Jumat, 25 April 2014

Bell 205 A-1 Penerbad: Helikopter Sipil Dengan Kemampuan “Serbu”

bell205
Dari beragam alutsista berusia tua milik TNI, ada yang punya latar belakang unik, seperti awalnya merupakan peralatan sipil yang kemudian setelah dibeli diubah menjadi standar peralatan militer berkempampuan serbu/tempur. Salah satu  yang dimaksud adalah helilopter jenis Bell 205 A-1 yang dioperasikan oleh Penerband (Penerbangan Angkatan Darat) TNI AD. Bell 205-A1 merupakan versi sipil dari helikopter legendaris perang Vietnam, Bell UH-1 Iroquois (Huey).
Berangkat dari perang Vietnam, sosok UH (utility helicopter)-1 memang menjadi primadona di seantero negara sekutu-sekutu AS. Boleh dikata, UH-1 dan variannya (Bell UH-1D, UH-1E, UH-1F, UH-1H, UH-1L, UH-1P, UH-1V) telah menjelma sebagai helikopter ‘berjuta umat’ di kalangan militer dunia, termasuk tentunya Indonesia yang sebelumnya pada dekade 60-an juga telah mengoperasikan helikopter Bell 204B (UH-1B), heli ini dahulu diopersikan oleh skadron udara 7. Satu unit heli Bell 204B dapat Anda lihat sebagai koleksi di museum Satria Mandala, Jakarta.
Konsep UH (utility helicopter) pada tugas operasi militer memang dipandang ideal, terutama untuk mobil udara. Ditelaah dari istilahnya, UH lebih akrab dalam pengertian militer (seperti UH-60 Black Hawk), pada istilah sipil lebih sering disebut sebagai multipurpose utility helicopter, meski letak perbedaan sebenarnya tak beda jauh, lebih ditekankan pada kelengkapan senjata yang biasanya dirancang portable. Seiring menjawab kebutuhan operasi militer pada dekade tahun 70-an, utamanya saat TNI terlibat dalam gelar operasi Seroja di Timor Timur, pergerakan pasukan membutuhkan sarana helikopter yang memadai, selain mampu angkut personel tapi dituntut mampu melakukan bantuan tembakan ke permukaan.
Penerbad14
Penerbad16
Untuk menunjang misi tersebut, ada dua jenis helikopter yang didatangkan pada tahun 1977 – 1978, masing-masing adalah SA-330 Puma buatan Perancis dan Bell-205 A-1. Keduanya masuk dalam kategori heli angkut sedang. Bila SA-330 Puma menjadi arsenal skadron udara 8 TNI AU, maka Bell 205 A-1 menjadi kekuatan skadron udara 11/Serbu Penerbad yang bermarkas di Semarang, Jawa Tengah.
Bila SA-330 Puma sedari awal dibeli baru dengan spesifikasi militer, lain hal dengan Bell 205 A-1. Pada tahun 1977 – 1978 18 unit Bell 205 A-1 dibeli secara second (bekas) dari pasar penerbangan sipil di AS. Baru kemudian setelah didatangkan ke Tanah Air, heli tersebut disulap ala jagoan film “Tour of Duty” di hangar IPTN (sekarang PT. Dirgantara Indonesia). Bell 205 A-1 dikonversi menjadi UH-1 dengan konfigurasi militer, berupa tempat duduk yang disesuaikan untuk juru tembak pada door gun, serta instalasi dudukan untuk senapan mesin FN MAC GPMG kaliber 7,62 mm pada pintu kanan dan kiri.
Personel Kopassus saat melakukan demo fast rope di HUT ABRI ke-50 tahun 1995
Personel Kopassus saat melakukan demo fast rope di HUT ABRI ke-50 tahun 1995
Bila US Army di Vietnam mengusung senapan mesin M-60 pada Heli Huey, maka Penerbad menggunakan FN MAC 7,62 mm
Bila US Army di Vietnam mengusung senapan mesin M-60 pada door gun Heli Huey, maka Penerbad menggunakan FN MAC 7,62 mm
Bell 205_Kaskus
Utilitas menjadi kehandalan heli ini, dalam pertempuran tak jarang Bell 205 A-1 berperan sebagai ambulance udara.
Utilitas menjadi kehandalan heli ini, dalam pertempuran tak jarang Bell 205 A-1 berperan sebagai ambulance udara.
Bell 205 A-1 dalam masa perbaikan
Bell 205 A-1 Penerbad dalam masa perbaikan

Selama digunakan oleh TNI AD, helikopter ini terbilang ‘kenyang’ dalam operasi tempur dan non tempur. Untuk operasi tempur, selain banyak berperan di Timor Timur, Bell 205 A-1 juga dilibatkan dalam operasi militer di wilayah Papua dan Aceh (NAD). Salah satu yang menonjol adalah peran Bell 205 A-1 dalam pembebasan sandera di Mependuma, Irian Jaya pada 1996. Dalam operasi militer ini kekuatan yang dilibatkan Penerbad tergolong besar, hingga delapan unit heli. Terdiri dari tujuh unit gabungan Bell 205 A-1 dan NBell-412, serta sebuah heli NBO-105. Dalam operasi ini sebuah Bell 205 A-1 (HA-5070) mengalami musibah yang menewaskan dua awaknya.
Kemudian pada bulan Oktober 2004, sebuah heli Bell 205 A-1 jatuh di wilayah operasi, yakni di Desa Sukatani – Bireun, Aceh. Heli tersebut jatuh saat sedang terbang dari Takengon, Aceh Tengah menuju Banda Aceh. Delapan personel TNI AD tewas dalam musibah ini, menurut informasi jatuhnya heli bukan akibat serangan GAM (Gerakan Aceh Merdeka), melainkan akibat cuaca buruk yang disertai hujan deras.
aa9198c32db68d943e8e2baa4ee3bb96
Air raid dari Sat Gultor Kopassus
Air raid dari Sat Gultor Kopassus, foto: Antara

Waktu terus berjalan, dan hingga kini dari 18 unit yang dibeli, tinggal tersisa 8 unit. Jumlah 8 unit kami dapatkan dari situs Wikipedia. Sementara merujuk ke sumber di majalah Angkasa edisi Juni 1995, disebutkan Penerbad akan mendapat tambahan 20 unit heli Bell 205 A-1 dari AS yang nantinya akan dikonversi menjadi versi UH-1. Meski kini Penerbad telah dibekali versi Bell yang lebih maju, yakni NBell-412 dengan dua mesin serta 4 bilah baling-baling, tapi nampaknya keberadaan Bell 205 A-1 punya kesan tersendiri. Heli ini telah menjadi tumpangan setia bagi Kopassus dalam beragam gelar operasi.
Untuk mendukung misi pergerakan artileri, bersama NBell-412, Bell 205 A-1 juga dapat digunakan mengangkut dengan slink sebuah meriam gunung kaliber 76mm buatan Yugoslavia beserta amunisi. Meriam gunung itu dapat diangkut langsung dari garis persiapan menuju medan datar maupun suatu ketinggian pada medan berbukit yang diproyeksikan sebagai posisi penembakkan.



Menurut informasi, Bell 205 A-1 yang punya satu mesin Lycoming T53-L-13 serta dua bilah baling-baling, punya kemampuan terbang manuver yang lebih lincah ketimbang NBell-412, meski untuk kecepatan tertinggal dengan NBell-412 yang punya dua mesin. Keunggulan Bell 205 A-1 lainnya adalah efek suara mesin yang ditimbulkan. Dengan pola operasi serangan mendadak dari balik pepohonan misalnya, arah kedatangan heli kerap membuat bingung lawan di daratan dengan efek suara yang seolah ‘memantul’ di arah yang tak terduga.
Tampilan bagian dalam kokpit Bell 205 A-1
Tampilan bagian dalam kokpit Bell 205 A-1
cockpit_D-HHVV_HDM_Bell-412HP_EDGE-240605_Bild-5_Tikwe_Web_small
Bell 205 A-1 Penerbad kini telah dimodifikasi lebih lanjut, seperti ditanamkannya sistem navigasi, radar, dan jenis persenjataan. Dilihat dari kemampuan yang sudah battle proven, nampaknya Bell 205 A-1 masih akan terus digunakan oleh Penerbad, bersanding gagah dengan heli Penerbad yang lebih modern, seperti Mil Mi-35 Hind dan Mi-17V5 Hip. (Gilang Perdana)

Spesifikasi Bell 205 A-1
  • Awak            : 1 atau 2
  • Penumpang        : 8 – 9
  • Propulsion            : 1 Turboshaft Engine
  • Engine Model        : Lycoming T53-L-13
  • Engine Power        : 1044 kW    1
  • Speed                : 204 km/h
  • Ketinggian max        : 3.840 meter
  • Jangkauan terbang    : 556 km
  • Berat kosong        : 2.363 kg
  • Max. Takeoff Weight :    4.309 kg
  • Diameter Baling-baling utama    :     14,63  meter
  • Diameter Baling-baling ekor        :    2,59 meter
  • Panjang            :    12,65  meter
  • Lebar            :    17,62 meter
  • Tinggi            :     4,43 meter
  • Terbang perdana    : 16 Agustus 1961
  • Total produksi    : Lebih dari 10.000 unit
Indomil. 

152mm/57 : Meriam Maut Andalan KRI Irian

Meriam 152mm/57

Baru-baru ini di bioskop diputar film “Battleship” yang dibintangi aktor kawakan Liam Neeson. Sesuai tradisi Hollywood, film tersebut nampak menghadirkan efek animasi peperangan laut yang spektakuler. Salah satunya dengan menampilkan adegan USS Missouri yang berkali-kali melepaskan tembakan meriam kaliber 410mm (60 inchi)ke armada alien.
Tulisan ini bukan bermaksud mengulas seputar alur cerita film fiksi tersebut,tapi ada yang menarik diperhatikan dari sisi alutsista yang terlibat, tak lain adalah USS Missouri (BB-63), sebuah kapal penjelajah berat milik US Navy, veteran perang Dunia Kedua yang sejak 1992 sudah dipensiunkan, dan kini menjadi museum terapung di Pearl Harbor, Hawaii. Penjelajah dengan bobot 45.000 ton ini memang punya muatan sejarah panjang, salah satunya sebagai saksi bisu penyerahan Jepang atas sekutu pada 2 September 1945.
Lain dari itu, USS Missouri cukup termasyur dengan keberadaan meriam super heavy 16 inchi Mark 7 gun 50 kaliber 406mm. USS Missouri memiliki 3 kubah (turret) meriam 16 inchi, jadi bila ditotal ada 9 laras meriam kaliber raksasa ini yang siap melumatkan kapal perang lawan. Dengan jangakauan hingga 38Km, meriam ini mampu mengkandaskan destroyer dengan sekali tembakan, bahkan tak jarang meriam tambun ini digunakan untuk bantuan tembakan ke pantai, seperti terjadi saat Missouri mendukung pendararatan pasukan amfibi di Iwojima dan Perang Teluk.
Meriam 16 inchi pada USS Missouri
Nah, daya libas dengan memanfaatkan meriam besar memang menjadi sebuah daya deteren bagi armada angkatan laut. Seperti pada masa Trikora, Indonesia pun mempunyai penjelajah KRI Irian yang amat ditakuti kala itu. KRI Irian dengan bobot 16.000 ton mempunyai beberapa senjata andalam yang mampu membuat nyali lawan ciut, ini tak lain berkat adanya meriam kaliber 152mm/57 B-38 Pattern.
Memang tak sesangar kaliber meriam di USS Missouri, tapi KRI Irian memuat 12 laras meriam kaliber 152mm, dan lawan yang dihujani tembakan proyektilnya akan kandas, meskipun kelas kapal induk Karel Doorman milik AL Belanda sekalipun. Lebih dalam tentang meriam ini, di KRI Irian (Sverdlov class) dilengkapi dengan 4 turret meriam kaliber 152mm, dua turret di sisi haluan dan dua di buritan, masing-masing turret terdiri dari 3 laras yang dioperasikan secara manual dengan pemandu tembakan lewat giroskop.
Meriam 152mm ini dirancang Uni Soviet sejak 1938 dan mulai digunakan paska perang Dunia Kedua (1949). Tak hanya armada penjelajah kelas Sverdlov yang kebagian meriam ini, tapi juga digunakan pada kapal perang Uni Soviet kelas Sovetskii dam Chapaev. Selain ukurannya yang besar, bobot alutista ini pun serba wah, larasnya punya berat 17,5 ton dengan panjang mencapai 8,9 meter. Itu baru bicara laras, untuk tiap kubah (turret) yang menaungi 3 laras beratntya mencapai 145 ton.
Bangkai Sverdlov class di lepas pantai Norwegia, tampak sosok kubah meriam kaliber 152mm

Untuk urusan daya hancur, meriam ini punya jangkauan tembak yang spektakuler, misalnya untuk elevasi 48 derajat dengan amunisi 55Kg, jangkauan bisa mencapai 30,1Km. Sedangkan bila menggukan elevasi 45 derajat, jarak tembak menjadi 23,4Km. Jenis proyektil yang ditembakkan bisa beragam, mulai dari HE (high explosive), distance granade, AP, dan semi-AP mod. Karena masih dioperasikan secara manual, kecepatan tembak per menitnya masih rendah, yakni maksimum 7 amunisi untuk tiap menitnya. Menurut keterangan dari mantan awak KRI Irian, LetKol Laut (Purn) Jaja Surjana, latihan penembakkan merian kaliber 152mm cukup kerap dilakukan, diantaranya dengan mengambil sasaran di sekitar gugusan pulau kecil di laut Jawa.
Sayangnya ketika KRI Irian harus di scrap pada tahun 1972, tidak ada lagi kelanjutan ceritanya, diketahui meriam super jumbo ini ‘dipreteli’ sebelum kapal dibawa pergi. Meriam kaliber 152mm adalah kenangan sejarah yang tinggi bagi alutsista kapal perang TNI AL. Pasanya hingga saat ini TNI AL belum lagi mempunyai meriam dengan kaliber sebesar itu. Saat ini rekor meriam dengan kaliber terbesar untuk kapal perang TNI AL dipegang oleh KRI Fatahilah, KRI Malahayati, dan KRI Nala yang mengusung meriam Bofors kaliber 120mm. (Haryo Adjie Nogo Seno) 

CIS AGL 40: Pelontar Granat Otomatis Andalan Rantis TNI

land_rover_defender_08_of_82
Untuk segmen senjata serbu yang dioperasikan perorangan, bisa dibilang AGL-40 tidak hanya mematikan, tapi sekaligus mampu menghancurkan target lawan secara masif. Inilah kebisaan yang ditawarkan dari pelontar granat otomatis alias AGL (automatic grenade launcher) 40.
Kelebihan senjata ini tak lain karena pengoperasiannya yang praktis tetapi punya daya hancur yang  lumayan dahsyat. Jenis amunisinya pun unik, berbentuk mirip ‘deodorant,’ granet kaliber 40 mm ini juga dapat dilontarkan dalam platform senjata serbu seperti M-16 A1/A2. M-16 biasa ditambahkan pelontar granat M203 single shot weapon yang baru digunakan US Army pada awal 1970. M203 efektif memberikan daya deteren kepada musuh.  Serupa dengan M-16, bahkan senapan serbu SS-1juga punya varian SS-1 SPG-1A yang dibekali pelontar granat 40 mm. Baik M-16 dan SS-1 merupakan senapan serbu kaliber 5,6 mm standar TNI.
M16-A1 dengan pelontar granat M203
M16-A1 dengan pelontar granat M203
Personel Korps Marinir TNI AL menyandang SS-1 SPG-1
Personel Korps Marinir TNI AL menyandang SS-1 SPG-1

Kembali ke CIS 40 AGL, pelontar granat otomatis ini punya kemampuan meluncurkan proyetil sejauh 2.200 meter. Dengan pola linked belt, AGL ini dapat memuntahkan antara 350 hingga 500 granat per menit. Bisa kebayang, bagaimana sasaran yang bisa dihancurkan, pastinya sangat luar biasa daya rusaknya. Proyetil granat ini pun meluncur cukup cepat ke target, yakni 242 meter per detik. Karena kinerjanya yang tinggi, dalam operasi pertempuran laras bisa sangat cepat panas. Sesuai petunjuk dari produsennnya, untuk keamanan maka setiap 10.000 kali tembakan laras harus diganti.
Dalam penggunaanya, CIS AGL 40 biasanya memakain cartridge box yang berisi 32 butir amunisi. Dengan Tipe amunisi CIS AGL 40 terbagi dua, yaitu high velocity dan low velocity. Sedangkan untuk hulu ledak tersedia dengan pilihan HE (high explosive), HEDP (high explosive dual purpose), flare, thermobaric, target practice, infra red illumination, dan non lethal. Yang terakhir non lethal bisa difungsikan sepeti granat asap dalam pembubaran demonstrasi. Sementara bicara soal daya hancur, dengan hulu ledak HE dampak ledakan bisa dirasakan hingga radius 30 meter. Wow!
Land Rover Defender MRCV Kopassus dengan 40 AGL
Land Rover Defender MRCV Kopassus dengan AGL 40 pada dudukan rollbar
land_rover_defender_28_of_82
land_rover_defender_79_of_82
Pelontar granat ini dirancang antara tahun 1986 – 1989 oleh Singapura. Mulai dari rancangan hingga produksi perdana dilakukan oleh Chartered Industries of Singapore (CIS) – sekarang ST Kinetics. CIS AGL 40 resmi diproduksi sejak 1991 hingga kini. Selain memperkuat AB Singapura, senjata ini nyatanya telah diproduksi berdasarkan lisensi oleh Pindad dengan sebutan seri SPG-3. Selain Indonesia, AGL 40 juga digunakan oleh AB Thailand, Uruguay, Sri Lanka, Peru, Filipina, Maroko, Mexico, dan Georgia. Dalam bentuk yang relative serupa, pelontar granat otomatis dengan kaliber 40 mm juga diproduksi oleh negara lain, seperti MK 19 buatan AS, Denel Y3 AGL buatan Afrika Selatan, AGS-17 (kaliber 30 mm) buatan Rusia, dan Heckler & Koch GMG dari Jerman.
Karena unggul dalam mobilitas dan praktis dalam gelar tempur, AGL 40 bisa dibilang ‘laris manis’ digunakan di lingkungan TNI. Satuan elit yang sudah terang-terangan meminang senjata ini adalah Kopassus TNI AD dan Kopaska TNI AL. Kopassus terlihat mengadopsi AGL 40 pada rantis (kendaraan taktis) di jeep Land Rover Defender MRCV, P1 Pakci, Alvis Mamba, Flyer 4×4, dan Casspir MK3. Sementara Kopaska terlihat telah memasang AGL 40 pada X38 Combat Boat. Lain dari itu AGL 40 juga dipasang sebagai pilihan senjata pada panser Anoa 6×6 buatan Pindad dan ranpur sepuh BTR-40. Kesemuanya memperlakukan AGL 40 sebagai senjata portable, yang sewaktu-waktu dapat dilepas.
40mm annunition ST Kinetics
IMAG0239
CIS 40GL
Bila diusung oleh personel infrantri, karena bobotnya AGL harus menggunakan tripod
Bila diusung oleh personel infrantri, karena bobotnya AGL harus menggunakan tripod
Meski bisa dioperasikan oleh seorang personel, bobot senjata ini yang mencapai 33 kg menjadikannya harus didudukan dalam platform tripod. Sementara bila di jeep Land Rover Kopassus nampak dipasang pada dudukan rollbar. Di lingkungan Asia Tenggara, AGL 40 telah digunakan dalam kancah pertempuran, diantaranya dioperasikan oleh Marinir Filipina dalam perang anti gerilya. Bagaimana dengan medan operasi di Indonesia? Boleh jadi AGL 40 atau SPG-3 pernah digunakan dalam operasi militer di NAD. (Haryo Adjie Nogo Seno)


Satgultor Kopassus sempat disiagakan di Bandara Ngurah Rai

Satgultor Kopassus sempat disiagakan di Bandara Ngurah Rai
 Dokumen foto latihan Satuan Penanggulangan Teror (Satgultor) TNI di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta. (ANTARA/Widodo S. Jusuf)

TNI Angkatan Darat sempat menyiagakan Satuan Penanggulangan Teror 81 Komando Pasukan Khusus (Satgultor Kopassus) untuk mengatasi dugaan pembajakan pesawat Virgin Blue Airlines jenis Boeing 737-800 di Bandara Ngurai Rai, Denpasar, Bali.

"Informasi pembajakan, ternyata tak benar. Di stasiun TV juga sudah disiarkan bahwa dugaan pembajakan karena ada penumpang yang mabuk," kata Kepala Dinas Penerangan TNI AD (Kadispenad) Brigjen TNI Andika Perkasa ketika dikonfirmasi di Jakarta, Jumat.

Ia mengemukakan, pihaknya telah menyiapkan personel Kopassus dari Satgultor-81 untuk mengatasi kemungkinan pembajakan.

"Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal TNI Budiman telah memerintahkan Danjen Kopassus untuk menyiapkan semua persiapan yang diperlukan. Mereka harus bersiap-siap, meski belum diketahui kebenaran informasi tersebut," katanya.

Menurut dia, pengerahan pasukan Satgultor-81 Kopassus tentang adanya kemungkinan pembajakan merupakan kewenangan Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko, namun sebagai pembina TNI AD, Kepala Staf TNI AD bisa menyiapkan personelnya manakala diperlukan.

Pilot pesawat Virgin Blue Airlines jenis Boeing 737-800 pada Jumat siang sempat terpantau menara lalu lintas udara (air traffic control/ATC) di Bandara Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan, dan Bandara Ngurah Rai mengirimkan pesan bahwa mengalami pembajakan (hijack).

Namun, awak dan penumpang pesawat itu hanya mengalami gangguan dari salah seorang penumpang yang mabuk bernama Matt Christopher, warga negara Australia. Ia sempat melakukan keributan dan menggedor pintu menuju ruang pengendali pesawat (cockpit).

Kamis, 24 April 2014

RBU-6000 : Peluncur Roket Anti Kapal Selam Korvet Parchim TNI AL

Meski saat ini kekuatan armada kapal selam TNI AL terbatas, karena secara faktual kini hanya ada 2 kapal selam type 209 buatan Jerman, tapi disisi lain perlu disyukuri bahwa TNI AL masih cukup mumpuni untuk menggelar sista (sistem senjata) anti kapal selam. Keberadaan sista anti kapal selam mutlak bagi TNI AL sebagai pengawal wilayah lautan RI yang begitu luas, dimana banyak alur laut yang ideal menjadi perlintasan kapal selam negara lain di sepanjang gugusan kepulauan Nusantara.
Dalam misi ‘mengganyang’ kapal selam lawan, setidaknya TNI AL kini bisa mengandalkan banyak senjata, sebut saja mulai dari torpedo SUT (surface and underwater target) yang menjadi andalan kapal selam type 209 dan FPB-57 , lalu torpedo MK46/MK44/MK32 yang banyak digunakan pada frigat dan korvet, kemudian ada bom laut (depth charge), dan terakhir sistem senjata roket anti kapal selam. Kesemua model senjata anti kapal selam diatas masih digelar oleh TNI AL, kecuali model bom laut yang kini agak jarang digunakan lagi.

sudah lumrah bila kapal perang rancangan Rusia dan negara-negara Blok Timur mengusung dua pucuk peluncur RBU-6000
Khusus di segmen roket anti kapal selam atau ASROC (Anti Submarine Rocket), TNI AL sudah punya pengalaman panjang dalam pengoperasiannya, semasa akrab menggunakan alutisista buatan Uni Soviet (dalam masa operasi Trikora), setidaknya diketahui TNI AL sempat mengoperasikan roket Hedgehog kaliber 268mm buatan Rusia, dan roket Hedgehog kaliber 183mm buatan Italia.
Roket-roket anti kapal selam tersebut dilepaskan dari semacam peluncur MLRS (multiple launch rocket system) pada frigat atau korvet. Setelah meluncur dan jatuh ke permukaan laut, hulu ledak roket bakal meledak sesuai dengan kedalaman yang ditentukan, semisal pada roket Hedgehog kaliber 268mm, akan meledak pada kedalaman 210 meter. Pada prinsipnya pola peledakannya hamper serupa dengan bom laut, hanya berbeda dari cara pelepasannya. Untuk menggunakan bom laut, kapal harus melepas bom sejajar diatas posisi kapal selam berada. Tentu saja cara ini cukup sulit dan merepotkan, apalagi bila yang dihadapi kapal selam modern dengan teknologi akustik tinggi.

KRI Tjiptadi 881, salah satu korvet kelas Parchim TNI AL, nampak sedang melepaskan roket dari peluncur RBU-6000

Awak TNI AL sedang mempersiapkan RBU-6000

Pada kenyataan era Hedgehog kini sudah memudar, pasalnya jenis roket ini sudah terbilang kuno, maklum telah digunakan sejak era Perang Dunia Kedua. Nah, sebagai gantinya di lini roket anti kapal selam, TNI AL kini mengandalkan jenis RBU-6000 yang terpasang pada armada korvet Parchim, dan ada lagi roket anti kapal selam jenis Bofors SR375A kaliber 375mm. Untuk jenis Bofors SR375A diusung oleh 3 kapal perang kelas Fatahillah, yakni KRI Fatahillah 361, KRI Malahayati 362, dan KRI Nala 363. Sedangkan jenis RBU-6000 lebih terlihat masif, pasalnya populasi korvet Parchim TNI AL mencapai 16 kapal perang, dimana pada masing-masing kapal dilengkapi dua peluncur RBU-6000 kaliber 213mm.
Di lingkungan TNI AL, RBU-6000 punya umur pengoperasian yang lebih muda ketimbang Bofors SR375A. Ditambah daya hancur RBU-6000 cukup besar, ini lantaran jenis peluncur ini memiliki  12 laras roket yang dapat melakukan tembakan secara single maupun salvo. Sistem peluncur pun hebatnya dapat melakukan sistem reload amunisi secara cepat dan otomatis.

Model struktur reload amunisi pada RBU-6000

RBU (Reaktivno-Bombovaja Ustanovka )-6000
Sosok senjata yang sangar ini boleh dibilang menjadi sajian favorit TNI AL dalam gelar-gelar latihan tempur, seperti pada level Latihan Gabungan TNI. TNI AL cukup beruntung memiliki jenis senjata ini, sebab RBU-6000 termasuk senjata anti kapal selam di era Perang Dingin yang cukup diandalkan oleh negara-negara pakta Warsawa. RBU-6000 mulai dioperasikan oleh AL Uni Soviet pada tahun 1960-1961. Adaptasi RBU-6000 cukup luas, tidak hanya kelas korvet, jenis frigat hingga destroyer juga lazim mengandalkan RBU-6000.
Pengoperasian RBU-6000 sudah tergolong modern, yakni dengan sistem kendali otomatis dari pusat informasi tempur yang mengandalkan Burya fire control system agar akurasi serta  arah elevasi multi larasnya dapat terjaga. Secara total, pola penembakkan RBU-6000 dapat di setting untuk satu kali tembakan, 2x, 4x 8x atau salvo 12x. Menyadari panasnya laras setelah dilakukan penembakkan, dilakukan pendinginan dengan air.

Roket anti kapal selam R90 yang diluncurkan lewat RBU-6000

Sebuah demonstrasi penembakkan RBU-6000 secara salvo

Bila amunisi sudah habis, sementara kapal selam yang diburu belum ‘keok’ juga, tak jadi masalah. RBU-6000 siap melakukan reload amunisi secara otomatis dengan teknologi 60UP loading system yang terletak dibawah dek peluncur. Umumnya tiap-tiap peluncur dapat memuat magazine yang berisi 72 hingga 96 roket. Jumlah yang cukup besar untuk mengkandaskan atau paling tidak membuat kapal selam musuh rusak berat.
Satu unit RBU-6000 memiliki berat 3.100 kg, lebar 2 meter, tinggi 2,25 meter, dan lebar 1,75 meter. Untuk menyesiakan arah sasaran, tingkat elevasi dapat disesuaikan mulai dari -15 sampai 60 derajat. Untuk sudut putarnya mencapai 180 derajat.
RBU-6000 adalah sistem peluncurnya, untuk roketnya sendiri menggunakan jenis 90R. Roket ini cukup canggih, dimana aktivasi peledakan dapat disesuaikan berdasarkan kedalaman yang dibutuhkan. Bila sudah masuk ke bawah permukaan laut, fungsinya akan menjadi bom laut yang dapat mengganyang target hingga kedalamam 1.000 meter.

RBU-1000 dengan 6 laras

RBU-1200 dengan 5 laras (tanpa pengisian otomatis)

RBU-2500 dengan 16 laras
Tentang roket 90R mempunyai berat 112,5 kg dengan bobot hulu ledak 19,5 kg. Diamater roket ini 0,212 meter dan panjang 1,83 meter. Untuk jangkauan luncur mulai dari 600 meter sampai 4.300 meter. Namun uniknya, disebutkan efektif radius sebenarnya hanya 130 meter. Dengan hulu ledak 19,5 kg, 90R dipercaya dapat merusak lambung kapal selam. Hasil dari pengenaan sasaran dapat diketahui dalam waktu 15 detik, dan tingkat kebehasilan dalam penghancuran kapal selam mencapai 80 persen. Selain itu misi melawan kapal selam, senjata ini juga bisa dipersiapkan untuk menangkal serangan dari torpedo lawan yang menyerang kapal, bahkan bisa dimanfaatkan untuk menetralisir keberadaan pasukan katak lawan yang berniat melakukan penyusupan.
Selama Perang Dingin, Rusia/Uni Soviet banyak mengembangkan varian RBU, diantaranya RBU-1000 (6 laras kaliber 300mm), RBU-1800 (5 laras kaliber 250mm), RBU-2500 (16 laras kaliber 250mm), dan RBU-4500 (6 laras kaliber 300mm).


 India ternyata mampu memproduksi amunisi untuk RBU-6000, bagaimana dengan Indonesia?


Meski saat ini kekuatan kapal selam TNI AL terbilang minim, pasalnya tambahan kapal selam tak kunjung tiba, tapi setidaknya tak perlu minder untuk daya pukul kekuatan anti kapal selam. Berdasarkan pengalaman sejarah, TNI AL telah mempunyai reputasi dalam operasi anti kapal selam, contohnya seperti yang terjadi pada masa operasi Trikora. Kapal selam Belanda, HRMS Dolfijn mengalami kerusakan parah karena mendapat serangan bom laut dari kapal pemburu TNI AL di dekat perairan Teluk Peleng, Banggai.  (Haryo Adjie Nogo Seno)

Momen Potensial Munculnya Black Flight di Indonesia

Setiap tanggal 9 April dan 5 Oktober, warga Ibukota Jakarta dibuat terkesima dengan defile dan flypass dari pesawat-pesawat tempur TNI AU. Sebagian besar warga Jakarta dibuat kagum atas deru mesin jet tempur yang membelah langit. Yang jadi bintang, tak lain dan tak bukan adalah alutsista nomer wahid milik Republik Indonesia, seperti Sukhoi Su-27/30, F-16 Fighting Falcon, Hawk 109/209, dan F-5E/F Tiger.
Melihat dari kecenderungannya, beberapa hari jelang perhelatan akbar, selalu dilakukan latihan flypass, terbang formasi, bahkan atraksi aerobatik. Saya yang kebetulan tinggal di area Jakarta Selatan, biasanya mulai melihat flypass jet tempur secara intens pada H-7.
Lepas dari flypass dan atraksi aerobatik jet tempur diatas, sebenarnya ada suatu hal yang harus diwaspadai secara seksama, terutama oleh elemen Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas). Seperti sudah menjadi rahasia umum, dari segi kuantitas, Indonesia sangat kekurangan jet tempur. Jumlah jet tempur yang ada setiap hari dioperasikan secara terbatas untuk misi patroli, sebagian lagi ada di pangkalan untuk misi perbaikan.
Meski tentunya sudah disiasati, intinya saat hajatan 9 April sebagai hari jadi TNI AU, dan 5 Oktober sebagai HUT TNI, tingkat kesiapan jet tempur (terutama di wilayah perbatasan) menjadi berkurang, pasalnya sebagian ‘ditarik’ ke Jakarta untuk keperluan flypass. Sampai saat ini Kohanudnas memiliki 17 unit radar yang terbagi dalam Kosek (komando sektor). Kosek I yang bermarkas di Halim membawahi 6 radar, Kosek II di Makassar membawahi 5 radar, Kosek III di Medan membawahi 4 radar, dan Kosek IV di Biak membawahi 2 radar. Dalam pelaksanaan operasinya, unsur Kohandunas berintegrasi dan berkoordinasi dengan radar sipil, terutama untuk wilayah-wilayah di Indonesia Timur yang masih minim dari pantauan radar militer.

Momen Emas Terjadinya Black Flight
Dengan berkurangnya jumlah jet tempur di pangkalannya masing-masing, menjadi peluang emas bagi pihak asing untuk lebih leluasa melakukan misi black flight (penerbangan gelap). Mereka tahu, bila pada tanggal-tanggal tertentu kekuatan ‘interceptor’ TNI AU berkurang. Adanya elemen Arhanud (Artileri Pertahanan Udara) pastinya dapat mengelimir misi black flight yang akan masuk ke wilayah-wilayah obyek vital. Tapi tetap saja, elemen Kohanudnas yang utama adalah jet buru sergap untuk mengadakan tindakan sebelum black flight bertindak lebih jauh.

Black Flight
Sepanjang sejarah eksistensi hanud di Tanah Air, patut disyukuri ancaman yang dihadapi masih sebatas munculnya beberapa kali penerbangan gelap (black flight). Memang banyak diantara black flight berhasil dihadang oleh jet buru sergap TNI AU, tapi beberapa momen black flight lainnya hanya berhasil ditangkap oleh satuan radar TNI AU tanpa bisa direspon lebih lanjut. Umumnya black flight terjadi di wilayah sengketa atau konflik. Dalam beberapa laporan, black flight atau penerbangan tanpa izin kerap terdeteksi di Timor Timur (sekarang Timor Leste), pasa masa pra dan paska referendum tahun 1999. Black flight juga terlihat saat konflik horizontal di Ambon, Maluku.
Black flight tak melulu berwujud pesawat jet tempur yang berkecepatan supersonic, tapi bisa juga pesawat sipil, atau bahkan diindikasi juga oleh jenis helikopter. Umumnya pola hadirnya helikopter bisa terendus dari pantauan kecepatan dan manuver yang terlihat dari layar radar. Sumber dari Majalah Angkasa edisi Februari 2009 menyebutkan, sejak tahun 2006 kehadiran black flight cenderung terus meningkat, di tahun 2006 tercatat Lasa (laporan sasaran) tidak dikenal berjumlah 18 kali, tahun 2007 meningkat menjadi 23 kali, dan di tahu 2008 meningkat lagi menjadi 26 kali, dengan perincian 10 kali pelanggaran wilayah kedaulatan dan 16 kali pelanggaran yang bersifat mengancam wilayah kedaulatan.
Jenis-jenis pelanggaran terhadap kedaulatan wilayah udara nasional diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu pelanggaran wilayah udara nasional, pelanggaran air defence identification zone, dan laporan sasaran tidak dikenal (Lasa X)/black flight. Semenjak tahun 2009 hingga Juni 2010, terjadi 23 kali pelanggaran kedaulatan pada wilayah udara nasional. Diantara jenis pelanggaran yang ada, pelanggaran black flight adalah yang paling sering terjadi (11 kali).
Dari laporan diatas bisa disimpulkan secara pihak asing kian berani melintasi ruang udara RI. Meski sering disambangi black flight, hingga kini tak ada satupun insiden yang dapat ditaklukan oleh sistem arhanud TNI. Tapi ada beberapa kejadian yang cukup menarik antara hadirnya sosok black flight dan keberadaan rudal darat ke udara di Tanah Air.
Seperti pada tahun 60-an, di masa perjuangan operasi Trikora, rudal SA-2 sebagai sistem pertahanan udara lapis kedua (areal defence) setelah pesawat tempur, pernah sekali waktu hampir digunakan untuk melibas target black flight yang diketahui sebagai pesawat intai U-2 Dragon Lady yang tengah melintas di Teluk Jakarta. Awak rudal SA-2 yang masuk skadron peluncur 102 berhasil mendeteksi U-2 dan kemudian melaporkan ke Panglima Kohanud. Oleh panglima diteruskan kepada presiden lewat jalur “telepon merah“ untuk menunggu perintah selanjutnya. Sementara operator radar sudah mengunci posisi U-2. Kalau Bung Karno ada di tempat ketika telepon berdering dari Panglima Kohanud, tidak seorang pun bisa membayangkan. Pilihannya memang bisa tembak atau tidak.
Rudal SA-2

Terlepas dari pertimbangan politik, saat itu bisa hampir dipastikan rudal hanud SA-2 milik TNI mampu menjatuhkan U-2. Hal ini berkaca pada kejadian 1 Mei 1960, dimana SA-2 milik Uni Soviet berhasil menembak jatuh U-2 pada ketinggian 50.000 kaki. Berikutnya ada lagi informasi jatuhnya U-2 akibat sambaran SA-2 pada konflik Kuba vs Amerika Serikat di bulan Oktober 1962.
Gambaran diatas adalah situasi pada era 60-an, pertanyaannya bagaimana kesiapan sistem pertahanan udara kita saat ini? (Haryo Adjie Nogo Seno)

SA-2 : Rudal Darat Ke Udara Legendaris AURI

SA-2 AURI dalam sebuah gelar operasi

Menyandang predikat sebagai ‘Macan Asia’ dalam sisi militer, Indonesia pada era 60-an menjelma sebagai kekuatan yang menggetarkan negara-negara di kawasan Asia Pasifik. Dari seabreg perlengkapan tempur modern yang diperoleh dari Uni Soviet, unsur pertahanan udara (Hanud) nyatanya juga sangat diprioritaskan oleh Ir. Soekarno, Presiden RI pertama. Sebagai unsur Hanud, mulai dari pesawat tempur, rudal dan radar, apa yang Indonesia punya saat itu adalah produk tercanggih dimasanya.
Nah, bicara rudal pun banyak versi yang dimliki TNI, dua matra yakni AURI (TNI AU) dan ALRI (TNI AL) juga mengusung rudal-rudal dari varian anti kapal, udara ke udara dan udara ke permukaan yang terbilang mampu membuat negara tetangga dan NATO/AS sempat dibuat keder saat era tersebut. Lebih dalam lagi di segmen rudal darat udara atau bisa disebut rudal anti serangan udara, TNI AU punya ‘kenang-kenangan’ yang amat fenomenal, ini tak lain rudal SA-2 “Guideline” (kode NATO), di negara asalnya Uni Soviet rudal ini diberi kode V-75 “Dvina”. Saking populernya, karena banyak merontokkan pesawat tempur AS, rudal yang pertama kali dibuat oleh pabrik Lavochkin OKB pada tahun 1953 juga dikenal dengan sebutan SAM (Surface to Air Missile)-75.
SA-2 dipasang dengan ground mounted

SA-2 terbilang rudal yang punya reputasi tempur tinggi, dengan sosoknya yang terbilang besar, yakni berat 2,3 ton, panjang 10,6 meter serta diameter 0,7 meter menjadikan SA-2 adalah sosok rudal terbesar yang pernah dimiliki oleh Indonesia. Dengan bobot hingga ukuran ton, sudah pasti daya jelajah rudal ini terbilang fantastis dan memang SA-2 digolongkan segai rudal darat udara jarak jauh. Jangkauan SA-2 efektif bisa mencapai 45 km dengan kecepatan 3,5 Mach, sebuah kecepatan yang fantastis, mengingat sejak SA-2 Indonesia belum pernah memiliki rudal darat udara dengan kecepatan diatas 3 Mach (3 kali kecepatan suara). Walau terbilang rudal kelas berat, proses peluncuran SA-2 bisa dilakukan secara cepat bila telah mengunci sasaran. Saat pertama diaktifkan yang menyala adalah engine booster selama 4 sampai 5 detik dan kemudian engine utama akan aktif selama 22 detik dengan kecepatan 3,5 Mach dengan tingkat akurasi 65 meter.
SA-2 meluncur dari "sarangnya"

Selain unggul dalam daya jelajah dan kecepatan luncur, jangkauan ketinggian SA-2 pun mengagumkan, yakni bisa mencapai 20.000 meter. Daya hantam SA-2 pun cukup menakutkan dengan hulu ledak high explosive fragmentasi seberat 200 kg. Dengan spesifikasi diatas, jelas SA-2 jadi senjata yang mujarab untuk merontokkan pesawat jet pengintai yang kerap terbang tinggi. Ini terbukti pada 1 Mei 1960 rudal ini dapat menembak jatuh pesawat mata-mata Amerika U-2 ‘Dragon Lady” pada ketinggian 15,24 Km dan berhasil menangkap pilotnya Francis “Gary” Powers.
Selain itu ada peristiwa lain yang mencatat keberhasilan rudal ini dari berbagai variannya adalah pada insiden U-2 Taiwan ditembak jatuh oleh tentara RRC di atas Narching. Lalu Pada bulan Oktober 1962, U-2 Amerika hilang ditembak oleh tentara Kuba di atas pangkalan angkatan laut Banes yang kemudian memicu krisis rudal Cuba. Berikutnya adalah di ajang Vietnam dengan korban pesawat tempur F-4C Phantom pada bulan Juli di tahun yang sama. Tak heran memang, SA-2 dihadirkan Uni Soviet sebagai kegeraman atas kehadiran pesawat intai U-2 yang kerap masuk ke wilayah Soviet. Dalam operasionalnya, SA-2 digunakan pada tahun 1957 oleh resimen PVO-Strany dan ditempatkan pada suatu daerah dekat kota Sverdiovsk.
Parade rudal SA-2 dalam sebuah defile tahun 60-an di Istora Senayan
Kondisi truck Zil 131 AURI, pembawa rudal SA-2
Walau tampil menakutkan bagi armada tempur NATO, SA-2 tidak pas untuk menyergap pesawat yang terbang dengan ketinggian rendah yang bermanuver tinggi. SA-2 kodratnya adalah rudal untuk menghantam target pada ketinggian menengah dan tinggi yang bermanuver rendah seperti pesawat pembom dan pesawat mata-mata. Dalam bobot yang besar, SA-2 bukan rudal yang bersifat mobile, platform peluncurannya menggunakan ground mounted. Sedangkan untuk pengiriman rudal menggunakan moda truk.

SA-2 di Indonesia
Kedatangan SA-2 di Bumi Pertiwi tak lepas dari kebutuhan pada saat operasi Trikora. Dalam beberapa literatur diketahui TNI AU mulai mengirimkan teknisi ke Uni Soviet untuk dilatih mengoperasika rudal ini pada tahun 1960. Setiap angkatan siswa yang belajar rudal tersebut dinamakan Naya. Sesuai dengan petunjuk dari Mabes AURI bahwa pembelian itu bersifat dadakan, sehingga tim TNI AU juga tidak berlama-lama di negara tirai besi. Dalam kunjungan sekitar sebulan itu dibicarakan segala sesuatu mulai dari jumlah yang akan dibeli, bagaimana pengirimannya, bagaimana dan dimana pendidikannya hingga garansi lainnya yang mesti tertera di dalam kontrak.
Replika rudal SA-2 dibawa dalam sebuah parade di Malioboro, Yogyakarta

Sementara program pendidikan awak dan teknisi berjalan, di Tanah Air dilakukan persiapan, mulai dari pembangunan hanggar, shelter dan mess. Pada tahun 1962, ada seratus personel yang direkrut dari bintara-bintara yang bertugas di satuan-satuan radar AURI, untuk belajar sistem rudal. Pendidikan radar rudal dilaksanakan di Polandia. Di sana pendidikan khusus bagi calon operator radar di skadron rudal di laksanakan.
Kedatangan SAM-75 mewujudkan sebuah sistem pertahanan udara yang canggih kala itu. Ditambah lagi, puluhan pesawat tempur dan artileri-artileri pertahanan udara telah dimiliki AURI. SAM yang baru diproduksi 1956 dan ditempatkan dalam skala besar di beberapa titik di Uni Soviet pada 1958, tak pelak lagi menjadi pergunjingan sehebat Tu-16 dan MiG-21 yang telah hadir lebih dulu. Bahkan pada tahun-tahun itu, hanya negara Pakta Warsawa yang diijinkan menggelar alutsista tersebut. Maka sangat mencurigakan bila Indonesia yang jauh di seberang lautan, tiba-tiba berhasil mendapatkan persenjataan tersebut.
Rudal SA-2 ditampilkan utuh di Museum Dirgantara, Yogyakarta
Rudal SA-2 dan truck Zil

SA-2 Sang Perisai Ibukota
Bila terjadi insiden pertempuran yang melibatkan operasi udara, sangat wajar bila target utama yang disasar adalah Ibukota RI, Jakarta. Dan SA-2 pun dihadirkan tak lain untuk mengamankan wilayah udara di beberapa instalasi strategis, termasuk Jakarta.
Dengan Skep Men/Pangau Nomor 53 Tahun 1963 tanggal 12 September 1963, dalam rangka mempertahankan wilayah kedaulatan udara nasional, dilakukan pembagian unsur-unsur rudal Hanud dalam pelaksanaan operasi, berada di bawah naungan Wing Pertahanan Udara (WPU) 100, membawahi 3 skadron peluncur dan 1 skadron teknik peluru kendali Yaitu :
1. Skadron 101 Peluncur peluru kendali darat ke udara SA-75 (di Cilodong)
2. Skadron 102 Peluncur peluru kendali darat ke udara SA-75 (di Tangerang)
3. Skadron 103 Peluncur peluru kendali darat ke udara SA-75 (di Cilincing)
4. Skadron Teknik 104 Penyiap Peluru Kendali (di Pondok Gede).
Proses loading SA-2 dari truck pembawa ke ground mounted

Tugas dari pada WPU 100 Peluru Kendali, pertama adalah mengatur, mengkoordinasikan dan memimpin langsung kegiatan-kegiatan dalam rangka pertahanan udara yang meliputi usaha penghancuran dengan peluru kendali terhadap sasaran-sasaran musuh/lawan, baik didalam maupun di luar wilayah Republik Indonesia. Kedua adalah mengatur, mengkoordinasikan dan mengawasi latihan yang membawa semua kesatuan yang dibawahnya dalam keadaan siaga.
WPU 100 Peluru Kendali berpangkalan di Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma. Rencananya juga akan ditempatkan di Bekasi dan Surabaya, namun perangnya (Trikora) urung. Surabaya pertimbangannya karena di sana pusat Angkatan Laut. Kalau tiga skadron pertama merupakan skadron operasional, maka Skadron 104 merupakan skadron penyiap (Satpen) yang bertanggungjawab menyiapkan rudal-rudal yang akan ditempatkan di ketiga skadron operasional.

Nyaris Terjadi Insiden
Selama kampanye Trikora, SA-2 disiapkan membentengi Jakarta, tak banyak cerita seputar masa genting itu, mengingat pada 1962 Belanda dan Indonesia sepakat menyelesaikan pertikaian di meja runding. Namun satu peristiwa pantas disimak dengan keberadaan SA-2 adalah pada suatu saat radar rudal menangkap adanya target dalam jarak tembaknya. Seperti biasa, anggota Skadron Peluncur 102 bersiaga seperti hari-hari sebelumnya. Namun, tiba-tiba keluar perintah yang menegangkan, bahwa sebuah pesawat intai strategis U-2 Dragon Lady melintas di Teluk Jakarta. Kejadian itu segera dilaporkan ke Panglima Kohanud. Oleh panglima diteruskan kepada Presiden lewat jalur ‘telepon merah’ untuk menunggu perintah selanjutnya. Sementara operator radar sudah mengunci posisi U-2.
SA-2 juga aktif digunakan di wilayah Arab dan Timur Tengah

Bisa dibayangkan bila Bung Karno saat itu ada di tempat ketika telepon berdering dari Panglima Kohanud, tidak seorang pun bisa membayangkan bagaimana perang yang akan terjadi kemudian. Namun saat itu, RI-1 sedang tidak ada di tempat dan target kemudian melarikan diri.
SA-2 dan Truk Zil-131 milik AD Jerman Timur saat era Perang Dingin

Menurut sumber dari Wikipedia, hingga saat ini rudal SA-2 sudah diproduksi sekitar 4600 unit dalam berbagai varian. Sebagian besar penggunanya jelas para negara-negara sahabat Uni Soviet/Rusia. Di lingkungan ASEAN, tercatat hanya Vietnam yang juga pernah mengoperasikan rudal ini. Sebagai rudal yang dikendalikan lewat gelombang radio, SA-2 rawan menghadapi aksi jamming, untuk itu pihak Rusia berhenti menggunakan rudal ini pada tahun 1980, dan kini mengadopsi rudal anti serangan udara yang superior, yakni SA-10/SA-12, atau juga dikenal dengan subutan keluarga rudal S-300. (Haryo Adjie Nogo Seno)

Spesifikasi SA-2
Pabrik : Lavochkin OKB
Berat : 2.300 kg
Panjang : 10,6 meter
Diameter : 0,7 meter
Penggerak : Solid fuel booster dan liquid fuel upper stage operational
Hulu ledak : 200 kg
Daya jangkau : 45 km
Batas ketinggian: 20.000 meter
Kecepatan : 3,5 Mach
Pengendali : radio