Kamis, 26 Juni 2014

Blusukan Meninjau LST, CN-295 dan Tank AMX-13 Retrofit

Menjelang akhir-akhir masa bakti Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, Kementrian Pertahanan mengebut sejumlah proyek pengadaan alutsista, terutama dari Industri Dalam Negeri. Sebelum bertolak ke Jerman, Wamenhan Sjafrie Sjamsoedin blusukan ke sejumlah Industri pertahanan. Dalam sehari, mantan Pangdam Jaya itu memantau proses produksi alutsista di PT.DI, Pindad dan Lampung. Dan tampak dalam foto di bawah ini adalah Kapal Angkut Tank produksi Daya Radar Utama yang hampir rampung.
(all photo: Kementrian Pertahanan)

Tampak memang LST yang dibangun khusus untuk mengangkut MBT Leopard II ini berukuran sangat besar. Dalam spesifikasinya, direncanakan LST ini mampu mengangkut 10 MBT sekaligus. Namun demikian, pengerjaan LST yang dilakukan secara paralel dengan Dok Kodja Bahari ini mengalami keterlambatan. Saat ini proses pengerjaan sudah 88%. Mesin dan kabel-kabel sudah terpasang. Yang perlu dilakukan saat ini memasang piringan putar, pintu rampa, serta propeller.  Sementara direncanakan LST itu akan dipasang senjata 2x40mm di haluan serta 12,7mm di buritan.
Sebelum ke PT.DRU, Wamenhan juga sempat mengunjungi PT.DI dan PT.Pindad di Bandung Jawa Barat. Di PT.DI, wamenhan meninjau final assembly dari CN-295 ke-8 pesanan Pemerintah. Bodi utuh, sayap serta sirip CN-295 ke-8 ini aslinya dibawa langsung dari Spanyol. Namun perakitan, wiring, pemasangan mesin hingga test terbang semua dilakukan di Bandung. Ini adalah bagian dari Transfer Teknologi yang dijanjikan pihak Airbus kepada Indonesia.


Di Pindad, Wamenhan meninjau proses retrofit Tank AMX-13. Saat ini sedang dilakukan retrofit 4 unit Tank buatan Prancis tersebut. Selain versi Kanon, Retrofit juga menyentuh AMX-13 versi Angkut Pasukan dan Komando. Direncanakan pada 5 Oktober nanti 9 unit Tank AMX-13 Retrofit Pindad itu akan ikut berparade.







 


 ARC.

Gak Punya Jembatan? Leopard bisa berenang

Adu debat sesi ketiga antara Capres semalam memang menghadirkan satu pertanyaan menggelitik terkait dengan tank Leopard 2. Salah satu Capres mengatakan bahwa Leopard tidak cocok, karena jembatan (di pulau Jawa, relevan dengan situasi penempatan Leopard 2 saat ini) tidak sanggup menahan bobot Leopard 2. Meme pun segera bertebaran di internet, bagaimana caranya tank
seberat 60ton lebih tersebut bisa berenang?


Di luar fakta bahwa Leopard 2 sudah ditransportasikan dari Bandung ke Surabaya tanpa kendala berarti (termasuk melintasi jalan dan jembatan Pantura), nyatanya para desainer tank kebanggaan, Jerman ini sudah memikirkan bagaimana tank harus bermanuver (dalam keadaan terpaksa) melintasi sungai tanpa jembatan. Maklum saja, rel kereta dan jembatan sudah pasti jadi sasaran pertama serangan udara untuk menghancurkan noda dan kapabilitas transportasi. Di luar hangatnya persaingan antar Capres, ARC hanya ingin menghadirkan fakta Sejati di balik argumen dan opini yang ada.


Dalam triumvirat desain tank, mobilitas dan proteksi adalah dua hal yang bertolak belakang. Semakin tebal perlindungan tank, tentu bobotnya makin berat yang berdampak pada makin turunnya mobilitas. Dibandingkan tank amfibi atau kendaraan intai dengan kulit alumunium yang lebih ringan, MBT jelas bukan tandingan kalau soal diajak lintas genangan. Namun bukan berarti MBT mati kutu saat harus melintas rintangan berupa sungai yang cukup dalam. MBT memang tidak bisa mengambang, tapi bisa menyelam. Tak terbayangkan bukan, monster lapis baja seberat 50-60 ton masuk kedalam sungai, dan tiba-tiba sudah muncul diseberang? Pada kenyataannya, hampir semua pabrikan tank merancang agar MBT lansirannya mampu menyelam pada kedalaman tertentu.

Maklum saja, yang namanya rintangan berupa lintasan air adalah hal jamak yang ditemukan diseluruh bentang benua, khususnya Eropa, yang merupakan benua asal MBT Leopard 2. Berdasar estimasi, rata-rata di daratan Eropa terdapat bentang air berupa sungai atau kanal selebar 6 meter setiap 20km, kemudian selebar 100 meter setiap 35-60km, 100-300 meter setiap 100-150km, dan selebar 300 meter setiap 250-300km. Untuk permukaan air yang tak terlalu dalam seperti genangan atau kanal kecil, MBT seperti Leo 1 dan 2 didesain dengan kemampuan dasar water-wading atau melintasi genangan sampai kedalaman 1-1,4 meter, namun untuk sungai dalam, MBT harus mengandalkan varian AVLB atau jembatan ponton.

Namun kedua opsi penyeberangan diatas tetap punya batasan. Kalau harus mengandalkan jembatan gunting, rentangnya terbatas sementara lebar sungai bisa mencapai 50, bahkan 300 meter. Jembatan ponton pun relatif lama dalam menyeberangkan tank. Oleh karena itu, MBT didesain agar bisa menyelam dan melanjutkan perjalanan secara mandiri, dengan batasan-batasan tertentu. Operasi lintas badan air (water-fording) tergolong operasi yang amat riskan dan berbahaya, karena pengemudi benar-benar buta dengan keadaan sekitar saat ada di dalam air.

Dasar sungai pun biasanya penuh sedimentasi lumpur yang bisa membuat transmisi selip dan rantai terpeleset sehingga tank keluar dari jalur. Belum lagi kesiapan mesin yang harus dalam keadaan prima agar tidak overheat dan lalu berhenti saat tank sedang berada di dasar sungai. Setelah keluar pun, tank juga harus langsung siap tempur, mengingat dalam operasi sebenarnya, para awaknya harus siap untuk segala kemungkinan. Pemilihan titik penyeberangan harus dicermati oleh pasukan pengintai, bebas dari kehadiran pasukan musuh, jangkauan artileri lawan, ataupun hambatan di permukaan air seperti es yang membeku atau ranting dan batang kayu. Operasi penyeberangan harus dilakukan dalam keadaan teratur dan tak terburu-buru, karena kerusakan pada snorkel berarti kematian pelan bagi krunya. Membuka hatch di kedalaman 4 meter sama sekali tak bisa dilakukan, dan dalam keadaan darurat, awak MBT yang tenggelam hanya bisa berdoa dan berharap pada kru kendaraan recovery yang bisa makan waktu berjam-jam.


Krauss-Maffei sebagai perancang Leopard 1 dan Leopard 2 sudah menyiapkan sejumlah alat yang memampukan MBT andalan Jerman ini untuk berenang. Berbeda dengan Uni Soviet yang menggariskan bahwa komandan harus tiba diseberang lebih dulu dan mengarahkan tanknya yang sedang menyelam via radio, doktrin Jerman menggariskan bahwa dalam keadaan apapun, komandan harus tetap tinggal bersama dengan tank dan awaknya. Teknik water-fording pada Leopard 1 dan 2 secara garis besar sama, dimana komandan mengarahkan gerak tank dengan snorkel khusus berbentuk menara yang mencuat diatas permukaan air.


Syarat pertama agar Leo 1 dan 2 mampu menyeberang adalah kedalaman air, yang tak boleh melebihi 4 meter agar tak membahayakan mesin. Seluruh lubang bukaan pada tank-lubang meriam, mulut laras senapan mesin koaksial dan senapan mesin diatas kubah, lensa optik, lubang knalpot, lubang tempat memasukkan munisi, hatch, harus dipastikan dalam keadaan tertutup sempurna, dan bila diperlukan dilapis dengan gemuk khusus yang mampu menahan air untuk tidak masuk. Sil-sil karet harus dipastikan agar tidak robek ataupun berlubang. Snorkel kemudian dipasang pada hatch komandan, dimana snorkel ini terbagi dalam tiga segmen teleskopik yang bisa dipanjangkan atau dipendekkan, disesuaikan dengan kedalaman air. Didalam snorkel ini juga terdapat tangga, sehingga komandan dapat memanjat keluar dan melihat keadaan sekaligus mengarahkan tank saat berjalan didalam air. Snorkel desain Jerman ini memiliki keunggulan, karena memungkinkan awaknya menyelamatkan diri dalam keadaan darurat, mengingat diameternya yang bisa dilalui manusia. Pengemudi juga mengecek deviasi dari jalannya tank, dengan mengemudi dalam keadaan lurus, dan melihat simpangan yang dihasilkan. Seperti ban mobil, track pada tank pun memerlukan spooring
Setelah persiapan penyeberangan siap-pengecekan selesai, kubah dan laras dikunci kearah belakang seperti dalam konfigurasi pengangkutan trailer sehingga tak menimbulkan hambatan dan tekanan tidak merusak seal di mulut laras, tank dijalankan dengan sangat pelan agar tak menimbulkan gelombang berlebih saat mulai memasuki air. Udara yang diperlukan oleh mesin kini dipasok melalui snorkel, karena katup di knalpot sudah ditutup melalui sistem hidrolik, dan sistem pendingin dibanjiri oleh air agar mesin tidak lekas overheat. Leopard memiliki bilge pumps yang
bekerja dengan memompa air yang masuk ke kompartemen awak dan mesin. Komandan yang memunculkan tubuhnya diatas snorkel berbicara dengan menggunakan interkom, memberi perintah bagi pengemudi yang tak bisa melihat apapun didalam air. Leopard dijalankan dalam gigi maju terendah, bergerak terus sampai akhirnya muncul di permukaan seberang. Setelah tiba diseberang, persiapan pasca penyeberangan pun dilakukan, dengan melepas semua sumbat-sumbat yang ada.
Namun dalam keadaan darurat, misalkan MBT harus dipersiapkan untuk bertempur, snorkel dapat dilepaskan secara cepat dengan bahan peledak kecil yang sudah terpasang. Sumbat pada mulut laras tank tak perlu dilepas, karena akan luruh begitu saja saat munisi 120mm melesat meninggalkan laras.

Pada dasarnya, operasi water-fording merupakan operasi yang sangat riskan bagi tank dan awaknya, dan biasanya dilakukan sebagai cara terakhir pada saat sudah tak ada alternatif penyeberangan. Oleh karena itu, lokasi jembatan selalu menjadi titik yang harus direbut secara cepat bagi pasukan yang melakukan invasi, karena lebih mudah melintasi sebuah jembatan dibandingkan harus menyiapkan operasi water fording yang menempatkan satu skuadron tank dalam keadaan tak berdaya. Sementara bagian yang bertahan harus mempertahankannya mati-matian, atau bila sudah tidak ada cara lagi, menghancurkannya sebelum tank musuh dapat melintas.

ARC. 

KRI Keris Gagalkan Pembajakan Kapal Taiwan

 
REAKSI CEPAT: KRI Keris berhasil menggagalkan pembajakan Kapal FN Kuo Rong di perairan Flores, NTT. (Armatim for Jawa Pos)
Jajaran Armada RI Kawasan Timur (Armatim) berhasil menggagalkan pembajakan kapal di wilayah perairan Laut Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), Rabu (25/6). Awak kapal perang RI (KRI) Keris mengamankan tindakan kriminal belasan anak buah kapal (ABK) FN Kuo Rong 333 sekitar 57 mil dari Pulau Lembata, Flores.
Kapal berbendera Taiwan yang dinakhodai Chen Chih Wen itu dibajak ABK-nya sendiri. Kapal hendak dilarikan ke Kepulauan Solomon, timur Papua Nugini. Namun, upaya itu dihadang KRI Keris setelah berkoordinasi dengan pesawat patroli maritim Cassa. Pesawat di bawah pembinaan Pusat Penerbangan TNI-AL (Puspenerbal) tersebut lantas melaporkan data-data koordinat keberadaan kapal Taiwan itu.
’’Kapal yang hilang dilaporkan Kantor Search and Rescue (SAR) Kupang ke Gugus Keamanan Laut Koarmatim lost contact sejak Jumat (13/6),’’ jelas Kepala Dinas Penerangan Armatim Letkol Laut (KH) Abdul Kadir kemarin. Kapal itu berdimensi panjang 26,02 meter, lebar 5,5 meter, dan berat 99 GT. Ketika ditangkap, jumlah ABK FN Kuo Rong 333 sebanyak 12 orang.
Kadir menjelaskan, untuk membebaskan kapal tersebut, Guskamla Armatim mengerahkan KRI bertipe kapal cepat rudal dan satu Cassa. Kebetulan, unsur pesawat udara itu sedang melaksanakan operasi keamanan laut sehari-hari di perairan Indonesia Timur. Operasi merupakan salah satu upaya penegakan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut Indonesia.
Kadir menambahkan, proses penegakan keamanan di laut sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan internasional. Untuk penyelidikan dan proses hukum lebih lanjut, tersangka ABK dan barang bukti kapal digiring menuju Pangkalan TNI-AL (Lanal) Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). (sep/JPNN/c7/ca, www.jawapos.com) JKGR.

Komitmen Drone Indonesia

 
Drone RQ-4 Global Hawk, AS
Drone RQ-4 Global Hawk, AS

Dukungan kuat untuk memajukan industri pertahanan dalam negeri telah diutarakan dengan tegas oleh calon presiden Prabowo Subianto dan Joko Widodo agar Indonesia tidak tergantung terus ke negara lain.
Dalam debat ketiga yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) itu, capres Joko Widodo berulang kali menyebukan rencananya mengembangkan pesawat “drone” atau tanpa awak, serta menggunakan teknologi hybrid dan cyber untuk menjaga kedaulatan Indonesia. Hal yang sama juga disampaikannya dalam debat sebelumnya.
Pesawat tanpa awak itu juga akan digunakan untuk pemantauan dan melindungi perairan Indonesia dari kasus pencurian ikan, meski rencana itu juga mendapatkan kritikan keras sehubungan pengoperasiannya butuh biaya dan satelit, sementara perusahaan telekomunikasi Indosat telah dijual ke Singapura.
Kubu Jokowi menyebutkan “drone” berbiaya murah, namun lebih efektif dalam melindungi maritim Indonesia. Kerugian yang diakibatkan pencurian ikan oleh nelayan asing setiap tahunnya diperkirakan sedikitnya Rp300 triliun. Sementara harga satu pesawat tanpa awak diperkirakan hanya Rp20 miliar.
Biaya pengoperasian diklaim murah, juga menggunakannya tak rumit. Pesawat drone itu, menurut Jokowi, akan dioperasikan di tiga kawasan, yaitu Timur, Barat, dan Tengah Indonesia.
Penggunaan drone itu selain berguna untuk pertahanan, juga disebutkan bermanfaat untuk melindungi kekayaan Indonesia.
Sementata itu, capres Prabowo Subianto juga tak kalah tegas untuk menyatakan dukungannya dalam memodernisasi industri pertahanan dalam negeri, serta mendukung pembelian tank tempur utama Leopard II dari Jerman. Meski pembeliannya ditentang Jokowi, namun Menhan Purnomo Yusgiantoro menyebutkan tank Leopard sesuai dengan kondisi dan kebutuhan Indonesia.
Meski demikian, dukungan kedua capres itu terhadap modernisasi industri pertahanan nasional merupakan tantangan keras bagi industri strategis dalam negeri untuk menjawabnya.
Drone / UCAV MQ - 9 Reaper Amerika Serikat, bawa rudal, termasuk hellfire, anti-tank
Drone / UCAV MQ – 9 Reaper Amerika Serikat, bawa rudal, termasuk hellfire, anti-tank

Banyak negara dalam sepuluh tahun terakhir berlomba-lomba mengembangkan pesawat tanpa awak, termasuk Indonesia. Ketika mantan Presiden AS George W Bush mengumumkan “Perang Atas Teror”, CNN menyebutkan Pentagon hanya memiliki kurang dari 50 pesawat tanpa awak. Kini, negara adi daya itu memiliki lebih dari 7.500 pesawat.
Sejauh ini, baru AS, Israel dan Inggris yang diketahui telah menggunakan pesawat tanpa awak atas musuh mereka. Belakangan ini banyak negara sudah menggunakan drone, seperti Korea Utara yang dilaporkan telah mengirimkannya ke wilayah Korsel.
Namun, pesawat tanpa awak juga digunakan Republik Rakyat Tiongkok untuk memantau suatu kepulauan tak berpenghuni di Laut Tiongkok Selatan yang disengketakan oleh Jepang, Tiongkok, dan Taiwan.

Karena biayanya cukup murah dan efektivitas yang lebih tinggi yang menyebabkan banyak negara mengembangkan pesawat tanpa awak. Misalnya harga pesawat militer berawak seperti F-35C mencapai 63 juta dolar AS. Pesawat supersonik itu memang memiliki multi fungsi, seperti pertempuran udara ke udara, dukungan udara jarak dekat dan pengeboman taktis. Harga drone jauh lebih murah, padahal sebagian peran pesawat berawak itu sudah diambil alih drone.
Pengoperasian “drone” tak menimbulkan risiko kehilangan awaknya meski dioperasikan di medan yang sangat berat, sementara risiko kehilangan pilot cukup besar di pesawat tempur berawak.
Di masa depan, penyerangan dan perang udara (dog fight) bukan tidak mungkin akan diperankan oleh pesawat-pesawat tempur tanpa awak ini (unmaned combat aerial vechile (UCAV), bukan lagi pesawat tempur konvensional. Pesawat tanpa awak bisa dikendalikan secara otomatis oleh komputer yang ditaruh dalam pesawat, atau dikendalikan menggunakan remote control, atau bisa juga dikendalikan pilot atau “combat system officer” yang berada di daratan atau dalam kendaraan lainnya.
Drone / UCAV Eitan Israel
Drone / UCAV Eitan Israel

Pesawat tanpa awak ini umumnya digunakan untuk keperluan militer, namun kini banyak negara mengembangkannya untuk keperluan sipil seperti pemantauan dan penelitian.
Sebagai mesin perang di udara, pesawat “drone” sudah terbukti keampuhannya. Pesawat “Predator” milik AS yang berpangkalan di Afghanistan menjadi mesin perang andalan negara itu di Afghanistan dan Yaman. Harga Predator jauh lebih murah dibandingkan dengan biaya pesawat pengebom B-2 Stealth yang harganya berkisar 737 juta hingga 2,2 miliar dolar AS per unit.

Konflik
Maraknya konflik bersenjata dan sengketa perbatasan antarnegara, terutama di perbatasan yang kaya akan sumber daya alam, akan mendorong banyak negara untuk mengembangkan pesawat tanpa awak untuk keperluan pengintaian maupun misi militer lainnya.
Indonesia sendiri memiliki masalah perbatasan dengan negara tetangganya, sementara kekayaan maritimnya banyak dicuri nelayan asing.
Sebelas tahun lalu, AS yang mendominasi penggunaan pesawat tanpa awak ini. Namun sekarang bukan lagi monopoli AS, karena makin banyak negara yang berminat mengembangkan atau membelinya, termasuk Indonesia. CNN menyebutkan lebih dari 70 negara kini memiliki pesawat tanpa awak, meski hanya sebagian kecil dari negara itu yang memiliki pesawat puna (tanpa awak) yang dipersenjatai.
Lonjakan kemajuan teknologi pesawat tanpa awak akan mengubah cara pandang suatu negara menghadapi perang dan ancaman, yang tentunya memacu perlombaan senjata. AS serta Israel sejauh ini merupakan eksportir utama teknologi dan pesawat drone ke banyak negara.
Melihat konflik perbatasan yang makin rawan di masa depan, terutama yang berkaitan dengan sumber daya alam yang semakin terbatas, merupakan langkah tepat yang diambil Indonesia untuk mengembangkan pesawat puna (tanpa awak) sendiri.
Komitmen capres Jokowi untuk membangun pesawat tanpa awak itu menjadi “amunisi” kuat untuk mengembangkannya, meski banyak pihak mengkritiknya karena dinilai belum tepat atau teknologinya terlalu canggih.
Indonesia jauh sebelum debat capres digelar, sudah melakukan kajian dan rekayasa teknologi untuk mengembangkan drone.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pernah menguji terbang prototipe pesawat tanpa awak terbaru di Halim Perdanakusuma Jakarta. Meski dinilai sukses, namun performa pesawat itu masih jauh dari memuaskan, seperti suara mesinnya yang masih terlalu bising. Dengan kata lain, pesawat nirwana semestinya tidak berisik atau tidak mengeluarkan suara besar.
Pesawat Tanpa Awak, UAV Wulung BPPT Indonesia
Pesawat Tanpa Awak, UAV Wulung BPPT Indonesia

Pesawat Luwung mempunyai bentang sayap 6,36 meter, dan terbuat dari bahan komposit. Pesawat ini mampu terbang empat jam pada ketinggian 8.000 kaki, dapat lepas landas pada jarak 300 meter, serta memiliki kecepatan operasional 52-69 knot. Pesawat ini juga dilengkapi dengan “target lock camera system” untuk misi pengintaian, serta mampu terbang hingga 73,4 km.
Penelitian dan pengembangan pesawat tanpa awak Indonesia memang masih harus terus ditingkatkan, seperti bagaimana mengembangkan jarak tempuh operasionalnya, menambah daya angkutnya serta bagaimana meminimalkan tingkat kebisingannya.
Indonesia baru memasuki fase pengembangan teknologi, setelah itu baru masuk ke tahapan “engineering manufacturing”, kemudian yang terakhir adalah tahap produksi.
Mulai tahun 2011, BPPT dan Kementerian Pertahanan (Kemenhan) sudah bekerja sama mengembangkan drone untuk misi pemantauan dari udara. BPPT telah mengembangkan pesawat udara nir awak sejak tahun 2004, dan telah menghasilkan berbagai prototipe puna, seperti Gagak, Pelatuk, Seriti, Alap-alap dan terakhir “Wulung” atau burung elang. Kesemuanya untuk mendukung patroli di perbatasan Indonesia.
pesawat nirawak Lapan Surveillance UAV (LSU) 02 (photo: Lapan.go.id)
pesawat nirawak Lapan Surveillance UAV (LSU) 02 (photo: Lapan.go.id)

Untuk mengembangkannya sesuai kebutuhan Indonesia, diperlukan penelitian dan pengembangan lebih lanjut dengan dukungan kebijakan politik dan keuangan yang lebih besar dari pemerintah hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014.
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 9 Juli 2014 diikuti pasangan capres dan cawapres, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla. ( Hisar Sitanggang / Ruslan Burhani / Antara). JKGR.

Tank Leopard, Komitmen Jangka Panjang

 
MBT Leopard 2 Revolution Indonesia
MBT Leopard 2 Revolution Indonesia

Pemerintah Indonesia telah membeli 180 unit Tank Leopard dan Marder dari Rheinmetall, Jerman dengan biaya US$ 280 juta. Pemerintah mendapat harga sangat murah setelah melakukan negosiasi yang luar biasa. Kini, dengan harga tersebut Indonesia memiliki kurang lebih 2 batalion kavaleri Tank Berat.
“Harganya US$ 280 juta. Awalnya hanya dapat 44 MBT (main battle tank). Tetapi kita lakukan suatu pemikiran-pemikiran yang kita sesuaikan kebutuhan postur TNI Angkatan Darat, sehingga kita akhirnya bisa memiliki kurang lebih 2 batalion dari Kavaleri Tank Berat,” kata Wakil Menteri Pertahanan (Wamenhan) dalam jumpa pers seusai penyerahan simbolis Leopard dan Marder tahap pertama di pabrik Rheinmetall, Unterluss, Jerman, Senin (23/6/2014) sore.
Dalam pengadaan ini, pemerintah Indonesia melakukan negosiasi langsung dengan Rheinmetall, tidak melalui tangan-tangan calo. Hal ini terlihat juga dalam penyerahan simbolis Leopard dan Marder tahap pertama ini.
Dengan memiliki 180 unit tank Leopard dan Marder, kata Sjafrie, sistem pertahanan Angkatan Darat akan lebih dibanding negara-negara tetangga. “Awalnya tidak dimiliki Indonesia, tapi sudah dimiliki negara-negara Asean lainnya.
Berarti kita harus tertantang bagaimana TNI bisa hadir bersama-sama dengan teknologi militer yang dimiliki negara-negara tetangga kita,” kata Sjafrie.
Pengadaan Loepard dan Marder ini merupakan bagian dari revolusi industri militer berteknologi tinggi, peningkatan profesionalisme, dan peningkatan kemampuan yang setara dengan negara-negara lain. “Lebih dari 15 tahun TNI AD belum pernah melakukan modernisasi alutsista, baru ada modernisasi sejak 2010,” jelas Sjafrie.

Modernisasi TNI
Modernisasi alutsista termasuk pembelian Leopard sudah masuk dalam Rencana Strategis (Renstra) yang disusun pemerintah. Saat ini sudah masuk Renstra yang kedua. Namun pemerintah juga telah menetapkan Renstra jangka panjang hingga tahun 2029.
“?Saat ini sudah masuk Renstra yang kedua. Kita masih ada 1 Renstra sampai 2024, tapi kita punya jangka panjang hingga 2009. Diharapkan pada 2029 kita tidak lagi dalam posisi minimum essential force (kekuatan pokok minimal), tapi sudah masuk dalam kekuatan ideal,” ujar Sjafrie.
Sekarang Indonesia masih mendekati MEF, yang memiliki persyaratan memiliki mobilitas tinggi dan daya pukul yang dahsyat. “Inilah yang dimiliki alutsista strategis kita. Angkatan Darat dengan kemampuan tank berat, alutsista Angkatan Udara dengan kemampuan AU strategis dan alutsista Angkatan Laut dengan kemampuan kapal laut. Inilah implementasi dari alutsista strategis yang dilakukan pada 2010-2014, dikembangkan 2015 dan selanjutnya,” tegas dia.
Sjafrie yakin Renstra mengenai alutsista akan dilanjutkan pemerintah meski berganti pemerintahan. “Insya Allah karena ini merupakan bagian komitmen jangka panjang yang kita lakukan. Kita harapkan sistem pertahanan Indonesia ini yang sudah mengalami dua tahap. Tahap pertama, revitalisasi sistem pertahanan pada 2004-2009.
Tahap kedua, membangkitkan sistem pertahanan kita pada 2010-2014 seperti kita lihat sekarang. Tahap berikutnya, kita mengembangkan sistem pertahanan pada 2015-2019. Tentunya pada 2029 nanti kita pada posisi modern secara mandiri,” jelasnya. (detik.com) JKGR.

Meriam Caesar dan Proyeksi Persenjataan

Meriam Caesar 155mm Pesanan TNI AD (photo: Metro TV)
Meriam Caesar 155mm Pesanan TNI AD (photo: Metro TV)

TNI Angkatan Darat mendapatkan penguatan alat utama sistem persenjataan (alutsista) dengan menerima empat unit artileri medan, Caesar 155 mm. Indonesia merupakan negara keempat pengguna alutsista buatan Nexter, Prancis.
Caesar mempunyai keunggulan mampu bergerak sendiri karena larasnya berada di atas kendaraan. Setiap kendaraan mampu membawa maksimum 32 munisi yang siap ditembakkan.
Menurut Komandan Pusat Persenjataan Artileri Medan Brigjen Sonhadji, TNI Angkatan Darat akan menerima total 37 unit Caesar hingga tahun 2016. Alutsista ini akan ditempatkan di Batalion Purwakarta dan Ngawi.
Caesar selama ini sudah dipergunakan Tentara Prancis di Afganistan, Lebanon, dan Mali. Daya jangkau tembakan Caesar bisa mencapai 39 kilometer dan bahkan diperjauh hingga 42 kilometer. Selain Prancis, sekarang ini yang menggunakan Caesar adalah satu negara Timur Tengah dan Thailand.

Tambahan Persenjataan
Di tempat terpisah, Ketua Komisi I DPR, Mahfudz Siddiq, menyatakan TNI di tiga matranya perlu menambah persenjataan untuk mengamankan wilayah Indonesia dari segala aspek.
“Minimal kita harus punya tiga kapal selam dan kapal patroli cepat terutama untuk wilayah-wilayah perbatasan, di jalur perdagangan yang sibuk,” kata Mahfudz Siddiq, di Gedung DPR, Jakarta, 24/06/2014.
Ia menambahkan, sebetulnya Indonesia sudah menambah kapal perang tetapi belum dilengkapi persenjataan dan alat pendukung.
Presiden SBY menatap model kapal selam Kilo Rusia (photo: setneg)
Presiden SBY menatap model kapal selam Kilo Rusia (photo: setneg)

Bicara soal TNI AL Indonesia masih harus diperkuat wahana pengintai maritim, karena untuk saat ini pesawat pengintai TNI AL masih terbatas jumlah dan jangkauannya. Sinergitas antara sayap udara maritim dengan kapal perang permukaan dan bawah permukaan akan menjadi prioritas ke depan.
Sementara, tantangan terbesar di kelautan dari sisi ekomomi adalah menyelamatkan potensi ekonomi nasional dari kejahatan-kejahatan yang masih terjadi, di antaranya pencurian ikan.
“Ke depan, rencana strategis yang harus diprioritaskan adalah memperbesar postur anggaran pertahanan untuk wilayah laut” ujar Ketua Komisi I DPR.
DPR mendukung rencana induk TNI AL yang akan membangun tiga komando armada Indonesia, yaitu di wilayah barat, tengah, dan timur. Antisipasi dinamika Laut China Selatan juga harus dilakukan secara baik.
Mahfud menyinggung juga soal buku Satu Dasawarsa Membangun Untuk Kesejahteraan Rakyat terbitan Kantor Staf Khusus Presiden Bidang Komunkasi Sosial. Di situ disebutkan anggaran pertahanan Indonesia meningkat 400 persen, dari Rp 21,42 triliun pada 2004 menjadi Rp 84,47 triliun pada 2013.
Ini peningkatan terbesar sepanjang sejarah APBN untuk sektor pertahanan sejak 10 tahun terakhir. Pada 1980-an, postur TNI pernah menjadi paling menonjol di ASEAN namun kini tidak lagi dari beberapa sisi.
Akan tetapi, secara akumulatif, dana negara di sektor pertahanan ini telah Rp 440,94 triliun pada 2004 sampai 2013.
Dalam buku yang disunting Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Sosial, Sardan Marbun, itu disebutkan, modernisasi arsenal TNI semata-mata untuk menjaga kedaulatan Indonesia serta menjaga keamanan regional maupun kawasan Asia Tenggara dan sekitarnya.(Metro TV dan Antara) JKGR.

Wamenhan: Tank Leopard Sangat Penting


Wamenhan berbincang dengan pihak Rheinmetall Jerman (detik.com)
Wamenhan Sjafrie Sjamsoeddin berbincang dengan pihak Rheinmetall Jerman (detik.com)

Pemerintah telah memutuskan pengadaan 180 unit tank Leopard dan Marder buatan Rheinmetall Jerman untuk modernisasi alutsista Indonesia. Wakil Menteri Pertahanan (Wamenhan) Sjafrie Sjamsoeddin menegaskan, kehadiran Leopard sangat penting untuk Indonesia, terutama untuk tugas operasi militer perang.
“Jadi, tank Leopard adalah bagian kekuatan TNI dalam rangka pertahanan militer untuk tugas melakukan operasi militer perang. Misi TNI itu ada dua, operasi militer perang dan operasi militer non perang. Alustista strategis seperti Leopard, kapal selam, dan pesawat tempur F16 digunakan untuk operasi militer perang dalam menghadapi operasi lawan, bukan digunakan untuk kebutuhan non militery operation,” tegas Sjafrie.
Penegasan Sjafrie ini disampaikan dalam jumpa pers seusai penyerahan simbolis Leopard dan Marder tahap pertama di pabrik Rheinmetall, Unterluss, Jerman, Senin (23/6/2014). Sjafrie yang didampingi Dubes RI untuk Jerman Fauzi Bowo dan para delegasi Indonesia menanggapi polemik mengenai Leopard yang kembali muncul di dalam negeri setelah tank berjenis main battle tank ini dibahas dalam debat Capres hari Minggu (22/6/2014).
Rombongan Wakil Menteri Pertahanan RI, tinjau tank Leopard di Jerman (detik.com)
Rombongan Wakil Menteri Pertahanan RI, tinjau tank Leopard di Jerman (detik.com)

Sebagaimana diketahui, dalam debat itu capres nomor urut 2 Joko Widodo (Jokowi) tidak setuju dengan pengadaan Leopard karena tank ini tidak sesuai kondisi jalan dan jembatan di Indonesia. Menurut Jokowi, bobot tank seberat 62 ton itu bisa merusak infrastruktur jalan di Indonesia.
Sjafrie menjelaskan banyak kelebihan yang diperoleh Indonesia setelah memiliki Leopard. “Kita bisa menunjukkan keunggulan operasional dalam menghadapi operasi militer perang dan menghadapi operasi non perang. Inilah fungsi alutsista strategis dalam operasi militer perang,” tegas Sjafrie.
Menurut dia, salah satu persyaratan negara kuat, harus mampu mempunyai peralatan operasi militer perang. “Sebagaimana kita ketahui, suatu negara memiliki kewajiban peralatan pertahanan yang kuat, bukan untuk ofensif, tapi merupakan suatu bagian daripada atribut bangsa dan negara untuk menjaga kedaulatan, keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa, menghadapi lawan dalam operasi militer,” tegas jenderal purnawirawan bintang tiga ini.
Dengan demikian, kata Sjafrie, pesanan 180 unit Leopard dan Marder ini merupakan wujud modernisasi peralatan militer Indonesia dalam membangun kemampuan pertahanan untuk mendukung terjaganya kedaulatan RI. “Ini merupakan salah satu bagian kecil dari sejumlah modernisasi yang dilakukan, baik dari alutsista yang diproduksi dalam negeri maupun luar negeri untuk memperkuat kekuatan militer kira, sehingga kekuatan militer kita memenuhi kebutuhan bangsa dan negara untuk memangun suatu negara kuat. Inilah wujud dari dedikasi sistem pertahanan negara kepada bangsa dan negara,” ujar dia.
Karena itu, Sjafrie memastikan bahwa pengadaan Leopard akan terus dilakukan pemerintah Indonesia hingga tuntas. Proses pengadaan Leopard dan Marder ini akan selesai pada 2016. (detik.com). JKGR.