Keberadaan air marshal kembali diungkapkan dalam pertemuan tentang Keamanan Penerbangan di ICAO. Akankah Indonesia mengadopsi sistem keamanan yang satu ini?
Setelah lebih dari sepuluh tahun, keberadaan petugas
keamanan di atas pesawat terbang kembali diperbincangkan lagi. Petugas
keamanan atau yang biasa disebut air marshal atau sky marshal
sebenarnya sudah dicanangkan oleh Organisasi Penerbangan Sipil
Internasional (ICAO) pada Protocol Tokyo 1963. Tugasnya menangani
keamanan di pesawat pada saat terbang, terutama di kawasan udara
internasional yang tidak dipengaruhi hukum negara manapun.
Akibat 9-11
Seiring waktu, keberadaan air marshal meredup. Keberadaan air marshal
kembali mengemuka setelah terjadi peristiwa pembajakan beberapa pesawat
di AS secara serempak pada 11 September 2001. Pada peristiwa yang
terkenal dengan sebutan 9-11 itu, pesawat terbang dijadikan senjata
mematikan untuk menggempur obyek-obyek penting di darat sehingga
menimbulkan ribuan korban jiwa.
Pasca peristiwa itu, kemanan penerbangan diperketat.
Bahkan pada hal-hal yang kecil yang sebelumnya tidak terpikirkan.
Misalnya saja alat-alat makan seperti sendok, garpu, pisau roti yang
sebelumnya dari logam, diganti dengan perangkat dari plastik. Hal ini
untuk mengantisipasi alat-alat logam tersebut dijadikan senjata untuk
melakukan kejahatan.
Seorang petugas keamanan di pesawat terbang pun disiagakan. Terutama
di beberapa negara yang merasa menjadi target teror seperti AS dan
beberapa negara Eropa seperti Perancis dan Inggris Raya.
Sayangnya pada waktu itu keberadaan air marshal
mendapat tentangan oleh beberapa negara dan beberapa maskapai.
Sekretaris Jenderal Brirish Air Line Pilots Association (BALPA), Jim
McAuslan meyatakan beberapa negara di Eropa justru menolak keberadaan air marshal karena dianggap terlalu mahal. “Orang Amerika menganggap air marshal bagus untuk masa depan, tapi banyak dari kita di Eropa menganggapnya tidak relevan,” ujarnya. (Aviation Today, 12 Januari 2004).
Keberadaan air marshal tersebut dianggap terlalu
mahal. Terutama jika dibanding dengan misalnya investasi untuk
penggunaan bahan tahan peluru pada pintu yang menghubungkan kokpit dan
kabin.
Untuk memasang satu pintu tersebut diperlukan biaya
sekira 20.000- 40.000 dolar AS, tergantung ukuran pintunya. Pintu
tersebut bisa dipakai bertahun-tahun. Bandingkan dengan gaji satu air marshal per tahun yang mencapai 55.000 dolar AS. Selain itu, keberadaan air marshal
berarti juga mengurangi pendapatan dari satu kursi penumpang. Jika
diasumsikan satu tiket penerbangan harganya 400 dolar AS dan air marshal terbang 30 kali per tahun, maka pendapatan yang hilang mencapai 12.000 dolar AS.
Selain itu juga ada biaya untuk pelatihan ulang, terutama koordinasi, terhadap kru penerbangan terkait keberadaan air marshal di dalam pesawat terbang.
Di sisi lain, maskapai juga meminta keamanan di bandara
diperketat. Baik itu yang terkait orang dengan barang bawaannya serta
kargo. Alat-alat pendeteksi barang berbahaya harus disiagakan dan
digunakan di bandara-bandara terutama yan berlabel internasional. Para
penumpang juga diberi peringatan untuk tidak membawa benda-benda tajam
dari logam serta benda-benda berbentuk liquids (cair), gels (jelly) dan aerosols.
Seiring berjalannya waktu, ada atau tidaknya air marshal tidak dipermasalahkan lagi. “Hal ini karena kalau dihitung rate-nya,
peristiwa pembajakan pesawat sangat kecil. Dibanding peristiwa
penerbangan pesawat sehari-hari yang berjumlah jutaan,” ujar Direktur
Quality, Safety and Security Sriwijaya Air Capt. DR. Toto Soebandoro.
Menurut Toto, karena keamanan penerbangan dianggap sudah
tinggi levelnya, beberapa hal yang dulu dihilangkan, sekarang mulai ada
lagi. “Contohnya, sekarang sudah biasa ditemui lagi alat-alat makan yang
dari logam tersebut,” lanjutnya.
Di Indonesia
Di Indonesia, keberadaan air marshal sampai saat
ini memang belum terwujud. Paska peristiwa 9-11, bisnis penerbangan di
Indonesia justru naik pesat. Indonesia kebanjiran pesawat-pesawat dari
AS dan Eropa yang kondisi bisnis penerbangannya sedang turun tajam.
Terkait keamanan penerbangan, sempat hangat juga dibicarakan mengenai keberadaan air marshal.
Namun pemerintah lebih memilih untuk mengantisipasi keamanan di darat.
Pada 31 Maret 2007 dikeluarkan SKep Dirjen Perhubungan Udara, no.
43/III/2007 yang merujuk pada surat ICAO no. AS-8/11-06/100 tanggal 1
Desember 2006 tentang Recommended Security Control Guidelines for Screening Liquids, Aerosols and Gels.
Selain itu pemeriksaan barang bawaan penumpang juga
diperiksa ketat di bandara. Terutama barang bawaan yang berbahan logam.