TNI AU pernah mengirimkan para pilotnya untuk belajar
menerbangkan pesawat tempur di Rusia. Tapi ketika mereka sudah mahir
dan pulang ke tanah air, justru tak pernah bisa menerbangkan pesawat
kebanggaannya.
Menjelang Operasi Trikora untuk membebaskan Irian Barat
(1962) TNI AU mendapat berbagai jenis pesawat dan helikopter dalam
jumlah cukup signifikan. Selain pesawat transpor, diterima pula pesawat
pengebom dan tempur pancar gas seperti Tupolev Tu-16, Ilyushin Il-28,
MiG-15, -17, -19, dan -21. Semua perangkat keras persenjataan itu
mengubah Indonesia dalam seketika kuat secara militer dan disegani di
seantero kawasan Selatan.
Kedatangan berbagai jenis pesawat dalam
jumlah besar itu harus didukung sumber daya manusia atau personel yang
memadai. Baik pilot, teknisi maupun personel pendukung/kejuruan lainnya
seperti material, elektro, persenjataan, dan sebagainya. Cara paling
mudah dan singkat untuk memperolehnya adalah dengan mengirim mereka ke
negara asal pesawat yaitu Uni Soviet (Rusia), Cekoslovakia dan
Yugoslavia. Bahkan juga ke Mesir, yang sebelumnya telah menjadi pengguna
banyak pesawat militer eks-Rusia/Blok Timur.
Para perwira dan kadet penerbang AURI
pun dikirim secara bertahap ke berbagai negara itu, antara lain lewat
program yang dinamakan Tjakra I, II, dan III. Sejumlah personel yang
dikirim untuk mampu mengoperasikan MiG-17, di antaranya Tri Suharto,
Butje Waas, Hardadi, Zainudin Sikado, Isbandi, dan Rudi Taran. Kemudian
ada pula program untuk MiG-21, yang kala itu merupakan pesawat tempur
yang lebih baru. Mereka yang dikirim untuk belajar dan berlatih MiG-21
antara lain Sukardi, Saputro, Sobirin Misbach, Yachman, Martin
Teletepta, dan Firman Siahaan. Ada pula pelatihan di dalam negeri dengan
mendatangkan instruktur Rusia. Mereka yang berlatih di dalam negeri
antara lain Mayor Roesman, yang dipersiapkan menjadi komandan skadron
MiG-21 pertama.
Melalui program yang diberi nama Tjiptoning,
berangkatlah rombongan pertama kadet penerbang AURI ke Rusia, dari
Angkatan 66 dan 67. Dari Angkatan 66, hampir semuanya akan dididik dan
dilatih untuk pengebom Tu-16 Badger, lainnya untuk pesawat transpor Antonov An-12 Cub, yang mirip-mirip Hercules. Sedangkan dari Angkatan 67 sebagian besar untuk An-12.
Januari 1965, ketika Rusia sedang dilanda musim dingin hebat, mereka
naik kapal dari Pelabuhan Tanjung Priok ke Vladivostok, bandar laut “air
hangat” Rusia di kawasan timur jauhnya. Dari kota ini mereka dikirim ke
Tokmak di Kirgistan dan di Rysan, yang merupakan pangkalan pengebom
Tu-16. Para kadet penerbang ini, pertama berlatih dengan pesawat latih
dasar bermesin piston Yakovlev Yak-18 Max, sejenis dengan T-34 Mentor.
Selanjutnya calon penerbang transpor transisi berlatih menggunakan Ilyushin Il-14 Crate, yang mirip DC-3/C-47 Dakota, sebelum
mereka terbang dengan An-12. Sedangkan sebelum terbang dengan
Tu-16,para calon pilot bomber itu terbang transisi menggunakan jet
pengebom taktis Ilyushin Il-28 Beagle. Rombongan pertama antara
lain Richard Haryono, Bambang Yogyanto, Suhendar, Suparno, Zainal
Abidin, Udin Kurmadi, Rusli, dan Haryanto. Sedangan untuk An-12 antara
lain Sutria, Haryono, Haryoko, Suharso, Maksum Harun, dan Saleh Budiono.
Kamera disita
Saya sendiri termasuk rombongan Tjiptoning kedua, yang diberangkatkan
Maret 1965. Rombongan ini selain untuk menerbangkan Tu-16 dan An-12,
juga untuk MiG-21. Kami dari Angkatan 67 dan 68, berpangkat Sersan
Taruna dan Kopral Karbol. Kami naik pesawat komersial maskapai
penerbangan Rusia, Aeroflot dari Bandara Kemayoran.
Sebelum meninggalkan Lanud Halim Perdanakusuma, kami memperoleh briefing dari
Komodor Sukotjo dan Komodor Ign. Dewanto. Mereka antara lain menekankan
agar kami belajar dan berlatih sebaik-baiknya, jangan sampai
mempermalukan bangsa. Kami juga diingatkan agar berhati-hati dalam
bersikap dan bertindak, termasuk jangan mengambil foto sembarangan di
Rusia, karena memang ada larangan untuk itu.
Rombongan kami berjumlah 60 orang, termasuk dua perwira pengawas.
Salah seorang bernama Mayor Sutjipto. Sempat saya berpikir,
jangan-jangan program kami dinamakan Tjiptoning karena pengawas kami
adalah Mayor Sutjipto. Ingat ini, saya hanya bisa menertawakan diri
sendiri.
Pesawat Aeroflot bertolak malam hari sekitar pukul 21.00, dan singgah
di Kolombo serta Teheran untuk mengisi bahan bakar. Maklum, mesinnya
belum seefisien pesawat sekarang yang semakin hemat bahan bakar. Setiba
di Moskwa esok harinya, kami pun disambut cuaca dingin bersalju. Di
bandara dijemput oleh Atase Udara Letkol (Pnb) Sutiharsono, yang di
kemudian hari menjadi Pangkodau V dan berpangkat marsekal muda. Teks dan Foto: Marsda (Purn) Irawan Saleh