar-benar dibuat sendiri oleh para ahli LIPI.
“Kualitasnya pun sudah sejajar dengan alat yang diimpor dari luar negeri, diantaranya: -Tahan udara lembab dan kedap air (standard spesifikasi militer), -Tahan terhadap getaran tembakan 500 butir peluru (perubahan kedudukan fisir/titik bidik maksimum 1 klik). TBMS juga dapat digunakan dengan dipegang langsung atau dengan tripod. Dan yang terpenting lagi, dari aspek kemampuan SDM, kita kuat”, tegas Harimawan.
“Kualitasnya pun sudah sejajar dengan alat yang diimpor dari luar negeri, diantaranya: -Tahan udara lembab dan kedap air (standard spesifikasi militer), -Tahan terhadap getaran tembakan 500 butir peluru (perubahan kedudukan fisir/titik bidik maksimum 1 klik). TBMS juga dapat digunakan dengan dipegang langsung atau dengan tripod. Dan yang terpenting lagi, dari aspek kemampuan SDM, kita kuat”, tegas Harimawan.
Namun menurut Harimawan, TBSM masih mempunyai kelemahan, yaitu tidak
mampu menembus kabut Hal ini akan terus dicari solusinya oleh para ahli
LIPI. Kendala lain yang ditemui para ahli kita di LIPI selama
mengembangkan TBSM ini, diantaranya kenadala teknis dan juga sosialisasi
dari pengembangan industri TBSM. Untuk produksinya masih mengalami
hambatan kekurangan dana, dan untuk sosialisasinya harus mengikuti
prosedur/ birokrasi.
Akan ada banyak teknologi yang akan dikembangkan dalam pembuatan TBSM ini nantinya. Tentu saja, para ahli di LIPI menginginkan perkembangan ini akan menambah daya guna bagi TBSM. Akhirnya, Harimawan, mewakili para ahli di LIPI mengharapkan support dari pemerintah. Diharapkan pemerintah membentuk industri teknis untuk mensupport hasil/produk peneliti, khususnya produk Hankam. Misalnya dengan membuat Industri Strategis. Diharapkan juga Kementerian Ristek dapat mendiseminasikan iptek kepada instansi terkait untuk dapat dikembangkan lebih lanjut, supaya tidak sia-sia. Setelah bertahun-tahun, gimana dengan perkembangannya sekarang??
(Ristek.go.id dan berbagai sumber)