Di negara negara demokratis pada
umumnya penangangan teroris yang terjadi di dalam negeri dilakukan oleh
unsur unsur non militer seperti kepolisian yang dibantu departemen
terkait. Karena memang rata-rata tindak terorisme lebih didekatkan ke
unsur pidana. Sama halnya negari kita, terorisme berdasarkan UU no 16/2003 tentang penanggulangan tindak pidana terorisme,
oleh karenanya lembaga yang dianggap berwenang menangani hal ini adalah
Polri. Tetapi karena terorisme juga tidak melulu membawa dampak korban
sipil yang tidak berdosa saja, amat mungkin keamanan nasional juga
menjadi taruhannya, banyak negara juga menyertakan militernya untuk
berperan aktif dalam penanggulangan terorisme. Oleh karena banyak negara
yang mengantisipasi hal ini dengan membentuk satuan anti teror yang
fleksibel yang berbasiskan kepolisian namun mempunyai kemampuan seperti
dimiliki militer yang biasa disebut sebagai paramiliter.
Contohnya Perancis memiliki Groupe
d’Internvention de la Gendarmerie Nationale (GIGN) dan Jerman dengan
Grenzschulzgruppe (GSG-9). GIGN meski dalam struktur organisasinya
dibawah militer, tetapi dalam beroperasi menggunakan aturan pada umumnya
kepolisian. Sedangkan GSG-9 jelas satuan ini berada di bawa kepolisian
federal Jerman. Namun, negara seperti Inggris menggunakan militernya
seperti SAS (Special Air Service) untuk menangani terorisme tetapi jelas
tidak berdiri sendiri tapi “in conjunction with” pihak kepolisian. Jadi
memang tampaknya institusi non-militer, atau tidak purely military yang
digerakkan duluan untuk penanggulangan teror yang terjadi.
Lalu dimanakah militer negeri kita
ditempatkan dalam upaya penanggulangan terorisme? Pemerintah kita tampak
lebih cenderung menempatkan pasukan anti teror milik TNI berada di
belakang Polri seperti yang tampak saat ini. Densus 88 menjadi leading
sector dalam operasi penanggulangan tindak terorisme di negeri ini.
Densus 88 sendiri lebih mirip seperti GIGN dan GSG-9 yang dicontohkan di
atas. Berbasis kepolisian dan dilatih serta dilengkapi untuk mampu
melakukan close quarters battle (CQB), atau pertempuran jarak dekat
melawan teroris bersenjata. Ada catatan saya dalam hal ini. Dalam
latihan gabungan TNI-Polri yang pernah saya ikuti, dua doktrin yang
berbeda dijadikan satu menangani suatu kasus terorisme bersama sama
dengan beban tanggungjawab yang dipikul sama mempunyai kelemahan. Lalu
dimana letak kelemahannya? Militer dan kepolisian di manapun di dunia
diciptakan berbeda doktrinnya. Militer adalah instrumen kekerasan milik
negara yang diberi otoritas untuk menggunakan senjata dalam
mempertahankan negara dari serangan militer negara lain. Itu adalah
hakekat universal, tapi tentu saja dalam perkembangannya militer
digunakan bukan melulu untuk mengatasi agresi militer negara lain.
Mengatasi bencana dan penanggulangan terorisme adalah bagian dari tugas
yang juga umum dilakukan militer dimanapun di dunia. Sedangkan
kepolisian pada umumnya didefinisikan bebas sebagai institusi penegakan
hukum, melindungi masyarakat di dalamnya serta menciptakan ketertiban.
Namun, juga dipersenjatai, tapi jelas senjata ini adalah dalam rangka
menegakkan hukum itu sendiri.
Dengan doktrin demikian maka
penggerakan satuan penanggulangan teror TNI adalah apabila derajat
ancamannya sudah sedemikian serius yang membahayakan keamanan nasional
secara umum. Oleh karena amat mungkin kelompok teroris yang melawan
dipastikan berakhir dengan kematian. Sebaliknya satuan anti teror milik
Polri diharapkan lebih ditujukan untuk melumpuhkan daripada mematikan
personil teroris. Satuan Gultor milik TNI dibekali senjata utama
sub-machine gun seperti Hk MP-5 kaliber 9mm untuk keperluan close
quarters battle (CQB). Sedangkan Densus 88 saat ini menggunakan senjata
M4A1, assault rifle sebagai kelengkapan utama disamping pistol semi
otomatik 9mm. Kaliber senapan serbu M4A1 ini 5,56 mm jelas tidak masuk
katagori sub-machine gun. Dalam hal daya bunuh M4A1 lebih besar dari
pada Hk MP5. Ini adalah terbalik, seharusnya satuan gultor Polri
menggunakan sub-machine gun sedangkan TNI bisa menggunakan sub-machine
gun dan assault rifle. Tergantung dengan jenis operasi yang dilakukan.
Menggunakan sub-machin gun apabila satuan Gultor TNI dioperasikan untuk
pembebasan sandera. Sub machine gun yang berkaliber 9 mm ini pada
umumnya tidak akan menembus tubuh sasaran sehingga tidak membahayakan
orang yang ada di baliknya. Dengan demikian kemungkinan kematian jiwa
karena ketidak sengajaan dapat diminimalisir. Dalam operasi pembebasan
sandera, keselamatan sandera adalah prioritas tertinggi yang harus
dicapai oleh satuan penindaknya.
Perbedaan doktrin ini juga yang
mendasari satuan penanggulangan teror yang berbasis kepolisian dilatih
bukan untuk membunuh tetapi melumpuhkan. Contoh pasukan khusus anti
teror milik Perancis, GIGN dilatih untuk menembak dengan senjata utama
sub machine gun dengan sasaran di bahu untuk melumpuhkan sasaran
teroris. Tujuannya memang diharapkan para begundal teroris ini masih
hidup dan dapat diseret ke pengadilan. Kalau akhirnya dijatuhi hukuman
mati pelakunya itu berdasarkan keputusan pengadilan. Sebaliknya satuan
Gultor TNI dilatih untuk mematikan. Oleh karena mereka di latih untuk
menggunakan senjatanya menembak di kepala, dengan cara double tap
(menembak cepat dua kali) untuk memastikan sasaran yang ditembak mati.
Jadi dalam konteks penanggulangan teror di negeri kita memang tampak ada ironi dalam kasus ini, TNI menggunakan standar submachine gun untuk CQB sedangkan Polri malah menggunakan assault rifle. Jadi semua tersangka teroris sudah bisa dipastikan mati secara extra judicial. Di luar keputusan pengadilan. Ini jelas tidak sejalan dengan apa yang tertuang dalam UU yang menyebutkan terorisme sebagai tindak pidana, yang semestinya para teroris dilumpuhkan kerena kesaksiannya diperlukan di pengadilan.
Mekanisme Penggerakan Militer yang Diharapkan
Jadi dalam konteks penanggulangan teror di negeri kita memang tampak ada ironi dalam kasus ini, TNI menggunakan standar submachine gun untuk CQB sedangkan Polri malah menggunakan assault rifle. Jadi semua tersangka teroris sudah bisa dipastikan mati secara extra judicial. Di luar keputusan pengadilan. Ini jelas tidak sejalan dengan apa yang tertuang dalam UU yang menyebutkan terorisme sebagai tindak pidana, yang semestinya para teroris dilumpuhkan kerena kesaksiannya diperlukan di pengadilan.
Mekanisme Penggerakan Militer yang Diharapkan
Lalu bagaimana mekanisme hubungan
antara militer dan Polri yang diharapkan dalam latihan gabungan anti
teror yang baru saja berlalu? Pengalaman saya pada saat membawa Sat-81
Gultor Kopassus beberapa tahun lalu (mudah-mudahan tidak sama dengan
mekanisme latihan yang baru lalu), semua unit anti teror (Sat-81
Kopassus, Den Bravo-90, Den Jaka dan Brimob/Gegana, Densus 88 belum ada)
diberi sasaran yang berbeda dalam suatu kurun waktu yang sama yang
Gedung DPR-RI Senayan disimulasikan sedang dikuasi kelompok teroris.
Artinya semua satuan penanggulangan teror baik milik TNI maupun Polri
mempunyai level yang sama dalam melakukan tugasnya. Tidak ada mekanisme
penyerahan kewenangan penindakan dari kepolisian ke militer. Latihan di
masa lalu tiap satuan anti teror TNI dan Polri di beri sasaran masing
masing. Setelah tiap satuan selesai melaksanakan tugasnya yang ditandai
dengan terbunuh dan tertangkapnya teroris maka hasilnya dilaporkan ke
komando yang lebih tinggi dalam struktur manajemen krisis. Berbeda
secara mekanisme, seperti contoh di Inggris, tanggunjawab penanggulangan
teror dalam negeri pada umumnya tetap di pundak kepolisian. SAS
digerakkan apabila memang kapasitas kepolisian dipandang tidak bisa
mengatasi situasi yang terjadi. Artinya level SAS lebih tinggi dari
kepolisian dalam konteks kemampuan penindakan terorisme, namun
kepolisian berdasar UU lebih berwenang. Terjadi serah terima kewenangan
dalam hal ini. Setelah melakukan penindakan SAS menyerahkan
kewenangannya kembali di pihak kepolisian. Sampai bertemu lagi di
pengadilan. Disinilah diharapkan latihan yang diadakan tampak mengatur
mekanisme penyerahan kewenangan penindakan terorisme dari Polri kepada
TNI, dan setelah selesai diserahkan kembali ke tangan Polri. Sehingga
mekanisme ini sejalan dengan UU no 16/2003 tentang penanggulangan tindak
pidana terorisme yang memberikan kewenangan Polri dalam upaya
penanggulangan terorisme di tanah air. Mekanisme ini sekaligus
menampakkan bahwa kemampuan penindakan terorisme TNI mempunyai derajat
yang lebih tinggi dibanding satuan milik Polri.
Penanganan terorisme dalam negeri di
USA juga bukan langsung di pundak militer, tetapi di era kini lebih ke
Homeland Security dan dinas federal FBI yang memang mempunyai unit unit
anti teror. Militernya digerakkan di luar negeri untuk menggebuk
terrorist. Namun dalam kondisi tertentu militer juga dapat digerakkan
untuk menangani terorisme di dalam negeri seperti terorisme yang terkait
dengan Nubika (nuklir, biologi dan kimia), dimana militer mempunyai
alat, skill dan personel yang lebih lengkap dibanding institusi lain.
Dengan demikian militer ditempatkan sebagai institusi yang digerakkan
sebagai upaya terakhir terakhir (last resort) atau karena pertimbangan
derajat ancaman yang pada akhirnya harus ditangani oleh militer apabila
terjadi di dalam negeri. Tetapi penggerakan militer tetap dengan
mekanisme menyerahkan tugas dan kewenangan dari tangan institusi non
militer seperti kepolisian ke militer. Mengapa demikian? Karena
rata-rata negara demokratik menggolongkan tindakan terorisme di dalam
negeri adalah sebagai tindak pidana. Oleh karena kepolisian lebih tepat
menangani. Di negeri kita jelas menyatakan terorisme sebagai tindak
pidana, dengan demikian satuan penanggulangan teror milik TNI
ditempatkan berada di belakang Polri dalam posisi siap membantu kapan
diperlukan. Latihan yang baru lalu mudah-mudahan sudah mengambarkan
penyerahan kewenangan penindakan dari Polri ke TNI.
TNI sebagai the last resort dalam penanggulangan teror mengandung konsekwensi untuk dilengkapi dengan baik. Asumsinya adalah sebagai pamungkas manakala diperlukan harus berhasil. Oleh karena tidak semestinya dalam era kini ada yang masih berpikir kalau TNI tidak diberiperan dalam upaya penanggulangan teror. Karena hal ini hanya masalah waktu dan kesempatan. Anggapan ini seharusnya tidak ada apabila satuan anti teror TNI juga dilengkapi dengan alat, tingkat ketrampilan, dan personel yang lebih baik dari satuan sejenis milik Polri. Mudah-mudahan situasi saat ini demikian dan bukan sebaliknya justru alat milik TNI amat tertinggal dibanding milik rekan Polri. Pemerintah mempunyai tanggungjawab untuk memperhatikan isu ini.
Penutup
TNI sebagai the last resort dalam penanggulangan teror mengandung konsekwensi untuk dilengkapi dengan baik. Asumsinya adalah sebagai pamungkas manakala diperlukan harus berhasil. Oleh karena tidak semestinya dalam era kini ada yang masih berpikir kalau TNI tidak diberiperan dalam upaya penanggulangan teror. Karena hal ini hanya masalah waktu dan kesempatan. Anggapan ini seharusnya tidak ada apabila satuan anti teror TNI juga dilengkapi dengan alat, tingkat ketrampilan, dan personel yang lebih baik dari satuan sejenis milik Polri. Mudah-mudahan situasi saat ini demikian dan bukan sebaliknya justru alat milik TNI amat tertinggal dibanding milik rekan Polri. Pemerintah mempunyai tanggungjawab untuk memperhatikan isu ini.
Penutup
Hal yang lebih penting lagi tidak perlu ada diskusi mana yang lebih tepat menangani militer atau kepolisian hingga seolah ada “rebutan” pelaksanaan tugas. Apabila kita mengetahui posisi masing masing tampaknya kita bisa saling menyiapkan dari menghadapi setiap kemungkinan ancaman yang terkait dengan terorisme. Satuan Gultor TNI akan digerakkan manakala derajat ancaman semakin meningkat dan berada di luar kemampuan satuan anti teror Polri untuk menangani. Mudah-mudahan pimpinan kita juga tidak mengambil “middle route,” antara tugas militer atau kepolisian dalam penindakan terorisme dengan digelarnya latihan bersama yang justru malah mengaburkan tingkat kewenangan dan kemampuan ke dua institusi yang berlatih bersama. Tapi sudah harus jelas memberikan batasan kemampuan antara TNI dan Polri. Latihan gabungan ini seyogjanya bertujuan untuk melatihkan mekanisme, dan prosedur penanggulangannya. Bukan seperti di masa lalu yang lebih cenderung menunjukkan kepada masyarakat bahwa TNI dan Polri kompak dalam pemberantasan terorisme. Saat ini yang dibutuhkan adalah mekanisme yang sesuai dengan aturan hukum dan perundangan yang sudah efektif. Militer membantu tugas Polri dalam penanggulangan terorisme manakala Polri mempunyai keterbatasan. Apabila belum terakomodasi dalam peraturan maka perlu dibuat aturannya tentang kapan waktu penyerahan kewenangan penindakan terorisme dari Polri ke TNI. Sehingga akan tampak batasan Polri dan kemampuan TNI dalam penanggulangan terorisme yang terjadi di negeri kita. Dengan demikian komentar orang seperti Neta S. Pane tidak perlu membuat dongkol kita semua, tetapi dijadikan sebagai bagian dari materi evaluasi latihan yang akan datang.
Oleh: Kol. Inf Joko Putranto MSc.