Selasa, 10 Juni 2014

Perbedaan UAV Predator dan Reaper


Apa bedanya pesawat UAV Predator dan Reaper?

Pesawat MQ-1 Predator dan MQ-9 Reaper adalah pesawat tempur tanpa awak (UAV) yang berfungsi banyak, mulai dari pengintaian sampai melakukan serangan udara dengan dikendalikan jarak jauh. Predator adalah UAV yang dirancang dan dibangun oleh General Atomics Corporation di San Diego, California. Pada saat diperkenalkan pada tahun 1995, kemampuan teknologi dan peran Predator masih terbatas pada pengawasan dan misi intelijen untuk Central Intelligence Agency (CIA).

Sejak tahun 2001, misi Predator milik AU AS berkembang menjadi misi  menyerang "Buru dan Bunuh". Predator menjadi wahana tak berawak tempur utama di Irak, Afghanistan dan Pakistan.

MQ-9 Reaper merupakan konsep UAV tempur yang berevolusi dari varian  Predator B. Pada saat Reaper pertama kali diluncurkan oleh General Atomics pada tahun 2001, penampilannya sudah berbeda dengan spesifikasi desain asli Predator sehingga pada dasarnya Reaper adalah UAV yang sama sekali berbeda. MQ-9 lebih berat dan lebih ampuh dibandingkan Predator. Meskipun demikian masih tetap bisa dikendalikan dengan sistem pengendali lama untuk Predator.

Kedua jenis ini UAV memiliki ketinggian operasional normal 25.000 kaki tapi Reaper mampu mencapai ketinggian operasional maksimum 50.000 kaki. Predator dilengkapi dua rak senjata dan dapat membawa kombinasi dua rudal Hellfire, empat rudal Stinger kecil dan enam rudal udara-ke-udara Griffin. Sedangkan Reaper memiliki tujuh rak senjata dan dapat membawa kombinasi senjata hingga 14 rudal Hellfire, dua bom panduan laser Paveway 500 pon dan dua bom JDAM 500 pon.

Tahun 2008, Wing Tempur 174 New York Air National Guard mulai melakukan transisi dari menerbangkan pesawat tempur F-16 menjadi menerbangkan MQ-9 Reaper. Ini adalah pertama kalinya konversi skadron tempur berawak ke pesawat tempur tanpa awak. Tahun 2011 AU AS juga mulai melatih lebih banyak pilot UAV daripada menerbangkan sistem senjata udara lainnya. 
(Letkol PNB Agung "Sharky" Sasongkojati)

Kisah Heroik Skadron Hercules TNI AU Redakan Asap Riau



Bencana kabut asap Riau bak drama seri yang kasusnya selalu berulang setiap tahun. Pengerahan pesawat C-130 Hercules “Sang Penjelajah” dalam  menangani bencana asap melalui penerapan TMC terbukti ampuh dan efektif.

Asap yang memenyelimuti kawasan Sumatera, khususnya wilayah Provinsi Riau  awal tahun ini kembali menjadi  masalah nasional.  Sebaran  asap akibat pembakaran hutan dan lahan gambut di bumi “Lancang kuning” itu, tak ubahnya sebuah “drama seri” yang selalu terjadi berulang setiap tahun. Tidak terkecuali tahun 2014, dimana hampir dua bulan (Februari – Maret) masyarakat Riau dan sekitarnya harus hidup dalam kepekatan asap, yang tidak saja mengganggu aktivitas, tetapi juga mengancam kesehatan. Demikian juga penerbangan di Bandara Sultan Sarif Kasim II maupun Lanud Roesmin Nurjadin, Pekanbaru sempat terganggu beberapa hari.  

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam kesempatan memimpin rapat kabinet telah menyatakan kabut dan asap Riau sebagai bencana nasional, sehingga perlu diambil langkah-langkap terpadu secara cepat dan tepat untuk mengatasinya. Salah satu penanganannya dilakukan melalui jalur udara, dimana BNPB dan TNI telah ditunjuk sebagai institusi eksekutor penanggulangan bencana asap.  Upaya pemadaman titik api lewat udara, tentunya bukan pekerjaan mudah, selain  banyaknya titik api dan  luasnya wilayah sebaran asap  yang begitu pekat di hampir seluruh  Provinsi Riau, keterbatasan sarana dukungan udara yang berkemampuan water bombing maupun rekayasa cuaca  juga perlu pemikiran bersama. 

Untuk mendukung kebijakan penanganan asap Riau, Markas Besar TNI AU mengerahkan sedikitnya delapan pesawat angkut berat C-130 Hercules dan satu C212.  Tidak  tanggung-tanggung, dua skadron Hercules TNI AU (Skadud 31 Halim Perdanakusuma Jakarta & Skadud 32 Abdulrachman Saleh Malang), digerakan baik untuk dukungan pergeseran pasukan Pemadaman Kebakaran (Damkar) maupun mendukung misi Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC). 


Pada misi dukungan TMC, keberadaan pesawat C-130 Hercules ternyata sangat efektif dalam membantu meredam bencana asap di wilayah Riau.  Hal ini terbukti, setelah misi TMC berlangsung, titik api maupun volume sebaran asap di Riau terus berkurang secara signifikan. Pesawat Hercules tanpa kenal lelah melaksakan misi menyebar/menyemai garam (NaCl) dan sangat membantu turunnya hujan di wilayah Provinsi Riau.

Selain berpengalaman dalam berbagai medan penugasan, seperti pemadaman asap di wilayah Kalimantan dan modifikasi cuaca melalui TMC untuk mengatasi banjir di wilayah DKI Jakarta beberapa waktu lalu. Hercules TNI AU  memang terkenal tangguh dalam urusan angkutan dan dukungan udara, khususnya yang terkait dengan penanggulangan musibah bencana alam. Bahkan ketika Lanud Roesmin Nurjadin dinyatakan close karena asap, C-130 TNI AU menjadi satu-satunya  pesawat yang dapat mendarat dengan mulus menembus pekatnya asap yang menutupi seluruh runway Lanud Roesmin Nurjadin.   

“Saya kipasi dulu Bang”
Menyinggung soal pendaratan C-130 Hercules tersebut, ada sedikit cerita heroik.  Ketika rombongan Panglima TNI terbang menggunakan pesawat B737 A-7305 dari Skadron Udara 17  untuk meninjau situasi Riau,  Mayor Pnb Noto Cahnoto selaku pilot in command menyatakan pesawat tidak dapat masuk (mendarat) karena asap demikian tebal, dimana visibility sangat pendek.  Dalam situasi tersebut, awak pesawat Boeing kemudian melakukan komunikasi dengan penerbang C-130 Hercules A-1327 Mayor Pnb Puguh Yulianto yang juga sedang dalam penerbangan dari Lanud Halim Perdanakusuma Jakarta menuju Lanud Roesmin Nurjadin membawa pasukan Damkar.  

Melalui perhitungan yang cermat, awak C-130 A-1327 memutuskan untuk mencoba melakukan pendaratan di Lanud Roesmin Nurjadin, meskipun dalam kondisi visibility below minima.  Penggalan kalimat  pembicaraan antara penerbang C-130 Hercules A-1327 (Mayor Pnb Puguh Yuliato) dengan penerbang Boeing B737 A-3705 (Mayor Pnb Noto Cahnoto) mengisyaratkan adanya kepercayaan tinggi, kalau C-130 Hercules A-1327 mampu menembus tebalnya asap Pekanbaru.  

“....Roger... A-1327 on final,  biar saya kipasi dulu Bang asapnya  supaya langit Pekanbaru bersih..,” demikian penggalan kalimat  Mayor Pnb Puguh Yulianto selaku pilot in command  A-1327 sedikit mencairkan ketegangan dalam komunikasinya dengan pesawat B737 A-3705 yang diterbangkan oleh Mayor Pnb Noto Cahnoto.  

Selang beberapa waktu, B737 A-1327 berhasil mendarat mulus di Lanud Roesmin Nurjadin diikuti  B737 A-7305 serta enam pesawat C-130 yang membawa ratusan prajurit TNI pasukan Damkar. Ini menjadi salah satu bukti profesionalisme awak C-130 yang begitu prima, meskipun dihadapkan dengan kondisi visibility below minima.

Salah satu pelaku (yang waktu itu masih menjadi Komandan Skadron Udara 31)  Letkol Pnb Adrian P. Damanik beserta beberapa kru C-130 lainnya yang diwawancarai menyatakan rasa bangganya dapat melaksanakan dan menyelesaiakan misi kemanusiaan  di Riau secara tuntas. Menurut mereka kiprah yang dijalankan “Rajawali Sang Penjelajah” (sapaan akrap untuk pesawat C-130 Hercules TNI AU--Red) begitu heroik.   

Beragam aktivitas dan misi yang dilaksanakan, mulai dari soal menyiapkan pesawat beserta awaknya dalam waktu sangat singkat untuk memberangkatkan ribuan prajurit TNI sebagai pasukan Damkar, memodifikasi pesawat untuk pemasangan peralatan console hingga pelaksanaan TMC, memberikan makna pengabdian yang tak terlukiskan dengan kata-kata.

                “Kami merasakan suatu kebanggaan tersendiri dipercaya untuk mengemban misi nasional tersebut, dan kami laksanakan tugas itu dengan kesadaran dan tanggung jawab tinggi” kenang Letkol Pnb Adrian P Damanik.

                Menurut Alumnus AAU tahun 1995 yang kelahiran Pematang Siantar Sumatera Utara ini, sudah menjadi kebiasaan satuan yang dipimpinnya (Skadron Udara 31) selalu memonitor perkembangan situasi, baik di dalam maupun di luar negeri, bila sedang terjadi musibah bencana. Kewaspadaan tersebut, biasanya diwujudkan dengan menyiapkan pesawat dan awaknya yang standby on call setiap saat. Sehinggga ketika kondisi asap di Riau tidak kunjung membaik, segenap awak Skadron Udara 31 Lanud Halim Perdanakusuma, terus meningkatkan kewaspadaan dan siap digerakan setiap saat.  

Ribuan ton garam   
         Meskipun kesiapan pesawat dan awaknya terpenuhi, bukan berarti pelaksanaan misi dapat segera berjalan. Terkait dengan misi yang harus diemban C-130, khususnya dalam  aplikasi TMC,  maka   segala sarana dan prasarana pendukung TMC harus dipersiapkan, dengan terlebih dahulu memasang peralatan Console.  Peralatan ini menjadi kunci berhasil tidaknya proses penyemaian butiran garam, yang sekaligus juga merupakan kunci berhasil tidaknya proses mempercepat awan menjadi hujan. Khusus misi TMC,  dijalankan oleh pesawat Hercules A-1328, yang memang telah mengalami modifikasi pada bagian ramp door pesawat .

                “Begitu mendapat perintah, saya segera berkoordinasi dengan Dansathar 15 Letkol Tek M. Riswanto untuk pemasangan console peralatan TMC yang berada di Sathar 15, di Lanud Husein Sastranegara Bandung, mengingat tanpa peralatan ini proses TMC tidak akan optimal,”  kata Letkol Pnb Adrian P. Damanik.

                Setelah proses pemasangan console dan serangkaian uji dinamis selesai, kesiapan pesawat mendapat peninjauan dari BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) maupun pejabat TNI. Esoknya,  menjelang subuh pesawat C-130 A-1328 yang sudah di-setting dengan peralatan untuk TMC, berangkat menuju Lanud Rusmin Noerjadin.     

                Peralatan Console yang terpasang merupakan hasil desain dari Depohar 10,  berupa peralatan mekanisasi seeding dan modifikasi ramp door pada pesawat C-130. Console ini berbentuk tangki yang diletakkan dalam satu konstruksi rangka yang dilengkapi dengan roda. Setiap Console berisi tiga tangki dimana kapasitas setiap tangki sekira 850 kg. Dengan sistem consoleTMC ini, sebaran bubuk garam di dalam kabin pesawat dapat diminimalisir dan ancaman korosi pada pesawat Hercules dapat dicegah, karena Console TMC dirancang bekerja dengan kondisi pressurized sistem.  

                Dengan peralatan baru ini terbukti misi TMC lebih efektif dibanding peralatan sebelumnya. Pada penggunaan console yang lama, proses penaburan garam  hanya dapat melalui pintu samping (paratroop door) sehingga proses penaburan sering membuat garam bertebaran sampai ke bagian dalam pesawat. Kondisi ini memaksa awak pesawat C-130 yang mengoperasikan console harus berjibaku dengan garam yang bertebaran hingga dalam kabin yang terasa tidak nyaman.

Visibility below minima
                Dalam urusan misi TMC, Penerbang dan Navigator Skadron Udara 31 memiliki kemampuan yang tinggi, seperti mampu menganalisa bentuk awan yang berpotensi untuk menjadi hujan terutama di atas wilayah yang terjadi kebakaran lahan. Selain itu mampu melaksanakan terbang instrumen dengan baik mengingat visibilty (jarak pandang) di wilayah Pekanbaru termasuk di Lanud Roesmin Nurjadin sebagai pangkalan aju sangat terbatas (below minima). Untuk mengatur rate of flow dari bahan semai yang akan ditabur juga perlu keahlian khusus mengaturnya supaya dihasilkan penaburan yang effektif. Selain itu crew mampu melaksanakan perbaikan terhadap pesawat apabila mengalami kendala teknis. (Letkol Sus Sonaji Wibowo)


Perlukah Air Marshal?


           
Keberadaan air marshal kembali diungkapkan dalam pertemuan tentang Keamanan Penerbangan di ICAO. Akankah Indonesia mengadopsi sistem keamanan yang satu ini?

            Setelah lebih dari sepuluh tahun, keberadaan petugas keamanan di atas pesawat terbang kembali  diperbincangkan lagi. Petugas keamanan atau yang biasa disebut air marshal atau sky marshal sebenarnya sudah dicanangkan oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional  (ICAO) pada Protocol Tokyo 1963. Tugasnya menangani keamanan di pesawat pada saat terbang, terutama di kawasan udara internasional yang tidak dipengaruhi hukum negara manapun.

Akibat 9-11
            Seiring waktu, keberadaan air marshal meredup. Keberadaan air marshal kembali mengemuka setelah terjadi peristiwa pembajakan beberapa pesawat di AS secara serempak pada 11 September 2001. Pada peristiwa yang terkenal dengan sebutan 9-11 itu, pesawat terbang dijadikan senjata mematikan untuk menggempur obyek-obyek penting di darat sehingga menimbulkan ribuan korban jiwa.

            Pasca peristiwa itu, kemanan penerbangan diperketat. Bahkan pada hal-hal yang kecil yang sebelumnya tidak terpikirkan. Misalnya saja alat-alat makan seperti sendok, garpu, pisau roti yang sebelumnya dari logam, diganti dengan perangkat dari plastik. Hal ini untuk mengantisipasi alat-alat logam tersebut dijadikan senjata untuk melakukan kejahatan.

Seorang petugas keamanan di pesawat terbang pun disiagakan. Terutama di beberapa negara yang merasa menjadi target teror seperti AS dan beberapa negara Eropa seperti Perancis dan Inggris Raya.

            Sayangnya pada waktu itu keberadaan air marshal mendapat tentangan oleh beberapa negara dan beberapa maskapai. Sekretaris Jenderal Brirish Air Line Pilots Association (BALPA), Jim McAuslan meyatakan beberapa negara di Eropa justru menolak keberadaan air marshal karena dianggap terlalu mahal. “Orang Amerika menganggap air marshal bagus untuk masa depan, tapi banyak dari kita di Eropa menganggapnya tidak relevan,” ujarnya. (Aviation Today, 12 Januari 2004).

            Keberadaan air marshal tersebut dianggap terlalu mahal. Terutama jika dibanding dengan misalnya investasi untuk penggunaan bahan  tahan peluru  pada pintu yang menghubungkan kokpit dan kabin.

            Untuk memasang satu pintu tersebut diperlukan biaya sekira 20.000- 40.000 dolar AS, tergantung ukuran pintunya.  Pintu tersebut bisa dipakai bertahun-tahun. Bandingkan dengan gaji satu air marshal per tahun yang mencapai 55.000 dolar AS. Selain itu, keberadaan air marshal berarti juga mengurangi pendapatan dari satu kursi penumpang. Jika diasumsikan satu tiket penerbangan harganya 400 dolar AS dan air marshal terbang 30 kali per tahun, maka pendapatan yang hilang mencapai 12.000 dolar AS.

            Selain itu juga ada biaya untuk pelatihan ulang, terutama koordinasi,  terhadap kru penerbangan terkait keberadaan air marshal di dalam pesawat terbang.

            Di sisi lain, maskapai juga meminta keamanan di bandara diperketat. Baik itu yang terkait orang dengan barang bawaannya serta kargo. Alat-alat pendeteksi barang berbahaya harus  disiagakan dan digunakan di bandara-bandara terutama yan berlabel internasional. Para penumpang juga diberi peringatan untuk tidak membawa benda-benda tajam dari logam serta benda-benda berbentuk liquids (cair), gels (jelly) dan aerosols.

            Seiring berjalannya waktu, ada atau tidaknya air marshal tidak dipermasalahkan lagi. “Hal ini karena kalau dihitung rate-nya, peristiwa pembajakan pesawat sangat kecil. Dibanding peristiwa penerbangan pesawat sehari-hari yang berjumlah jutaan,” ujar  Direktur Quality, Safety and Security Sriwijaya Air Capt. DR. Toto Soebandoro.

            Menurut Toto, karena keamanan penerbangan dianggap sudah tinggi levelnya, beberapa hal yang dulu dihilangkan, sekarang mulai ada lagi. “Contohnya, sekarang sudah biasa ditemui lagi alat-alat makan yang dari logam tersebut,” lanjutnya.

Di Indonesia
            Di Indonesia, keberadaan air marshal sampai saat ini memang belum terwujud. Paska peristiwa 9-11, bisnis penerbangan di Indonesia justru naik pesat. Indonesia kebanjiran pesawat-pesawat dari AS dan Eropa yang kondisi bisnis penerbangannya sedang turun tajam.

            Terkait keamanan penerbangan, sempat hangat juga dibicarakan mengenai keberadaan air marshal. Namun pemerintah lebih memilih untuk mengantisipasi keamanan di darat. Pada 31 Maret 2007 dikeluarkan SKep Dirjen Perhubungan Udara, no. 43/III/2007 yang merujuk pada surat ICAO no. AS-8/11-06/100 tanggal 1 Desember 2006 tentang Recommended Security Control Guidelines for Screening Liquids, Aerosols and Gels.

            Selain itu pemeriksaan barang bawaan penumpang juga diperiksa ketat di bandara. Terutama barang bawaan yang berbahan logam.
 

Skuadron F16 datang bertahap ke Pekanbaru

Skuadron F16 datang bertahap ke Pekanbaru
pesawat tempur F-16 TNI AU (ANTARA FOTO/Septianda Perdana)
 
Komandan Lapangan Udara (Danlanud) Angkatan Udara Republik Indonesia Roesmin Nurjamin Pekanbaru menyatakan, pesawat tempur Skuadron F16 sebanyak 16 unit akan datang bertahap ke daerah tersebut.

"Juni atau Juli empat unit F16 akan tiba di Madiun, setelah itu pada Oktober datang lagi empat unit dan diperkirakan November atau Desember, empat unit pertama akan berpangkalan di Pekanbaru," kata Danlanud Roesmin Nurjamin Kol Pnb Kahiril Lubis di Pekanbaru, Selasa.

Selanjutnya, kata dia, empat unit kedua akan datang juga pada awal tahun depan dan hingga akhir tahun 2015 sudah ada 16 unit akan berpangkalan di "Kota Bertuah", julukan Kota Pekanbaru.

Saat ini, tambahnya, Roesmin Noerjamin sedang proses untuk menjadikan landasan dari tipe B ke tipe A dan perkembangannya saat ini tengah dibangun hanggar dan shelter pesawat.

Lalu ketika empat pesawat pertama datang ke Pekanbaru tiba, lanjutnya, akan ada proses penyambutan sekaligus persmian pesawat.

"Biasanya proses peresmian dilakukan dengan penyambutan," ungkapnya.

TNI AU mendatangkan F-16 Fighting Falcon blok 25 bekas Perang Irak, yang direncanakan akan ditingkatkan kapasitasnya (upgrade) ke blok 52+.

Meskipun hibah dari Amerika Serikat, pemerintah tetap mengeluarkan biaya untuk upgrade dengan total sekitar 400 juta dolar AS memakai skema pembayaran foreign military sales.

Senin, 09 Juni 2014

Maneuvre Your Dream and Sound Of Freedom

Disaat tengah asyik bekerja sembari ditemani secangkir kopi, tiba-tiba pesan masuk lewat jaringan internet. Pesan itu berupa gambar MBT Leopard pesanan Pemerintah RI yang tengah belajar berlari serta menerkam. "Maneuvre Your Dream and Sound Of Freedom, tolong dikasih judul demikian", demikian tambahan dari pesan singkat itu.

(kredit foto: Mns Ilham Aira)

Jauh di Jerman sana, kawan ARC tengah berjibaku berlatih menjinakan sang Macan. Tidak banyak yang dapat ARC ceritakan mengenai pelatihan di Jerman itu. Gambar yang ada pun tidak bisa semua dipublikasi. Namun demikian, yakinlah Prajurit muda kavaleri berusaha sekuat tenaga menundukan sang Macan.

ARC.

KRI Sampari 628: Generasi Pertama KCR 60 TNI AL

e0f2a-kcr-60-bumn-18122013-1819
Mengingat luasnya wilayah lautan Indonesia dengan ribuan pulaunya, adalah wajar bila TNI AL menjadi jawara pemilik armada kapal cepat terbesar di Asia Tenggara. Melengkapi jumlah dan kualitas yang ada, Satuan Kapal Cepat (Satkat) TNI AL kembali kedatangan ‘warga’ baru, yakni dari jenis KCR (Kapal Cepat Rudal) 60. Yang dimaksud adalah KRI Sampari 628 dan KRI Tombak 629, dan bakal menyusul kemudian KRI Halasan 630, ketiganya dibuat oleh industri Dalam Negeri, PT. PAL di Surabaya.
Sesuai dengan rencana strategis yang telah dicanangkan dalam MEF (Minimium Essential Force), belakangan ini frekuensi kemunculan nama-nama KRI baru di kelas kapal cepat dan kapal patroli begitu sering terdengar. Belum lama berselang, TNI AL menerima KCR 40, yaitu KRI Clurit 641, KRI Kujang 642, KRI Beladau 643, dan KRI Alamang 644. Keempatnya dibuat oleh galangan PT. Palindo Marine di Batam. Dan, melengkapi stugas Satuan Kapal Cepat, dikembangkan pula KCR 60 yang punya spesifikasi lebih tinggi dari KCR 40. Meski bila diperhatikan, baik KCR 40 dan KCR 60, punya rancangan desain yang tak jauh beda, yakni mengunggulkan lambung berdesain stealth, bahkan kapal generasi anyar ini punya tampilan anjungan model streamline, mirip dengan korvet SIGMA Class.
Menilik spesifikasi yang telah dikupas di berbagai pemberitaan KCR 60 yang kemunculan perdananya diwakili KRI Sampari 628, punyai panjang keseluruhan 60 meter dan berbot total 460 ton. Sebagai kapal cepat, KRI Sampari disokong 2 mesin diesel yang masing-masing punya kekuatan 2880 KW. Dari mesin tersebut, dapat dicapai kecepatan maksimum 28 knot, kecepatan jelajah 20 knot, dan kecepatan ekonomis 15 knot. Dengan jumlah awak 55 personel, KRI Sampari dirancang untuk mampu berlayar terus menerus selama 9 hari. Jarak jelajahnya bisa mencapai 2.400 nautical mile pada kecepatan 20 knot.
24796_large
24794_large
KRI Sampari dengan latar frigat Van Speijk.
KRI Sampari dengan latar frigat Van Speijk.

Bicara tentang persenjataan, platform KCR 60 dirancang untuk bisa membawa empat peluncur rudal C-705, dimana masing-masing dua peluncur menghadap arah yang berlawanan. Inilah yang membedakan antara KCR 40 dan KCR 60, bila KCR 40 hanya disiapkan untuk membawa dua peluncur rudal anti kapal C-705. Hanya saja, dalam peluncurannya, nampak KRI Sampari baru dipasang dua peluncur rudal. Senjata lain yang jadi andalan adalah meriam reaksi cepat kaliber 57 mm pada sisi haluan. Kemudiam ada bekal kanon PSU (Penangkis Serangan Udara) kaliber 20 mm. Untuk menangkal serangan udara, kapal ini juga dibekali 2 decoy launcher. Untuk penempatan, KRI Sampari akan memperkuat Satkat Armada Timur (Armatim), sesuai dengan medan yang dihadapi, kapal ini dirancang untuk berlayar di kondisi cuaca lautan level Sea Stage 6.

Downgrade dan Upgrade Senjata di Haluan
Hal lain yang menarik dari KRI Sampari terletak dari elemen senjata. Bila seharusnya senjata pada haluan adalah meriam kaliber 57 mm, maka yang terlihat dalam foto adalah meriam Bofors 40 mm L/70. Adopsi meriam ‘lawas’ dengan kubah ini jelas terasa timpang dengan desain kapal yang futuristik. Dari sisi daya getar, penggunaan Bofors 40 mm ini jelas kurang member efek getar, apalagi meriam ini pengoperasiannya masih manual. Bila boleh menerka, besar kemungkinan Bofors 40 mm pada KRI Sampari adalah bekas lungsuran dari KRI Teluk Semangka 512, yakni jenis LST (landing ship tank) buatan Korea Selatan yang telah dipensiunkan oleh TNI AL.
Pemasangan Bofors 40 mm pada KCR 60.
Pemasangan Bofors 40 mm pada KCR 60.
Visual KCR 60 dengan meriam Bofors 57 mm.
Visual KCR 60 dengan meriam Bofors 57 mm.
brtj
Tapi jangan berkecil hati dulu, sebab ada kabar bahwa Bofors 40 mm L/70 di KCR 60 hanya bersifat sementara. Besar kemungkinan, bila melihat pada tampilan mock up desain, yang bakal dipasang nantinya minimal adalah meriam reaksi cepat jenis Bofors 57 mm MK.2, atau bisa jadi tipe MK.3. Bagi TNI AL sendiri, penggunaan Bofors 57 mm MK.2 sudah bukan hal baru, pasalnya armada KCR/KCT (Kapal Cepat Torpedo) FPB-57 memang mengandalkan meriam buatan Swedia ini pada haluannya. Bila nantinya meriam ini yang dipasang, selain efek getarnya cukup dahsyat, juga rancangan desain kubahnya menjadi sangat pas dan menyatu dengan kontur desain kapal secara keseluruhan.
Soal downgrade dan upgrade senjata sebelumnya sudah terjadi pada KCR 40, tepatnya pada KRI Clurit 641 dan KRI Kujang 642. Dalam platform standar yang dipresentasikan, senjata haluan kapal ini memang dirancang untuk mengadopsi jenis kanon CIWS (Close in Weapon System), tapi nyatanya dalam peluncuran perdananya, senjata kedua kapal tampil downgrade dengan kanon Vektor G12 kaliber 20 mm buatan Afrika Selatan. Baru kemudian, secara mengejutkan kedua kapal cepat ini terlihat sudah di upgrade dengan mengadopsi kanon CIWS AK-630M.
kcr60e
KRI Alamang 644, dengan peluncur rudal C-705.
KRI Alamang 644, dengan peluncur rudal C-705.
KCR 60 lebih menekankan untuk menghadapi sasaran permukaan dan udara.
KCR 60 lebih menekankan untuk menghadapi sasaran permukaan dan udara.
Penempatan sistem senjata baru, tentu juga terkait dengan elemen pada SEWACO (Sensor, Weapon and Command) sebagai sistem senjata terpadu kapal. Semisal bila menggunakan Bofors 57 mm MK.2, dibutuhkan perangkat pemandu tembakan jenis Lirod MK.2, secara meriam ini selain bisa dioperasikan manual, dapat pula dikendalikan secara otomatis.
Secara keseluruhan, Kementerian Pertahanan RI telah memesan 16 KCR 60 dan 16 unit KCR 40. Rencananya, seluruh pesanan KCR ini rampung dibangun pada tahun 2024. Menteri Pertahanan mengatakan dengan kemampuan yang dimiliki KCR, alutsista TNI Angkatan Laut tak bisa disepelekan lagi. Apalagi masing-masing KCR dilengkapi dengan empat rudal seri C-705 dan C-802 yang memiliki daya jelajah hingga 140 kilometer.
Jika kelak TNI AL memiliki 32 KCR, maka pertahanan laut sudah tidak lagi diragukan. “Kalau kita sudah lengkap 32 KCR dan masing-masing KCR berisi 4 rudal dengan daya jelajah 140 Km, kita pasti sangat digdaya di laut,” ujar Purnomo Yusgiantoro. Semoga saja semua dapat berjalan sesuai rencana, sembari terus memberdayakan kemandirian industri alutsista di Dalam Negeri.
Nama KRI Sampari 628 diambil dari nama sebuah senjata di Bima, Sumbawa. Sampari selain dari sebagai senjata untuk penunjang aktivitas juga sebagai simbol harga diri, keperkasaan, keuletan dan keberanian seorang ksatria yang berani menghadapi segala cobaan dan masalah. (Bayu Pamungkas)

Spesifikasi KRI Sampari 628 KCR 60
Panjang keseluruhan : 60 meter
Panjang garis air : 54,82 meter
Lebar : 8,10 meter
Tinggi pada tengah kapal : 4,85 meter
Berat muatan penuh : 460 ton
Kecepatan : ekonomis 15 Knot, Jelajah 20 Knot dan max 28 Knot.
Jumlah awak : 55
Ketahanan berlayar : 9 Hari
Jarak jelajah : 2.400 nautical mile (setara 4.444 km) pada kecepatan 20 knot
Mesin pendorong : 2 x 2880 KW

TNI Tembak Mati Komandan OPM di Puncak Jaya


Anggota TNI Batalyon Infanteri 751/Vira Jaya Sakti Kodam XVII/Trikora menembak mati komandan Organisasi Papua Merdeka di Tingginambut, Puncak Jaya, Papua, Sabtu (7/6/2014).

"Komandan OPM yang tewas diketahui atas nama Timika Wonda," ujar Kapuspen TNI Mayjen TNI M Fuad Basya melalui siaran pers kepada Kompas.com, pada Sabtu malam.

Menurut catatan TNI, dia adalah salah satu komandan gerakan pengacau keamanan yang kerap meneror masyarakat, TNI dan Polri di seputar Puncak Jaya.

Fuad, masih dalam siaran persnya mengaku, penembakan tersebut terjadi pada Sabtu pukul 05.00 WIT, ketika para prajurit TNI tengah melaksanakan patroli di sekitar lokasi penembakan.

Belum ada penjelasan lagi dari Puspen TNI soal di mana jenazah Wonda disemayamkan serta apa imbas sosial penembakan komandan OPM tersebut.

Kelompok sipil bersenjata OPM di Papua merupakan kelompok Tentara Pembebasan Nasional-Organisasi Papua Merdeka(TPN-OPM) yang selalu mengganggu keamanan di wilayah Puncak Jaya. Mereka sering melakukan penembakan ke pihak keamanan serta penyerangan ke pihak anggota TNI maupun Polri yang sedang bertugas di Puncak Jaya.

Sumber : KOMPAS